Total Tayangan Halaman

Minggu, 01 Desember 2013

Antara Reformasi Konstitusi dan Korupsi Birokratis


Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang memang mengalami gejolak yang tidak jarang menyebabkan ambruknya negara yang baru berdiri tersebut. Hal ini mengisyaratkan tentang betapa tidak mudahnya sebuah negara yang baru dibangun dan dipertahankan.
Pencarian Ketatanegaraan dilakukan. Proses pencarian utama terkait dengan norma dasar bernegara adalah : KONSTITUSI. Pencarian konstitusi yang demokratis adalah proses tanpa henti, dan memang tidak boleh berhenti. Konstitusi adalah dokumen yang sunatullah-nya terus hidup. Meskipun demikian kehidupan dan tumbuh kembangnya konstitusi saja tidaklah cukup, aturan dasar bernegara tersebut juga harus efektif. Perubahan Undang-undang Dasar 1945 dilakukan. Perubahan UUD 1945 tersebut adalah salah satu upaya menjadikan konstitusi sejalan dengan semangat reformasi menuju demokrasi. Ada capaian perbaikan di dalam hasil amandemen, namun tidak ada hasil kreasi manusia yang sempurna. Yang paling problematik adalah proses perubahan yang sangat elitis dan meninggalkan rakyat. Gagallah upaya menghadirkan konstitusi rakyat.
Apabila dirunut jauh ke belakang, sejarah ketatanegaraan Indonesia mengenal tiga konstitusi yang pernah diberlakukan : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945), Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949 (Konstitusi RIS 1949), dan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia tahun 1950 (UUDS 1950).  Di antara ketiganya, UUD 1945 merupakan yang terlama diberlakukan yaitu antara tahun 1945 – 1949 dan tahun 1959 hingga kini. Berbagai cara menerapkan UUD 1945 telah dilakukan pada masa yang panjang tersebut, termasuk dengan mengubahnya dalam praktik.
Namun, secara resmi, perubahan formal UUD 1945 baru dihasilkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) selama tahun 1999 – 2002.  Naskah konstitusi Proklamasi RI telah banyak berubah dalam keempat dokumen perubahan yang dihasilkan MPR tersebut. Perubahan itu menuai beragam komentar dan sikap. Selain pendapat yang menuntut “kembali ke UUD 1945 yang asli”, terdapat pula keinginan untuk mengamandemen kembali, menyempurnakan hasil amandemen, atau istilah-istilah serupa.
Dari segi kuantitatif saja sudah dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya UUD 1945 setelah mengalami empat kali perubahan, sudah berubah sama sekali menjadi satu konstitusi yang baru. Hanya nama saja yang dipertahankan sebagai UUD Negara Republik Indonesia  tahun 1945, sedangkan isinya sudah berubah secara besar-besaran. Paradigma pemikiran atau pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam rumusan pasal-pasal UUD 1945 setelah mengalami empat kali perubahan itu benar-benar berbeda dari pokok pikiran yang terkandung dalam naskah asli ketika UUD 1945 pertama kali disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
Reformasi konstitusi selain merupakan sunatullah karena di dalam setiap konstitusi wajib terkandung semangat pembaharuan yang abadi, adalah jawaban pula untuk menghadirkan sistem bernegara yang lebih jelas. Tetapi bukan berarti persoalan tata negara bangsa ini semuanya berada dalam tataran rule of law, sebab tidak sedikit pula yang berada dalam rule of ethics. Letak masalahnya bukan pada aturan, tetapi pada perilaku menyimpang elite politik.
Konstitusi hasil perubahan sudah lebih baik, tetapi praktik pelaksanaannya dibajak kepentingan politik jual-beli yang menggadaikan kepentingan utama rakyat; Pilkada adalah proses pemilihan pemimpin yang seharusnya lebih demokratis, tetapi dibajak praktik money politics; bangunan sistem kekuasaan kehakiman – dengan trisula Mahkamah Agung – Mahkamah Konstitusi – Komisi Yudisial sewajibnya lebih berwibawa, namun dihancurkan oleh praktik haram mafia peradilan. Maka di samping dorongan untuk menegaskan sistem bernegara, yang jauh lebih penting adalah membenahi perilaku politik elite yang korup. (Denny Indrayana : 2008)
Dengan adanya perubahan yang signifikan ini tentunya membawa konsekuensi pada perubahan sistem ketatanegaraan RI.  Perubahan mana menuntut sosialiasi dan konsolidasi yang lebih luas antara sesama aparat Negara, pemerintah, maupun masyarakat.
Reformasi lembaga Negara melalui reformasi konstitusi ini memang belum bisa dikatakan final dan terakhir.  Sangat mungkin akan terjadi perubahan dan penyempurnaan lagi di waktu-waktu yang akan datang. Kendati demikian, diharapkan beberapa hal yang asasi. seperti Pembukaan UUD 1945, tidak turut berubah. Juga diharapkan proses konsolidasi antara lembaga-lembaga Negara pasca amandemen konstitusi tersebut berlangsung mulus. Sehingga tujuan-tujuan Negara dan bangsa Indonesia tetap dapat tercapai. 
Meski sudah lebih baik dibandingkan dengan konstitusi sebelum diubah, UUD 1945 sebaiknya terus dilakukan upaya perbaikan. Perbaikan di tingkat perlindungan HAM dilakukan dengan membatasi harga mati ketentuan retroaktif yang seakan diatur menurut Pasal 281. Selanjutnya untuk menjamin aturan konstitusi hanya menjadi pepesan kosong, maka perlu ada jaminan agar perlindungan HAM itu dapat dituntut untuk dilaksanakan. Salah satunya dengan memberikan kewenangan constitutional complaint kepada Mahkamah Konstitusi.  
Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa secara umum, aturan konstitusi pascaamandemen lebih menguatkan konsep negara hukum Indonesia, atau dengan kata lain bahwa hasil amandemen UUD 1945 lebih memberikan dasar konstitusional bagi lahir dan tumbuhnya negara hukum Indonesia. Meski demikian, tentu jaminan konstitusional yang lebih baik itu saja tidaklah cukup. Banyak tantangan dan hambatan untuk menerapkan jaminan konstitusional tersebut ke dalam tindak nyata kehidupan bernegara. Dalam konteks itulah salah satu hambatan utama terwujudnya negara hukum Indonesia yang sebenarnya adalah : praktik korupsi yang masih menggila, terutama korupsi di dunia peradilan itu sendiri.  
Yang paling berbahaya adalah korupsi di sektor publik, atau yang dilakukan pejabat negara, baik eksekuti, legislatif dan yudikatif. Hal tersebut bukan berarti bahwa korupsi oleh kelompok pengusaha menjadi tidak berbahaya. Tetapi, dalam praktiknya, korupsi publik mempunyai daya rusak yang lebih tinggi karena pelakunya mempunyai kekuasaan resmi di pemerintahan, parlemen dan pengadilan. Salah satu contoh : Sebagaimana yang kita ketahui kasus yang sedang populer sekarang tentang kasus suap yang melibatkan ketua MK Akil Mochtar, maka lengkap sudah perbuatan tercela oknum hakim. Dari oknum hakim level terbawah hingga oknum hakim agung dan ketua MK terjaring operasi penegakan hukum. Sudah sepatutnya untuk mencemaskan perubahan ekstrem persepsi publik mengenai masa depan penegakan hukum di negara ini.
 
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KORUPSI  
Korupsi merupakan permasalahan universal yang dihadapi oleh seluruh negara dan masalah yang pelik yang sulit untuk diberantas, hal ini tidak lain karena masalah korupsi bukan hanya berkaitan dengan permasalahan ekonomi semata melainkan juga terkait dengan permasalahan politik, kekuasaan, dan penegakan hukum. Dilihat dari sudut pandang sejarah, korupsi telah dilakukan sejak dulu hingga kini. Korupsi dilakukan oleh seluruh tingkat usia (kecuali anak-anak). Bila dilihat dari sudut manajemen maka korupsi terjadi mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga tahap pengawasan kegiatan. Korupsi bila bersinggungan dengan penegakan hukum maka akan sulit untuk diberantas karena secara otomatis akan bersinggungan dengan orang-orang yang memiliki kekuasaan dan uang. Pada dasarnya pelaku korupsi merupakan orang-orang yang berpendidikan dan yang memiliki jabatan. Dengan demikian dengan mudah pelaku korupsi dapat mengerahkan massa, membentuk opini, dan menyuap penegak hukum melalui kekuasaan dan uang.
Upaya pemberantasan korupsi tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Di Indonesia upaya untuk memberantas korupsi  bukanlah merupakan suatu program yang baru dimulai oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan kebijakan pemberantasan korupsinya. Upaya pemberantasan korupsi telah mulai dilakukan oleh pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.  Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya peraturan yang dikeluarkan sehubungan dengan permasalahan korupsi. Selain pembentukan peraturan perundang-undangan, pembentukan lembaga pengawasan baik yang bersifat internal maupun eksternal telah banyak dibentuk dan dibubarkan.
1.      Definisi  Korupsi
Pasal 1 butir 3 Undang-undang No.28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme menyatakan sebagai berikut:
Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi.

Dewasa ini peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi adalah Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peraturan tersebut tidak mendefinisikan korupsi secara eksplisit.  Undang-undang No. 20 tahun 2001 hanya mengubah sebagian dari ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang No.31 tahun 1999. Definisi korupsi dapat ditafsirkan melalui ketentuan yang termuat dalam Pasal 2 peraturan yang lama, yang menyatakan bahwa : “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana, ….
Berdasarkan ketentuan tersebut maka suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai korupsi apabila memenuhi keseluruhan elemen-elemen sebagai berikut:
a.       Perbuatan yang dilakukan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang dilakukan secara melawan hukum;
b.      Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian terhadap keuangan negara atau perekonomian negara;
c.       Maka terhadap perbuatan tersebut dikenakan pidana

Menurut Wordnet Princeton Education korupsi adalah lack of integrity or honesty (especially susceptibility to bribery); use of a position of trust for dishonest gain).  Colin Nye (1967:416) mendefinisikan korupsi sebagai berikut:
 corruption is “behaviour that deviates from the formal duties of a public role (elective or appointive) because of private-regarding (personal, close family, private clique) wealth or status gains“.

Definisi terbaru dengan elemen-elemen yang sama diberikan oleh Mushtaq Khan(1996:12):
corruption is “behaviour that deviates from the formal rules of conduct governing the actions of someone in a position of public authority because of private-regarding motives such as wealth, power, or status”.

Ketiga definisi tersebut semuanya mengacu pada konsepsi yang sama, yaitu bahwa korupsi merupakan perbuatan memperkaya diri atau orang-orang yang memiliki kedekatan, yang dilakukan dengan mempergunakan kewenangan ataupun kekuasaan yang ada padanya karena jabatan yang dimiliki olehnya dan perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

2.      Bentuk-bentuk Korupsi
Pengaturan mengenai kategorisasi perbuatan korupsi sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001 ini bersifat lebih rinci dibandingkan pengaturan yang ada dalam undang-undang sebelumnya. Berdasarkan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 tahun 1999 maka tindak pidana korupsi dikategorisasikan menjadi dua, yaitu tindak pidana korupsi  dan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Kategorisasi pertama tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 s/d 12 Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo Pasal 13 s/d 16 UU No. 31 tahun 1999. Kategorisasi kedua dapat dilihat dalam 21 s/d 24 Undang-undang No. 31 tahun 1999.
Kategorisasi pertama ini lebih mengacu terhadap pelaku tindak pidana korupsi, baik pelaku utama maupun pelaku yang sekedar memberikan bantuan sehingga memungkinkan terjadinya korupsi. Perincian dari kategorisasi tersebut adalah sebagai berikut:  
a.       Korupsi yang terjadi antara pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan pihak non penyelenggara negara berupa pemberian atau janji kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (vide Pasal 5 ayat (1));
b.      Korupsi yang terjadi di lingkungan peradilan yang dapat mempengaruhi putusan perkara, dengancara memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim (vide Pasal 6 ayat (1));
c.       Korupsi yang terjadi di lingkungan kegiatan pemborongan, pembangunan, dan pengadaan barang (vide Pasal 7 ayat (1)).
d.      Penggelapan uang atau surat berharga yang dilakukan oleh pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu (vide Pasal 8);
e.       Pemalsuan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau orang lain selain pegawai  negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secra terus menerus atau sementara waktu (vide Pasal 9);
f.       Gratifikasi (pemberian uang, barang, rabat/diskon, komisi, pinjaman tanpa bungan, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan lain sebagainya) yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara berkaitan dengan jabatan dan kewajibannya (vide Pasal 11 dan 12);
g.      Pemberian hadiah atau janji kepada pegawai negeri karena jabatan atau kedudukannya (Pasal 13);
h.      Pelanggaran terhadap  ketentuan undang-undang lain baik secara formal maupun materiil yang mengkategorikan perbuatan tersebut sebagai tindak pidana korupsi (Pasal 14);
i.        Perbuatan percobaan pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 15);
j.        Perbuatan, yang terjadi di dalam wilayah Republik Indonesia, memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi (Pasal 16). 
Kategorisasi kedua menitikberatkan pada perbuatan yang berkaitan dengan kategorisasi pertama, sebagai berikut:
a.       Perbuatan mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi (vide Pasal 21);
b.      Perbuatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar (vide Pasal 22);
c.       Pelanggaran terhadap ketentauan dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 442, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (vide Pasal 23).
Sebagai bahan pembanding terhadap kategorisasi menurut Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 tahun 1999, maka adalah sesuatu hal yang menarik bila melihat kepada kajian yang dilakukan oleh The Norwegian Agency for Development Cooperation. Pengkategorian tersebut ditujukan untuk mencegah timbulnya overlapping dan tertukarnya pengertian-pengertian tersebut satu sama lainnya. Selain itu pengkategorian korupsi ini juga memiliki tujuan untuk memudahkan pengidentifikasian terhadap karakter-karakter dasar korupsi. Kategorisasi tersebut adalah sebagai berikut :
a.       Penyuapan adalah pembayaran (baik dalam bentuk uang ataupun dalam bentuk lainnya) yang diberikan atau diterima dalam suatu hubungan yang korup. Untuk membayar atau menerima suap dapat digolongkan sebagai korupsi, dan harus dipahami sebagai inti dari korupsi. Penyuapan adalah suatu jumlah tertentu, suatu persentase dari nilai kontrak, atau bentuk-bentuk lain dari pemberian uang, yang biasanya dibayarkan kepada pejabat negara yang dapat membuat kontrak atas nama negara atau mendistribusikan keuntungan kepada negara, individu, pengusaha dan klien.

b.      Penggelapan merupakan bentuk pencurian yang dilakukan oleh pejabat publik terhadap publik, merupakan bentuk penyalahgunaan dana publik. Penggelapan terjadi bila pejabat negara mencuri dari institusi publik yang dipimpinnya. Bagaimanapun, pegawai yang tidak loyal dapat menggelapkan uang dan bentuk-bentuk lainnya dari tempat mereka bekerja.
Dari sudut hukum, penggelapan tidak termasuk dalam kategori korupsi. Menurut terminasi hukum korupsi merupakan transaksi antara dua individu, yaitu pemerintah di satu sisi dan publik di sisi lainnya, yaitu oknum pemerintah tersebut mempergunakan hukum dan peraturan untuk melindungi dirinya dari bentuk suap. Penggelapan lebih tepat dikategorikan sebagai bentuk pencurian karena perbuatan tersebut tidak melibatkan sisi publik secara langsung.  Berdasarkan hal tersebut harus ada political will yang bertindak sebagai suatu kekuasaan kehakiman yang bebas dan kemampuan hukum untuk mengawasi penggelapan. Penggelapan merupakan bentuk dari korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Dapat dikategorikan sebagai penggelapan adalah manakala pejabat publik melalui kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya memperluas bisnis pribadi dan mendistribusikannya kepada anggota-anggota keluarga mereka. Sejumlah bentuk perusahaan negara dan badan usaha negara lainnya dipegang oleh orang-orang yang dekat dan keluarga dari pihak yang berkuasa. 

c.       Penipuan merupakan kejahatan ekonomi yang melibatkan bentuk-bentuk tipuan. Hal ini merupakan perluasan bentuk dari penggelapan dan suap. Sebagai contoh dari bentuk penipuan adalah bila agen-agen negara dan perwakilan-perwakilan negara terikat dalam jaringan perdagangan ilegal.

d.      Pemerasan adalah meminta uang ataupun bentuk-bentuk lainnya yang mempergunakan kekerasan dan paksaan. Yang dapat dikategorikan sebagai bentuk pemerasan dalam hal ini adalah penarikan uang perlindungan atau uang keamanan yang biasa dilakukan oleh “preman-preman”. Praktek korupsi pada bentuk ini dapat juga berasal dari atas, jika negara  sendiri yang bertindak sebagai mafia.

e.       Kolusi merupakan mekanisme penyalahgunaan wewenang dalam hal privatisasi dan distribusi  yang bias dari sumber daya milik  negara.  Kolusi merupakan perbuatan yang melibatkan orang-orang yang memiliki kedekatan seperti misalnya keluarga, orang yang dipercayai ataupun kolega. Kolusi berkaitan dengan korupsi yang berdampak terhadap tidak meratanya distribusi sumber daya. Kolusi bukan hanya merupakan permasalahan hukum dan prosedur melainkan juga menyangkut mengenai permasalahan kualifikasi, skill dan inefisiensi.

f.       Nepotisme adalah bentuk khusus dari kolusi, pemegang kekuasaan lebih menyenangi dalam berhubungan dengan orang-orang tertentu seperti misalnya keluarga.

3.      Hubungan Antara Pemerintah, Korporasi, dan Publik dalam Terjadinya Korupsi
Penyebab terjadinya korupsi dapat dilihat dalam Pasal 3 Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo Undang-undang No.31 tahun 1999:
setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,...

Berdasarkan pasal tersebut maka korupsi dapat terjadi karena adanya penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat menimbulkan kerugian terhadap keuangan negara atau perekonomian negara.
Perbuatan korupsi terjadi bila seseorang menuntut atau menerima uang atau dalam bentuk lainnya guna kepentingan dirinya sendiri atau keluarga, teman dan kerabatnya.
Menurut M.M. Khan (2000) korupsi dapat terjadi bila sektor ekonomi dari suatu negara didominasi oleh kelompok kecil korporasi atau tidak dikembangkannya institusi judisial dari suatu negara atau dengan perkataan lain bergantung pada sistem politik dari negara yang bersangkutan.
Berdasarkan pendapat Khan tersebut maka dalam kasus korupsi ada keterkaitan yang erat antara dunia usaha, pemerintah, dan rakyat. Birokrat merupakan pelaku utama korupsi, namun demikian birokrat bukanlah satu-satunya pemain dalam panggung korupsi. Pengusaha turut memainkan perannya dalam menciptakan korupsi di lingkungan birokrat. Pengusaha memainkan peran ganda, yaitu sebagai pemain sekaligus korban dari adanya korupsi. Namun korban utama dari adanya korupsi adalah rakyat. Rakyat sebagai korban dari korupsi sebenarnya dapat memainkan andil dalam upaya pemberantasan korupsi.


4.      Pola Korupsi
Secara typology korupsi dapat dibedakan atas dua tipe (World Bank Policy Paper, 2000), yaitu penguasaan oleh negara (state capture) dan korupsi administrasi (administrative corruption). Penguasaan oleh negara (State capture) mengacu kepada tindakan yang dilakukan oleh individu-individu, kelompok-kelompok, atau bahkan perusahaan-perusahaan baik dalam sektor publik maupun privat untuk mempengaruhi formasi undang-undang, peraturan, keputusan dan kebijakan-kebijakan pemerintah lainnya untuk kepentingan mereka dengan mempergunakan keuntungan privat yang tidak transparan yang ditujukan kepada pejabat-pejabat publik.
Penguasaan oleh negara (State Capture) dapat dibedakan atas tiga bentuk, yaitu:
1)      Berdasarkan institusi yang dikuasai oleh negara, seperti misalnya legislatif, eksekutif, judikatif, atau  badan-badan pembentuk peraturan
2)      Berdasarkan objek yang dikuasai, termasuk dalam kategori ini adalah korporasi, pemimpin-pemimpin politik atau kelompok-kelompok kepentingan.
3)      berdasarkan jenis “pemberian “ kepada pejabat publik untuk “melakukan sesuatu”, misalnya penyuapan secara langsung, penggelapan, pengawasan informal.
Dengan demikian penguasaan oleh negara lebih ditujukan kepada keuntungan individu-individu atau kelompok yang ada dalam peraturan dasar, korupsi administrasi mengacu penyalahgunaan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk keuntungan tidak hanya negara tetapi juga di luar aktor-aktor negara, hal ini terjadi akibat tidak tranparannya pembagian perolehan pejabat publik.

5.      Budaya Korupsi
Persoalan utama dari budaya korupsi, adalah moralitas individu bangsa kita. Demikian maxim (ujar-ujar) yang sering kita dengarkan dimana-mana. Ungkapan tersebut terasa sangat keliru, meski terdapat kebenaran yang terkandung di dalamnya. Kita tidak boleh serta merta melihat segi moral sebagai aspek tunggal dari praktek korupsi di Indonesia. Moralitas seseorang sangat ditentukan oleh lingkungan dan pergaulan sosialnya. Tinggi rendahnya moralitas yang terbangun dalam diri seseorang, tergantung seberapa besar dia menyerap nilai (pervade value) yang diproduksi oleh lingkungannya. Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, moralitas masyarakat direduksi oleh kepentingan politik dominan ketika itu. Negara melalui pemerintah telah secara sengaja membangun stigma dan prilaku yang menyimpang (abuse of power), dengan melegalkan praktek korupsi dikalangan pejabat-pejabat pemerintahan.
Hal tersebut dikarenakan oleh bentuk serta pola praktek kekuasaan yang cenderung menindas sehingga secara terang-terangan telah melegalkan praktek korupsi, meski di depan mata masyarakat kita sendiri. Zaman itu, mungkin saja semua orang tahu (bahkan tak jarang yang pura-pura tak tahu), bahwa telah terjadi penyimpangan dan penyelewengan penggunaan uang rakyat dalam bentuk korupsi yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru dan kroni-kroninya.
Akan tetapi, budaya politik bisu (culture silent) yang dihegemonisasi oleh pemerintah, membuat masyarakat terkesan diam dan acuh akibat ketakutan-ketakutan mereka yang oleh pemerintah sengaja diproduksi secara sistematis ketika itu. Bersuara berarti berhadapan dengan kekuasaan, yang tentu akan berujung tekanan dan represi bagi yang berani menyuaraknnya.
Jika dikatakan telah membudaya dalam kehidupan, lantas darimana awal praktek korupsi ini muncul dan berkembang? Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalu 3 (tiga) fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern seperti sekarang ini. Mari kita coba bedah satu-persatu pada setiap fase tersebut.
Pertama,       Fase Zaman Kerajaan. Budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya, dilatar belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatur sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno (Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten dll), mengajarkan kepada kita bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif untuk memperkaya diri (sebagian kecil karena wanita), telah menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut.
Kedua,           Fase Zaman Penjajahan. Pada zaman penjajahan, praktek korupsi telah mulai masuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah kolonial (terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal demang (lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu.
Ketiga,           Fase Zaman Modern. Fase perkembangan praktek korupsi di zaman modern seperti sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Akan tetapi budaya yang ditinggalkan oleh penjajah kolonial, tidak serta merta lenyap begitu saja. salah satu warisan yang tertinggal adalah budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebut tercermin dari prilaku pejabat-pejabat pemerintahan yang bahkan telah dimulai di era Orde lama Soekarno, yang akhirnya semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga saat ini. Sekali lagi, pola kepemimpinan yang cenderung otoriter dan anti-kritik, membuat jalan bagi terjadi praktek korupsi dimana-mana semakin terbuka. Walhasil, Indonesia sendiri berhasil menjadi salah satu Negara terkorup di dunia, bahkan hingga saat ini.

Kekerasan Struktural
Secara hakiki, korupsi merupakan bentuk kekerasan struktural yang dilakukan oleh Negara dan pejabat pemerintahan terhadap masyarakat. Betapa tidak, korupsi yang kian subur akan semakin membuat beban devisit anggaran Negara semakin bertambah. Hal ini kemudian akan mengakibatkan sistem ekonomi menjadi “colaps” dan berujung kepada semakin tingginya inflasi yang membuat harga-harga kebutuhan masyarakt kian melambung tinggi. Eknomi biaya tinggi ini berakibat terjadinya ketidakseimbangan antara daya beli masyarakat dengan tingkat harga komoditas terutama komoditas bahan pokok.
Masyarakat cenderung dipaksa untuk menerima keadaan ini, meski ambruknya sistem ekonomi kita ini, adalah akibat dari ulah para pejabat yang merampok uang Negara demi kepentingan pribadi, kelompok dan golongan masing-masing. Intinya, masyarakat dipaksa untuk menanggung beban yang tidak dilakukannya. Kita tentu masih ingat dengan “krisis moneter” yang terjadi antara tahun 1997/1998 lalu. Penyebab utama dari terjadinya krisis yang melanda Indonesia ketika itu adalah beban keuangan Negara yang semakin menipis akibat ulah pemerintahan Orde Baru Soeharto yang sangat korup.
Korupsi dikatakan sebaga bentuk kekerasan struktural, sebab korupsi yang dilakukan oleh para pejabat merupakan bentuk penyelewengan terhadap kekuasaan Negara, dimana korupsi lahir dari penggunaan otoritas kekuasaan untuk menindas, merampok dan menghisap uang rakyat demi kepentingan pribadi. Akibatnya, fungsi Negara untuk melayani kepentingan rakyatnya, berubah menjadi mesin penghisap bagi rakyatnya sendiri. Relasi politik yang terbangun antara masyarakat dan Negara melalui pemerintah sungguh tidak seimbang. Hal ini berakibat kepada munculnya aristokrasi baru dalam bangunan pemerintahan kita.
Negara dituding telah dengan sengaja menciptakan ketimpangan sosial dalam kehidupan masyarakat. Kemiskinan yang semakin meluas, antrian panjang barisan pengangguran, tidak memadainya gaji dan upah buruh, anggaran sosial yang semakin kecil akibat pencabutan subsidi (Pendidikan, kesehatan, listril, BBM, telepon dll), adalah deretan panjang persoalan yang menghimpit masyarakat sehingga membuat beban hidup masyarakat semakin sulit. Bukankah ini akibat dari praktek kongkalikong (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah kita yang korup?.
Salah satu fakta penitng yang mencengangkan adalah, pemerintah bahkan dengan lapang dada telah suka rela melunasi hutang-hutang Negara yang telah dikorup oleh pejabat-pejabat pemerintahan Orde Baru dulu. Di dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Negara mengalokasi anggaran kurang lebih 40 (empat puluh) persen untuk mebayar utang-utang luar negeri melalui IMF, Bank Dunia, Paris Club, CGI, serta lembaga donor lainnya. Belum lagi dana penggunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang harus ditanggung oleh Negara. Alokasi pemabayaran utang-utang Negara akibat korupsi ini, akan menuai konsekuensi, yakni ; membebankan pembayaran utang tersebut kepada rakyat indoensia yang sama sekali tidak pernah menikmati utang-utang tersebut. Membebankan dengan memilih mencabut anggaran dan subsidi sosial bagi masyarakat. Membebankan dengan semakin terpuruknya nasib dan kehidupan masyarakat. Sungguh tidak adil, “Koruptor yang menikmati, rakyat yang dikorbankan”. Maka sangatlah wajar jika dikatakan bahwa praktek korupsi merupakan sebuah bentuk tindakan kekerasan secara sistemik, yang telah sengaja dibangun dan diciptakan oleh struktur kekuasaan negara terhadap masyarakat sendiri.

 
KORUPSI OLEH PENEGAK HUKUM

Penegakan hukum merupakan suatu konsep yang berdimensi banyak (multiple dimension). Meminjam terminologi Friedmann, maka secara integral harus mampu menggerakan unsur substansial, unsur structural, dan unsur cultural.
Konsep korupsi pun tak kalah banyak dimensinya. Korupsi sebagai suatu aktivitas perilaku menyimpang cenderung akan berhimpitan dengan aktivitas kerjasama (kolusi) dan kedekatan-kedekatan tertentu (nepotisme). Oleh karena itu, untuk beberapa kesempatan tepatlah penggunaan istilah KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) untuk menggambarkan adanya aktivitas penyimpangan-penyimpangan, baik untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain.
Adanya hukum positif dalam bentuk berbagai produk perundang-undangan, baik adanya guna penegakan hukum tindak pidana korupsi. Seiring dengan perkembangan zaman dan dinamika masayarakat, tercatat telah lahir produk perundang-undangan berkaitan dengan penanggulangan korupsi.
Keberadaan berbagai pergantian pengaturan pemberantasan korupsi tersebut, menunjukkan secara jelas bahwa, persoalan penegakan hukum dalam kasus korupsi bukanlah persoalan yang sederhana. Kriminalisasi dan dekriminalisasi atau penalisasi dan depenalisasi korupsi seiring dan berpijak pada berbagai pergantian perundang-undangan tersebut, telah menunjukkan pula dugaan kuat adanya kolusi dan nepotisme dalam proses penemuan atau penciptaan hukum di Indonesia.
Artinya, dan terutama berkaitan dengan penemuan hukum secara konflik melalui lembaga pengadilan, bahwa kasus korupsi berpotensi dapat menyeret para penegak hukum yang seharusnya menegakan hukum menjadi tergerus integritasnya menjadi bagian dari persoalan berkepanjangan dari korupsi itu sendiri. Dibekuknya sejumlah penegak hukum dalam posisi sebagai polisi, jaksa, maupun hakim akhir-akhir ini dalam kasus beraroma korupsi, merupakan fenomena diperlukannya pemikiran dalam menegakan hukum pada kasus korupsi.
Terdapat begitu banyak argumen mengapa penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim malahan terjerumus dalam kasus yang seharusnya diberantasnya. Alasan muncul secara akumulutif atau simultan dan pada dasarnya berakar pada moral hazard, dalam bentuk sekularisme, hedonism, materialism, dan konsumerisme. Dengan tetap berpijak pada sikap optimis untuk dapat berbuat baik ke depan, maka yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana seyogyanya penegakan hukum kasus korupsi diselenggarakan? Atau dalam pertanyaan lain, apakah dapat terselenggara penegakan hukum kasus koupsi dan apa yang sebaiknya harus diperbuat.
Friedman mengatakan bahwa penegakan hukum selalu membutuhkan keseimbangan dan kemantapan atas tiga pilar utama. Ketiga pilar tersebut adalah unsur substansial yang menitikberatkan pada validitas dan integritas perundang-undangan, unsur struktural yang menitik-beratkan pada validitas dan integritas petugas penegak hukum, dan unsur kultural yang menitik-beratkan pada validitas dan integritas pola pikir masyarakat pendukung supremasi hukum.
Terjadinya kepincangan di antara ketiga unsur penegakan hukum tersebut, pada dasarnya dapat dikatakan bahwa sejak awal telah muncul embrio tidak sehat proses penegakan hukum secara umum. Terlebih bila dikaitkan dengan kasus korupsi sebagai konsep berdimensi banyak, tentunya sudah dapat diduga adanya ketidak-seimbangan integritas ketiga unsur penegakan hukum tersebut, akan berakibat semakin suburnya unsur kolusi dan nepotisme di dalam aktivitas korupsi.
Tuntutan terhadap pentingnya validitas dan integritas perundang-undangan, mengandung makna bahwa penciptaan hukum positif harus selalu diarahkan pada keseimbangan tujuan hukum itu sendiri. Tujuan akhir hukum untuk mendapatkan keadilan di dalam masyarakat, maka derivasinya dalam bentuk kepastian, kemanfaatan, dan ketertiban harus benar-benar terselenggara secara transparan, akuntabel, dan responsible.
Keterbukaan atau transparansi sangat diperlukan karena akan melahirkan obyektivitas yang tinggi. Akuntabilitas diperlukan mengingat segala entitas yang berdampak pada kehidupan manusia memiliki parameter atau ukuran-ukuran tertentu. Sedangkan responsibilitas penting mengingat manusia sebagai mahluk bermartabat, sehingga segala sesuatunya harus dapat dipertanggung-jawabkan karena posisinya sebagai manusia.
Tuntutan terhadap validitas dan integritas struktural, mengandung makna bahwa petugas penegak hukum wajib memiliki sikap mental profesional. Makna profesional sebagai keseriusan dalam menjalankan tugas, harus terselenggara dengan bersandar dan kesadaran atas pentingnya menguasai keahlian, moralitas tinggi, apresiasi terhadap imbalan.
Oleh karena itu, ketidakjelasan atau kekacauan sikap petugas penegak hukum terhadap pentingnya penguasaan keilmuan sehingga disebut ahli, kepatuhannya terhadap moralitas yang tercermin pada perilaku sesuai dengan kode etik profesi, dan apresiasi terhadap imbalan yang tercermin pada proporsionalitas atas kualitas dan kuantitas pekerjaan, akan menjadikan petugas penegak hukum tidak berada pada struktur ideal yang diharapkan.
Tuntutan terhadap integritas dan validitas kultural, mengandung makna bahwa segenap komponen masyarakat mengambil bagian secara aktif dalam menumbuhkembangkan peran hukum sesuai dengan martabat manusia. Budaya yang secara umum bermakna sebagai produk manusia yang dipengaruhi oleh pikiran dan lingkungan dimana manusia tersebut hidup, pada dasarnya tetap di dalam koridor kemanusiaanya yang secara universal selalu memiliki raga, rasio, dan rasa.
Oleh karena itu pergerakan dari “perasaan hukum” menjadi “kesadaran hukum” dapat menjadi budaya atau kultur yang sehat, apabila masyarakat secara bersama-sama memiliki niat dan itikad untuk itu. Perasaan Hukum yang lebih bernuansa subyektif dan kesadaran hukum yang lebih bernuansa obyektif, sama-sama dibutuhkan dalam kehidupan manusia termasuk dan terutama dalam mengembangkan norma dan asas hukum.
Integritas dan validitas keseimbangan antara unsur substansi, struktural, dan kultural sebagaimana digagas oleh Friedmann dalam upaya penegakan hokum, menjadi sangat relevan dan urgen dalam kasus korupsi. Kasus korupsi sebagai entitas berdimensi banyak mustahil dapat ditanggulangi oleh hukum, apabila hukum itu sendiri tidak diterjemahkan ke dalam penegakan Hukum berdasarkan integritas dan validitas substansial, struktural, dan kultural.
Pemberantasan korupsi membutuhkan keutuhan antara norma yang sehat, penegak hukum yang sehat, dan pola pikir yang sehat.

KORUPSI KONSTITUSI DAN POLITIK PEMILUKADA

Perubahan yang sangat besar terhadap tata kehidupan berbangsa dan bernegara telah dibawa oleh amandemen UUD 1945, yaitu perubahan yang akan mengarah kepada cita-cita negara hukum yang demokratis sesuai dengan prinsip-prinsip negara demokrasi konstitusional yang dikawal oleh Mahkamah Konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam segala aspek terutama aspek hukum yang konstitusional kini mulai pupus akibat perilaku Akil Mochtar (Ketua MK nonaktif) yang terlibat dalam skandal suap Pilbup Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Pilbup Lebak, Banten.
Pertiwi menangis ketika ternyata Mahkamah Konstitusi harus dijebol oleh uang suap yang diperankan oleh Akil Mochtar. Kasus suap yang menimpa ketua MK Akil Mochtar tersebut membuat / membunuh semangat, ambisi, cita-cita dan harapan masyarakat negeri ini yang ingin melihat terwujudnya negara Indonesia yang demokratis dan berlandasan hukum.
Bukan baru kali ini oknum hakim terjaring aparat penegak hukum akibat ulah tak terpuji. Dengan kasus suap yang melibatkan ketua MK, lengkap sudah perbuatan tercela oknum hakim. Dari oknum hakim level terbawah hingga oknum hakim agung dan ketua MK terjaring operasi penegakan hukum. Sudah sepatutnya untuk mencemaskan perubahan ekstrem persepsi publik mengenai masa depan penegakan hukum di negara ini.
Tertangkapnya ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, menjadi berita menghebohkan sepanjang minggu ini. Berbagai kalangan bahkan menyebut ini sebagai kiamat kecil di Negara kita, khususnya bagi lembaga peradilan Indonesia, mengingat mahkamah konstitusi merupakan benteng terakhir penegakan hukum di Indonesia.
Kalau hakim konstitusi pun sudah goyah menghadapi uang suap, benteng keadilan mana lagi yang masih bisa diandalkan pencari keadilan di negara ini? Pesimisme seperti ini sebenarnya telah berkembang di ruang publik sejak sejumlah oknum dari institusi penegak hukum, termasuk oknum hakim, terjaring kasus suap atau korupsi. Tidak mudah untuk mengubah pesimisme itu menjadi optimisme sebab tidak ada yang tahu kapan negara ini bisa mereduksi perilaku korup para oknum birokrat, termasuk pejabat penegak hukum.
Kasus suap Akil Mochtar menjadi cikal bakal untuk dikembangkannya pada suap yang kemungkinan melibatkan hakim lainnya atau panitera karena kalau suap untuk memenangkan suatu kasus yang sedang ditangani tidak mungkin dilakukan sendiri oleh seorang Akil Mochtar karena lahirnya putusan MK tersebut melibatkan semua hakim MK. Akil Mochtar dalam hal ini sebagai tersangka harus berbesar hati mengakui perbuatannya dan berbicara secara jujur tentang kemungkinan mafia suap yang meliibatkan hakim MK lainnya agar MK benar-benar steril dari praktek mafia suap yang mungkin selama ini terjadi dalam menangani perkara-perkara yang ditangani oleh MK.
Seperti kita ketahui, Akil Mochtar tertangkap tangan bersama beberapa orang lainnya, antara lain politisi Partai Golkar Chairun Nisa, pengusaha Tubagus Chaery Wardana alias Wawan yang juga adik Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, pengacara Susi Tur Andayani serta pengusaha asal kalimantan tengah Cornelis Nalau.
Sungguh memprihatinkan. Padahal dalam konstitusi mensyaratkan bahwa “Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan…..”. Syarat inilah yang seharusnya menjadi landasan pijak prinsip dan budaya hukum hakim MK dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim di lembaga yang mulia dan terhormat ini.
Budaya hukum menuntut hakim MK bertanggung jawab atas pemahaman masyarakat secara utuh tentang negara hukum konstitusional tidak hanya lewat sosialisasi dan desiminasi tetapi juga keteladanan hakim MK dalam menjaga integritas dan kepribadian yang baik sebagai seorang negarawan yang patut diteladani oleh masyarakat dan penyelenggara negara lainnya tentang kehidupan berhukum dan bernegara yang pancasilais. Disini moral hakim menjadi penopang dalam menjaga integritas dan kepribadian yang negarawan.

Korupsi Konstitusi – Korupsi Birokratis

Seperti yang telah diuraikan terkemuka, bahwa hal yang paling berbahaya adalah korupsi di sektor publik atau yang dilakukan oleh pejabat negara baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Kasus yang menimpa Akil Mochtar, sudah tentu bukan hanya petaka bagi lembaga pengawal konstitusi (the quardian of constitution) tersebut. Tapi telah menjadi tamparan bagi seluruh Rakyat Indonesia. Betapa tidak, disanalah pertaruhan hak konstitusional warga Negara dipertaruhkan. Disana pulalah masa depan keluhuran konstitusi Negara kita ditentukan. Namun harapan itu kini menjadi “kosong”, dan seakan yang tersisa tinggal keputusasaan.
Bagi sebahagian orang, kasus korupsi selama ini adalah sesuatu yang biasa. Namun kasus korupsi dilembaga negara penegak konstitusi ini korupsi yang terjadi di sektor publik atau yang disebut juga korupsi birokratis yang diartikan sebagai korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang sedang memegang kekuasaan kelembagaan negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sehingga dapat dikatakan bahwa kasus korupsi yang terjadi di lembaga peradilan (konstitusi) ini adalah bencana besar (bigger dissaster). Korupsi tersebut bukan hanya perkara perampokan “uang” semata. Tetapi juga perampokan terhadap kewibawaan dan kepercayaan lembaga pengawal konstitusi tersebut, yang juga berarti merampok kemerdekan konstitusional warga Negara yang selama ini bergantung kepada lembaga tersebut.
Melihat definisi tersebut, maka pertanyaan yang timbul adalah : apakah KPK dapat memberantas korupsi jenis ini (birokratis)? Meskipun KPK memiliki kewenangan yang besar, namun KPK tidak mampu memberantas korupsi birokratis yang merasuk seluruh sendi pemerintahan negara.
Hal tersebut dapat dibenarkan juga karena pada dasarnya Undang-undang maupun keputusan dan lain-lain yang berkaitan dengan KPK intinya hanya mengatur pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi secara umum serta tidak dimaksudkan untuk mencegah dan memberantas kolusi dan nepotisme dan / atau tidak spesifik terhadap penyelenggara negara. Padahal kita tahu, korupsi birokratis diyakini 90% dilakukan penyelenggara negara sehingga bagaimana mungkin kita dapat memberantas korupsi tanpa memberantas kolusi dan nepotisme para penyelenggara negara itu.
Jadi, tanpa undang-undang pencegahan dan pemberantasan kolusi dan nepotisme, bagaimana mungkin korupsi sebagai kejahatan extraordinary dapat diberantas jika sumber korupsi birokratis itu adalah kolusi dan nepotisme para penyelenggara negara tidak dicegah dan diberantas lebih dulu.
Pasca ditangkapnya Akil Mochtar, banyak pihak terutama mereka yang pernah berperkara di Mahkamah Konsitusi menjadi kalap dan teriak kemana-mana. Mereka menuding keputusan-keputusan Mahkamah Konstitusi selama ini adalah salah dan dipenuhi praktek suap dan kecurangan. Bahkan mereka meminta agar keputusan sengketa pemilihan umum kepala daerah yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, ditinjau ulang.
Memang benar, kasus suap Akil Mochtar berangkat dari sengketa pemilukada Gunung Mas Kalteng dan Lebak Banten. Namun apakah sengketa pemilukada tersebut dan daerah-daerah lainnya, semata-mata hanya melihat proses perkara di Mahkamah Konstitusi? Bukankah upaya suap dari para calon yang berberkara, mengindikasikan bahwa ada yang salah dalam proses politik pemilukada kita? Justru permasalahan disektor hulu politik pemilukada yang menjadi pokok persoalan.
Proses pemilihan umum kepala daerah selama ini belangsung dengan dominasi pemilik modal dan rezim status quois. Maka tak salah jika praktek politik uang, sogok-menyogok, suap, patronase dan politik dinasti menjadi hal yang biasa kita saksikan dalam penyelenggaraan pemilu. Partisipasi politik yang dikebiri dan minimnya keterlibatan massa, telah membangun tradisi politik pemilukada yang tidak fair, korup dan penuh dengan kecurangan. Jadi, seribu kali-pun pemilukada diulang, tetap saja tidak akan melahirkan rezim yang bersih, amanah dan pro terhadap kepentingan rakyat.


MENYEMPURNAKAN KONSTITUSI – MEMBERANTAS KORUPSI
Mencermati masalah nyata korupsi tersebut sebagaimana yang terjadi di tubuh lembaga konstitusi, jika penerapan hasil amandemen dianggap bermasalah, persoalannya tidak melulu pada substansi amandemen itu sendiri. Karenanya, paralel dengan reformasi konstitusi lanjutan, yang tidak kalah penting adalah merombak pola pikir koruptif para penyelenggara negara. Reformasi konstitusi adalah upaya menguatkan rule of law, sedangkan perombakan pola pikir diperlukan untuk mendorong rule of ethics yang lebih anti korupsi. Untuk mendorong perbaikan integritas pejabat negara tersebut, reformasi konstitusi harus ditindaklanjuti dengan reformasi birokrasi dan reformasi peradilan.
Khusus untuk reformasi dunia peradilan, gerakan hukum progresif harus diberi tempat yang lebih besar untuk mencegah peradilan yang berwibawa terus dibajak oleh praktik haram mafia peradilan. Mafia peradilan merambah semua lini sistem hukum di Indonesia, dari hulu hingga ke hilir. Dari proses penyelidikan hingga proses Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Proses peradilan yang singkat, cepat berbiaya murah relatif hanya menjadi mimpi.
Selanjutnya, agenda penyempurnaan reformasi konstitusi tentu perlu didorong karena hasil amandemen UUD 1945 tidaklah sempurna. Secara legal drafting masih ada aturan yang tumpang tindih dan repetisi, misalnya pada masalah perlindungan HAM. Lebih substantif, masih diperlukan perubahan lanjutan untuk menegaskan terwujudnya demokrasi konstitusional di Indonesia.
Susilo Bambang Yodhoyono mungkin benar ketika mengatakan dalam pidato kenegaraannya ketika itu bahwa budaya takut korupsi sudah mulai lahir. Patut diakui bahwa di bawah kepemimpinan SBY, izin pemeriksaan kepala daerah dan anggota parlemen yang diduga terlibat kasus korupsi lebih banyak dikeluarkan. Sejalan dengan itu KPK, Timtastipikor, Kejaksaan dan Kepolisian mengungkap beberapa kasus korupsi. Kerja keras beberapa aparat penegak hukum itu sudah sewajarnya menimbulkan keraguan untuk korupsi. Tapi sayangnya,  keraguan itu belum menghinggapi elite penguasa dan pengusaha.
Akhirnya, untuk memulai penyempurnaan reformasi konstitusi, yang perlu dilakukan di tahap awal adalah menyiapkan mekanisme amandemen yang lebih baik. Hal tersebut diperlukan paling tidak karena dua hal : pertama, mekanisme amandemen lebih demokratis dan partisipatif wajib untuk lahirnya konstitusi rakyat; kedua, mekanisme yang lebih baik diperlukan untuk menghasilkan amandemen yang lebih berkualitas. Mekanisme perubahan tersebut dirancang untuk menegaskan konstitusi adalah the supreme law of the land, sehingga cara perubahannya harus lebih terhormat. Rigitas amandemen konstitusi menjadi penting untuk menjamin agenda perubahan hukum dasar tersebut tidak menjadi ajang coba-coba kepentingan politik yang justru dapat membahayakan keberlangsungan Indonesia sebagai bangsa.
Untuk itu mekanisme amandemen perlu diadopsi beberapa konsep pintu perubahan. Pertama, ide perubahan harus diusulkan oleh sepertiga anggota MPR, yang rumusannya dibuat khusus oleh Komisi Konstitusi, terdiri dari para ahli ketatanegaraan. Kedua, usulan perubahan itu sebelum disetujui oleh MPR (dengan syarat kourum tertentu) terlebih dahulu dilakukan pengujian konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi.
Informasi yang dihimpun dari jakarta.dpd.go.id  menjelaskan bahwa upaya pengusulan perubahan kelima UUD 1945 oleh DPD RI telah sampai pada ranah nasional. Hal ini terbukti dengan diselenggarakannya Sarasehan Nasional bertema “Urgensi Perubahan Kelima UUD 1945: Konsolidasi Demokrasi dan Jati Diri Bangsa” di Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen Jakarta, Selasa (28/6/11).  Selain anggota DPD RI dan rektor seluruh Indonesia, acara tersebut juga dihadiri oleh Kepala Sekolah/Guru SMA/SMK dan BEM Universitas di wilayah Jakarta.
Dalam acara yang diselenggarakan oleh Kelompok DPD RI di MPR tersebut, bertindak sebagai pembuka sarasehan adalah Wakil Ketua MPR RI. Bambang Soeroso  selaku ketua Kelompok DPD di MPR menyampaikan harapannya di masa depan akan lahir MPR yang bisa membuat UUD yang lebih sempurna dan mantap, sebab UUD merupakan dasar dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Oleh karena itu, perubahan kelima UUD 1945 harus dilaksanakan.
Akhirnya yang tidak kalah penting adalah, khusus untuk dasar negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan dan sistem pemerintahan kata akhir perubahan konstitusi harus dikembalikan kepada rakyat melalui mekanisme referendum nasional.
Dengan demikian, ke depan formal amandemen akan semakin sulit terjadi dalam sejarah konstitusionalisme Indonesia. Dan tentu saja, perbaikan dokumen konstitusi tidak akan ada artinya tanpa didukung integritas – moralitas yang mendukung hadirnya pemerintahan yang zero tolerance to corruption.
Selain masalah kelembagaan yang mengatur mengenai pemberantasan korupsi, masalah pengaturan korupsi dalam peraturan perundang-undangan pun perlu mendapatkan perhatian yang besar. Selama ini pendefinisian mengenai korupsi tidak pernah dinyatakan secara eksplisit. Maksud dari tidak diaturnya secara tegas mengenai definisi korupsi adalah untuk dapat memberikan sifat kelenturan terhadap pemahaman korupsi sehingga setiap perbuatan yang menimbulkan kerugian terhadap keuangan negara dapat digolongkan kedalam korupsi. Namun demikian sifat kelenturan tersebut justru menimbulkan kebimbangan di kalangan masyarakat mengenai korupsi. Pengkategorisasian terhadap korupsi sebagaimana yang dilakukan oleh Norad setidaknya memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai tindakan-tindakan yang dapat digolongkan kedalam kategori korupsi. 
Korupsi yang terjadi dewasa ini telah terakumulasi sedemikian rupa  hingga menimmbulkan suatu pandangan bahwa korupsi adalah suatu budaya. Orang yang berkorupsi tidak perlu merasa malu ataupun takut akan sanksi dari peraturan-peraturan yang telah ada. Membudayanya korupsi dalam kehidupan bernegara tidak memungkinkan pemberantasan terhadap hal tersebut dilakukan sekali waktu selesai. Korupsi dapat dikikis secara berangsur-angsur sehingga akhirnya korupsi tersebut dapat diberantas atau sekurang-kurangnya dapat ditekan sampai tingkat serendah mungkin.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa tingkat praktek korupsi dikalangan pejabat-pejabat Negara, menjadikan masyarakat menarik dukungannya terhadap pemerintah. Kepercayaan serta harapan masyarakat (expectation) terhadap pemerintah bisa dikatakan semakin menurun, bahkan senderung apatis terhadap pemerintah beserta aparatur-aparatur hukumnya (polisi, jaksa, hakim, dan lain sebagainya). Selama ini, pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah terkesan berjalan dengan lamban. Berbelit-belit dan sangat birokratisnya upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan, menjadi salah satu faktor mendasar penyelesaiaan sebuah kasus.
Semisal, pemeriksaan seorang pejabat legislatif (anggota DPRD) yang harus menunggu izin dan keputusan dari Menteri Dalam Negeri, atau pejabat pemerintahan daerah yang harus menunggu persetujuan presiden, dll, menjadi salah satu kendala utama yang harus mampu pemerintah carikan solusi yang tepat. Pemerintah dalam hal ini dituntut untuk membuat kebijakan (policy) yang bertujuan untuk mempelancar proses pemberantasan korupsi sehingga dapat berjalan cepat, efisien dan efektif tanpa harus dihalangi oleh aturan-aturan yang telampau birokratis.
Sejak periode pertama kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono, program pemberantasan korupsi konon menjadi prioritas utama dalam program kerja pemerintahannya. Upaya ini harus kita apresiasi, akan tetapi belum dapat dikatakan membanggakan.  Sebab meskipun di era Pemerintahan SBY telah berhasil mengungkap kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat-pejabat Negara (semisal kasus KPU, kasus Bulog, kasus Abdullah Puteh di Aceh, kasus Syaukani HR, kasus Al Amien Nur, dan sekarang adalah Akil Mochtar, kasus-kasus yang melibatkan pejabat pemerintah di beberapa daerah), namun upaya pemberantasan korupsi ini belum mampu menyentuh para koruptor-koruptor kakap yang hingga saat ini masih bebas berkeliaran tanpa pernah sedikitpun tersentuh oleh hukum.
Jika pemerintah mampu memberikan bukti nyata dari komitmen pemberantasan korupsi, maka kpercayaan masyarakatpun akan kembali pulih, bahkan mungkin akan mengambil peran aktif dalam setiap masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh bangsa dan Negara. Namun sebaliknya, jika pemerintah lamban dan gagal dalam menunaikan kewajiban dan tanggung jawabnya untuk menuntaskan kasus-kasus korupsi yang ada, maka rakyat akan jauh semakin jauh meninggalkannya. Apa jadinya sebuah pemerintahan tanpa dukungan dari masyarakatnya?

 =============================:::>

DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, Baharuddin. Merumuskan Ulang Reformasi, Catatan Pelaksanaan UUD 1945 Sudut Pandang Anggota BPK
              www.mahkamahagung.go.id/images/uploaded/8.merumuskan_ulang.pdf) diakses pada 29 Nopember 2013.

Asshidiqie, Jimly.  Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta, Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

Chaerudin, SH.,MH, dkk, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi. PT. Refika Aditama. Bandung, 2008.

Komisi Hukum Nasional, Gagasan Amandemen UUD 1945 Suatu Rekomendasi. 2008

Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada, Reformasi Hukum Ketatanegaraan. PT. Kompas Media Nusantara. Jakarta, 2008

Syamsuddin Amir, Integritas Penegak Hukum. PT. Kompas Media Nusantara. Jakarta, 2008

http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi. Diakses pada tanggal 23 Oktober 2013.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar