Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang
sedang berkembang memang mengalami gejolak yang tidak jarang menyebabkan
ambruknya negara yang baru berdiri tersebut. Hal ini mengisyaratkan tentang
betapa tidak mudahnya sebuah negara yang baru dibangun dan dipertahankan.
Pencarian Ketatanegaraan dilakukan. Proses pencarian
utama terkait dengan norma dasar bernegara adalah : KONSTITUSI. Pencarian
konstitusi yang demokratis adalah proses tanpa henti, dan memang tidak boleh
berhenti. Konstitusi adalah dokumen yang sunatullah-nya
terus hidup. Meskipun demikian kehidupan dan tumbuh kembangnya konstitusi saja
tidaklah cukup, aturan dasar bernegara tersebut juga harus efektif. Perubahan
Undang-undang Dasar 1945 dilakukan. Perubahan UUD 1945 tersebut adalah salah satu
upaya menjadikan konstitusi sejalan dengan semangat reformasi menuju demokrasi.
Ada capaian perbaikan di dalam hasil amandemen, namun tidak ada hasil kreasi
manusia yang sempurna. Yang paling problematik adalah proses perubahan yang
sangat elitis dan meninggalkan rakyat. Gagallah upaya menghadirkan konstitusi
rakyat.
Apabila dirunut jauh ke belakang, sejarah
ketatanegaraan Indonesia mengenal tiga konstitusi yang pernah diberlakukan :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945), Konstitusi
Republik Indonesia Serikat tahun 1949 (Konstitusi RIS 1949), dan Undang-Undang
Dasar Sementara Republik Indonesia tahun 1950 (UUDS 1950). Di antara
ketiganya, UUD 1945 merupakan yang terlama diberlakukan yaitu antara tahun 1945
– 1949 dan tahun 1959 hingga kini. Berbagai cara menerapkan UUD 1945 telah
dilakukan pada masa yang panjang tersebut, termasuk dengan mengubahnya dalam
praktik.
Namun, secara resmi, perubahan formal UUD 1945 baru
dihasilkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) selama tahun 1999 – 2002.
Naskah konstitusi Proklamasi RI telah banyak berubah dalam keempat
dokumen perubahan yang dihasilkan MPR tersebut. Perubahan itu menuai beragam
komentar dan sikap. Selain pendapat yang menuntut “kembali ke UUD 1945 yang
asli”, terdapat pula keinginan untuk mengamandemen kembali, menyempurnakan
hasil amandemen, atau istilah-istilah serupa.
Dari segi
kuantitatif saja sudah dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya UUD 1945 setelah
mengalami empat kali perubahan, sudah berubah sama sekali menjadi satu
konstitusi yang baru. Hanya nama saja yang dipertahankan sebagai UUD Negara
Republik Indonesia tahun 1945, sedangkan isinya sudah berubah secara
besar-besaran. Paradigma pemikiran atau pokok-pokok pikiran yang terkandung
dalam rumusan pasal-pasal UUD 1945 setelah mengalami empat kali perubahan itu
benar-benar berbeda dari pokok pikiran yang terkandung dalam naskah asli ketika
UUD 1945 pertama kali disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
Reformasi konstitusi selain merupakan sunatullah karena di dalam setiap
konstitusi wajib terkandung semangat pembaharuan yang abadi, adalah jawaban
pula untuk menghadirkan sistem bernegara yang lebih jelas. Tetapi bukan berarti
persoalan tata negara bangsa ini semuanya berada dalam tataran rule of law, sebab tidak sedikit pula
yang berada dalam rule of ethics.
Letak masalahnya bukan pada aturan, tetapi pada perilaku menyimpang elite
politik.
Konstitusi hasil perubahan sudah lebih baik, tetapi
praktik pelaksanaannya dibajak kepentingan politik jual-beli yang menggadaikan
kepentingan utama rakyat; Pilkada adalah proses pemilihan pemimpin yang
seharusnya lebih demokratis, tetapi dibajak praktik money politics; bangunan sistem kekuasaan kehakiman – dengan
trisula Mahkamah Agung – Mahkamah Konstitusi – Komisi Yudisial sewajibnya lebih
berwibawa, namun dihancurkan oleh praktik haram mafia peradilan. Maka di
samping dorongan untuk menegaskan sistem bernegara, yang jauh lebih penting
adalah membenahi perilaku politik elite yang korup. (Denny Indrayana : 2008)
Dengan adanya
perubahan yang signifikan ini tentunya membawa konsekuensi pada perubahan
sistem ketatanegaraan RI. Perubahan mana menuntut sosialiasi dan
konsolidasi yang lebih luas antara sesama aparat Negara, pemerintah, maupun
masyarakat.
Reformasi
lembaga Negara melalui reformasi konstitusi ini memang belum bisa dikatakan
final dan terakhir. Sangat mungkin akan terjadi perubahan dan
penyempurnaan lagi di waktu-waktu yang akan datang. Kendati demikian,
diharapkan beberapa hal yang asasi. seperti Pembukaan UUD 1945, tidak turut
berubah. Juga diharapkan proses konsolidasi antara lembaga-lembaga Negara pasca
amandemen konstitusi tersebut berlangsung mulus. Sehingga tujuan-tujuan Negara
dan bangsa Indonesia tetap dapat tercapai.
Meski sudah lebih baik dibandingkan dengan konstitusi sebelum diubah, UUD
1945 sebaiknya terus dilakukan upaya perbaikan. Perbaikan di tingkat
perlindungan HAM dilakukan dengan membatasi harga mati ketentuan retroaktif
yang seakan diatur menurut Pasal 281. Selanjutnya untuk menjamin aturan
konstitusi hanya menjadi pepesan kosong, maka perlu ada jaminan agar
perlindungan HAM itu dapat dituntut untuk dilaksanakan. Salah satunya dengan
memberikan kewenangan constitutional
complaint kepada Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa secara
umum, aturan konstitusi pascaamandemen lebih menguatkan konsep negara hukum
Indonesia, atau dengan kata lain bahwa hasil amandemen UUD 1945 lebih
memberikan dasar konstitusional bagi lahir dan tumbuhnya negara hukum Indonesia.
Meski demikian, tentu jaminan konstitusional yang lebih baik itu saja tidaklah
cukup. Banyak tantangan dan hambatan untuk menerapkan jaminan konstitusional
tersebut ke dalam tindak nyata kehidupan bernegara. Dalam konteks itulah salah
satu hambatan utama terwujudnya negara hukum Indonesia yang sebenarnya adalah :
praktik korupsi yang masih menggila, terutama korupsi di dunia peradilan itu
sendiri.
Yang paling berbahaya adalah korupsi di sektor publik, atau yang dilakukan
pejabat negara, baik eksekuti, legislatif dan yudikatif. Hal tersebut bukan
berarti bahwa korupsi oleh kelompok pengusaha menjadi tidak berbahaya. Tetapi,
dalam praktiknya, korupsi publik mempunyai daya rusak yang lebih tinggi karena
pelakunya mempunyai kekuasaan resmi di pemerintahan, parlemen dan pengadilan. Salah
satu contoh : Sebagaimana yang kita ketahui kasus yang sedang populer
sekarang tentang kasus suap yang melibatkan ketua MK Akil Mochtar, maka lengkap
sudah perbuatan tercela oknum hakim. Dari oknum hakim level terbawah hingga
oknum hakim agung dan ketua MK terjaring operasi penegakan hukum. Sudah
sepatutnya untuk mencemaskan perubahan ekstrem persepsi publik mengenai masa
depan penegakan hukum di negara ini.
TINJAUAN YURIDIS
TERHADAP KORUPSI
Korupsi
merupakan permasalahan universal yang dihadapi oleh seluruh negara dan masalah
yang pelik yang sulit untuk diberantas, hal ini tidak lain karena masalah
korupsi bukan hanya berkaitan dengan permasalahan ekonomi semata melainkan juga
terkait dengan permasalahan politik, kekuasaan, dan penegakan hukum. Dilihat
dari sudut pandang sejarah, korupsi telah dilakukan sejak dulu hingga kini.
Korupsi dilakukan oleh seluruh tingkat usia (kecuali anak-anak). Bila dilihat
dari sudut manajemen maka korupsi terjadi mulai dari tahap perencanaan,
pelaksanaan, hingga tahap pengawasan kegiatan. Korupsi bila bersinggungan
dengan penegakan hukum maka akan sulit untuk diberantas karena secara otomatis akan bersinggungan dengan orang-orang yang
memiliki kekuasaan dan uang. Pada dasarnya pelaku korupsi merupakan orang-orang
yang berpendidikan dan yang memiliki jabatan. Dengan demikian dengan mudah pelaku
korupsi dapat mengerahkan massa, membentuk opini, dan menyuap penegak hukum
melalui kekuasaan dan uang.
Upaya
pemberantasan korupsi tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Di Indonesia
upaya untuk memberantas korupsi bukanlah
merupakan suatu program yang baru dimulai oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dengan kebijakan pemberantasan korupsinya. Upaya pemberantasan
korupsi telah mulai dilakukan oleh pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya
peraturan yang dikeluarkan sehubungan dengan permasalahan korupsi. Selain
pembentukan peraturan perundang-undangan, pembentukan lembaga pengawasan baik
yang bersifat internal maupun eksternal telah banyak dibentuk dan dibubarkan.
1.
Definisi
Korupsi
Pasal 1 butir 3
Undang-undang No.28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme menyatakan sebagai berikut:
Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi.
Dewasa ini peraturan yang mengatur
mengenai tindak pidana korupsi adalah Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Peraturan tersebut tidak mendefinisikan korupsi secara
eksplisit. Undang-undang No. 20 tahun
2001 hanya mengubah sebagian dari ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang No.31
tahun 1999. Definisi korupsi dapat ditafsirkan melalui ketentuan yang termuat
dalam Pasal 2 peraturan yang lama, yang menyatakan bahwa : “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana, ….”
Berdasarkan ketentuan tersebut maka suatu
perbuatan dapat dikatakan sebagai korupsi apabila memenuhi keseluruhan
elemen-elemen sebagai berikut:
a.
Perbuatan yang dilakukan untuk
memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang dilakukan secara
melawan hukum;
b.
Perbuatan tersebut menimbulkan
kerugian terhadap keuangan negara atau perekonomian negara;
c.
Maka terhadap perbuatan
tersebut dikenakan pidana
Menurut Wordnet Princeton Education
korupsi adalah lack of integrity or honesty (especially susceptibility to
bribery); use of a position of trust for dishonest gain). Colin Nye (1967:416) mendefinisikan
korupsi sebagai berikut:
corruption is “behaviour that deviates from
the formal duties of a public role (elective or appointive) because of
private-regarding (personal, close family, private clique) wealth or status
gains“.
Definisi terbaru dengan elemen-elemen yang
sama diberikan oleh Mushtaq Khan(1996:12):
corruption is “behaviour
that deviates from the formal rules of conduct governing the actions of someone
in a position of public authority because of private-regarding motives such as
wealth, power, or status”.
Ketiga definisi tersebut semuanya mengacu
pada konsepsi yang sama, yaitu bahwa korupsi merupakan perbuatan memperkaya
diri atau orang-orang yang memiliki kedekatan, yang dilakukan dengan
mempergunakan kewenangan ataupun kekuasaan yang ada padanya karena jabatan yang
dimiliki olehnya dan perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
2.
Bentuk-bentuk Korupsi
Pengaturan
mengenai kategorisasi perbuatan korupsi sebagaimana yang diatur dalam
Undang-undang No. 20 tahun 2001 ini bersifat lebih rinci dibandingkan
pengaturan yang ada dalam undang-undang sebelumnya. Berdasarkan penafsiran
terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001
jo Undang-undang No. 31 tahun 1999 maka tindak pidana korupsi dikategorisasikan
menjadi dua, yaitu tindak pidana korupsi
dan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
Kategorisasi pertama tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 s/d 12 Undang-undang
No. 20 tahun 2001 jo Pasal 13 s/d 16 UU No. 31 tahun 1999. Kategorisasi kedua
dapat dilihat dalam 21 s/d 24 Undang-undang No. 31 tahun 1999.
Kategorisasi
pertama ini lebih mengacu terhadap pelaku tindak pidana korupsi, baik pelaku
utama maupun pelaku yang sekedar memberikan bantuan sehingga memungkinkan
terjadinya korupsi. Perincian dari kategorisasi tersebut adalah sebagai
berikut:
a.
Korupsi yang terjadi antara
pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan pihak non penyelenggara negara
berupa pemberian atau janji kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat
atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (vide Pasal 5 ayat
(1));
b.
Korupsi yang terjadi di
lingkungan peradilan yang dapat mempengaruhi putusan perkara, dengancara
memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim (vide Pasal 6 ayat (1));
c.
Korupsi yang terjadi di
lingkungan kegiatan pemborongan, pembangunan, dan pengadaan barang (vide Pasal
7 ayat (1)).
d.
Penggelapan uang atau surat
berharga yang dilakukan oleh pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara
waktu (vide Pasal 8);
e.
Pemalsuan yang dilakukan oleh
pegawai negeri atau orang lain selain pegawai
negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secra terus
menerus atau sementara waktu (vide Pasal 9);
f.
Gratifikasi (pemberian uang,
barang, rabat/diskon, komisi, pinjaman tanpa bungan, tiket perjalanan,
fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan lain
sebagainya) yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara
berkaitan dengan jabatan dan kewajibannya (vide Pasal 11 dan 12);
g.
Pemberian hadiah atau janji
kepada pegawai negeri karena jabatan atau kedudukannya (Pasal 13);
h.
Pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang lain baik secara
formal maupun materiil yang mengkategorikan perbuatan tersebut sebagai tindak
pidana korupsi (Pasal 14);
i.
Perbuatan percobaan pembantuan
atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 15);
j.
Perbuatan, yang terjadi di
dalam wilayah Republik Indonesia, memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau
keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi (Pasal 16).
Kategorisasi kedua menitikberatkan pada perbuatan yang berkaitan dengan
kategorisasi pertama, sebagai berikut:
a.
Perbuatan mencegah, merintangi,
atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi
(vide Pasal 21);
b.
Perbuatan tidak memberikan
keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar (vide Pasal 22);
c.
Pelanggaran terhadap ketentauan
dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 442, Pasal 429 atau Pasal 430
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (vide Pasal 23).
Sebagai bahan pembanding terhadap
kategorisasi menurut Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo Undang-undang No.
31 tahun 1999, maka adalah sesuatu hal yang menarik bila melihat kepada kajian
yang dilakukan oleh The Norwegian Agency for Development Cooperation.
Pengkategorian tersebut ditujukan untuk mencegah timbulnya overlapping
dan tertukarnya pengertian-pengertian tersebut satu sama lainnya. Selain itu
pengkategorian korupsi ini juga memiliki tujuan untuk memudahkan
pengidentifikasian terhadap karakter-karakter dasar korupsi. Kategorisasi
tersebut adalah sebagai berikut :
a.
Penyuapan adalah pembayaran (baik dalam bentuk uang ataupun dalam bentuk
lainnya) yang diberikan atau diterima dalam suatu hubungan yang korup. Untuk
membayar atau menerima suap dapat digolongkan sebagai korupsi, dan harus
dipahami sebagai inti dari korupsi. Penyuapan adalah suatu jumlah tertentu,
suatu persentase dari nilai kontrak, atau bentuk-bentuk lain dari pemberian
uang, yang biasanya dibayarkan kepada pejabat negara yang dapat membuat kontrak
atas nama negara atau mendistribusikan keuntungan kepada negara, individu,
pengusaha dan klien.
b.
Penggelapan merupakan bentuk pencurian yang dilakukan oleh pejabat publik
terhadap publik, merupakan bentuk penyalahgunaan dana publik. Penggelapan
terjadi bila pejabat negara mencuri dari institusi publik yang dipimpinnya.
Bagaimanapun, pegawai yang tidak loyal dapat menggelapkan uang dan
bentuk-bentuk lainnya dari tempat mereka bekerja.
Dari sudut hukum, penggelapan tidak termasuk
dalam kategori korupsi. Menurut terminasi hukum korupsi merupakan transaksi
antara dua individu, yaitu pemerintah di satu sisi dan publik di sisi lainnya,
yaitu oknum pemerintah tersebut mempergunakan hukum dan peraturan untuk
melindungi dirinya dari bentuk suap. Penggelapan lebih tepat dikategorikan
sebagai bentuk pencurian karena perbuatan tersebut tidak melibatkan sisi publik
secara langsung. Berdasarkan hal
tersebut harus ada political will yang bertindak sebagai suatu kekuasaan
kehakiman yang bebas dan kemampuan hukum untuk mengawasi penggelapan. Penggelapan
merupakan bentuk dari korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Dapat dikategorikan
sebagai penggelapan adalah manakala pejabat publik melalui kekuasaan dan
kewenangan yang dimilikinya memperluas bisnis pribadi dan mendistribusikannya
kepada anggota-anggota keluarga mereka. Sejumlah bentuk perusahaan negara dan
badan usaha negara lainnya dipegang oleh orang-orang yang dekat dan keluarga
dari pihak yang berkuasa.
c.
Penipuan merupakan kejahatan ekonomi yang melibatkan bentuk-bentuk tipuan.
Hal ini merupakan perluasan bentuk dari penggelapan dan suap. Sebagai contoh
dari bentuk penipuan adalah bila agen-agen negara dan perwakilan-perwakilan
negara terikat dalam jaringan perdagangan ilegal.
d.
Pemerasan adalah meminta uang ataupun bentuk-bentuk lainnya yang mempergunakan
kekerasan dan paksaan. Yang dapat dikategorikan sebagai bentuk pemerasan dalam
hal ini adalah penarikan uang perlindungan atau uang keamanan yang biasa
dilakukan oleh “preman-preman”. Praktek korupsi pada bentuk ini dapat juga
berasal dari atas, jika negara sendiri
yang bertindak sebagai mafia.
e. Kolusi merupakan mekanisme
penyalahgunaan wewenang dalam hal privatisasi dan distribusi yang bias dari sumber daya milik negara.
Kolusi merupakan perbuatan yang melibatkan orang-orang yang memiliki
kedekatan seperti misalnya keluarga, orang yang dipercayai ataupun kolega.
Kolusi berkaitan dengan korupsi yang berdampak terhadap tidak meratanya
distribusi sumber daya. Kolusi bukan hanya merupakan permasalahan hukum dan
prosedur melainkan juga menyangkut mengenai permasalahan kualifikasi, skill
dan inefisiensi.
f. Nepotisme adalah bentuk khusus dari
kolusi, pemegang kekuasaan lebih menyenangi dalam berhubungan dengan
orang-orang tertentu seperti misalnya keluarga.
3.
Hubungan Antara Pemerintah,
Korporasi, dan Publik dalam Terjadinya Korupsi
Penyebab terjadinya korupsi dapat dilihat dalam Pasal 3
Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo Undang-undang No.31 tahun 1999:
setiap
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara,...
Berdasarkan
pasal tersebut maka korupsi dapat terjadi karena adanya penyalahgunaan
wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
yang dapat menimbulkan kerugian terhadap keuangan negara atau perekonomian
negara.
Perbuatan korupsi terjadi bila seseorang menuntut atau menerima uang
atau dalam bentuk lainnya guna kepentingan dirinya sendiri atau keluarga, teman dan
kerabatnya.
Menurut M.M. Khan (2000) korupsi dapat terjadi bila sektor ekonomi
dari suatu negara didominasi oleh kelompok kecil korporasi atau tidak
dikembangkannya institusi judisial dari suatu negara atau dengan perkataan lain
bergantung pada sistem politik dari negara yang bersangkutan.
Berdasarkan pendapat Khan tersebut maka dalam kasus korupsi ada
keterkaitan yang erat antara dunia usaha, pemerintah, dan rakyat. Birokrat
merupakan pelaku utama korupsi, namun demikian birokrat bukanlah satu-satunya
pemain dalam panggung korupsi. Pengusaha turut memainkan perannya dalam menciptakan
korupsi di lingkungan birokrat. Pengusaha memainkan peran ganda, yaitu sebagai
pemain sekaligus korban dari adanya korupsi. Namun korban utama dari adanya
korupsi adalah rakyat. Rakyat sebagai korban dari korupsi sebenarnya dapat
memainkan andil dalam upaya pemberantasan korupsi.
4.
Pola Korupsi
Secara typology
korupsi dapat dibedakan atas dua tipe (World Bank Policy Paper, 2000),
yaitu penguasaan oleh negara (state capture) dan korupsi administrasi (administrative
corruption). Penguasaan oleh negara (State capture) mengacu kepada
tindakan yang dilakukan oleh individu-individu, kelompok-kelompok, atau bahkan
perusahaan-perusahaan baik dalam sektor publik maupun privat untuk mempengaruhi
formasi undang-undang, peraturan, keputusan dan kebijakan-kebijakan pemerintah
lainnya untuk kepentingan mereka dengan mempergunakan keuntungan privat yang
tidak transparan yang ditujukan kepada pejabat-pejabat publik.
Penguasaan
oleh negara (State Capture) dapat dibedakan atas tiga bentuk, yaitu:
1)
Berdasarkan institusi yang
dikuasai oleh negara, seperti misalnya legislatif, eksekutif, judikatif,
atau badan-badan pembentuk peraturan
2)
Berdasarkan objek yang
dikuasai, termasuk dalam kategori ini adalah korporasi, pemimpin-pemimpin
politik atau kelompok-kelompok kepentingan.
3)
berdasarkan jenis “pemberian “
kepada pejabat publik untuk “melakukan sesuatu”, misalnya penyuapan secara langsung,
penggelapan, pengawasan informal.
Dengan
demikian penguasaan oleh negara lebih ditujukan kepada keuntungan
individu-individu atau kelompok yang ada dalam peraturan dasar, korupsi
administrasi mengacu penyalahgunaan peraturan perundang-undangan yang berlaku
untuk keuntungan tidak hanya negara tetapi juga di luar aktor-aktor negara, hal
ini terjadi akibat tidak tranparannya pembagian perolehan pejabat publik.
5.
Budaya Korupsi
Persoalan utama dari budaya korupsi, adalah moralitas
individu bangsa kita. Demikian maxim (ujar-ujar) yang sering kita
dengarkan dimana-mana. Ungkapan tersebut terasa sangat keliru, meski terdapat
kebenaran yang terkandung di dalamnya. Kita tidak boleh serta merta melihat
segi moral sebagai aspek
tunggal dari praktek korupsi di Indonesia. Moralitas seseorang sangat ditentukan
oleh lingkungan dan pergaulan sosialnya. Tinggi rendahnya moralitas yang
terbangun dalam diri seseorang, tergantung seberapa besar dia menyerap nilai (pervade
value) yang diproduksi oleh lingkungannya. Selama 32 tahun Orde Baru
berkuasa, moralitas masyarakat direduksi oleh kepentingan politik dominan
ketika itu. Negara melalui pemerintah telah secara sengaja membangun stigma dan
prilaku yang menyimpang (abuse of power), dengan melegalkan praktek
korupsi dikalangan pejabat-pejabat pemerintahan.
Hal tersebut dikarenakan oleh bentuk serta pola praktek
kekuasaan yang cenderung menindas sehingga secara terang-terangan telah
melegalkan praktek korupsi, meski di depan mata masyarakat kita sendiri. Zaman
itu, mungkin saja semua orang tahu (bahkan tak jarang yang pura-pura tak
tahu), bahwa telah terjadi penyimpangan dan penyelewengan penggunaan uang
rakyat dalam bentuk korupsi yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru dan
kroni-kroninya.
Akan tetapi,
budaya politik bisu (culture silent) yang dihegemonisasi oleh pemerintah,
membuat masyarakat terkesan diam dan acuh akibat ketakutan-ketakutan mereka
yang oleh pemerintah sengaja diproduksi secara sistematis ketika itu. Bersuara berarti berhadapan dengan kekuasaan,
yang tentu akan berujung tekanan dan represi bagi yang berani menyuaraknnya.
Jika dikatakan telah membudaya dalam kehidupan, lantas
darimana awal praktek korupsi ini muncul dan berkembang? Secara garis besar,
budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalu 3 (tiga) fase
sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern seperti
sekarang ini. Mari kita coba bedah satu-persatu pada setiap fase tersebut.
Pertama, Fase Zaman Kerajaan. Budaya
korupsi di Indonesia pada prinsipnya, dilatar belakangi oleh adanya kepentingan
atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatur sejarah masyarakat Indonesia,
terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno (Mataram, Majapahit, Singosari, Demak,
Banten dll), mengajarkan kepada kita bahwa konflik kekuasan yang disertai
dengan motif untuk memperkaya diri (sebagian kecil karena wanita), telah
menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut.
Kedua, Fase Zaman Penjajahan.
Pada zaman penjajahan, praktek korupsi telah mulai masuk dan meluas ke dalam
sistem budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi telah dibangun oleh
para penjajah kolonial (terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi
ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut
politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu,
semisal demang (lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan
pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah
Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu.
Ketiga, Fase Zaman Modern. Fase
perkembangan praktek korupsi di zaman modern seperti sekarang ini sebenarnya
dimulai saat lepasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Akan tetapi
budaya yang ditinggalkan oleh penjajah kolonial, tidak serta merta lenyap
begitu saja. salah satu warisan yang tertinggal adalah budaya korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN). Hal tersebut tercermin dari prilaku pejabat-pejabat
pemerintahan yang bahkan telah dimulai di era Orde lama Soekarno, yang akhirnya
semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga
saat ini. Sekali lagi, pola kepemimpinan yang cenderung otoriter dan
anti-kritik, membuat jalan bagi terjadi praktek korupsi dimana-mana semakin
terbuka. Walhasil, Indonesia sendiri berhasil menjadi salah satu Negara
terkorup di dunia, bahkan hingga saat ini.
Kekerasan
Struktural
Secara hakiki, korupsi merupakan bentuk kekerasan
struktural yang dilakukan oleh Negara dan pejabat pemerintahan terhadap
masyarakat. Betapa tidak, korupsi yang kian subur akan semakin membuat beban
devisit anggaran Negara semakin bertambah. Hal ini kemudian akan mengakibatkan
sistem ekonomi menjadi “colaps” dan berujung kepada semakin tingginya
inflasi yang membuat harga-harga kebutuhan masyarakt kian melambung tinggi.
Eknomi biaya tinggi ini berakibat terjadinya ketidakseimbangan antara daya beli
masyarakat dengan tingkat harga komoditas terutama komoditas bahan pokok.
Masyarakat cenderung dipaksa untuk menerima keadaan ini,
meski ambruknya sistem ekonomi kita ini, adalah akibat dari ulah para pejabat
yang merampok uang Negara demi kepentingan pribadi, kelompok dan golongan
masing-masing. Intinya, masyarakat dipaksa untuk menanggung beban yang tidak
dilakukannya. Kita tentu masih ingat dengan “krisis moneter” yang
terjadi antara tahun 1997/1998 lalu. Penyebab utama dari terjadinya krisis yang
melanda Indonesia ketika itu adalah beban keuangan Negara yang semakin menipis
akibat ulah pemerintahan Orde Baru Soeharto yang sangat korup.
Korupsi
dikatakan sebaga bentuk kekerasan struktural, sebab korupsi yang dilakukan oleh
para pejabat merupakan bentuk penyelewengan terhadap kekuasaan Negara, dimana
korupsi lahir dari penggunaan otoritas kekuasaan untuk menindas, merampok dan
menghisap uang rakyat demi kepentingan pribadi. Akibatnya, fungsi Negara untuk
melayani kepentingan rakyatnya, berubah menjadi mesin penghisap bagi rakyatnya
sendiri. Relasi politik yang terbangun antara masyarakat dan Negara melalui
pemerintah sungguh tidak seimbang. Hal ini berakibat kepada munculnya
aristokrasi baru dalam bangunan pemerintahan kita.
Negara dituding telah dengan sengaja menciptakan
ketimpangan sosial dalam kehidupan masyarakat. Kemiskinan yang semakin meluas,
antrian panjang barisan pengangguran, tidak memadainya gaji dan upah buruh,
anggaran sosial yang semakin kecil akibat pencabutan subsidi (Pendidikan,
kesehatan, listril, BBM, telepon dll), adalah deretan panjang persoalan yang
menghimpit masyarakat sehingga membuat beban hidup masyarakat semakin sulit.
Bukankah ini akibat dari praktek kongkalikong (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)
yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah kita yang korup?.
Salah satu fakta penitng yang mencengangkan adalah,
pemerintah bahkan dengan lapang dada telah suka rela melunasi hutang-hutang
Negara yang telah dikorup oleh pejabat-pejabat pemerintahan Orde Baru dulu. Di
dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Negara mengalokasi anggaran
kurang lebih 40 (empat puluh) persen untuk mebayar utang-utang luar negeri
melalui IMF, Bank Dunia, Paris Club, CGI, serta lembaga donor lainnya. Belum
lagi dana penggunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang harus
ditanggung oleh Negara. Alokasi pemabayaran utang-utang Negara akibat korupsi
ini, akan menuai konsekuensi, yakni ; membebankan pembayaran utang tersebut
kepada rakyat indoensia yang sama sekali tidak pernah menikmati utang-utang
tersebut. Membebankan dengan memilih mencabut anggaran dan subsidi sosial bagi
masyarakat. Membebankan dengan semakin terpuruknya nasib dan kehidupan
masyarakat. Sungguh tidak adil, “Koruptor yang menikmati, rakyat yang
dikorbankan”. Maka sangatlah wajar jika dikatakan bahwa praktek
korupsi merupakan sebuah bentuk tindakan kekerasan secara sistemik, yang telah
sengaja dibangun dan diciptakan oleh struktur kekuasaan negara terhadap
masyarakat sendiri.
KORUPSI
OLEH PENEGAK HUKUM
Penegakan hukum merupakan suatu konsep yang berdimensi banyak
(multiple dimension). Meminjam terminologi Friedmann, maka secara integral
harus mampu menggerakan unsur substansial, unsur
structural, dan unsur cultural.
Konsep korupsi pun tak kalah banyak dimensinya. Korupsi
sebagai suatu aktivitas perilaku menyimpang cenderung akan berhimpitan dengan
aktivitas kerjasama (kolusi) dan kedekatan-kedekatan tertentu (nepotisme). Oleh
karena itu, untuk beberapa kesempatan tepatlah penggunaan
istilah KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) untuk menggambarkan adanya
aktivitas penyimpangan-penyimpangan, baik untuk kepentingan diri sendiri atau
orang lain.
Adanya hukum positif dalam bentuk berbagai produk
perundang-undangan, baik adanya guna penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Seiring dengan perkembangan zaman dan dinamika
masayarakat, tercatat telah lahir produk perundang-undangan berkaitan dengan
penanggulangan korupsi.
Keberadaan berbagai pergantian pengaturan pemberantasan korupsi
tersebut, menunjukkan secara jelas bahwa, persoalan penegakan hukum dalam kasus
korupsi bukanlah persoalan yang sederhana. Kriminalisasi dan dekriminalisasi
atau penalisasi dan depenalisasi korupsi seiring dan berpijak pada berbagai
pergantian perundang-undangan tersebut, telah menunjukkan pula dugaan kuat
adanya kolusi dan nepotisme dalam proses penemuan atau penciptaan hukum di
Indonesia.
Artinya, dan terutama berkaitan dengan penemuan hukum secara
konflik melalui lembaga pengadilan, bahwa kasus korupsi berpotensi dapat
menyeret para penegak hukum yang seharusnya menegakan hukum menjadi tergerus
integritasnya menjadi bagian dari persoalan berkepanjangan dari korupsi itu
sendiri. Dibekuknya sejumlah penegak hukum dalam posisi sebagai polisi, jaksa,
maupun hakim akhir-akhir ini dalam kasus beraroma korupsi, merupakan fenomena
diperlukannya pemikiran dalam menegakan hukum pada kasus korupsi.
Terdapat begitu banyak argumen mengapa penegak hukum seperti
polisi, jaksa, dan hakim malahan terjerumus dalam kasus yang seharusnya
diberantasnya. Alasan muncul secara akumulutif atau simultan dan pada dasarnya
berakar pada moral hazard, dalam bentuk sekularisme, hedonism, materialism, dan
konsumerisme. Dengan tetap berpijak pada sikap optimis untuk dapat berbuat baik
ke depan, maka yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana seyogyanya
penegakan hukum kasus korupsi diselenggarakan? Atau dalam pertanyaan lain,
apakah dapat terselenggara penegakan hukum kasus koupsi dan apa yang sebaiknya
harus diperbuat.
Friedman mengatakan bahwa penegakan hukum selalu membutuhkan
keseimbangan dan kemantapan atas tiga pilar utama. Ketiga pilar tersebut adalah
unsur substansial yang menitikberatkan pada validitas dan integritas
perundang-undangan, unsur struktural yang menitik-beratkan pada validitas dan
integritas petugas penegak hukum, dan unsur kultural yang menitik-beratkan pada
validitas dan integritas pola pikir masyarakat pendukung supremasi hukum.
Terjadinya kepincangan di antara ketiga unsur penegakan hukum
tersebut, pada dasarnya dapat dikatakan bahwa sejak awal telah muncul embrio
tidak sehat proses penegakan hukum secara umum. Terlebih bila dikaitkan dengan
kasus korupsi sebagai konsep berdimensi banyak, tentunya sudah dapat diduga
adanya ketidak-seimbangan integritas ketiga unsur penegakan hukum tersebut,
akan berakibat semakin suburnya unsur kolusi dan nepotisme di dalam aktivitas
korupsi.
Tuntutan terhadap pentingnya validitas dan integritas
perundang-undangan, mengandung makna bahwa penciptaan hukum positif harus
selalu diarahkan pada keseimbangan tujuan hukum itu sendiri. Tujuan akhir hukum
untuk mendapatkan keadilan di dalam masyarakat, maka derivasinya dalam bentuk
kepastian, kemanfaatan, dan ketertiban harus benar-benar terselenggara secara
transparan, akuntabel, dan responsible.
Keterbukaan atau transparansi
sangat diperlukan karena akan melahirkan obyektivitas yang tinggi.
Akuntabilitas diperlukan mengingat segala entitas yang berdampak pada kehidupan
manusia memiliki parameter atau ukuran-ukuran tertentu. Sedangkan responsibilitas
penting mengingat manusia sebagai mahluk bermartabat, sehingga segala
sesuatunya harus dapat dipertanggung-jawabkan karena posisinya sebagai manusia.
Tuntutan terhadap validitas dan integritas struktural,
mengandung makna bahwa petugas penegak hukum wajib memiliki sikap mental
profesional. Makna profesional sebagai keseriusan dalam menjalankan tugas,
harus terselenggara dengan bersandar dan kesadaran atas pentingnya menguasai
keahlian, moralitas tinggi, apresiasi terhadap imbalan.
Oleh karena itu, ketidakjelasan atau kekacauan sikap petugas
penegak hukum terhadap pentingnya penguasaan keilmuan sehingga disebut ahli,
kepatuhannya terhadap moralitas yang tercermin pada perilaku sesuai dengan kode
etik profesi, dan apresiasi terhadap imbalan yang tercermin pada
proporsionalitas atas kualitas dan kuantitas pekerjaan, akan menjadikan petugas
penegak hukum tidak berada pada struktur ideal yang diharapkan.
Tuntutan terhadap integritas dan validitas kultural,
mengandung makna bahwa segenap komponen masyarakat mengambil bagian secara
aktif dalam menumbuhkembangkan peran hukum sesuai dengan martabat manusia.
Budaya yang secara umum bermakna sebagai produk manusia yang dipengaruhi oleh
pikiran dan lingkungan dimana manusia tersebut hidup, pada dasarnya tetap di
dalam koridor kemanusiaanya yang secara universal selalu memiliki raga, rasio,
dan rasa.
Oleh karena itu pergerakan dari “perasaan hukum” menjadi
“kesadaran hukum” dapat menjadi budaya atau kultur yang sehat, apabila
masyarakat secara bersama-sama memiliki niat dan itikad untuk itu. Perasaan
Hukum yang lebih bernuansa subyektif dan kesadaran hukum yang lebih bernuansa
obyektif, sama-sama dibutuhkan dalam kehidupan manusia termasuk dan terutama
dalam mengembangkan norma dan asas hukum.
Integritas dan validitas keseimbangan antara unsur substansi,
struktural, dan kultural sebagaimana digagas oleh Friedmann dalam upaya
penegakan hokum, menjadi sangat relevan dan urgen dalam kasus korupsi. Kasus
korupsi sebagai entitas berdimensi banyak mustahil dapat ditanggulangi oleh
hukum, apabila hukum itu sendiri tidak diterjemahkan ke dalam penegakan Hukum
berdasarkan integritas dan validitas substansial, struktural, dan kultural.
Pemberantasan korupsi membutuhkan keutuhan antara norma yang
sehat, penegak hukum yang sehat, dan pola pikir yang sehat.
KORUPSI
KONSTITUSI DAN POLITIK PEMILUKADA
Perubahan yang sangat besar terhadap tata kehidupan
berbangsa dan bernegara telah dibawa oleh amandemen UUD 1945, yaitu perubahan
yang akan mengarah kepada cita-cita negara hukum yang demokratis sesuai dengan
prinsip-prinsip negara demokrasi konstitusional yang dikawal oleh Mahkamah
Konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam segala aspek terutama
aspek hukum yang konstitusional kini mulai pupus akibat perilaku Akil Mochtar
(Ketua MK nonaktif) yang terlibat dalam skandal suap Pilbup Gunung Mas,
Kalimantan Tengah dan Pilbup Lebak, Banten.
Pertiwi menangis ketika ternyata Mahkamah Konstitusi
harus dijebol oleh uang suap yang diperankan oleh Akil Mochtar. Kasus suap yang
menimpa ketua MK Akil Mochtar tersebut membuat / membunuh semangat, ambisi,
cita-cita dan harapan masyarakat negeri ini yang ingin melihat terwujudnya
negara Indonesia yang demokratis dan berlandasan hukum.
Bukan baru kali ini oknum hakim terjaring aparat
penegak hukum akibat ulah tak terpuji. Dengan kasus suap yang melibatkan ketua
MK, lengkap sudah perbuatan tercela oknum hakim. Dari oknum hakim level
terbawah hingga oknum hakim agung dan ketua MK terjaring operasi penegakan
hukum. Sudah sepatutnya untuk mencemaskan perubahan ekstrem persepsi publik
mengenai masa depan penegakan hukum di negara ini.
Tertangkapnya ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar,
menjadi berita menghebohkan sepanjang minggu ini. Berbagai kalangan bahkan
menyebut ini sebagai kiamat kecil di Negara kita, khususnya bagi lembaga
peradilan Indonesia, mengingat mahkamah konstitusi merupakan benteng terakhir
penegakan hukum di Indonesia.
Kalau hakim konstitusi pun sudah goyah menghadapi uang
suap, benteng keadilan mana lagi yang masih bisa diandalkan pencari keadilan di
negara ini? Pesimisme seperti ini sebenarnya telah berkembang di ruang publik
sejak sejumlah oknum dari institusi penegak hukum, termasuk oknum hakim,
terjaring kasus suap atau korupsi. Tidak mudah untuk mengubah pesimisme itu menjadi
optimisme sebab tidak ada yang tahu kapan negara ini bisa mereduksi perilaku
korup para oknum birokrat, termasuk pejabat penegak hukum.
Kasus suap Akil Mochtar menjadi cikal bakal untuk
dikembangkannya pada suap yang kemungkinan melibatkan hakim lainnya atau
panitera karena kalau suap untuk memenangkan suatu kasus yang sedang ditangani
tidak mungkin dilakukan sendiri oleh seorang Akil Mochtar karena lahirnya
putusan MK tersebut melibatkan semua hakim MK. Akil Mochtar dalam hal ini
sebagai tersangka harus berbesar hati mengakui perbuatannya dan berbicara
secara jujur tentang kemungkinan mafia suap yang meliibatkan hakim MK lainnya
agar MK benar-benar steril dari praktek mafia suap yang mungkin selama ini
terjadi dalam menangani perkara-perkara yang ditangani oleh MK.
Seperti kita ketahui, Akil Mochtar tertangkap tangan
bersama beberapa orang lainnya, antara lain politisi Partai Golkar Chairun
Nisa, pengusaha Tubagus Chaery Wardana alias Wawan yang juga adik Gubernur
Banten Ratu Atut Chosiyah, pengacara Susi Tur Andayani serta pengusaha asal
kalimantan tengah Cornelis Nalau.
Sungguh memprihatinkan. Padahal dalam konstitusi
mensyaratkan bahwa “Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian
yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan…..”. Syarat inilah yang seharusnya menjadi landasan pijak
prinsip dan budaya hukum hakim MK dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim di
lembaga yang mulia dan terhormat ini.
Budaya hukum menuntut hakim MK bertanggung jawab atas
pemahaman masyarakat secara utuh tentang negara hukum konstitusional tidak
hanya lewat sosialisasi dan desiminasi tetapi juga keteladanan hakim MK dalam
menjaga integritas dan kepribadian yang baik sebagai seorang negarawan yang
patut diteladani oleh masyarakat dan penyelenggara negara lainnya tentang
kehidupan berhukum dan bernegara yang pancasilais. Disini moral hakim menjadi
penopang dalam menjaga integritas dan kepribadian yang negarawan.
Korupsi Konstitusi – Korupsi Birokratis
Seperti yang telah diuraikan terkemuka, bahwa hal yang
paling berbahaya adalah korupsi di sektor publik atau yang dilakukan oleh
pejabat negara baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Kasus yang menimpa Akil Mochtar, sudah tentu
bukan hanya petaka bagi lembaga pengawal konstitusi (the quardian of
constitution) tersebut. Tapi telah menjadi tamparan bagi seluruh Rakyat
Indonesia. Betapa tidak, disanalah pertaruhan hak konstitusional warga Negara
dipertaruhkan. Disana pulalah masa depan keluhuran konstitusi Negara kita
ditentukan. Namun harapan itu kini menjadi “kosong”,
dan seakan yang tersisa tinggal keputusasaan.
Bagi
sebahagian orang, kasus korupsi selama ini adalah sesuatu yang biasa. Namun
kasus korupsi dilembaga negara penegak konstitusi ini korupsi yang terjadi di sektor publik atau yang disebut juga korupsi
birokratis yang diartikan sebagai korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang
sedang memegang kekuasaan kelembagaan negara, baik eksekutif, legislatif maupun
yudikatif. Sehingga dapat dikatakan bahwa kasus korupsi yang terjadi di lembaga
peradilan (konstitusi) ini adalah bencana besar (bigger dissaster).
Korupsi tersebut bukan hanya perkara perampokan “uang”
semata. Tetapi juga perampokan terhadap kewibawaan dan kepercayaan lembaga
pengawal konstitusi tersebut, yang juga berarti merampok kemerdekan
konstitusional warga Negara yang selama ini bergantung kepada lembaga tersebut.
Melihat definisi tersebut, maka pertanyaan yang timbul
adalah : apakah KPK dapat memberantas korupsi jenis ini (birokratis)? Meskipun KPK
memiliki kewenangan yang besar, namun KPK tidak mampu memberantas korupsi
birokratis yang merasuk seluruh sendi pemerintahan negara.
Hal tersebut dapat dibenarkan juga karena pada
dasarnya Undang-undang maupun keputusan dan lain-lain yang berkaitan dengan KPK
intinya hanya mengatur pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi
secara umum serta tidak dimaksudkan untuk mencegah dan memberantas kolusi dan
nepotisme dan / atau tidak spesifik terhadap penyelenggara negara. Padahal kita
tahu, korupsi birokratis diyakini 90% dilakukan penyelenggara negara sehingga
bagaimana mungkin kita dapat memberantas korupsi tanpa memberantas kolusi dan
nepotisme para penyelenggara negara itu.
Jadi, tanpa undang-undang pencegahan dan pemberantasan
kolusi dan nepotisme, bagaimana mungkin korupsi sebagai kejahatan extraordinary
dapat diberantas jika sumber korupsi birokratis itu adalah kolusi dan nepotisme
para penyelenggara negara tidak dicegah dan diberantas lebih dulu.
Pasca
ditangkapnya Akil Mochtar, banyak pihak terutama mereka yang pernah berperkara
di Mahkamah Konsitusi menjadi kalap dan teriak kemana-mana.
Mereka menuding keputusan-keputusan Mahkamah Konstitusi selama ini adalah salah
dan dipenuhi praktek suap dan kecurangan. Bahkan mereka meminta agar keputusan
sengketa pemilihan umum kepala daerah yang telah diputuskan oleh Mahkamah
Konstitusi, ditinjau ulang.
Memang
benar, kasus suap Akil Mochtar berangkat dari sengketa pemilukada Gunung Mas
Kalteng dan Lebak Banten. Namun apakah sengketa pemilukada tersebut dan
daerah-daerah lainnya, semata-mata hanya melihat proses perkara di Mahkamah
Konstitusi? Bukankah upaya suap dari para calon yang berberkara,
mengindikasikan bahwa ada yang salah dalam proses politik pemilukada kita?
Justru permasalahan disektor hulu politik pemilukada yang menjadi pokok
persoalan.
Proses
pemilihan umum kepala daerah selama ini belangsung dengan dominasi pemilik
modal dan rezim status quois. Maka tak salah jika praktek politik uang,
sogok-menyogok, suap, patronase dan politik dinasti menjadi hal yang biasa kita
saksikan dalam penyelenggaraan pemilu. Partisipasi politik yang dikebiri dan
minimnya keterlibatan massa, telah membangun tradisi politik pemilukada yang
tidak fair, korup dan penuh dengan kecurangan. Jadi, seribu kali-pun pemilukada
diulang, tetap saja tidak akan melahirkan rezim yang bersih, amanah dan pro
terhadap kepentingan rakyat.
MENYEMPURNAKAN KONSTITUSI – MEMBERANTAS KORUPSI
Mencermati masalah nyata korupsi tersebut sebagaimana
yang terjadi di tubuh lembaga konstitusi, jika penerapan hasil amandemen
dianggap bermasalah, persoalannya tidak melulu pada substansi amandemen itu
sendiri. Karenanya, paralel dengan reformasi konstitusi lanjutan, yang tidak
kalah penting adalah merombak pola pikir koruptif para penyelenggara negara. Reformasi
konstitusi adalah upaya menguatkan rule
of law, sedangkan perombakan pola pikir diperlukan untuk mendorong rule of ethics yang lebih anti korupsi. Untuk
mendorong perbaikan integritas pejabat negara tersebut, reformasi konstitusi
harus ditindaklanjuti dengan reformasi birokrasi dan reformasi peradilan.
Khusus untuk reformasi dunia peradilan, gerakan hukum
progresif harus diberi tempat yang lebih besar untuk mencegah peradilan yang
berwibawa terus dibajak oleh praktik haram mafia peradilan. Mafia peradilan
merambah semua lini sistem hukum di Indonesia, dari hulu hingga ke hilir. Dari proses
penyelidikan hingga proses Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Proses peradilan
yang singkat, cepat berbiaya murah relatif hanya menjadi mimpi.
Selanjutnya, agenda penyempurnaan reformasi konstitusi
tentu perlu didorong karena hasil amandemen UUD 1945 tidaklah sempurna. Secara legal
drafting masih ada aturan yang tumpang tindih dan repetisi, misalnya pada
masalah perlindungan HAM. Lebih substantif, masih diperlukan perubahan lanjutan
untuk menegaskan terwujudnya demokrasi konstitusional di Indonesia.
Susilo Bambang Yodhoyono mungkin benar ketika
mengatakan dalam pidato kenegaraannya ketika itu bahwa budaya takut korupsi
sudah mulai lahir. Patut diakui bahwa di bawah kepemimpinan SBY, izin
pemeriksaan kepala daerah dan anggota parlemen yang diduga terlibat kasus
korupsi lebih banyak dikeluarkan. Sejalan dengan itu KPK, Timtastipikor,
Kejaksaan dan Kepolisian mengungkap beberapa kasus korupsi. Kerja keras
beberapa aparat penegak hukum itu sudah sewajarnya menimbulkan keraguan untuk
korupsi. Tapi sayangnya, keraguan itu
belum menghinggapi elite penguasa dan pengusaha.
Akhirnya, untuk memulai penyempurnaan reformasi
konstitusi, yang perlu dilakukan di tahap awal adalah menyiapkan mekanisme
amandemen yang lebih baik. Hal tersebut diperlukan paling tidak karena dua hal
: pertama, mekanisme amandemen lebih demokratis dan partisipatif wajib untuk
lahirnya konstitusi rakyat; kedua, mekanisme yang lebih baik diperlukan untuk
menghasilkan amandemen yang lebih berkualitas. Mekanisme perubahan tersebut
dirancang untuk menegaskan konstitusi adalah the supreme law of the land, sehingga cara perubahannya harus lebih
terhormat. Rigitas amandemen konstitusi menjadi penting untuk menjamin agenda
perubahan hukum dasar tersebut tidak menjadi ajang coba-coba kepentingan politik
yang justru dapat membahayakan keberlangsungan Indonesia sebagai bangsa.
Untuk itu mekanisme amandemen perlu diadopsi beberapa
konsep pintu perubahan. Pertama, ide perubahan harus diusulkan oleh sepertiga
anggota MPR, yang rumusannya dibuat khusus oleh Komisi Konstitusi, terdiri dari
para ahli ketatanegaraan. Kedua, usulan perubahan itu sebelum disetujui oleh
MPR (dengan syarat kourum tertentu) terlebih dahulu dilakukan pengujian
konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi.
Informasi yang dihimpun dari
jakarta.dpd.go.id menjelaskan bahwa upaya pengusulan
perubahan kelima UUD 1945 oleh DPD RI telah sampai pada ranah nasional. Hal ini
terbukti dengan diselenggarakannya Sarasehan Nasional bertema “Urgensi
Perubahan Kelima UUD 1945: Konsolidasi Demokrasi dan Jati Diri Bangsa” di
Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen Jakarta, Selasa (28/6/11). Selain
anggota DPD RI dan rektor seluruh Indonesia, acara tersebut juga dihadiri oleh
Kepala Sekolah/Guru SMA/SMK dan BEM Universitas di wilayah Jakarta.
Dalam acara yang diselenggarakan oleh Kelompok DPD RI
di MPR tersebut, bertindak sebagai pembuka sarasehan adalah Wakil Ketua MPR RI.
Bambang Soeroso selaku ketua Kelompok DPD di MPR menyampaikan harapannya
di masa depan akan lahir MPR yang bisa membuat UUD yang lebih sempurna dan
mantap, sebab UUD merupakan dasar dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Oleh karena itu, perubahan kelima UUD 1945 harus dilaksanakan.
Akhirnya yang tidak kalah penting adalah, khusus untuk
dasar negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan dan sistem pemerintahan kata
akhir perubahan konstitusi harus dikembalikan kepada rakyat melalui mekanisme
referendum nasional.
Dengan demikian, ke depan formal amandemen akan
semakin sulit terjadi dalam sejarah konstitusionalisme Indonesia. Dan tentu
saja, perbaikan dokumen konstitusi tidak akan ada artinya tanpa didukung
integritas – moralitas yang mendukung hadirnya pemerintahan yang zero tolerance to corruption.
Selain
masalah kelembagaan yang mengatur mengenai pemberantasan korupsi, masalah
pengaturan korupsi dalam peraturan perundang-undangan pun perlu mendapatkan
perhatian yang besar. Selama ini pendefinisian mengenai korupsi tidak pernah
dinyatakan secara eksplisit. Maksud dari tidak diaturnya secara tegas mengenai
definisi korupsi adalah untuk dapat memberikan sifat kelenturan terhadap
pemahaman korupsi sehingga setiap
perbuatan yang menimbulkan kerugian terhadap keuangan negara dapat digolongkan
kedalam korupsi. Namun demikian sifat kelenturan tersebut justru menimbulkan
kebimbangan di kalangan masyarakat mengenai korupsi. Pengkategorisasian
terhadap korupsi sebagaimana yang dilakukan oleh Norad setidaknya memberikan
pemahaman kepada masyarakat mengenai tindakan-tindakan yang dapat digolongkan
kedalam kategori korupsi.
Korupsi
yang terjadi dewasa ini telah terakumulasi sedemikian rupa hingga menimmbulkan suatu pandangan bahwa
korupsi adalah suatu budaya. Orang yang berkorupsi tidak perlu merasa malu
ataupun takut akan sanksi dari peraturan-peraturan yang telah ada. Membudayanya
korupsi dalam kehidupan bernegara tidak memungkinkan pemberantasan terhadap hal
tersebut dilakukan sekali waktu selesai. Korupsi dapat dikikis secara
berangsur-angsur sehingga akhirnya korupsi tersebut dapat diberantas atau
sekurang-kurangnya dapat ditekan sampai tingkat serendah mungkin.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa tingkat praktek korupsi dikalangan
pejabat-pejabat Negara, menjadikan masyarakat menarik dukungannya terhadap
pemerintah. Kepercayaan serta harapan masyarakat (expectation) terhadap
pemerintah bisa dikatakan semakin menurun, bahkan senderung apatis terhadap
pemerintah beserta aparatur-aparatur hukumnya (polisi, jaksa, hakim, dan lain
sebagainya). Selama ini, pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah
terkesan berjalan dengan lamban. Berbelit-belit dan sangat birokratisnya upaya
pemberantasan korupsi yang dilakukan, menjadi salah satu faktor mendasar
penyelesaiaan sebuah kasus.
Semisal, pemeriksaan seorang pejabat legislatif (anggota DPRD)
yang harus menunggu izin dan keputusan dari Menteri Dalam Negeri, atau pejabat
pemerintahan daerah yang harus menunggu persetujuan presiden, dll, menjadi
salah satu kendala utama yang harus mampu pemerintah carikan solusi yang tepat.
Pemerintah dalam hal ini dituntut untuk membuat kebijakan (policy) yang
bertujuan untuk mempelancar proses pemberantasan korupsi sehingga dapat
berjalan cepat, efisien dan efektif tanpa harus dihalangi oleh aturan-aturan
yang telampau birokratis.
Sejak periode pertama kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono,
program pemberantasan korupsi konon menjadi prioritas utama dalam program kerja
pemerintahannya. Upaya ini harus kita apresiasi, akan tetapi belum dapat
dikatakan membanggakan. Sebab meskipun di era Pemerintahan SBY telah
berhasil mengungkap kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat-pejabat Negara
(semisal kasus KPU, kasus Bulog, kasus Abdullah Puteh di Aceh, kasus Syaukani
HR, kasus Al Amien Nur, dan
sekarang adalah Akil Mochtar, kasus-kasus yang melibatkan pejabat
pemerintah di beberapa daerah), namun upaya pemberantasan korupsi ini belum
mampu menyentuh para koruptor-koruptor kakap yang hingga saat ini masih bebas
berkeliaran tanpa pernah sedikitpun tersentuh oleh hukum.
Jika pemerintah mampu memberikan bukti nyata dari komitmen
pemberantasan korupsi, maka kpercayaan masyarakatpun akan kembali pulih, bahkan
mungkin akan mengambil peran aktif dalam setiap masalah-masalah yang sedang
dihadapi oleh bangsa dan Negara. Namun sebaliknya, jika pemerintah lamban dan
gagal dalam menunaikan kewajiban dan tanggung jawabnya untuk menuntaskan kasus-kasus
korupsi yang ada, maka rakyat akan jauh semakin jauh meninggalkannya. Apa
jadinya sebuah pemerintahan
tanpa dukungan dari masyarakatnya?
=============================:::>
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang,
Baharuddin. Merumuskan Ulang Reformasi, Catatan Pelaksanaan UUD 1945 Sudut
Pandang Anggota BPK
Asshidiqie,
Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Jakarta, Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
Chaerudin, SH.,MH, dkk, Strategi
Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi. PT. Refika Aditama.
Bandung, 2008.
Komisi Hukum
Nasional, Gagasan
Amandemen UUD 1945 Suatu Rekomendasi. 2008
Denny
Indrayana, Negara
Antara Ada dan Tiada, Reformasi Hukum Ketatanegaraan. PT. Kompas Media Nusantara. Jakarta, 2008
Syamsuddin Amir, Integritas Penegak Hukum. PT. Kompas Media Nusantara. Jakarta, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar