Gedung DPRD Kabupaten Kupang |
A.
PENDAHULUAN
Dewan Perwakilan Rakyat (seterusnya disingkat DPR) adalah suatu struktur
legislatif yang punya kewenangan membentuk undang-undang. Dalam membentuk undang-undang
tersebut, DPR harus melakukan pembahasan serta persetujuan bersama Presiden.
Fungsi-fungsi yang melekat pada DPR adalah: (1) fungsi anggaran; (2) fungsi
legislasi; dan (3) fungsi pengawasan. Dalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut,
setiap anggota DPR memiliki hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan
pendapat, hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul, dan hak imunitas.
Anggota DPR seluruhnya dipilih lewat pemilihan umum dan setiap calonnya
berasal dari partai-partai politik. Sec ara substansial,
struktur dan fungsi DPRD I serta DPRD II adalah sama dengan DPR pusat. Hanya
saja, lingkup kewenangan DPRD I adalah di tingkat Provinsi sementara DPRD II di
tingkat Kabupaten atau Kota.
DPR merupakan sebuah lembaga yang menjalankan fungsi perwakilan politik
(political representative) karena - menurut Jimly Asshiddiqie - fungsi
legislatif berpusat di tangan DPR. Anggotanya terdiri atas wakil-wakil partai
politik. Anggota DPR melihat segala masalah dari kacamata politik. Melalui
lembaga ini, masyarakat di suatu negara diwakili kepentingan politiknya dalam
tata kelola negara sehari-hari. Kualitas akomodasi kepentingan sebab itu
bergantung pada kualitas anggota dewan yang dimiliki.
Dalam skema sistem politik David Easton, DPR bekedudukan hampir di setiap
lini: (1) Dalam lini input, DPR merespon kepentingan masyarakat melakukan
mekanisme pengaduan harian; (2) Dalam lini konversi DPR bersama pemerintah
bernegosiasi bagaimana kepentingan masyarakat diakomodir; dan (3) Dalam lini
output DPR mengeluarkan Undang-undang yang merupakan kebijakan negara yang
harus dijalankan lembaga kepresidenan. Lebih lanjut, Almond telah merinci aneka
fungsi yang dimaksud skema sistem politik Easton. Dalam konteks pemikiran
Almond, maka DPR adalah struktur yang menjalankan fungsi-fungsi input (agregasi
kepentingan, komunikasi politik) dan fungsi output yaitu legislasi. Dalam
kekuasaannya sebagai legislator, DPR berhadapan dengan Presiden dan DPD. Harus
ada kerjasama harmonis antara ketiga institusi ini, kendati kekuasaan legislatif
tetap ada di tangan DPR.
Berdasar Pasal 20 UUD 1945, DPR dipahami sebagai lembaga legislasi atau
legislator, bukan Presiden atau DPR. Dalam konteks pembuatan undang-undang oleh
DPR ini, UUD 45 menggariskan hal-hal sebagai berikut:
- DPR adalah pemegang kekuasaan legislatif, bukan Presiden atau DPD;
- Presiden adalah lembaga yang mengesahkan rancangan Undang-undang yang telah mendapat persetujuan besama dalam rapat paripurna DPR resmi menjadi Undang-undang;
- Rancangan Undang-undang yang telah resmi sah menjadi Undang-undang wajib diundangkan sebagaimana mestinya;
- Setiap rancangan undang-undang dibahas agar diperoleh persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam persidangan DPR;
- Jika RUU adalah inisiatif DPR, maka DPR sebagai institusi akan berhadapan dengan Presiden sebagai kesatuan institusi yang dapat menolak inisiatif DPR itu (seluruhnya atau sebagian). RUU itu tidak boleh lagi diajukan DPR dalam tahun sidang yang sama. Di sini, posisi DPR dan Presiden berimbang;
- Jika RUU inisiatif Presiden, maka DPR juga berhak menerima ataupun menolak (sebagian atau seluruhnya). DPR dapat melakukan voting untuk menerima atau menolak RUU yang diajukan Presiden itu;
- Jika suatu RUU telah disetujui dalam rapat paripurna DPR dan disahkan dalam rapat DPR tersebut, maka secara substantif ataupun materiil RUU tersebut sah sebaga UU. Namun, pengesahan DPR itu belum mengikat secara umum karena belum disahkan oleh Presiden serta diundangkan sebagaimana mestinya. Meski Presiden sudah tidak dapat lagi mengubah materinya atau tidak menyetujuinya, tetapi sebagai UU ia sudah sah; dan
- Suatu RUU yang disahkan DPR sebagai UU baru bisa berlaku umum mempertimbangkan kondisi berikut : (a) Faktor pengesahan oleh Presiden dengan cara menandatangani naskah Undang-undang itu; (b) Faktor tenggang waktu 30 hari sejak pengambilan keputusan atas rancangan UU tersebut dalam rapat paripurna DPR (pengesahan materil oleh DPR, pengesahan formil oleh Presiden).
DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
Fungsi legislasi adalah fungsi membentuk undang-undang bersama dengan Presiden.
Fungsi anggaran adalah menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
bersama Presiden. Fungsi pengawasan adalah mengawasi jalannya pemberlakuan
suatu undang-undang oleh DPR berikut aktivitas yang dijalankan Presiden
Untuk melaksakan fungsi-fungsinya, DPR memiliki serangkaian hak. Hak-hak
tersebut dibedakan menjadi Hak DPR selaku Lembaga dan Hak DPR selaku Perseorangan.
Hak DPR selaku Lembaga meliputi: (1) hak interpelasi; (2) hak angket; (3) hak
menyatakan pendapat; (4) hak mengajukan pertanyaan; (5) hak menyampaikan usul
dan pendapat; dan (6) hak imunitas.
Hak Interpelasi diatur dalam UU No.22 tahun 2003, yaitu sebagai lembaga DPR
berhak meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang
penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Hak Angket adalah hak DPR sebagai lembaga, untuk menyelidiki kebijakan
pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan. Hak Menyatakan Pendapat adalah hak DPR sebagai lembaga,
untuk mengajukan usul menyatakan pendapat mengenai:
- kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau situasi dunia internasional;
- tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket; dan
- dugaan bahwa Presiden dan atau Wapres melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wapres.
Selain itu, Hak DPR selaku Perseorangan meliputi (1) Hak Mengajukan RUU;
(2) Hak mengajukan pertanyaan; (3) Hak menyampaikan usul dan pendapat; (4) Hak
memilih dan dipilih; (5) Hak membela diri; (6) Hak imunitas; (7) Hak
protokoler; dan, (8) Hak keuangan dan administratif.
Selain punya hak,
anggota DPR juga punya kewajiban yang harus ia penuhi selama masa jabatannya (5
tahun). Kewajiban-kewajiban tersebut adalah:
- Mengamalkan Pancasila;
- Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan ;
- Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan ;
- Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia ;
- Memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat ;
- Menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat ;
- Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan ;
- Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya ;
- Menaati kode etik dan Peraturan Tata Tertib DPR dan ;
- Menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait.
Di DPR, para anggota dewan tergabung ke dalam fraksi-fraksi. Fraksi adalah
pengelompokan anggota dewan berdasarkan konfigurasi partai politik hasil
Pemilihan Umum. Fraksi ini bersifat mandiri serta terbentuk dalam rangka
optimalisasi dan pengefektivitasan pelaksanaan tugas, wewenang, hak dan
kewajiban DPR. Fraksi mempunyai anggota sekurang-kurangnya 13 orang. Fraksi dapat
juga dibentuk oleh gabungan anggota dari dua atau lebih partai politik hasil
Pemilihan Umum yang kurang dari 13 orang atau dapat bergabung dengan Fraksi
lain. Setiap anggota dewan harus menjadi anggota salah satu Fraksi. Pimpinan
Fraksi ditetapkan oleh anggota Fraksinya masing-masing.
Tugas utama fraksi adalah mengkoordinasi kegiatan anggota dalam
melaksanakan tugas dan wewenang mereka selaku anggota dewan. Fraksi juga
bertugas meningkatkan kemampuan, disiplin, efektivitas, dan efisiensi kerja
para anggota dalam melaksanakan tugas, dan tugas ini tercermin dalam setiap
kegiatan DPR. DPR juga menyediakan sarana dan anggaran guna kelancaran
pelaksanaan tugas Fraksi menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi.
Untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya, DPR membentuk Alat Kelengkapan
DPR yang terdiri atas: (1) Pimpinan DPR; (2) Badan Musyawarah; (3) Komisi; (4)
Badan Legislasi; (5) Panitia Anggaran; (6) Badan Urusan Rumah Tangga; (7) Badan
Kerja Sama Antar-Parlemen; (8) Badan Kehormatan; dan (9) Panitia Khusus.
B.
KINERJA LEGISLATIF
Terlepas dari
hal-hal tersebut yang telah diuraikan di atas, salah satu hal yang dapat
menjadi faktor penentu tercapai dan terwujudnya harapan kita sebagai masyarakat
melalui para wakil rakyat yang kita pilih adalah Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam melaksanakan
kekuasaan Legislasi.
Belum ada standart baku mengenai ukuran kinerja DPRD
dalam melaksanakan salah satu tugas dan fungsinya, yaitu fungsi legislasi.
Dimana legislasi itu sendiri adalah produk politik yang menjadi pilihan kebijakan
dalam menentukan arah permasalahan kalau itu sudah dalam bentuk PERDA.
Enri Setiowati menyebut peraturan perundang-undangan sebagai dokumen
hukum yang mengikat publik dan institusi suatu Negara. Dengan demikian peran
penting peraturan perundang-undangan adalah dalam rangka membuat pola di dalam
masyarakat, baik pola/ sistem itu akan menjadi baik atau sebaliknya. Peraturan
perundang-undangan yang baik adalah yang mampu membaca perubahan-perubahan yang
akan terjadi, peraturan perundang-undnagan tersebut harus responsib atas
tuntutan masyarakat. Karena masyarakat yang nantinya akan dikenai dalam
pengaturan itu, mka bagaimanapun juga semangatnya harus sesuai dengan kehendak
masyarakat.
Menurut A. Charisudin dalam makalahnya yang berjudul
Problematika DPRD dalam penyusunan Peraturan Daerah, indikator kinerja DPRD
dalam pelaksanaan fungsi legislasi dapat dilihat dari 2 (dua) hal yaitu :
Produktivitas dalam menyusun draft rancangan peraturan daerah dan Pelibatan
publik terutama yang terkena dampak dari peraturan yang diagendakan. Produktivitas
menyangkut respon DPRD terhadap kebutuhan hukum masyarakat yang kemudian
diwujudkan dalam bentuk draft rancangan peraturan daerah yang menjadi inisiatif
DPRD dan keterlibatan publik menyangkut isi dari Rancangan Peraturan Daerah
yang tidak boleh merugikan masyarakat namun justru harus mampu menjamin
pemenuhan hak-hak masyarakat.
Menurut penulis bahwa kesemua Rancangan Peraturan
Daerah baik yang telah disahkan maupun yang sedang dalam proses pembahasan di
DPRD Kabupaten Kupang bisa saja berasal dari inisiatif Pemerintah Kabupaten
Kupang, dan atau bahkan berasal dari hasil duplikat Perda periode tertentu.
Hal ini menunjukkan bahwa DPRD belum memahami dan
memaknai semangat dari perubahan konstitusional yang terjadi pasca reformasi
melalui amandemen UUD 1945 yang memberikan kekuasaan legislasi kepada
Legislatif. Perubahan konstitusional tersebut belum mampu mendorong
produktivitas DPRD Kabupaten Kupang dalam menggunakan hak inisiatifnya dalam
pembuatan Rancangan Peraturan Daerah.
Selain dalam mengusulkan Rancangan Peraturan Daerah,
inisiatif DPRD untuk mensosialisasikan dan melibatkan partisipasi rakyat dalam
pembahasan Rancangan Peraturan Daerah juga sangat minim, pembahasan Rancangan
Peraturan Daerah mayoritas tanpa proses sosialisasi dan keterlibatan masyarakat
yang kemudian berdampak pada proses pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tanpa
keterlibatan masyarakat. Proses pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tanpa
keterlibatan masyarakat menyebabkan produk Peraturan Daerah yang dihasilkan
justru menimbulkan penolakan besar-besaran di masyarakat. Selain penolakan
masyarakat atas Peraturan Daerah yang disusun tanpa melibatkan masyarakat,
Peraturan daerah yang disusun tanpa melibatkan masyarakat juga berdampak pada
“ketidaksukarelaan” masyarakat dalam melaksanakan kewajibannya, akhirnya
masyarakat melaksanakan kewajibannya hanya karena ancaman sanksi bukan karena
kesadaran hukum masyarakat, karena masyarakat tidak merasa memiliki Peraturan
Daerah yang telah dibuat. Akhirnya dalam kondisi demikian antara rakyat dan Pemda
tertanam benih-benih ketidakpuasan dan ketidakpercayaan (krisis kepercayaan)
yang suatu saat apabila terakumulasi secara luas akan meledak dan
mengahancurkan sendi-sendi kehidupan di daerah. Hal itu bisa terjadi karena
Pemerintah lebih banyak hanya menggunakan pendekatan tirani kekuasaan dalam
pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tidak memposisikan Peraturan Daerah
sebagai wujud dari “Kontrak Politik” antara rakyat dengan negara yang harus
saling seimbang (Cheks and Balance).
Selain inisiatif membuat Rancangan Peraturan Daerah
serta inisiatif mensosialisasikan dan melibatkan rakyat dalam pembahasan
Rancangan Peraturan Daerah yang tidak dimiliki oleh DPRD Kabupaten Kupang,
inisiatif untuk memasukkan ide-ide pembaharuan sistem penyelenggaraan
pemerintahan daerah ke dalam Rancangan Peraturan Daerah juga hampir-hampir
tidak dapat kita temukan, legislatif hanya bisa “mengamini” saja alur
kepentingan yang dimasukkan oleh Pemda dalam Rancangan Peraturan Daerah yang
diajukan oleh Pemda sendiri tanpa ada inisiatif untuk mengisi ide-ide
pembaharuan dalam Rancangan Peraturan Daerah tersebut.
Sehingga tidak mengherankan bila yang kita lihat
bukan perkembangan yang mengarah pada peningkatan kualitas pelayanan publik
namun jutru kemerosotan di bidang itu. Potensi-Potensi Korupsi semakin meluas
dan kasus-kasus penyelewengan kekuasaan semakin bermunculan.
Harus dipahami dan dimaklumi
bahwa hampir sebagian besar masyarakat Kabupaten Kupang adalah orang yang tidak
/ kurang paham tentang bagaimana selanjutnya seorang wakil yang telah
dipilihnya itu akan bekerja sebagai wakilnya di legislasi. Yang diketahui oleh
masyarakat awam adalah dia sudah memilih dan memiliki wakilnya dan karena itu
maka sudah pasti bahwa semua kebutuhannya di daerah akan terjawab. Jadi, pemilih tersebut hanya duduk menunggu dan
menunggu di balik ketidakpahamannya tentang tugas, fungsi dan wewenang sang
wakilnya di legislasi. Inilah masalahnya. Mengapa demikian? Menurut pengamatan
saya, bahwa ternyata bukan saja masyarakat tersebut yang tidak paham tentang
tugas, fungsi, dan kewajiban wakil rakyat tersebut, tapi justru wakilnya
sendiri juga tidak memahami / tidak mengerti tentang kewajibannya sebagai seorang
anggota legislatif di daerah.
Pemahaman
DPRD terhadap Legislasi
Tugas dan Wewenang DPRD diatur dalam Undang-Undang
Nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPD/DPR/DPRD Propinsi / DPRD
Kabupaten / Kota, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan
Daerah, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2004 tentang Pedoman Penyusuan
Tata tertib DPRD. Berdasarkan ketentuan di atas DPRD mempunyai tugas dan
wewenang
- membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama;
- menetapkan APBD bersama dengan kepala daerah ;
- melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, keputusan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah; kerjasma antar daerah dan kerjasama dengan fihak swasta;
- memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah;
- mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur;
- meminta laporan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan desentralisasi;
Dalam kedudukannya untuk menjalankan fungsi
legislasi DPRD memegang kekuasaan untuk membentuk peraturan daerah, dimana
usulan rancangan peraturan daerah tersebut dapat berasal dari Kepala Daerah dan
DPRD sendiri. Rancangan peraturan daerah yang berasal dari DPRD disampaikan
secara tertulis oleh pimpinan DPRD kepada pemerintah daerah setelah sebelumnya
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum rancangan tersebut dibahas dalam
rapat paripurna DPRD, disampaikan dulu kepada seluruh anggota DPRD. Hasil akhir
dari rancangan peraturan daerah ini adalah adanya persetujuan bersama antara
DPRD dan kepala daerah atas rancangan yang dibuat.
Sering kali tahapan, proses dan materi dari suatu Keputusan
DPRD membawa kepada pemahaman pada prosedur yang harus dilalui dalam membuat
dan mengusulkan peraturan daerah. Dengan proses yang demikian tersebut,
tentunya DPRD akan bekerja dan memproduk peraturan perundang-undangan
dalam bentuk PERDA sebagai implementasi tugas DPRD.
Meski begitu, apakah proses dan prosedur yang
dilalui DPRD hanya berpatok pada prosedur formal tersebut, mungkin saja ada
yang menjawab bahwa :“proses formal
pembuatan peraturan perundang-undangan yang menjadi kewenangan DPRD memang
sudah tergambarkan dalam suatu Keputusan DPRD, namun DPRD juga menyadari bahwa
karena materi perda itu menyangkut pengaturan permasalahan masyarakat di daerah,
maka semangat yang harus dirumuskan dalam pembuatannya juga harus selaras
dengan kepentingan masyarakat luas.”
Tidak tergambar dengan jelas atas uraian dimaksud
apakah PERDA itu harus sesuai dengan kehendak masyarakat, karena untuk
mengetahui kehendak masyarakat diperlukan
seperangkat proses yang harus dilalui, apakah melalui hearing, dialog,
penggalian informasi, termasuk penelitian, atau hanya cukup membayangkan
tentang kebutuhan masyarakat akan substansi yang harus diatur dalam PERDA.
Kalau yang dimaksud proses memahami semangat masyarakat itu diwujudkan dalam
bentuk hearing, dialog, penggalian informasi, termasuk penelitian, maka
akan ada seperangkat proses yang akan dilakukan DPRD dalam pembuatan peraturan
perundang-undangan. Dan hal ini akan ada proses pertanggung jawaban akademik
dari yang telah dilakukannya itu.
Menurut saya, suatu Keputusan DPRD tentang Tata
tertib DPRD bisa saja hanya merupakan hasil transfer / duplikat ketentuan yang
terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2004 tentang Pedoman
Penyusunan Tatib DPRD tanpa mampu merumuskan aturan pelaksana yang berbasis
pada prinsip-prinsip keterbukaan dan pelibatan masyarakat. Perumusan Tata
tertib DPRD dalam prosesnya harus mengundang elemen masyarakat untuk diminta
masukan, namun sering kali terjadi dari sekian usulan yang diajukan oleh elemen
masyarakat tidak ada yang diakomodir dalam tata tertib DPRD.
Menurut saya bahwa sifat monopoli kekuasaan dalam
tata tertib DPRD tidak harus dominan, tata tertib DPRD harus memberikan ruang
bagi pelibatan publik dalam penyusunan dan pengesahan rancangan Peraturan
Daerah. Sehingga penting untuk mengetahui pemahaman setiap anggota DPRD tentang
fungsi legislasi apakah hanya sebatas formal-tekstual atau ada pemahaman yang
lebih subtansial.
Sebenarnya sebagian besar anggota DPRD sudah memahami
dengan baik Legal Drafting melalui pelatihan-pelatihan Legal Drafting baik yang
dilakukan di tingkat pusat, propinsi maupun Daerah. Namun pertanyaan yang
timbul adalah apakah pemahaman tersebut sudah teraplikasikan dalam pembuatan
suatu draft Rancangan Peraturan Daerah inisiatif DPRD? Atau mungkin pemahaman
anggota DPRD terhadap Legal Drafting didapatkan dari pelatihan-pelatihan legal
drafting yang diadakan di tingkat daerah, propinsi maupun pusat hanya sebatas pada
pemahaman akan tahapan proses pembuatan Peraturan Daerah.
Selain pemahaman anggota DPRD tentang Legal Drafting
yang hanya sebatas demikian, apakah anggota DPRD sudah memahami semangat
perubahan konstitusi yang telah menggeser kekuasaan legislasi kepada lembaga
Legislatif, dan bahkan terhadap perubahan konstitusi tersebut apakah anggota
DPRD sudah dapat memaknainya?
Pada umumnya pemahaman anggota DPRD tentang fungsi
Peraturan Daerah juga beragam. Namun mayoritas berpendapat bahwa Peraturan
Daerah berfungsi untuk mengatur masyarakat. Selain pendapat mayoritas demikian
sebagian anggota DPRD juga memahami fungsi Peraturan Daerah sebagai bentuk
perlindungan hukum terhadap hak-hak masyarakat. Adakah anggota DPRD yang memahami
bahwa Peraturan Daerah seharusnya menjadi alat untuk melakukan perubahan sosial
(Law is a tool as asocial engineering) dan pemberdayaan masyarakat (Social
Empowering )?
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat kita
simpulkan bahwa jika para anggota DPRD khususnya di Kabupaten Kupang tidak
benar-benar memahami fungsi Legislasi, maka hal ini akan sangat berpengaruh
terhadap produktivitas DPRD Kabupaten Kupang dalam melahirkan Rancangan
Peraturan Daerah yang berasal dari inisiatif DPRD.
Demikian juga pemahaman para anggota DPRD terhadap
perubahan konstitusi yang telah menggeser kekuasaan Legislasi kepada Lembaga
Legislatif akan sangat mempengaruhi inisiatif perubahan yang dimiliki oleh para
anggota DPRD khususnya di Kabupaten Kupang.
Pada umumnya fungsi Peraturan Daerah tidak harus
dipahami hanya sebatas untuk mengatur masyarakat. Sedangkan fungsi strategis
lainnya misalnya fungsi perlindungan terhadap hak-hak rakyat, fungsi perubahan
sosial dan fungsi pemberdayaan masyarakat juga harus dipahami oleh anggota DPRD.
Jika pemahamannya hanya sebatas untuk mengatur semata, maka akan menjadikan
mayoritas Peraturan Daerah hanya dijadikan sebagai legitimasi yuridis untuk
melakukan “Pungutan” kepada masyarakat atas nama pajak dan retribusi. Sementara
itu Peraturan Daerah yang mempunyai orientasi memberikan perlindungan terhadap
hak-hak rakyat, memberdayakan masyarakat dan melakukan perubahan terhadap
sistem pemerintahan ke arah yang good governance harus direspon secara
positif baik oleh DPRD atau Pemerintah daerah.
C. KENDALA
DALAM MEMPRODUK PERDA
Kendala-kendala yang mempengaruhi produktivitas DPRD dalam dalam
memproduk Peraturan Daerah (Perda), yaitu :
a)
Faktor
Individual
1. Kapasitas
Kapasitas anggota dewan dimaksud adalah berkaitan
dengan anggota dewan yang ada mayoritas adalah punya pemahaman dengan berlatar
pendidikan hukum yang sangat minim, terlebih pembuatan produk hukum sangat
membutuhkan kecermatan dan kepiawaian seseorang dalam membuat aturan yang akan
diterapkan pada skala pemerintahan daerah tersebut. Dengan kemampuan yang minim
tersebut dapat dilihat pada produk yang diciptakannya. Bagaimana memproduk
aturan yang efektif dan mempunyai daya efektifitas yang dapat memjawab
kebutuhan masyarakat daerah menjadi hal yang sulit ditemui.
Terungkap berkaitan dengan kapasitas anggota dewan
ini dalam membuat produk hukum sebagaimana disampaikan Nurul Yakin dengan mengatakan
:
“bahwa apa bisa mereka membuat
aturan hukum, kalau sebelumnya pun ia hanya berprofesi jadi Ibu rumah tangga
atau ada juga pengangguran. Bagaimana mungkin anggota DPRD tersebut dapat
menghasilkan, apalagi mempunyai inisiatif untuk membuat aturan yang betul-betul
diharapkan oleh masyarakat.”
Senada dengan yang disampaikan oleh Nurul Yakin
tersebut, ketua lembaga perlindungan konsumen Indonesia, Murdjoko, menyebut
bahwa terjadinya beberapa penolakan masyarakat terhadap rancangan PERDA karena
DPRD tidak mampu membaca realitas yang berkembang dimasyarakat karena minimnya
pemahaman DPRD akan fungsinya untuk membuat aturan itu sendiri.
Mungkin menarik juga disini jika mengutip pemikiran
Kanis Pari (Alm) politikus kawakan NTT yang berbicara tentang kader. Bahwa pembibitan
kader bangsa membutuhkan waktu lama. Bertahun-tahun tidak tumbuh, tidak
kelihatan bertumbuh. Tetapi sekali ia bertumbuh, sekali ia bisa bertumbuh, ia
akan bertumbuh terus. Bertumbuh terus menerus. Sambil bertumbuh, sambil
berkembang. Sambil berkembang, sambil berbiak. Sambil berbiak, sambil berpinak.
Beliau mengatakan hal itu berdasarkan pengalamannya.
Kanis Pari (Alm) juga mengatakan : kaderisasi adalah proses pematangan seorang
kader, pematangan seorang manusia muda yang diwarnai oleh kondisi dan situasi.
Hal tersebut sebenarnya mengandung makna bahwa
integritas seorang manusia terutama politisi itu diukur dari berbagai hal
antara lain konsistensinya dan komitmennya dalam berpolitik.
2. Latar
belakang
Selain pada kapasitas, faktor latar belakang
keilmuan dan latar belakang pekerjaan menjadi catatan tersendiri dalam melihat
kendala DPRD Kabupaten Kupang dalam melaksanakan fungsi legislasinya.
Menjadi ironi manakala lembaga yang bertugas
memproduk aturan namun diisi oleh orang-orang dengan pengalaman minim di bidangnya.
Tidak heran ketika aturan yang dihasilkannya banyak yang berorientasi pada
pemenuhan solusi pemerintahan yang tidak sistematis. Apalagi dari semua anggota
anggota DPRD tersebut ada yang belum pernah mengenyam pendidikan di perguruan
tinggi. Akan terjadi pemaksaan ide ketika kekuasaan legislasi
dipegangnya.
3. Kemauan
Kapasitas yang kurang dan latar belakang yang rendah
sebetulnya bukan faktor utama kendala DPRD Kabupaten Kupang dalam menjalankan
kekuasaan legislasinya selama punya kemauan yang tinggi untuk belajar dan terus
meng up grade diri dengan informasi yang selalu terbaru. Namun demikian
harapan ini hanya tinggal harapan mana kala dengan kemampuan yang minim
tersebut tidak diimbangi dengan kemauan belajar yang tinggi demi pelaksanaan
tugas dan fungsinya.
Dalam forum forum penggalian aspirasi di masyarakat pun,
tidak jarang proses yang dilakukannya cenderung sangat tertutup. Dengan indikasi
selalu yang dilibatkan adalah konstituen masing-masing partai. Hal ini dapat
dilihat dari daftar hadir dan undangan yang dibuat serta pengakuan orang-orang yang
dianggap kapable, tetapi tidak pernah dilibatkan proses pengambilan keputusan.
Kanis Pari (2004 : 71) bahwa pemimpin
dan orang yang hendak terjun ke dalam gelanggang politik perlu dikader
intensif. Tak ada pemimpin yang lahir instan. Generasi muda mesti digembleng
agar sungguh siap ketika berkiprah di ranah publik dan politik. Dan untuk hal
dimaksud, pendidikan politik mutlak perlu. Bagi Kanis Pari, pendidikan politik
merupakan upaya meningkatkan kesadaran masyarakat akan hak dan kewajiban
sebagai warga negara yang mampu mendeteksi usaha perebutan kekuasaan yang tidak
sejalan dengan the rules of game dan norma-norma. Selain itu, pendidikan
politik dapat meningkatkan kesadaran dan kebebasan untuk memilih para pemimpin
negara atau daerah serta wakil-wakil rakyat yang mampu menyelenggarakan
keadilan dan kesejahteraan umum.
Berbeda dengan Kanis Pari, kini banyak pemimpin dan
politisi masa kini sibuk menjadikan jabatan sebagai medium raup popularitas dan
kalkulasi ekonomi. Politik tidak dimaknai sebagai panggilan, orang berpolitik
minus etika. Tak ada pendidikan politik intensif. Kaderisasi pun seakan barang
mewah. Orang mudah pindah dari satu partai kepada partai politik lain. Asal punya
uang. Politik uang akhirnya tak terbantahkan lagi. Ini bukti betapa pragmatisme
sedang mendominasi kultur perpolitikan kita.
b)
Faktor
Institusional
Selain faktor invidual, faktor lain yang turut menjadi
kendala bagi DPRD dalam memproduk Rancangan Peraturan Daerah adalah faktor
institusional. Misalnya :
1. Budaya
politik
Perilaku politik DPRD yang merupakan kendala eksternal
karena hal tersebut merupakan perilaku yang sudah menginstitusional di
DPRD. Dengan kondisi budaya politik demikian sulit apabila ada anggota DPRD
yang kemudian punya inisiasi untuk melakukan upaya – upaya politik yang
terhormat menjadi tidak berdaya apa-apa. Keluhan tentang budaya politik
demikian banyak diungkap oleh anggota dewan yang masih punya semangat tinggi
untuk terus melakukan upaya perubahan-perubahan bagi lingkungan DPRD.
Tidak jarang mereka yang punya semangat idealisme
yang tinggi, kemudian harus kandas lantaran proses politik menghendaki voting
untuk memutus sebuah permasalahan yang berkembang. Dan celakanya mayoritas yang
hadir dan ikut menentukan arah solusi permasalahan menjadi demikian tidak
simpatik dengan pilihan-pilihan politik yang dibuatnya.
2. Pengaruh
kekuatan politik (eksternal)
Kekuatan politik eksternal yang paling berpengaruh
atas kualitas produk legislasi DPRD adalah pasar / pemodal. Dimana peranan
pasar ini dalam mengintervensi proses pembuatan hukumnya terletak pada korelasi
produk hukum yang dibuat dengan warna produk hukum tersebut. Kekuatan pasar
akan selalu mendorong upaya pembuatan hukum yang berfihak padanya. Pada
saat-saat tertentu, pasar akan memaksakan keinginannya untuk tujuan investasi
yang dijalankannya.
D.
MARI
MEMILIH WAKIL RAKYAT YANG TEPAT
Satu periode keanggotaan DPR dan DPRD kita, sebentar
lagi akan berakhir. Banyak hal yang telah dihasilkan, namun tidak sedikit pula
pengungkapan-pengungkapan perilaku buruk dari para anggotanya, menjadi bahan
pembicaraan luas ditengah-tengah masyarakat saat ini.
Harus diakui, banyak anggota DPR RI dan DPRD kita
yang bermasalah. Banyak yang tidak bertindak sebagai wakil rakyat, karena
cenderung lebih mementingkan kepentingan partai dan aktif mencari imbalan jasa
atas setiap usaha atau kegiatan rapat yang mereka lakukan.
Jadi jangan heran kalau tidak sedikit anggota DPR
dan DPRD periode kemarin yang tersangkut masalah hukum, karena mereka memang
benar-benar tidak berniat sebagai wakil rakyat, namun sebagai wakil partai.
Perilaku yang tidak mementingkan rakyat, masih pula
ditambah dengan adanya perilaku amoral dalam diri sejumlah anggota DPR dan DPRD
kita, yang suka melakukan tindak pelecehan kepada kaum perempuan, atau
menjadikan kaum perempuan sebagai "insan" melampiaskan nafsu birahi
yang tak mampu ditahan.
Baik buruknya moral seseorang, memang kita tidak
tahu. Namun selayaknya kita, sebagai warga negara yang berhak memilih
wakil-wakilnya di DPR, tidak memilih pribadi-pribadi pemimpin yang tidak dapat
menjaga sikap dan perilakunya, karena buruknya perilaku anggota DPR dan DPRD
kita, akan berimbas pada kinerja mereka sebagai anggota legislatif.
Oleh sebab itu, kita harus benar-benar memilih calon
anggota legislatif, terutama yang kata-katanya tidak hanya berisi janji-janji,
suka membagi-bagikan uang, atau memilih seorang caleg yang hanya didasarkan
pada pertimbangan bahwa diri mereka berasal dari kaum "putih" yang
akan membela rakyat habis-habisan.
Mari kita lihat kenyataan hidup bahwa sejak mulanya
tidak ada seorangpun di tanah darat bumi kita ini, yang benar-benar "putih
dan bersih" tanpa bernoda. Temukanlah nama calon anggota legislatif yang
benar-benar bersedia hidup sebagai pengabdi bagi rakyat, bukan bersikap
eksklusif di mata rakyat, apalagi hanya berjuang untuk mementingkan kepentingan
satu kelompok atau golongan masyarakat semata.
Artinya, kita memilih calon pemimpin yang
benar-benar bersedia dan siap berdiri diatas kepentingan pribadi dan kelompok.
Mayoritas bukan berarti punya hak untuk menekan yang minoritas, karena tanpa
kaum minoritas, negara ini tidak memiliki simbol identitas PERSATUAN dan KESATUAN
BANGSA.
Oleh sebab itu, kita harus memilih calon anggota
legislatif yang benar-benar mau mengabdi untuk kepentingan seluruh rakyat,
bukan untuk kepentingan kelompok atau golongan semata.
Bangsa ini bukan milik sekelompok atau segolongan
orang saja. Bangsa ini adalah masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai
komunitas etnis, suku, dan iman kepercayaan. Bangsa ini adalah Bhineka Tunggal
Ika sejak dulu kala.
Pluralisme adalah fakta sejarah bangsa kita dan
telah tercipta jauh sebelum negara kita menyatakan diri sebagai bangsa yang
merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Jadi, janganlah kita memilih calon
anggota legislatif yang ingin "menyangkal" adanya pluralisme dalam
kehidupan masyarakat kita, sebab calon anggota legislatif yang ingin
"menyangkal" adanya pluralisme, cepat atau lambat, mereka akan
menebar benih-benih perpecahan dalam persatuan dan kesatuan di negara kita
dengan berbagai cara.
Kenapa demikian? Karena mereka akan memaksakan
kehendak agar hanya ada satu culture saja di negara ini, sedangkan negara kita
terdiri dari aneka budaya dan suku daerah, yang merupakan karunia Tuhan dan
membuat negara ini besar serta kaya akan ragam kebudayaan daerah.
Tanggal 9 April 2014 nanti, bangsa Indonesia kembali
akan mengadakan pemilu. Salurkanlah aspirasi politik dengan memilih calon
anggota legislatif yang dapat menyampaikan suara seluruh anggota masyarakat,
dan bukan segolongan saja.
Kita harus belajar dari situasi yang telah dibangun
serta diciptakan oleh para wakil rakyat periode 2009 - 2014, yang banyak
menghasilkan produk UU yang tidak aspiratif (cenderung lebih mengarah pada
pemenuhan kepentingan golongan atau kelompok tertentu), dan banyak yang
memiliki perilaku seorang koruptor atau amoral.
Kini berbagai
persiapanpun sejak dini sudah mulai dilakukan
sebagian partai politik peserta pemilu pun juga kandidat calon anggota
legislatif dari partai politik tertentu. Maka, tidak heran jika beberapa bulan
terakhir ini “atribut” kampanye pun sudah mulai bertebaran di sepanjang jalan
dan tempat-tempat tertentu yang strategis dan berpotensi menarik simpati.
Dalam
peraturan komisi pemilihan umum (PKPU) nomor 19 tahun 2013 tentang perubahan
kelima atas peraturan komisi pemilihan umum nomor 07 tahun 2012 tentang
tahapan, program, dan jadual penyelenggaraan pemilihan umum anggota dewan
perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah
tahun 2014 sebagaimana telah diubah terakhir dengan peraturan komisi pemilihan
umum nomor 06 tahun 2013, disana lengkap menyebutkan bahwa ada beberapa tahapan
yang mestinya ditaati untuk kelancaran proses pelaksanaan pemilu tahun 2014
salahsatunya tahapan kampanye.
Tahapan
kampanye merupakan agenda kegiatan peserta pemilu dengan maksud untuk
meyakinkan pemilih dengan cara menawarkan visi, misi dan program peserta pemilu
tersebut. Ditegaskan juga dalam peraturan komisi pemilihan umum (PKPU)
nomor 15 tahun 2013 tentang perubahan atas peraturan komisi pemilihan
umum nomor 01 tahun 2013 tentang pedoman pelaksanaan kampanye pemilihan umum
anggota dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah dan dewan perwakilan
rakyat daerah.
Dewasa ini
bentuk kampanye pada prakteknya bermacam cara bisa melalui pemberitaan di mass
media juga di media elektronik, penyiaran maupun iklan-iklan kampanye lainnya.
Kampanye seringkali dijadikan “lahan” untuk curi start dalam mensosialisasikan
visi, misi dan program. Sesuai aturan ini merupakan sebuah pelanggaran
sebenarnya. Namun, ini acapkali diabaikan oleh pihak-pihak tertentu yang
mancoba untuk memanfaatkan situasi seperti ini.
Misalkan
saja, jika ada salah satu kandidat calon anggota legislatif di daerah yang
memasang baliho/ spanduk di jalanan maka, siapa yang berwenang untuk
menertibkan baliho/ spanduk tersebut? Satuan polisi pamong praja (satpol PP)
ataukah komisi pemilihan umum daerah? Ini menjadi multi intepretasi dalam
memahami aturan mainnya. padahal sudah jelas sekali regulasinya tinggal
bagaimana instansi-instansi terkait yang telah diberi “tugas” untuk menjalankan
tugasnya masing-masing sesuai dengan aturan mainnya.
Fenomena
demikian acap kali terjadi berbagai daerah di Indonesia. Pembagian kewenangan
dan pembagian tugas sesuai dengan standart operational prosedur (SOP) dan
aturan mainnya sesuai yang diamanatkan lalai untuk dilaksanakan. Panulis
menduga ada masalah mendasar baik dalam hal pemilihan anggota dewan perwakilan
rakyat, dewan perwakilan daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah, pembagian
kewenangan antar lembaga/ institusi terkait penyelenggaraan pemilu dan aturan
main kampanye serta tahapan-tahapan pemilu selanjutnya.
Pertama,
uncommunication/ belum maksimalnya komunikasi yang baik antara penyelenggara
pemilu, bawaslu juga peserta pemilu, sehingga diharapkan nantinya muncul
kesepahaman yang baik diantara mereka tentang bagaimana pemilu tersebut
dilaksanakan. Ketika masing-masing diantara mereka “seia-sekata” atau cukup
mengerti dan paham, sudah barang tentu akan melahirkan ketaatan terhadap
regulasi yang muncul memang dari kesadaran diri sendiri.
Kedua,
belum maksimalnya sosialisasi regulasi yang mengatur tentang ini. Sosialiasi
dilakukan sebaiknya bukan hanya sebatas “rutinitas” untuk sekedar menghabiskan
anggaran saja namun, sosialisasi dimaksudkan benar-benar dilakukan dengan
tujuan agar semuanya menjadi paham regulasi yang mengaturnya. Ketiga, budaya
politik praktis yang menganggap remeh peraturan yang dibuat. Pada poin yang
terakhir ini yang menjadi permasalahan rumit karena terkait dengan tindakan/
sikap yang “menggampangkan” aturan sehingga aturan yang seyogyanya dibuat untuk
dijalankan namun pada pelaksanaannya cenderung diabaikan. Padahal, setiap
aturan punya konsekuensi logisnya yaitu jika melanggar aturan maka,
konsekuensinya dapat sanksi.
Oleh karena
itu, dengan melihat kembali uraian-uraian tentang DPR / DPRD sebagaimana telah
diuraikan di depan khususnya untuk wilayah pemerintahan Kabupaten Kupang, sudah
sepatutnya kita masyarakat pemilih yang akan melangsungkan pesta demokrasi pada
tanggal 9 April 2014 mendatang sedini mungkin harus benar-benar mengenal bakal
calon wakil rakyat yang akan kita pilih pada 9 April 2014 mendatang. Ingat bahwa
1 menit di dalam bilik suara akan menentukan nasib kita sebagai rakyat selama 5
tahun kedepan. Karena itu berikut ini akan saya sajikan beberapa tips yang
sudah saya himpun dari berbagai sumber yang bisa membantu kita dalam menentukan
pilihan kita nanti.
1.
Perlu
kecerdasan pada PEMILU 2014
Bila masyarakat Kabupaten Kupang menginginkan daerah
ini jadi lebih baik, maka mengutip tulisan seorang sahabat blog perlu
kecerdasan pada pemilu 2014.
Nasib daerah ini benar-benar ada di tangan peserta pemilih, bukan di tangan
calon legislatif nantinya. Salah memilih calon legislatif, maka Kabupaten Kupang kedepan
sudah bisa dibayangkan tidak akan jauh berbeda dengan saat ini. Jujur saja
banyak diantara kita telah salah memilih, bila melihat daftar hadir palsu,
kursi kosong ketika sidang, tidur saat sidang, nongkrong di kantin saat sidang,
produk undang-undang yang tidak pro rakyat dan lain sebagainya disamping
skandal korupsi dan problem lainnya.
Pemilu 2014 sudah dekat, calon Legislatif
berbondong-bondong mendaftarkan diri sebagai calon legislatif dari partai
politiknya masing-masing. Berbagai golongan dan profesi calon legislatif akan
meramaikan persaingan di pemilu 2014. Mulai dari politik handal dan kawakan
hingga politikus karbitan akan bertarung di pemilu 2104. Sepertinya jabatan
wakil rakyat entah itu di tingkat daerah atau pusat sangatlah menggiurkan seluruh lapisan masyarakat tak terkecuali.
Aneh bin ajaib, banyak yang mendadak perduli dan
ingin mewakili rakyat di dewan perwakilan rakyat, padahal untuk perduli
sebenarnya tidak harus duduk di DPR-RI, DPRD tingkat 1 atau DPRD tingkat 2.
Seperti banyak contoh yang telah dilakukan oleh beberapa masyarakat di
Indonesia ini tanpa harus menjadi anggota legislatif, tapi sangat perduli
bahkan melebihi keperdulian wakil rakyat aslinya. Apa sebenarnya yang menjadi
motivasi calon legislatif dadakan, padahal mereka tidak perlu jadi anggota
legislatif pun bisa berbuat banyak bagi kepentingan dan kebaikan di
masyarakat. Masa sih tertarik study banding atau sebutan yang terhormat.
Siapapun memang berhak ikut menjadi calon
legislatif, entah itu artis, pengusaha, dan lain sebagainya, tapi apakah
semudah itu menjadi wakil rakyat. Apakah modal populer, punya duit, cantik atau ganteng dan bisa ngoceh bisa menjamin dapat
melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat? Bukankah saat ini saja banyak
produk undang-undang yang selalu mendapat perlawanan dari rakyat dengan aksi demonya? Lalu dimana letak wakil rakyatnya? Nah dari kejadian
yang lalu-lalu, sepertinya tidak mudah menjadi wakil rakyat yang benar-benar
mewakili rakyatnya.
Bila melihat kursi kosong disaat sidang saja itu
membuktikan, bahwa mereka yang duduk di dewan perwakilan rakyat sesungguhnya
tidak perduli dengan rakyat, apalagi mewakili rakyat. Mereka itu dibayar oleh
rakyat dan dipilih oleh rakyat, tapi pada kenyataannya diantara mereka tega
menyakiti hati rakyat. Tidakkah kenyataan ini menjadi bahan pemikiran bagi kita
pemilih calon legislatif yang akan bertarung di pemilu 2014 nanti? Satu lagi
kenyataan yang terjadi adalah calon legislatif karbitan rata-rata hanya
mewakili rakyat disaat membutuhkan suara pemilih, setelah itu? Orang kupang bilang
: “siapa
lu siapa beta?”
Wakil rakyat bukan hanya sekedar bicara peduli
disaat menjadi calon, tapi lebih dari itu. Kemampuan intelektual, moral, etika,
sehat jasmani dan rohani calon legislatif sangatlah diperlukan dalam
menjalankan amanah pemilihnya. Satu lagi sepertinya yang perlu diperhatikan
dari para calon wakil rakyat di pemilu 2014 nanti, yaitu apakah mereka sepertinya
memiliki rasa malu dan jangan sampai membuat malu daerah nantinya.
2.
Kenalilah "SIAPA DIA"
Mengenal
calon wakil rakyat (DPRD), menjadi 'keharusan' bagi setiap warga peserta
pemilih di daerah yang sudah mempunyai hak untuk memilih. Mengapa? Karena
keberlangsungan daerah ini, secara formal, baik secara nasional, kewilayahan maupun
setingkat kota atau kabupaten, hanya dipimpin oleh mereka. Setiap warga negara
hanya akan terwakili hak politik dan aspirasinya melalui wakil-wakilnya yang
duduk sebagai anggota parlemen (DPD, DPR, DPRD Provinsi, atau DPRD
Kabupaten/Kota).
Hal tersebut
di atas, menjelaskan dengan pasti mekanisme keterwakilan setiap warga negara,
dan posisi setiap warga negara dalam sistem pemerintahan yang demokratis.
Sebagai warga negara kita harus
peduli untuk;
1. Dengan penuh kesadaran memberikan
hak pilih/suara disetiap hajatan (pesta) demokrasi itu. baik di saat Pileg,
Pilpres, termasuk pilkada.
2. Menggunakan hak pilih kita dengan
mengenal lebih dalam calon pemimpin atau calon wakil rakyat pilihan kita.
Mengapa?
Karena, di tangan merekalah kita menyerahkan keterwakilan kita dalam
pengelolaan daerah kita. Termasuk setiap sumberdaya (keuangan) yang digunakan
untuk penyelenggaraan pembangunan. Baik itu pekerjaan fisik maupun
program-program pembangunan yang menyentuh langsung ke masyarakat.
Sebab jika
kita salah memilih wakil rakyat, jawabannya tentu saja seperti yang biasa jadi
berita di televisi, koran, radio atau media massa lainnya. Bentuknya bisa
korupsi, penyalahgunaan wewenang, kongkalingkong, hingga ada yang tidak
mengerti tugasnya sebagai wakil rakyat.
Dengan demikian,
adalah penting untuk kita –suka atau tidak suka, untuk mengenali lebih dekat
profil orang yang bakal jadi wakil kita, baik untuk pusat maupun secara khusus
di daerah Kabupaten Kupang. Agar hak politik kita dapat diperjuangkan dan
diwakili sepenuhnya secara sadar dan benar oleh mereka yang kita pilih.
3. Kenali Latar Belakang Pribadinya
Untuk
mengenal siapa calon wakil kita yang akan duduk di parlemen, yang pertama tentu
wajib kita kenali betul pribadinya. Siapa dan bagaimana keluarganya, termasuk
dalam hal ini adalah pendidikan, karir atau pekerjaan, dan pengalamannya berorganisasi.
Dengan
mengenal latar belakang pribadi calon pemimpin atau wakil rakyat, kita kemudian
akan memahami sisi dalam mereka secara lebih personal, lebih dekat. Sehingga
bisa saja ada semacam relasi yang seirisan secara emosional, misalnya
kekerabatan, kekeluargaan, kesamaan profesi, kemampuan dasar (kompentensi)
profesional si calon, hingga pada akhirnya kita dapat mengukur kadar
integritasnya. Bahkan pemilih bisa melakukan cross check yang terkait pribadi
si calon sebagai uji shahih.
Ingat!
integritas (kejujuran) melalui keterbukaan informasi calon pemimpin secara
personal jarang diketahui masyarakat, padahal inilah akar keterkaitan calon
dengan masyarakatnya (pemilih). Hal ini akan membuat mereka (calon) lebih
bertanggung jawab atas latar belakang pribadinya. Dan hal itu juga yang
kemudian menjadi pijakan kita untuk memberikan kepercayaan (trust), bahwa sang
calon benar-benar dapat kita percaya sebagai wakil kita yang sesungguhnya.
Latar
belakang pribadi biasanya dapat lebih bisa menjadi ukuran yang pasti ketimbang
bentuk-bentuk pencitraan yang dilakukan calon dengan menebar atribut kampanye
dengan berbagai pose diri dan kalimat-kalimat janji yang sudah dipoles
sana-sini. Di sini pula sesungguhnya banyak calon wakil rakyat diuji untuk
berani membuka latar pribadinya sebagai pertaruhan nama baiknya kelak.
Demikian
pula dengan pemilih, mereka akan lebih merasa dihargai ketika berjalin
komunikasi baik secara politik maupun perasaan pribadinya. Terlebih di era
Indonesia yang selera masyarakatnya sangat melodramatik, terkadang pencitraan
atau isu mengaburkan pemilih dalam mengenal siapa sosok sebenarnya calon wakil
mereka secara objektif.
4. Kenali Rekam Jejaknya di Masyarakat
Menjadi
wakil rakyat, pemahamannya juga dapat berarti memegang kewenangan-kewenangan
“sakti” atas nama rakyat. Dengan fungsi seperti dua mata pisau. Di mana
kewenangan tersebut bisa digunakan sepenuhnya untuk menyuarakan suara dan
kepentingan hajat hidup orang banyak. Sisi lain bisa pula kemudian menjual
“atas nama rakyat” untuk kepentingan tertentu. Apalagi kewenangan-kewenangan
itu juga terkait erat dengan penggunaan kekayaan dan keuangan negara yang notabene
hasil keringat rakyat.
Bukan
rahasia lagi bahwa magnet politik kekuasaan membuat orang begitu tertarik ingin
mendudukinya. Dengan tujuan sebagaimana kepentingan pribadinya, termasuk hasrat
ingin dikenal, disegani, hingga memperkaya diri sendiri. Untuk urusan ini pasti
semua sepertinya bersepakat untuk tidak memilih calon wakil rakyat macam itu.
Karena
‘kekuasaan’ wakil rakyat seperti itulah, maka mengetahui rekam jejak (track
record) si calon dalam kiprahnya di masyarakat menjadi penting. Walaupun
umumnya rekam jejak ini akan dengan sendirinya mengalir lancar di masyarakat
manakala orang tersebut berlaku baik dan punya karya nyata di masyarakatnya.
Lantas bagaimana jadinya jika tiba-tiba ada orang dari negeri “atas berantah”
bisa mengerti dan mewakili masyarakatnya, apalagi rekam jejaknya tidak
diketahui oleh pemilihnya. Barangkali waktu akan menyadarkan masyarakat pemilih
untuk aktif mencari tau sebelum mereka memutuskan memberikan pilihan kepada
salah satu calon wakilnya.
Rekam
jejak calon wakil rakyat setidaknya dapat menjadi patokan bagaimana si calon
berperilaku sosial di tengah-tengah masyarakatnya. Jika baik dia, besar kemungkinan
akan timbul reaksi positif, dan sebaliknya jika buruk peranannya di masyarakat
maka akan buruk juga tanggapannya dari masyarakat. Hal ini umumnya dibuktikan
masyarakat dengan keikutsertaan si calon dalam organisasi-organisasi sosial di
masyarakat, perannya sebagai tokoh maupun posisinya sebagai panutan orang
banyak.
5. Mengetahui Tugas dan Fungsinya
sebagai Anggota Dewan
Yang
paling pokok sebagai wakil rakyat di parlemen adalah setiap Anggota Dewan
memahami dan mengerti tugas-tugasnya sebagai wakil rakyat. Faktanya mereka
lebih mempopulerkan diri dengan menjual visi-misi yang mengawang-awang, ingin
memperjuangkan ini dan itu, jika pun terpilih bagaimana cara mewujudkan
janjinya banyak yang tidak paham. Akhirnya sama saja bukan, fenomena bolos sidang,
interupsi ngawur, sampai tidak memiliki konsep apapun ketika berhadapan dengan
fungsinya sebagai legislator menyebabkan aspirasi rakyat tak pernah
diperjuangkan.
Idealnya,
setiap calon wakil rakyat memahami betul kompetensi pribadinya dan pada bidang
apa dia akan berjuang bagi masyrakatnya saat menjadi anggota dewan. Strategi
perjuangan itulah yang kemudian harusnya disosialisasikan kepada masyarakat dan
masyarakat pun tau apa yang akan dilakukan orang yang akan dipilihnya jika dia
terpilih sebagai anggota dewan. Itu lebih pasti ketimbang janji-janji yang ada
di alam mimpi.
Perlu
diluruskan, memilih wakil rakyat untuk jadi anggota tidak sama dengan memilih
(misal) pemimpin daerah. Karena hak dan kewenangan anggota dewan berbeda dengan
pemimpin (eksekutif). Anggota dewan dapat dikatakan maksimal mengerjakan
tugas-tugasnya sebagai dengan ukuran-ukuran seperti; mampu memberikan terobosan
produk-produk hukum berupa UU atau Perda yang memihak kemaslahatan masyakarat.
Kemudian dapat melakukan fungsi kontrol kepada eksekutif terhadap
program-program pembangunan yang akan, sedang, atau sudah dilakukan. Mewakili
aspirasi rakyat untuk disalurkan kepada saluran-saluran yang sesuai, baik
dipemerintahan maupun kepada pihak lainnya.
6. Mematahkan Sekat Calon dan Asal Partainya
Semua
partai sama kotornya! Boleh jadi sebagian besar masyarakat pemilih punya
penilaian itu. Faktanya, rata-rata tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu 3
periode ke belakang masih di atas angka 60%. Artinya masih banyak juga
masyarakat yang menggunakan hak pilihnya. Jangan lupa berapa pun tingkat
partisipasi pemilih, calon wakil rakyat sah atas suara yang diperolehnya.
Mari kita
abaikan asumsi kalimat bahwa ‘semua partai sama kotornya’. Yang pasti KPU telah
memulai melakukan tahapan pemilu legislatif 2014 dan saat ini sudah menetapkan
Daftar Calon Tetap (DCT) ke publik. Pertanyaannya apakah nama-nama calon baik
untuk DPD, DPR, DPRD provinsi maupun kabupaten/kota yang ada sudah dikenal?
Atau sudahkah masyarakat mengenal calon-calon tersebut lebih dekat? Lantas
masih adakah calon yang saat ini sudah membuka diri memperkenalkan diri
sehingga masyarakat tau sosok mereka yang sebenar-benarnya?
Jika saja
skenario setiap calon anggota parlemen kita disetiap tingkatan mempunyai
kesadaran untuk membuka diri secara transparan, tantangan bagi masyarakat
pemilih adalah melakukan dengan benar penilaian secara objektif. Sehingga
benar-benar akan menghasilkan calon wakil rakyat yang bermutu. Jika sudah
seperti itu bisa jadi orang tidak lagi akan melihat Siapa dicalonkan oleh
Partai apa. Melainkan; saya memilih Dia karena paham betul bagaimana orangnya,
dan percaya Dia bisa memegang amanat rakyat yang diwakilinya.
Demokrasi
menjamin tiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk dipilih. Hal ini
mendorong kompetisi perebutan kekuasaan menjadi mutlak sebagai proses
demokrasi. Dan tidak disangsikan lagi bahwasanya fenomena politik uang masih
mewarnai praktik kita dalam berdemokrasi (pemilu).
Dalam
posisi itu sesungguhnya hanya kekuatan moral dan mata hati rakyat yang bisa
menentukan siapa calon terbaik menurut mereka. Itupun berlaku sepanjang rakyat
sadar bahwa mereka mengenal betul calonnya dan tidak mau terbeli dengan politik
uang. Hal ini penting setidaknya sebagai tanggungjawab bagi kaum yang Beriman,
sehingga memiliki wakil rakyat yang jujur yang tidak akan melakukan apa yang
populer dengan istilah KKN.
E.
PENUTUP
Bertolak
dari berbagai peristiwa yang nyata dan diketahui oleh publik, politik menjadi
begitu identik dengan siasat untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, kadang
dengan cara manipulatif, tak jarang dengan melibatkan permainan uang. Politik
juga identik dengan penggunaan kedudukan resmi untuk mengumpulkan keuntungan
pribadi melalui berbagai cara, termasuk korupsi. Pada diri politikus, publik
menemukan bayang-bayang figur kaum Sofis dalam khazanah Yunani, yang lihai
dalam mengubah kesalahan menjadi kebenaran dan kebenaran menjadi kesalahan. Di
tangan mereka, politik nyata tidak mungkin seratus persen didasari kejujuran,
dan niscaya akan melibatkan dusta dan rekayasa.
Kurang-lebih
demikianlah gambaran tentang politik di Indonesia dewasa ini sebagaimana
disajikan pemberitaan media, talk show televisi, berbagai diskusi publik, dan
perbincangan panas di media sosial. Katakanlah yang terjadi ini disebut sebagai
krisis moralitas politik ataupun krisis martabat politik, hampir semua orang
terpelajar di negeri ini memahaminya. Tiada hari tanpa perbincangan tentang
politik, yang telanjur kehilangan martabatnya yang luhur.
Namun,
pada sisi lain, mengapa masih banyak orang ingin menjadi politikus? Bagaimana
menjelaskan antusiasme ribuan orang dalam memperebutkan daftar calon sementara
(DCS) anggota legislatif? Mereka adalah para pesohor, selebritas, intelektual,
aktivis, pengusaha, mantan pejabat, dan mantan anggota legislatif yang tentu
paham duduk masalah krisis yang terjadi. Mereka selama ini bahkan turut menjadi
pengkritik kinerja lembaga legislatif. Tetapi mengapa kemudian mereka berubah
menjadi ngotot ingin menjadi calon anggota legislatif (caleg)?
Politik
menampakkan diri sebagai paradoks, dan sebagian masyarakat juga menyikapinya
secara ambigu. Jika kita menanyakan motif mereka memasuki dunia politik, sudah
pasti kita mendapatkan jawaban yang melegakan. Mereka ingin merehabilitasi
politik yang sudah telanjur bengkok, ingin menciptakan sesuatu yang berbeda,
bertolak dari pengandaian politik sebagai institusi yang luhur dan membebaskan.
Apakah mereka nantinya berhasil menjadi antitesis dari para pendahulunya, kita
boleh optimistis maupun pesimistis.
Pergulatan
menjadi anggota lembaga legislatif adalah pergulatan menjadi manusia politik.
Namun manusia politik seperti apakah yang kita sama-sama bayangkan? Bertolak
dari pemikiran filsuf Yunani, Aristoteles, politik pertama-tama harus dipahami
sebagai persoalan pemisahan antara urusan privat dan urusan publik. Politik
baru terjadi ketika seseorang keluar dari zona kepentingan pribadi untuk
memasuki zona tindakan dan perjuangan untuk kepentingan bersama.
Maka, yang
pertama-tama harus dilakukan seorang politikus adalah mengendapkan motif-motif
privat: mencari pekerjaan, menumpuk kekayaan, menggapai kemasyhuran, atau
meraih kekuasaan. Mengutip rumusan Hannah Arendt, motif-motif privat ini adalah
segi-segi pra-politik yang dapat menyebabkan terjadinya kolonisasi urusan
pribadi ke dalam urusan publik. Jika kolonisasi ini dibiarkan terjadi, niscaya
politik akan dijalankan semata-mata sebagai urusan menguasai dan menundukkan
orang lain.
Pertanyaannya
kemudian: mampukah para caleg itu keluar dari domain kepentingan pribadi? Atau,
jangan-jangan justru motif privat itu yang mendasari keputusan mereka untuk
menjadi caleg. Masalah pokoknya, pemilu telanjur menjadi sangat materialistik
di mata para caleg maupun pemilik hak suara. Tak syak lagi, politik adalah
masalah uang. Menjadi caleg semakin lazim dijalani dengan logika investasi:
membutuhkan modal tidak sedikit, dan karena itu mesti kembali modal bahkan
menghasilkan keuntungan sekian tahun kemudian.
Ini
masalah besar yang kita hadapi saat ini. Max Weber (1958) membedakan antara
politikus yang hidup dari politik dan politikus yang hidup untuk politik.
Antara politikus yang menempatkan politik sebagai sarana untuk mengejar
kepentingan-kepentingan pribadi dan politikus yang menjadikan politik sebagai
tujuan utama bagi proses-proses pengabdian untuk kehidupan bersama. Kita tidak
tahu benar seperti apakah politikus yang notabene akan dihasilkan dalam hajatan
besar dan mahal tahun 2014 nanti.
Meminjam
pemikiran Hannah Arendt, manusia politik juga harus mampu menciptakan distingsi
diri dan mampu bertindak secara otentik. Mereka harus berbeda dengan yang lain
dan tidak sekadar mengekor para seniornya. Mereka harus mampu berjarak dan
bersikap kritis terhadap sistem serta lingkungan. Persoalan distingsi diri ini
sangat mendesak untuk ditekankan di sini. Sudah banyak kasus menunjukkan,
politikus yang awalnya baik-baik secara perlahan-lahan dapat berubah menjadi
korup, karena dia memasuki sistem yang korup atau bergaul dengan orang-orang
yang tidak kredibel. Dihadapkan pada keburukan yang sistemik dan kolektif,
mereka tidak berhasil menjaga otentisitas diri sehingga larut ke dalam
mentalitas kawanan. Mereka cepat kehabisan energi untuk mempertanyakan dan
memperbaiki prosedur atau mekanisme politik, lalu ikut-ikutan para seniornya
dalam memperagakan apa yang dikatakan Weber tadi: menjadikan politik sebagai
kendaraan untuk mengejar kepentingan pribadi atau partai politik.
Problem
mentalitas kawanan ini adalah batu besar yang harus dipecahkan para calon wakil
rakyat kita, sekaligus merupakan titik tolak jika mereka serius ingin memerangi
fenomena korupsi berjemaah, mafia anggaran, komodifikasi pasal undang-undang,
dan kongkalikong dalam memperebutkan jabatan-jabatan publik yang sudah demikian
identik dengan kinerja DPR selama empat tahun terakhir. Manusia politik
membutuhkan kemampuan untuk senantiasa berdialog dengan dirinya sendiri,
sehingga berani mengatakan tidak kepada sesuatu yang tidak sesuai dengan hati
nuraninya, dan berani melawan hal-hak yang tidak dapat diterima oleh akal
sehat.
Karena
itu, menjadi manusia politik tentu bukanlah perjalanan yang gampang.
Membutuhkan proses pendidikan, pengkaderan, penjenjangan, dan pematangan yang panjang.
Waktu satu tahun menjelang Pemilu 2014 tentu terlalu pendek untuk menjalankan
proses ini dan berisiko untuk menghasilkan manusia politik dalam pengertian
yang lain. *
Belajar dari pengalaman yang telah lalu, dimana
beberapa produk undang-undang selalu bertolak belakang dengan keinginan rakyat,
kinerja buruk, kelakuan minor hingga terjerat korupsi ditemui dan dilakukan
oleh sebagian dari yang terhormat di dewan perwakilan rakyat. Masa iya kita
harus terjerembab ke lubang yang sama hanya karena selembar gocap atau cepean,
akhirnya sengsara dan beli tempe saja tidak sanggup. Kita harus cerdas dalam
memilah dan mimilih siapa calon yang benar-benar mau bekerja untuk rakyat dan
benar-benar memiliki kemampuan menjadi anggota legislatif.
Cerdas bukan berarti kita harus sarjana atau doktor dalam
memilih calon legislatif, tapi kita cerdas dalam melihat track record
calon legislatif. Jangan sampai memilih calon hanya melihat keterkenalannya,
cantiknya, gantengnya atau parahnya adalah duitnya. Dijamin, Kabupaten Kupang ini
akan hancur bila modelnya seperti itu harus dipilih
lagi pada pemilu 2014 nanti. Satu hal yang harus dipertimbangkan adalah tidak mudah
dalam merumuskan satu ayat undang-undang. Lalu bagaimana bila memilih calon
legislatif yang hanya bermodalkan populer, duit dan hanya jago membual?
Untuk memilih calon legislatif tidak beda ketika
membeli suatu barang, dimana kualitas, penampilan atau harga menjadi bahan
pertimbangan disaat membeli. Masyarakat Kabupaten Kupang sebenarnya sudah maju,
hanya saja disaat-saat sekarang ini kebiasaan menerima dan iming-iming rayuan
gombal, apalagi disodori selembar duit kerap jadi lupa segalanya.
Lalu setelah sekian tahun berikutnya baru menyadari si A yang saya pilih itu
ternyata koruptor. Nah sobat, gimana kalo itu terjadi lagi di tahun 2014?
Sebagai bangsa yang telah merdeka sekian tahun
lamanya dan sekian lamanya belajar, seharusnya di pemilu tahun 2014 tidak lagi
terjebak rayuan gombal si mulut manis, tidak lagi melihat dia artis atau aktor,
tidak lagi mau dibeli untuk memilih. Kitalah raja dan kitalah yang menentukan
nasib calon itu tanpa paksaan dan tipuan mereka. Bangsa ini ada ditangan kita
memang, bukan ditangan para calon wakil rakyat seperti yang sudah-sudah. Jadi,
dalam memilih wakil rakyat di pemilu 2014 yang dibutuhkan hanya satu, yaitu
kecerdasan kita dalam memilih.
Kabupaten Kupang
pasti
akan lebih baik, lebih maju dan lebih sejahtera bila rakyat Kabupaten
Kupang cerdas dalam memilih calon legislatifnya di pemilu 2014 nanti. Jangan
sampai kita berjalan mundur seperti yang diajarkan menteri pendidikan, kita
harus maju bersama bangun negara ini. Jangan pula kita malu, karena dijaman
orde baru sebutan adil dan makmur bertebaran selama puluhan tahun, sedangkan
sekarang kata itu seperti hilang. Ya, meskipun jaman itu meninggalkan luka
dalam pada bangsa Indonesia. Apa salahnya bila setelah pemilu mendatang ada
slogan lebih dari sekedar adil dan makmur, tidak seperti saat ini yang sama
sekali tidak memiliki slogan kecuali slogan pujian palsu bangsa asing.
Ayo saudaraku sebangsa dan setanah air, saudara-saudaraku
di daerah Kabupaten Kupang, kita lupakan masa lalu dan pandang masa depan daerah
kita untuk lebih baik dan tidak lagi menjadi daerah besar hanya dalam sejarah. Kabupaten
Kupang harus menjadi daerah yang maju dan perduli pada rakyatnya, maka itu
perlu kecerdasan pada pemilu 2014. Merdeka! Kabupaten Kupang pasti maju, bila
kita cerdas dalam memilih wakil rakyat di pemilu 2014.
<<=======================
PUSTAKA
Cipto,
Bambang, Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Era Pemerintahan Modern-Industri,
PT. Grafindo Persada, Jakarta, 1995.
Ramdlon
Naning, Lembaga Legislatif Sebagai Pilar Demokrasi dan Mekanisme
Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, liberty Yogyakarta 1982.
Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang
No. 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPD/DPRD/D.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar