Total Tayangan Halaman

Minggu, 22 Desember 2013

Wakil Rakyat Antara Ada dan Tiada - Jawaban Cerdas Pemilu 2014

Gedung DPRD Kabupaten Kupang


A.    PENDAHULUAN
Dewan Perwakilan Rakyat (seterusnya disingkat DPR) adalah suatu struktur legislatif yang punya kewenangan membentuk undang-undang. Dalam membentuk undang-undang tersebut, DPR harus melakukan pembahasan serta persetujuan bersama Presiden. Fungsi-fungsi yang melekat pada DPR adalah: (1) fungsi anggaran; (2) fungsi legislasi; dan (3) fungsi pengawasan. Dalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut, setiap anggota DPR memiliki hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul, dan hak imunitas.
Anggota DPR seluruhnya dipilih lewat pemilihan umum dan setiap calonnya berasal dari partai-partai politik. Sec ara substansial, struktur dan fungsi DPRD I serta DPRD II adalah sama dengan DPR pusat. Hanya saja, lingkup kewenangan DPRD I adalah di tingkat Provinsi sementara DPRD II di tingkat Kabupaten atau Kota.
DPR merupakan sebuah lembaga yang menjalankan fungsi perwakilan politik (political representative) karena - menurut Jimly Asshiddiqie - fungsi legislatif berpusat di tangan DPR. Anggotanya terdiri atas wakil-wakil partai politik. Anggota DPR melihat segala masalah dari kacamata politik. Melalui lembaga ini, masyarakat di suatu negara diwakili kepentingan politiknya dalam tata kelola negara sehari-hari. Kualitas akomodasi kepentingan sebab itu bergantung pada kualitas anggota dewan yang dimiliki.
Dalam skema sistem politik David Easton, DPR bekedudukan hampir di setiap lini: (1) Dalam lini input, DPR merespon kepentingan masyarakat melakukan mekanisme pengaduan harian; (2) Dalam lini konversi DPR bersama pemerintah bernegosiasi bagaimana kepentingan masyarakat diakomodir; dan (3) Dalam lini output DPR mengeluarkan Undang-undang yang merupakan kebijakan negara yang harus dijalankan lembaga kepresidenan. Lebih lanjut, Almond telah merinci aneka fungsi yang dimaksud skema sistem politik Easton. Dalam konteks pemikiran Almond, maka DPR adalah struktur yang menjalankan fungsi-fungsi input (agregasi kepentingan, komunikasi politik) dan fungsi output yaitu legislasi. Dalam kekuasaannya sebagai legislator, DPR berhadapan dengan Presiden dan DPD. Harus ada kerjasama harmonis antara ketiga institusi ini, kendati kekuasaan legislatif tetap ada di tangan DPR.
Berdasar Pasal 20 UUD 1945, DPR dipahami sebagai lembaga legislasi atau legislator, bukan Presiden atau DPR. Dalam konteks pembuatan undang-undang oleh DPR ini, UUD 45 menggariskan hal-hal sebagai berikut: 
  •  DPR adalah pemegang kekuasaan legislatif, bukan Presiden atau DPD; 
  • Presiden adalah lembaga yang mengesahkan rancangan Undang-undang yang telah mendapat persetujuan besama dalam rapat paripurna DPR resmi menjadi Undang-undang; 
  • Rancangan Undang-undang yang telah resmi sah menjadi Undang-undang wajib diundangkan sebagaimana mestinya; 
  • Setiap rancangan undang-undang dibahas agar diperoleh persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam persidangan DPR; 
  • Jika RUU adalah inisiatif DPR, maka DPR sebagai institusi akan berhadapan dengan Presiden sebagai kesatuan institusi yang dapat menolak inisiatif DPR itu (seluruhnya atau sebagian). RUU itu tidak boleh lagi diajukan DPR dalam tahun sidang yang sama. Di sini, posisi DPR dan Presiden berimbang; 
  • Jika RUU inisiatif Presiden, maka DPR juga berhak menerima ataupun menolak (sebagian atau seluruhnya). DPR dapat melakukan voting untuk menerima atau menolak RUU yang diajukan Presiden itu; 
  • Jika suatu RUU telah disetujui dalam rapat paripurna DPR dan disahkan dalam rapat DPR tersebut, maka secara substantif ataupun materiil RUU tersebut sah sebaga UU. Namun, pengesahan DPR itu belum mengikat secara umum karena belum disahkan oleh Presiden serta diundangkan sebagaimana mestinya. Meski Presiden sudah tidak dapat lagi mengubah materinya atau tidak menyetujuinya, tetapi sebagai UU ia sudah sah; dan 
  • Suatu RUU yang disahkan DPR sebagai UU baru bisa berlaku umum mempertimbangkan kondisi berikut : (a) Faktor pengesahan oleh Presiden dengan cara menandatangani naskah Undang-undang itu; (b) Faktor tenggang waktu 30 hari sejak pengambilan keputusan atas rancangan UU tersebut dalam rapat paripurna DPR (pengesahan materil oleh DPR, pengesahan formil oleh Presiden).
DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Fungsi legislasi adalah fungsi membentuk undang-undang bersama dengan Presiden. Fungsi anggaran adalah menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bersama Presiden. Fungsi pengawasan adalah mengawasi jalannya pemberlakuan suatu undang-undang oleh DPR berikut aktivitas yang dijalankan Presiden
Untuk melaksakan fungsi-fungsinya, DPR memiliki serangkaian hak. Hak-hak tersebut dibedakan menjadi Hak DPR selaku Lembaga dan Hak DPR selaku Perseorangan. Hak DPR selaku Lembaga meliputi: (1) hak interpelasi; (2) hak angket; (3) hak menyatakan pendapat; (4) hak mengajukan pertanyaan; (5) hak menyampaikan usul dan pendapat; dan (6) hak imunitas.
Hak Interpelasi diatur dalam UU No.22 tahun 2003, yaitu sebagai lembaga DPR berhak meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hak Angket adalah hak DPR sebagai lembaga, untuk menyelidiki kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Hak Menyatakan Pendapat adalah hak DPR sebagai lembaga, untuk mengajukan usul menyatakan pendapat mengenai:
  • kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau situasi dunia internasional; 
  • tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket; dan 
  • dugaan bahwa Presiden dan atau Wapres melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wapres.
Selain itu, Hak DPR selaku Perseorangan meliputi (1) Hak Mengajukan RUU; (2) Hak mengajukan pertanyaan; (3) Hak menyampaikan usul dan pendapat; (4) Hak memilih dan dipilih; (5) Hak membela diri; (6) Hak imunitas; (7) Hak protokoler; dan, (8) Hak keuangan dan administratif.
Selain punya hak, anggota DPR juga punya kewajiban yang harus ia penuhi selama masa jabatannya (5 tahun). Kewajiban-kewajiban tersebut adalah:
  • Mengamalkan Pancasila
  • Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan ; 
  • Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan ;
  • Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia ;
  • Memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat
  • Menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat ;
  • Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan ;
  • Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya ;
  • Menaati kode etik dan Peraturan Tata Tertib DPR dan ;
  • Menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait.
 Di DPR, para anggota dewan tergabung ke dalam fraksi-fraksi. Fraksi adalah pengelompokan anggota dewan berdasarkan konfigurasi partai politik hasil Pemilihan Umum. Fraksi ini bersifat mandiri serta terbentuk dalam rangka optimalisasi dan pengefektivitasan pelaksanaan tugas, wewenang, hak dan kewajiban DPR. Fraksi mempunyai anggota sekurang-kurangnya 13 orang. Fraksi dapat juga dibentuk oleh gabungan anggota dari dua atau lebih partai politik hasil Pemilihan Umum yang kurang dari 13 orang atau dapat bergabung dengan Fraksi lain. Setiap anggota dewan harus menjadi anggota salah satu Fraksi. Pimpinan Fraksi ditetapkan oleh anggota Fraksinya masing-masing.
Tugas utama fraksi adalah mengkoordinasi kegiatan anggota dalam melaksanakan tugas dan wewenang mereka selaku anggota dewan. Fraksi juga bertugas meningkatkan kemampuan, disiplin, efektivitas, dan efisiensi kerja para anggota dalam melaksanakan tugas, dan tugas ini tercermin dalam setiap kegiatan DPR. DPR juga menyediakan sarana dan anggaran guna kelancaran pelaksanaan tugas Fraksi menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi.
Untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya, DPR membentuk Alat Kelengkapan DPR yang terdiri atas: (1) Pimpinan DPR; (2) Badan Musyawarah; (3) Komisi; (4) Badan Legislasi; (5) Panitia Anggaran; (6) Badan Urusan Rumah Tangga; (7) Badan Kerja Sama Antar-Parlemen; (8) Badan Kehormatan; dan (9) Panitia Khusus.

B.     KINERJA LEGISLATIF
Terlepas dari hal-hal tersebut yang telah diuraikan di atas, salah satu hal yang dapat menjadi faktor penentu tercapai dan terwujudnya harapan kita sebagai masyarakat melalui para wakil rakyat yang kita pilih adalah Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam melaksanakan kekuasaan Legislasi.
Belum ada standart baku mengenai ukuran kinerja DPRD dalam melaksanakan salah satu tugas dan fungsinya, yaitu fungsi legislasi. Dimana legislasi itu sendiri adalah produk politik yang menjadi pilihan kebijakan dalam menentukan arah permasalahan kalau itu sudah dalam bentuk PERDA.  Enri Setiowati menyebut peraturan perundang-undangan sebagai dokumen hukum yang mengikat publik dan institusi suatu Negara. Dengan demikian peran penting peraturan perundang-undangan adalah dalam rangka membuat pola di dalam masyarakat, baik pola/ sistem itu akan menjadi baik atau sebaliknya. Peraturan perundang-undangan yang baik adalah yang mampu membaca perubahan-perubahan yang akan terjadi, peraturan perundang-undnagan tersebut harus responsib atas tuntutan masyarakat. Karena masyarakat yang nantinya akan dikenai dalam pengaturan itu, mka bagaimanapun juga semangatnya harus sesuai dengan kehendak masyarakat.
Menurut A. Charisudin dalam makalahnya yang berjudul Problematika DPRD dalam penyusunan Peraturan Daerah, indikator kinerja DPRD dalam pelaksanaan fungsi legislasi dapat dilihat dari 2 (dua) hal yaitu : Produktivitas dalam menyusun draft rancangan peraturan daerah dan Pelibatan publik terutama yang terkena dampak dari peraturan yang diagendakan. Produktivitas menyangkut respon DPRD terhadap kebutuhan hukum masyarakat yang kemudian diwujudkan dalam bentuk draft rancangan peraturan daerah yang menjadi inisiatif DPRD dan keterlibatan publik menyangkut isi dari Rancangan Peraturan Daerah yang tidak boleh merugikan masyarakat namun justru harus mampu menjamin pemenuhan hak-hak masyarakat.
Menurut penulis bahwa kesemua Rancangan Peraturan Daerah baik yang telah disahkan maupun yang sedang dalam proses pembahasan di DPRD Kabupaten Kupang bisa saja berasal dari inisiatif Pemerintah Kabupaten Kupang, dan atau bahkan berasal dari hasil duplikat Perda periode tertentu.
Hal ini menunjukkan bahwa DPRD belum memahami dan memaknai semangat dari perubahan konstitusional yang terjadi pasca reformasi melalui amandemen UUD 1945 yang memberikan kekuasaan legislasi kepada Legislatif. Perubahan konstitusional tersebut belum mampu mendorong produktivitas DPRD Kabupaten Kupang dalam menggunakan hak inisiatifnya dalam pembuatan Rancangan Peraturan Daerah.
Selain dalam mengusulkan Rancangan Peraturan Daerah, inisiatif DPRD untuk mensosialisasikan dan melibatkan partisipasi rakyat dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah juga sangat minim, pembahasan Rancangan Peraturan Daerah mayoritas tanpa proses sosialisasi dan keterlibatan masyarakat yang kemudian berdampak pada proses pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tanpa keterlibatan masyarakat. Proses pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tanpa keterlibatan masyarakat menyebabkan produk Peraturan Daerah yang dihasilkan justru menimbulkan penolakan besar-besaran di masyarakat. Selain penolakan masyarakat atas Peraturan Daerah yang disusun tanpa melibatkan masyarakat, Peraturan daerah yang disusun tanpa melibatkan masyarakat juga berdampak pada “ketidaksukarelaan” masyarakat dalam melaksanakan kewajibannya, akhirnya masyarakat melaksanakan kewajibannya hanya karena ancaman sanksi bukan karena kesadaran hukum masyarakat, karena masyarakat tidak merasa memiliki Peraturan Daerah yang telah dibuat. Akhirnya dalam kondisi demikian antara rakyat dan Pemda tertanam benih-benih ketidakpuasan dan ketidakpercayaan (krisis kepercayaan) yang suatu saat apabila terakumulasi secara luas akan meledak dan mengahancurkan sendi-sendi kehidupan di daerah. Hal itu bisa terjadi karena Pemerintah lebih banyak hanya menggunakan pendekatan tirani kekuasaan dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tidak memposisikan Peraturan Daerah sebagai wujud dari “Kontrak Politik” antara rakyat dengan negara yang harus saling seimbang (Cheks and Balance).
Selain inisiatif membuat Rancangan Peraturan Daerah serta inisiatif mensosialisasikan dan melibatkan rakyat dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah yang tidak dimiliki oleh DPRD Kabupaten Kupang, inisiatif untuk memasukkan ide-ide pembaharuan sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah ke dalam Rancangan Peraturan Daerah juga hampir-hampir tidak dapat kita temukan, legislatif hanya bisa “mengamini” saja alur kepentingan yang dimasukkan oleh Pemda dalam Rancangan Peraturan Daerah yang diajukan oleh Pemda sendiri tanpa ada inisiatif untuk mengisi ide-ide pembaharuan dalam Rancangan Peraturan Daerah tersebut.
Sehingga tidak mengherankan bila yang kita lihat bukan perkembangan yang mengarah pada peningkatan kualitas pelayanan publik namun jutru kemerosotan di bidang itu. Potensi-Potensi Korupsi semakin meluas dan kasus-kasus penyelewengan kekuasaan semakin bermunculan.
Harus dipahami dan dimaklumi bahwa hampir sebagian besar masyarakat Kabupaten Kupang adalah orang yang tidak / kurang paham tentang bagaimana selanjutnya seorang wakil yang telah dipilihnya itu akan bekerja sebagai wakilnya di legislasi. Yang diketahui oleh masyarakat awam adalah dia sudah memilih dan memiliki wakilnya dan karena itu maka sudah pasti bahwa semua kebutuhannya di daerah akan terjawab. Jadi, pemilih tersebut hanya duduk menunggu dan menunggu di balik ketidakpahamannya tentang tugas, fungsi dan wewenang sang wakilnya di legislasi. Inilah masalahnya. Mengapa demikian? Menurut pengamatan saya, bahwa ternyata bukan saja masyarakat tersebut yang tidak paham tentang tugas, fungsi, dan kewajiban wakil rakyat tersebut, tapi justru wakilnya sendiri juga tidak memahami / tidak mengerti tentang kewajibannya sebagai seorang anggota legislatif di daerah.

Pemahaman DPRD terhadap Legislasi 
Tugas dan Wewenang DPRD diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPD/DPR/DPRD Propinsi / DPRD Kabupaten / Kota, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2004 tentang Pedoman Penyusuan Tata tertib DPRD. Berdasarkan ketentuan di atas DPRD mempunyai tugas dan wewenang
  1. membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama;
  2. menetapkan APBD bersama dengan  kepala daerah ;
  3. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, keputusan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional  di daerah; kerjasma antar daerah dan kerjasama dengan fihak swasta;
  4. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah;
  5. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur;   
  6. meminta laporan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan desentralisasi;
Dalam kedudukannya untuk menjalankan fungsi legislasi DPRD memegang kekuasaan untuk membentuk peraturan daerah, dimana usulan rancangan peraturan daerah tersebut dapat berasal dari Kepala Daerah dan DPRD sendiri. Rancangan peraturan daerah yang berasal dari DPRD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPRD kepada pemerintah daerah setelah sebelumnya selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum rancangan tersebut dibahas dalam rapat paripurna DPRD, disampaikan dulu kepada seluruh anggota DPRD. Hasil akhir dari rancangan peraturan daerah ini adalah adanya persetujuan bersama antara DPRD dan kepala daerah atas rancangan yang dibuat.
Sering kali tahapan, proses dan materi dari suatu Keputusan DPRD membawa kepada pemahaman pada prosedur yang harus dilalui dalam membuat dan mengusulkan peraturan daerah. Dengan proses yang demikian tersebut, tentunya DPRD akan bekerja dan memproduk peraturan  perundang-undangan dalam bentuk PERDA sebagai implementasi tugas DPRD.
Meski begitu, apakah proses dan prosedur yang dilalui DPRD hanya berpatok pada prosedur formal tersebut, mungkin saja ada yang menjawab bahwa :“proses formal pembuatan peraturan perundang-undangan yang menjadi kewenangan DPRD memang sudah tergambarkan dalam suatu Keputusan DPRD, namun DPRD juga menyadari bahwa karena materi perda itu menyangkut pengaturan permasalahan masyarakat di daerah, maka semangat yang harus dirumuskan dalam  pembuatannya juga harus selaras dengan kepentingan  masyarakat luas.”
Tidak tergambar dengan jelas atas uraian dimaksud apakah PERDA itu harus sesuai dengan kehendak masyarakat, karena untuk mengetahui kehendak masyarakat diperlukan seperangkat proses yang harus dilalui, apakah melalui hearing, dialog, penggalian informasi, termasuk penelitian, atau hanya cukup membayangkan tentang kebutuhan masyarakat akan substansi yang harus diatur dalam PERDA. Kalau yang dimaksud proses memahami semangat masyarakat itu diwujudkan dalam bentuk hearing, dialog, penggalian informasi, termasuk penelitian, maka akan ada seperangkat proses yang akan dilakukan DPRD dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Dan hal ini akan ada proses pertanggung jawaban akademik dari  yang telah dilakukannya itu.   
Menurut saya, suatu Keputusan DPRD tentang Tata tertib DPRD bisa saja hanya merupakan hasil transfer / duplikat ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Tatib DPRD tanpa mampu merumuskan aturan pelaksana yang berbasis pada prinsip-prinsip keterbukaan dan pelibatan masyarakat. Perumusan Tata tertib DPRD dalam prosesnya harus mengundang elemen masyarakat untuk diminta masukan, namun sering kali terjadi dari sekian usulan yang diajukan oleh elemen masyarakat tidak ada yang diakomodir dalam tata tertib DPRD.
Menurut saya bahwa sifat monopoli kekuasaan dalam tata tertib DPRD tidak harus dominan, tata tertib DPRD harus memberikan ruang bagi pelibatan publik dalam penyusunan dan pengesahan rancangan Peraturan Daerah. Sehingga penting untuk mengetahui pemahaman setiap anggota DPRD tentang fungsi legislasi apakah hanya sebatas formal-tekstual atau ada pemahaman yang lebih subtansial.
Sebenarnya sebagian besar anggota DPRD sudah memahami dengan baik Legal Drafting melalui pelatihan-pelatihan Legal Drafting baik yang dilakukan di tingkat pusat, propinsi maupun Daerah. Namun pertanyaan yang timbul adalah apakah pemahaman tersebut sudah teraplikasikan dalam pembuatan suatu draft Rancangan Peraturan Daerah inisiatif DPRD? Atau mungkin pemahaman anggota DPRD terhadap Legal Drafting didapatkan dari pelatihan-pelatihan legal drafting yang diadakan di tingkat daerah, propinsi maupun pusat hanya sebatas pada pemahaman akan tahapan proses pembuatan Peraturan Daerah.  
Selain pemahaman anggota DPRD tentang Legal Drafting yang hanya sebatas demikian, apakah anggota DPRD sudah memahami semangat perubahan konstitusi yang telah menggeser kekuasaan legislasi kepada lembaga Legislatif, dan bahkan terhadap perubahan konstitusi tersebut apakah anggota DPRD sudah dapat memaknainya?
Pada umumnya pemahaman anggota DPRD tentang fungsi Peraturan Daerah juga beragam. Namun mayoritas berpendapat bahwa Peraturan Daerah berfungsi untuk mengatur masyarakat. Selain pendapat mayoritas demikian sebagian anggota DPRD juga memahami fungsi Peraturan Daerah sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap hak-hak masyarakat. Adakah anggota DPRD yang memahami bahwa Peraturan Daerah seharusnya menjadi alat untuk melakukan perubahan sosial (Law is a tool as asocial engineering) dan pemberdayaan masyarakat (Social Empowering )?  
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat kita simpulkan bahwa jika para anggota DPRD khususnya di Kabupaten Kupang tidak benar-benar memahami fungsi Legislasi, maka hal ini akan sangat berpengaruh terhadap produktivitas DPRD Kabupaten Kupang dalam melahirkan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari inisiatif DPRD.
Demikian juga pemahaman para anggota DPRD terhadap perubahan konstitusi yang telah menggeser kekuasaan Legislasi kepada Lembaga Legislatif akan sangat mempengaruhi inisiatif perubahan yang dimiliki oleh para anggota DPRD khususnya di Kabupaten Kupang.
Pada umumnya fungsi Peraturan Daerah tidak harus dipahami hanya sebatas untuk mengatur masyarakat. Sedangkan fungsi strategis lainnya misalnya fungsi perlindungan terhadap hak-hak rakyat, fungsi perubahan sosial dan fungsi pemberdayaan masyarakat juga harus dipahami oleh anggota DPRD. Jika pemahamannya hanya sebatas untuk mengatur semata, maka akan menjadikan mayoritas Peraturan Daerah hanya dijadikan sebagai legitimasi yuridis untuk melakukan “Pungutan” kepada masyarakat atas nama pajak dan retribusi. Sementara itu Peraturan Daerah yang mempunyai orientasi memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat, memberdayakan masyarakat dan melakukan perubahan terhadap sistem pemerintahan ke arah yang good governance harus direspon secara positif baik oleh DPRD atau Pemerintah daerah.


C.    KENDALA DALAM MEMPRODUK PERDA
Kendala-kendala yang mempengaruhi produktivitas DPRD dalam dalam memproduk Peraturan Daerah (Perda), yaitu :
      a)      Faktor Individual
1.      Kapasitas
Kapasitas anggota dewan dimaksud adalah berkaitan dengan anggota dewan yang ada mayoritas adalah punya pemahaman dengan berlatar pendidikan hukum yang sangat minim, terlebih pembuatan produk hukum sangat membutuhkan kecermatan dan kepiawaian seseorang dalam membuat aturan yang akan diterapkan pada skala pemerintahan daerah tersebut. Dengan kemampuan yang minim tersebut dapat dilihat pada produk yang diciptakannya. Bagaimana memproduk aturan yang efektif dan mempunyai daya efektifitas yang dapat memjawab kebutuhan masyarakat daerah menjadi hal yang sulit ditemui.
Terungkap berkaitan dengan kapasitas anggota dewan ini dalam membuat produk hukum sebagaimana disampaikan Nurul Yakin dengan mengatakan :
“bahwa apa bisa mereka membuat aturan hukum, kalau sebelumnya pun ia hanya berprofesi jadi Ibu rumah tangga atau ada juga pengangguran. Bagaimana mungkin anggota DPRD tersebut dapat menghasilkan, apalagi mempunyai inisiatif untuk membuat aturan yang betul-betul diharapkan  oleh masyarakat.”

Senada dengan yang disampaikan oleh Nurul Yakin tersebut, ketua lembaga perlindungan konsumen Indonesia, Murdjoko, menyebut bahwa terjadinya beberapa penolakan masyarakat terhadap rancangan PERDA karena DPRD tidak mampu membaca realitas yang berkembang dimasyarakat karena minimnya pemahaman DPRD akan fungsinya untuk membuat aturan itu sendiri.
Mungkin menarik juga disini jika mengutip pemikiran Kanis Pari (Alm) politikus kawakan NTT yang berbicara tentang kader. Bahwa pembibitan kader bangsa membutuhkan waktu lama. Bertahun-tahun tidak tumbuh, tidak kelihatan bertumbuh. Tetapi sekali ia bertumbuh, sekali ia bisa bertumbuh, ia akan bertumbuh terus. Bertumbuh terus menerus. Sambil bertumbuh, sambil berkembang. Sambil berkembang, sambil berbiak. Sambil berbiak, sambil berpinak.
Beliau mengatakan hal itu berdasarkan pengalamannya. Kanis Pari (Alm) juga mengatakan : kaderisasi adalah proses pematangan seorang kader, pematangan seorang manusia muda yang diwarnai oleh kondisi dan situasi.
Hal tersebut sebenarnya mengandung makna bahwa integritas seorang manusia terutama politisi itu diukur dari berbagai hal antara lain konsistensinya dan komitmennya dalam berpolitik.

2.      Latar belakang
Selain pada kapasitas, faktor latar belakang keilmuan dan latar belakang pekerjaan menjadi catatan tersendiri dalam melihat kendala DPRD Kabupaten Kupang dalam melaksanakan fungsi legislasinya.
Menjadi ironi manakala lembaga yang bertugas memproduk aturan namun diisi oleh orang-orang dengan pengalaman minim di bidangnya. Tidak heran ketika aturan yang dihasilkannya banyak yang berorientasi pada pemenuhan solusi pemerintahan yang tidak sistematis. Apalagi dari semua anggota anggota DPRD tersebut ada yang belum pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Akan terjadi pemaksaan ide ketika kekuasaan legislasi dipegangnya. 
3.      Kemauan
Kapasitas yang kurang dan latar belakang yang rendah sebetulnya bukan faktor utama kendala DPRD Kabupaten Kupang dalam menjalankan kekuasaan legislasinya selama punya kemauan yang tinggi untuk belajar dan terus meng up grade diri dengan informasi yang selalu terbaru. Namun demikian harapan ini hanya tinggal harapan mana kala dengan kemampuan yang minim tersebut tidak diimbangi dengan kemauan belajar yang tinggi demi pelaksanaan tugas dan fungsinya.
Dalam forum forum penggalian aspirasi di masyarakat pun, tidak jarang proses yang dilakukannya cenderung sangat tertutup. Dengan indikasi selalu yang dilibatkan adalah konstituen masing-masing partai. Hal ini dapat dilihat dari daftar hadir dan undangan yang dibuat serta pengakuan orang-orang yang dianggap kapable, tetapi tidak pernah dilibatkan proses pengambilan keputusan.
   Kanis Pari (2004 : 71) bahwa pemimpin dan orang yang hendak terjun ke dalam gelanggang politik perlu dikader intensif. Tak ada pemimpin yang lahir instan. Generasi muda mesti digembleng agar sungguh siap ketika berkiprah di ranah publik dan politik. Dan untuk hal dimaksud, pendidikan politik mutlak perlu. Bagi Kanis Pari, pendidikan politik merupakan upaya meningkatkan kesadaran masyarakat akan hak dan kewajiban sebagai warga negara yang mampu mendeteksi usaha perebutan kekuasaan yang tidak sejalan dengan the rules of game dan norma-norma. Selain itu, pendidikan politik dapat meningkatkan kesadaran dan kebebasan untuk memilih para pemimpin negara atau daerah serta wakil-wakil rakyat yang mampu menyelenggarakan keadilan dan kesejahteraan umum.
Berbeda dengan Kanis Pari, kini banyak pemimpin dan politisi masa kini sibuk menjadikan jabatan sebagai medium raup popularitas dan kalkulasi ekonomi. Politik tidak dimaknai sebagai panggilan, orang berpolitik minus etika. Tak ada pendidikan politik intensif. Kaderisasi pun seakan barang mewah. Orang mudah pindah dari satu partai kepada partai politik lain. Asal punya uang. Politik uang akhirnya tak terbantahkan lagi. Ini bukti betapa pragmatisme sedang mendominasi kultur perpolitikan kita.

            b)     Faktor Institusional
Selain faktor invidual, faktor lain yang turut menjadi kendala bagi DPRD dalam memproduk Rancangan Peraturan Daerah adalah faktor institusional. Misalnya :  
1.      Budaya politik
Perilaku politik DPRD yang merupakan kendala eksternal karena hal  tersebut merupakan perilaku yang sudah menginstitusional di DPRD. Dengan kondisi budaya politik demikian sulit apabila ada anggota DPRD yang kemudian punya inisiasi untuk melakukan upaya – upaya politik yang terhormat menjadi tidak berdaya apa-apa. Keluhan tentang budaya politik demikian banyak diungkap oleh anggota dewan yang masih punya semangat tinggi untuk terus melakukan upaya perubahan-perubahan bagi lingkungan DPRD.
Tidak jarang mereka yang punya semangat idealisme yang tinggi, kemudian harus kandas lantaran proses politik menghendaki voting untuk memutus sebuah permasalahan yang berkembang. Dan celakanya mayoritas yang hadir dan ikut menentukan arah solusi permasalahan menjadi demikian tidak simpatik dengan pilihan-pilihan politik yang dibuatnya. 

2.      Pengaruh kekuatan politik (eksternal)
Kekuatan politik eksternal yang paling berpengaruh atas kualitas produk legislasi DPRD adalah pasar / pemodal. Dimana peranan pasar ini dalam mengintervensi proses pembuatan hukumnya terletak pada korelasi produk hukum yang dibuat dengan warna produk hukum tersebut. Kekuatan pasar akan selalu mendorong upaya pembuatan hukum yang berfihak padanya. Pada saat-saat tertentu, pasar akan memaksakan keinginannya untuk tujuan investasi yang dijalankannya.

D.    MARI MEMILIH WAKIL RAKYAT YANG TEPAT
Satu periode keanggotaan DPR dan DPRD kita, sebentar lagi akan berakhir. Banyak hal yang telah dihasilkan, namun tidak sedikit pula pengungkapan-pengungkapan perilaku buruk dari para anggotanya, menjadi bahan pembicaraan luas ditengah-tengah masyarakat saat ini.
Harus diakui, banyak anggota DPR RI dan DPRD kita yang bermasalah. Banyak yang tidak bertindak sebagai wakil rakyat, karena cenderung lebih mementingkan kepentingan partai dan aktif mencari imbalan jasa atas setiap usaha atau kegiatan rapat yang mereka lakukan.
Jadi jangan heran kalau tidak sedikit anggota DPR dan DPRD periode kemarin yang tersangkut masalah hukum, karena mereka memang benar-benar tidak berniat sebagai wakil rakyat, namun sebagai wakil partai.
Perilaku yang tidak mementingkan rakyat, masih pula ditambah dengan adanya perilaku amoral dalam diri sejumlah anggota DPR dan DPRD kita, yang suka melakukan tindak pelecehan kepada kaum perempuan, atau menjadikan kaum perempuan sebagai "insan" melampiaskan nafsu birahi yang tak mampu ditahan.
Baik buruknya moral seseorang, memang kita tidak tahu. Namun selayaknya kita, sebagai warga negara yang berhak memilih wakil-wakilnya di DPR, tidak memilih pribadi-pribadi pemimpin yang tidak dapat menjaga sikap dan perilakunya, karena buruknya perilaku anggota DPR dan DPRD kita, akan berimbas pada kinerja mereka sebagai anggota legislatif.
Oleh sebab itu, kita harus benar-benar memilih calon anggota legislatif, terutama yang kata-katanya tidak hanya berisi janji-janji, suka membagi-bagikan uang, atau memilih seorang caleg yang hanya didasarkan pada pertimbangan bahwa diri mereka berasal dari kaum "putih" yang akan membela rakyat habis-habisan.
Mari kita lihat kenyataan hidup bahwa sejak mulanya tidak ada seorangpun di tanah darat bumi kita ini, yang benar-benar "putih dan bersih" tanpa bernoda. Temukanlah nama calon anggota legislatif yang benar-benar bersedia hidup sebagai pengabdi bagi rakyat, bukan bersikap eksklusif di mata rakyat, apalagi hanya berjuang untuk mementingkan kepentingan satu kelompok atau golongan masyarakat semata.
Artinya, kita memilih calon pemimpin yang benar-benar bersedia dan siap berdiri diatas kepentingan pribadi dan kelompok. Mayoritas bukan berarti punya hak untuk menekan yang minoritas, karena tanpa kaum minoritas, negara ini tidak memiliki simbol identitas PERSATUAN dan KESATUAN BANGSA.
Oleh sebab itu, kita harus memilih calon anggota legislatif yang benar-benar mau mengabdi untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan untuk kepentingan kelompok atau golongan semata.
Bangsa ini bukan milik sekelompok atau segolongan orang saja. Bangsa ini adalah masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai komunitas etnis, suku, dan iman kepercayaan. Bangsa ini adalah Bhineka Tunggal Ika sejak dulu kala.
Pluralisme adalah fakta sejarah bangsa kita dan telah tercipta jauh sebelum negara kita menyatakan diri sebagai bangsa yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Jadi, janganlah kita memilih calon anggota legislatif yang ingin "menyangkal" adanya pluralisme dalam kehidupan masyarakat kita, sebab calon anggota legislatif yang ingin "menyangkal" adanya pluralisme, cepat atau lambat, mereka akan menebar benih-benih perpecahan dalam persatuan dan kesatuan di negara kita dengan berbagai cara.
Kenapa demikian? Karena mereka akan memaksakan kehendak agar hanya ada satu culture saja di negara ini, sedangkan negara kita terdiri dari aneka budaya dan suku daerah, yang merupakan karunia Tuhan dan membuat negara ini besar serta kaya akan ragam kebudayaan daerah.
Tanggal 9 April 2014 nanti, bangsa Indonesia kembali akan mengadakan pemilu. Salurkanlah aspirasi politik dengan memilih calon anggota legislatif yang dapat menyampaikan suara seluruh anggota masyarakat, dan bukan segolongan saja.
Kita harus belajar dari situasi yang telah dibangun serta diciptakan oleh para wakil rakyat periode 2009 - 2014, yang banyak menghasilkan produk UU yang tidak aspiratif (cenderung lebih mengarah pada pemenuhan kepentingan golongan atau kelompok tertentu), dan banyak yang memiliki perilaku seorang koruptor atau amoral.
Kini berbagai persiapanpun sejak dini sudah mulai dilakukan sebagian partai politik peserta pemilu pun juga kandidat calon anggota legislatif dari partai politik tertentu. Maka, tidak heran jika beberapa bulan terakhir ini “atribut” kampanye pun sudah mulai bertebaran di sepanjang jalan dan tempat-tempat tertentu yang strategis dan berpotensi menarik simpati.
Dalam peraturan komisi pemilihan umum (PKPU) nomor 19 tahun 2013 tentang perubahan kelima atas peraturan komisi pemilihan umum nomor 07 tahun 2012 tentang tahapan, program, dan jadual penyelenggaraan pemilihan umum anggota dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah tahun 2014 sebagaimana telah diubah terakhir dengan peraturan komisi pemilihan umum nomor 06 tahun 2013, disana lengkap menyebutkan bahwa ada beberapa tahapan yang mestinya ditaati untuk kelancaran proses pelaksanaan pemilu tahun 2014 salahsatunya tahapan kampanye.
 Tahapan kampanye merupakan agenda kegiatan peserta pemilu dengan maksud untuk meyakinkan pemilih dengan cara menawarkan visi, misi dan program peserta pemilu tersebut. Ditegaskan juga dalam peraturan komisi pemilihan umum (PKPU) nomor  15 tahun 2013 tentang perubahan atas peraturan komisi pemilihan umum nomor 01 tahun 2013 tentang pedoman pelaksanaan kampanye pemilihan umum anggota dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah.
Dewasa ini bentuk kampanye pada prakteknya bermacam cara bisa melalui pemberitaan di mass media juga di media elektronik, penyiaran maupun iklan-iklan kampanye lainnya. Kampanye seringkali dijadikan “lahan” untuk curi start dalam mensosialisasikan visi, misi dan program. Sesuai aturan ini merupakan sebuah pelanggaran sebenarnya. Namun, ini acapkali diabaikan oleh pihak-pihak tertentu yang mancoba untuk memanfaatkan situasi seperti ini. 
Misalkan saja, jika ada salah satu kandidat calon anggota legislatif di daerah yang memasang baliho/ spanduk di jalanan maka, siapa yang berwenang untuk menertibkan baliho/ spanduk tersebut? Satuan polisi pamong praja (satpol PP) ataukah komisi pemilihan umum daerah? Ini menjadi multi intepretasi dalam memahami aturan mainnya. padahal sudah jelas sekali regulasinya tinggal bagaimana instansi-instansi terkait yang telah diberi “tugas” untuk menjalankan tugasnya masing-masing sesuai dengan aturan mainnya.
Fenomena demikian acap kali terjadi berbagai daerah di Indonesia. Pembagian kewenangan dan pembagian tugas sesuai dengan standart operational prosedur (SOP) dan aturan mainnya sesuai yang diamanatkan lalai untuk dilaksanakan. Panulis menduga ada masalah mendasar baik dalam hal pemilihan anggota dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah, pembagian kewenangan antar lembaga/ institusi terkait penyelenggaraan pemilu dan aturan main kampanye serta tahapan-tahapan pemilu selanjutnya.
Pertama, uncommunication/ belum maksimalnya komunikasi yang baik antara penyelenggara pemilu, bawaslu juga peserta pemilu, sehingga diharapkan nantinya muncul kesepahaman yang baik diantara mereka tentang bagaimana pemilu tersebut dilaksanakan. Ketika masing-masing diantara mereka “seia-sekata” atau cukup mengerti dan paham, sudah barang tentu akan melahirkan ketaatan terhadap regulasi yang muncul memang dari kesadaran diri sendiri.
Kedua, belum maksimalnya sosialisasi regulasi yang mengatur tentang ini. Sosialiasi dilakukan sebaiknya bukan hanya sebatas “rutinitas” untuk sekedar menghabiskan anggaran saja namun, sosialisasi dimaksudkan benar-benar dilakukan dengan tujuan agar semuanya menjadi paham regulasi yang mengaturnya. Ketiga, budaya politik praktis yang menganggap remeh peraturan yang dibuat. Pada poin yang terakhir ini yang menjadi permasalahan rumit karena terkait dengan tindakan/ sikap yang “menggampangkan” aturan sehingga aturan yang seyogyanya dibuat untuk dijalankan namun pada pelaksanaannya cenderung diabaikan. Padahal, setiap aturan punya konsekuensi logisnya yaitu jika melanggar aturan maka, konsekuensinya dapat sanksi.
Oleh karena itu, dengan melihat kembali uraian-uraian tentang DPR / DPRD sebagaimana telah diuraikan di depan khususnya untuk wilayah pemerintahan Kabupaten Kupang, sudah sepatutnya kita masyarakat pemilih yang akan melangsungkan pesta demokrasi pada tanggal 9 April 2014 mendatang sedini mungkin harus benar-benar mengenal bakal calon wakil rakyat yang akan kita pilih pada 9 April 2014 mendatang. Ingat bahwa 1 menit di dalam bilik suara akan menentukan nasib kita sebagai rakyat selama 5 tahun kedepan. Karena itu berikut ini akan saya sajikan beberapa tips yang sudah saya himpun dari berbagai sumber yang bisa membantu kita dalam menentukan pilihan kita nanti.
            1.      Perlu kecerdasan pada PEMILU 2014
Bila masyarakat Kabupaten Kupang menginginkan daerah ini jadi lebih baik,  maka mengutip tulisan seorang sahabat blog perlu kecerdasan pada pemilu 2014. Nasib daerah ini benar-benar ada di tangan peserta pemilih, bukan di tangan calon legislatif nantinya. Salah memilih calon legislatif, maka Kabupaten Kupang kedepan sudah bisa dibayangkan tidak akan jauh berbeda dengan saat ini. Jujur saja banyak diantara kita telah salah memilih, bila melihat daftar hadir palsu, kursi kosong ketika sidang, tidur saat sidang, nongkrong di kantin saat sidang, produk undang-undang yang tidak pro rakyat dan lain sebagainya disamping skandal korupsi dan problem lainnya.
Pemilu 2014 sudah dekat, calon Legislatif berbondong-bondong mendaftarkan diri sebagai calon legislatif dari partai politiknya masing-masing. Berbagai golongan dan profesi calon legislatif akan meramaikan persaingan di pemilu 2014. Mulai dari politik handal dan kawakan hingga politikus karbitan akan bertarung di pemilu 2104. Sepertinya jabatan wakil rakyat entah itu di tingkat daerah atau pusat sangatlah menggiurkan seluruh lapisan masyarakat tak terkecuali.
Aneh bin ajaib, banyak yang mendadak perduli dan ingin mewakili rakyat di dewan perwakilan rakyat, padahal untuk perduli sebenarnya tidak harus duduk di DPR-RI, DPRD tingkat 1 atau DPRD tingkat 2. Seperti banyak contoh yang telah dilakukan oleh beberapa masyarakat di Indonesia ini tanpa harus menjadi anggota legislatif, tapi sangat perduli bahkan melebihi keperdulian wakil rakyat aslinya. Apa sebenarnya yang menjadi motivasi calon legislatif dadakan, padahal mereka tidak perlu jadi anggota legislatif pun bisa berbuat banyak  bagi kepentingan dan kebaikan di masyarakat. Masa sih tertarik study banding atau sebutan yang terhormat. 
Siapapun memang berhak ikut menjadi calon legislatif, entah itu artis, pengusaha, dan lain sebagainya, tapi apakah semudah itu menjadi wakil rakyat.  Apakah modal populer, punya duit, cantik atau ganteng dan bisa ngoceh bisa menjamin dapat melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat? Bukankah saat ini saja banyak produk undang-undang yang selalu mendapat perlawanan dari rakyat dengan aksi demonya? Lalu dimana letak wakil rakyatnya? Nah dari kejadian yang lalu-lalu, sepertinya tidak mudah menjadi wakil rakyat yang benar-benar mewakili rakyatnya.
Bila melihat kursi kosong disaat sidang saja itu membuktikan, bahwa mereka yang duduk di dewan perwakilan rakyat sesungguhnya tidak perduli dengan rakyat, apalagi mewakili rakyat. Mereka itu dibayar oleh rakyat dan dipilih oleh rakyat, tapi pada kenyataannya diantara mereka tega menyakiti hati rakyat. Tidakkah kenyataan ini menjadi bahan pemikiran bagi kita pemilih calon legislatif yang akan bertarung di pemilu 2014 nanti? Satu lagi kenyataan yang terjadi adalah calon legislatif karbitan rata-rata hanya mewakili rakyat disaat membutuhkan suara pemilih, setelah itu? Orang kupang bilang : “siapa lu siapa beta?”
Wakil rakyat bukan hanya sekedar bicara peduli disaat menjadi calon, tapi lebih dari itu. Kemampuan intelektual, moral, etika, sehat jasmani dan rohani calon legislatif sangatlah diperlukan dalam menjalankan amanah pemilihnya. Satu lagi sepertinya yang perlu diperhatikan dari para calon wakil rakyat di pemilu 2014 nanti, yaitu apakah mereka sepertinya memiliki rasa malu dan jangan sampai membuat malu daerah nantinya. 

            2.      Kenalilah "SIAPA DIA"
Mengenal calon wakil rakyat (DPRD), menjadi 'keharusan' bagi setiap warga peserta pemilih di daerah yang sudah mempunyai hak untuk memilih. Mengapa? Karena keberlangsungan daerah ini, secara formal, baik secara nasional, kewilayahan maupun setingkat kota atau kabupaten, hanya dipimpin oleh mereka. Setiap warga negara hanya akan terwakili hak politik dan aspirasinya melalui wakil-wakilnya yang duduk sebagai anggota parlemen (DPD, DPR, DPRD Provinsi, atau DPRD Kabupaten/Kota).
Hal tersebut di atas, menjelaskan dengan pasti mekanisme keterwakilan setiap warga negara, dan posisi setiap warga negara dalam sistem pemerintahan yang demokratis.
Sebagai warga negara kita harus peduli untuk;
1.      Dengan penuh kesadaran memberikan hak pilih/suara disetiap hajatan (pesta) demokrasi itu. baik di saat Pileg, Pilpres, termasuk pilkada.
2.      Menggunakan hak pilih kita dengan mengenal lebih dalam calon pemimpin atau calon wakil rakyat pilihan kita.
Mengapa? Karena, di tangan merekalah kita menyerahkan keterwakilan kita dalam pengelolaan daerah kita. Termasuk setiap sumberdaya (keuangan) yang digunakan untuk penyelenggaraan pembangunan. Baik itu pekerjaan fisik maupun program-program pembangunan yang menyentuh langsung ke masyarakat.
Sebab jika kita salah memilih wakil rakyat, jawabannya tentu saja seperti yang biasa jadi berita di televisi, koran, radio atau media massa lainnya. Bentuknya bisa korupsi, penyalahgunaan wewenang, kongkalingkong, hingga ada yang tidak mengerti tugasnya sebagai wakil rakyat.
Dengan demikian, adalah penting untuk kita –suka atau tidak suka, untuk mengenali lebih dekat profil orang yang bakal jadi wakil kita, baik untuk pusat maupun secara khusus di daerah Kabupaten Kupang. Agar hak politik kita dapat diperjuangkan dan diwakili sepenuhnya secara sadar dan benar oleh mereka yang kita pilih.

            3.      Kenali Latar Belakang Pribadinya
Untuk mengenal siapa calon wakil kita yang akan duduk di parlemen, yang pertama tentu wajib kita kenali betul pribadinya. Siapa dan bagaimana keluarganya, termasuk dalam hal ini adalah pendidikan, karir atau pekerjaan, dan pengalamannya berorganisasi.
Dengan mengenal latar belakang pribadi calon pemimpin atau wakil rakyat, kita kemudian akan memahami sisi dalam mereka secara lebih personal, lebih dekat. Sehingga bisa saja ada semacam relasi yang seirisan secara emosional, misalnya kekerabatan, kekeluargaan, kesamaan profesi, kemampuan dasar (kompentensi) profesional si calon, hingga pada akhirnya kita dapat mengukur kadar integritasnya. Bahkan pemilih bisa melakukan cross check yang terkait pribadi si calon sebagai uji shahih.
Ingat! integritas (kejujuran) melalui keterbukaan informasi calon pemimpin secara personal jarang diketahui masyarakat, padahal inilah akar keterkaitan calon dengan masyarakatnya (pemilih). Hal ini akan membuat mereka (calon) lebih bertanggung jawab atas latar belakang pribadinya. Dan hal itu juga yang kemudian menjadi pijakan kita untuk memberikan kepercayaan (trust), bahwa sang calon benar-benar dapat kita percaya sebagai wakil kita yang sesungguhnya.
Latar belakang pribadi biasanya dapat lebih bisa menjadi ukuran yang pasti ketimbang bentuk-bentuk pencitraan yang dilakukan calon dengan menebar atribut kampanye dengan berbagai pose diri dan kalimat-kalimat janji yang sudah dipoles sana-sini. Di sini pula sesungguhnya banyak calon wakil rakyat diuji untuk berani membuka latar pribadinya sebagai pertaruhan nama baiknya kelak.
Demikian pula dengan pemilih, mereka akan lebih merasa dihargai ketika berjalin komunikasi baik secara politik maupun perasaan pribadinya. Terlebih di era Indonesia yang selera masyarakatnya sangat melodramatik, terkadang pencitraan atau isu mengaburkan pemilih dalam mengenal siapa sosok sebenarnya calon wakil mereka secara objektif.

            4.      Kenali Rekam Jejaknya di Masyarakat
Menjadi wakil rakyat, pemahamannya juga dapat berarti memegang kewenangan-kewenangan “sakti” atas nama rakyat. Dengan fungsi seperti dua mata pisau. Di mana kewenangan tersebut bisa digunakan sepenuhnya untuk menyuarakan suara dan kepentingan hajat hidup orang banyak. Sisi lain bisa pula kemudian menjual “atas nama rakyat” untuk kepentingan tertentu. Apalagi kewenangan-kewenangan itu juga terkait erat dengan penggunaan kekayaan dan keuangan negara yang notabene hasil keringat rakyat.
Bukan rahasia lagi bahwa magnet politik kekuasaan membuat orang begitu tertarik ingin mendudukinya. Dengan tujuan sebagaimana kepentingan pribadinya, termasuk hasrat ingin dikenal, disegani, hingga memperkaya diri sendiri. Untuk urusan ini pasti semua sepertinya bersepakat untuk tidak memilih calon wakil rakyat macam itu.
Karena ‘kekuasaan’ wakil rakyat seperti itulah, maka mengetahui rekam jejak (track record) si calon dalam kiprahnya di masyarakat menjadi penting. Walaupun umumnya rekam jejak ini akan dengan sendirinya mengalir lancar di masyarakat manakala orang tersebut berlaku baik dan punya karya nyata di masyarakatnya. Lantas bagaimana jadinya jika tiba-tiba ada orang dari negeri “atas berantah” bisa mengerti dan mewakili masyarakatnya, apalagi rekam jejaknya tidak diketahui oleh pemilihnya. Barangkali waktu akan menyadarkan masyarakat pemilih untuk aktif mencari tau sebelum mereka memutuskan memberikan pilihan kepada salah satu calon wakilnya.
Rekam jejak calon wakil rakyat setidaknya dapat menjadi patokan bagaimana si calon berperilaku sosial di tengah-tengah masyarakatnya. Jika baik dia, besar kemungkinan akan timbul reaksi positif, dan sebaliknya jika buruk peranannya di masyarakat maka akan buruk juga tanggapannya dari masyarakat. Hal ini umumnya dibuktikan masyarakat dengan keikutsertaan si calon dalam organisasi-organisasi sosial di masyarakat, perannya sebagai tokoh maupun posisinya sebagai panutan orang banyak.

            5.      Mengetahui Tugas dan Fungsinya sebagai Anggota Dewan
Yang paling pokok sebagai wakil rakyat di parlemen adalah setiap Anggota Dewan memahami dan mengerti tugas-tugasnya sebagai wakil rakyat. Faktanya mereka lebih mempopulerkan diri dengan menjual visi-misi yang mengawang-awang, ingin memperjuangkan ini dan itu, jika pun terpilih bagaimana cara mewujudkan janjinya banyak yang tidak paham. Akhirnya sama saja bukan, fenomena bolos sidang, interupsi ngawur, sampai tidak memiliki konsep apapun ketika berhadapan dengan fungsinya sebagai legislator menyebabkan aspirasi rakyat tak pernah diperjuangkan.
Idealnya, setiap calon wakil rakyat memahami betul kompetensi pribadinya dan pada bidang apa dia akan berjuang bagi masyrakatnya saat menjadi anggota dewan. Strategi perjuangan itulah yang kemudian harusnya disosialisasikan kepada masyarakat dan masyarakat pun tau apa yang akan dilakukan orang yang akan dipilihnya jika dia terpilih sebagai anggota dewan. Itu lebih pasti ketimbang janji-janji yang ada di alam mimpi.
Perlu diluruskan, memilih wakil rakyat untuk jadi anggota tidak sama dengan memilih (misal) pemimpin daerah. Karena hak dan kewenangan anggota dewan berbeda dengan pemimpin (eksekutif). Anggota dewan dapat dikatakan maksimal mengerjakan tugas-tugasnya sebagai dengan ukuran-ukuran seperti; mampu memberikan terobosan produk-produk hukum berupa UU atau Perda yang memihak kemaslahatan masyakarat. Kemudian dapat melakukan fungsi kontrol kepada eksekutif terhadap program-program pembangunan yang akan, sedang, atau sudah dilakukan. Mewakili aspirasi rakyat untuk disalurkan kepada saluran-saluran yang sesuai, baik dipemerintahan maupun kepada pihak lainnya.

            6.      Mematahkan Sekat Calon dan Asal Partainya
Semua partai sama kotornya! Boleh jadi sebagian besar masyarakat pemilih punya penilaian itu. Faktanya, rata-rata tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu 3 periode ke belakang masih di atas angka 60%. Artinya masih banyak juga masyarakat yang menggunakan hak pilihnya. Jangan lupa berapa pun tingkat partisipasi pemilih, calon wakil rakyat sah atas suara yang diperolehnya.
Mari kita abaikan asumsi kalimat bahwa ‘semua partai sama kotornya’. Yang pasti KPU telah memulai melakukan tahapan pemilu legislatif 2014 dan saat ini sudah menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT) ke publik. Pertanyaannya apakah nama-nama calon baik untuk DPD, DPR, DPRD provinsi maupun kabupaten/kota yang ada sudah dikenal? Atau sudahkah masyarakat mengenal calon-calon tersebut lebih dekat? Lantas masih adakah calon yang saat ini sudah membuka diri memperkenalkan diri sehingga masyarakat tau sosok mereka yang sebenar-benarnya?
Jika saja skenario setiap calon anggota parlemen kita disetiap tingkatan mempunyai kesadaran untuk membuka diri secara transparan, tantangan bagi masyarakat pemilih adalah melakukan dengan benar penilaian secara objektif. Sehingga benar-benar akan menghasilkan calon wakil rakyat yang bermutu. Jika sudah seperti itu bisa jadi orang tidak lagi akan melihat Siapa dicalonkan oleh Partai apa. Melainkan; saya memilih Dia karena paham betul bagaimana orangnya, dan percaya Dia bisa memegang amanat rakyat yang diwakilinya.
Demokrasi menjamin tiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk dipilih. Hal ini mendorong kompetisi perebutan kekuasaan menjadi mutlak sebagai proses demokrasi. Dan tidak disangsikan lagi bahwasanya fenomena politik uang masih mewarnai praktik kita dalam berdemokrasi (pemilu).
Dalam posisi itu sesungguhnya hanya kekuatan moral dan mata hati rakyat yang bisa menentukan siapa calon terbaik menurut mereka. Itupun berlaku sepanjang rakyat sadar bahwa mereka mengenal betul calonnya dan tidak mau terbeli dengan politik uang. Hal ini penting setidaknya sebagai tanggungjawab bagi kaum yang Beriman, sehingga memiliki wakil rakyat yang jujur yang tidak akan melakukan apa yang populer dengan istilah KKN.

E.     PENUTUP
Bertolak dari berbagai peristiwa yang nyata dan diketahui oleh publik, politik menjadi begitu identik dengan siasat untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, kadang dengan cara manipulatif, tak jarang dengan melibatkan permainan uang. Politik juga identik dengan penggunaan kedudukan resmi untuk mengumpulkan keuntungan pribadi melalui berbagai cara, termasuk korupsi. Pada diri politikus, publik menemukan bayang-bayang figur kaum Sofis dalam khazanah Yunani, yang lihai dalam mengubah kesalahan menjadi kebenaran dan kebenaran menjadi kesalahan. Di tangan mereka, politik nyata tidak mungkin seratus persen didasari kejujuran, dan niscaya akan melibatkan dusta dan rekayasa.
Kurang-lebih demikianlah gambaran tentang politik di Indonesia dewasa ini sebagaimana disajikan pemberitaan media, talk show televisi, berbagai diskusi publik, dan perbincangan panas di media sosial. Katakanlah yang terjadi ini disebut sebagai krisis moralitas politik ataupun krisis martabat politik, hampir semua orang terpelajar di negeri ini memahaminya. Tiada hari tanpa perbincangan tentang politik, yang telanjur kehilangan martabatnya yang luhur.
Namun, pada sisi lain, mengapa masih banyak orang ingin menjadi politikus? Bagaimana menjelaskan antusiasme ribuan orang dalam memperebutkan daftar calon sementara (DCS) anggota legislatif? Mereka adalah para pesohor, selebritas, intelektual, aktivis, pengusaha, mantan pejabat, dan mantan anggota legislatif yang tentu paham duduk masalah krisis yang terjadi. Mereka selama ini bahkan turut menjadi pengkritik kinerja lembaga legislatif. Tetapi mengapa kemudian mereka berubah menjadi ngotot ingin menjadi calon anggota legislatif (caleg)?
Politik menampakkan diri sebagai paradoks, dan sebagian masyarakat juga menyikapinya secara ambigu. Jika kita menanyakan motif mereka memasuki dunia politik, sudah pasti kita mendapatkan jawaban yang melegakan. Mereka ingin merehabilitasi politik yang sudah telanjur bengkok, ingin menciptakan sesuatu yang berbeda, bertolak dari pengandaian politik sebagai institusi yang luhur dan membebaskan. Apakah mereka nantinya berhasil menjadi antitesis dari para pendahulunya, kita boleh optimistis maupun pesimistis.
Pergulatan menjadi anggota lembaga legislatif adalah pergulatan menjadi manusia politik. Namun manusia politik seperti apakah yang kita sama-sama bayangkan? Bertolak dari pemikiran filsuf Yunani, Aristoteles, politik pertama-tama harus dipahami sebagai persoalan pemisahan antara urusan privat dan urusan publik. Politik baru terjadi ketika seseorang keluar dari zona kepentingan pribadi untuk memasuki zona tindakan dan perjuangan untuk kepentingan bersama.
Maka, yang pertama-tama harus dilakukan seorang politikus adalah mengendapkan motif-motif privat: mencari pekerjaan, menumpuk kekayaan, menggapai kemasyhuran, atau meraih kekuasaan. Mengutip rumusan Hannah Arendt, motif-motif privat ini adalah segi-segi pra-politik yang dapat menyebabkan terjadinya kolonisasi urusan pribadi ke dalam urusan publik. Jika kolonisasi ini dibiarkan terjadi, niscaya politik akan dijalankan semata-mata sebagai urusan menguasai dan menundukkan orang lain.
Pertanyaannya kemudian: mampukah para caleg itu keluar dari domain kepentingan pribadi? Atau, jangan-jangan justru motif privat itu yang mendasari keputusan mereka untuk menjadi caleg. Masalah pokoknya, pemilu telanjur menjadi sangat materialistik di mata para caleg maupun pemilik hak suara. Tak syak lagi, politik adalah masalah uang. Menjadi caleg semakin lazim dijalani dengan logika investasi: membutuhkan modal tidak sedikit, dan karena itu mesti kembali modal bahkan menghasilkan keuntungan sekian tahun kemudian.
Ini masalah besar yang kita hadapi saat ini. Max Weber (1958) membedakan antara politikus yang hidup dari politik dan politikus yang hidup untuk politik. Antara politikus yang menempatkan politik sebagai sarana untuk mengejar kepentingan-kepentingan pribadi dan politikus yang menjadikan politik sebagai tujuan utama bagi proses-proses pengabdian untuk kehidupan bersama. Kita tidak tahu benar seperti apakah politikus yang notabene akan dihasilkan dalam hajatan besar dan mahal tahun 2014 nanti.
Meminjam pemikiran Hannah Arendt, manusia politik juga harus mampu menciptakan distingsi diri dan mampu bertindak secara otentik. Mereka harus berbeda dengan yang lain dan tidak sekadar mengekor para seniornya. Mereka harus mampu berjarak dan bersikap kritis terhadap sistem serta lingkungan. Persoalan distingsi diri ini sangat mendesak untuk ditekankan di sini. Sudah banyak kasus menunjukkan, politikus yang awalnya baik-baik secara perlahan-lahan dapat berubah menjadi korup, karena dia memasuki sistem yang korup atau bergaul dengan orang-orang yang tidak kredibel. Dihadapkan pada keburukan yang sistemik dan kolektif, mereka tidak berhasil menjaga otentisitas diri sehingga larut ke dalam mentalitas kawanan. Mereka cepat kehabisan energi untuk mempertanyakan dan memperbaiki prosedur atau mekanisme politik, lalu ikut-ikutan para seniornya dalam memperagakan apa yang dikatakan Weber tadi: menjadikan politik sebagai kendaraan untuk mengejar kepentingan pribadi atau partai politik.
Problem mentalitas kawanan ini adalah batu besar yang harus dipecahkan para calon wakil rakyat kita, sekaligus merupakan titik tolak jika mereka serius ingin memerangi fenomena korupsi berjemaah, mafia anggaran, komodifikasi pasal undang-undang, dan kongkalikong dalam memperebutkan jabatan-jabatan publik yang sudah demikian identik dengan kinerja DPR selama empat tahun terakhir. Manusia politik membutuhkan kemampuan untuk senantiasa berdialog dengan dirinya sendiri, sehingga berani mengatakan tidak kepada sesuatu yang tidak sesuai dengan hati nuraninya, dan berani melawan hal-hak yang tidak dapat diterima oleh akal sehat.
Karena itu, menjadi manusia politik tentu bukanlah perjalanan yang gampang. Membutuhkan proses pendidikan, pengkaderan, penjenjangan, dan pematangan yang panjang. Waktu satu tahun menjelang Pemilu 2014 tentu terlalu pendek untuk menjalankan proses ini dan berisiko untuk menghasilkan manusia politik dalam pengertian yang lain. *
Belajar dari pengalaman yang telah lalu, dimana beberapa produk undang-undang selalu bertolak belakang dengan keinginan rakyat, kinerja buruk, kelakuan minor hingga terjerat korupsi ditemui dan dilakukan oleh sebagian dari yang terhormat di dewan perwakilan rakyat. Masa iya kita harus terjerembab ke lubang yang sama hanya karena selembar gocap atau cepean, akhirnya sengsara dan beli tempe saja tidak sanggup. Kita harus cerdas dalam memilah dan mimilih siapa calon yang benar-benar mau bekerja untuk rakyat dan benar-benar memiliki kemampuan menjadi anggota legislatif.
Cerdas bukan berarti kita harus sarjana atau doktor dalam memilih calon legislatif, tapi kita cerdas dalam melihat track record calon legislatif. Jangan sampai memilih calon hanya melihat keterkenalannya, cantiknya, gantengnya atau parahnya adalah duitnya. Dijamin, Kabupaten Kupang ini akan hancur bila modelnya seperti itu harus dipilih lagi pada pemilu 2014 nanti. Satu hal yang harus dipertimbangkan adalah tidak mudah dalam merumuskan satu ayat undang-undang. Lalu bagaimana bila memilih calon legislatif yang hanya bermodalkan populer, duit dan hanya jago membual?
Untuk memilih calon legislatif tidak beda ketika membeli suatu barang, dimana kualitas, penampilan atau harga menjadi bahan pertimbangan disaat membeli. Masyarakat Kabupaten Kupang sebenarnya sudah maju, hanya saja disaat-saat sekarang ini kebiasaan menerima dan iming-iming rayuan gombal, apalagi disodori selembar duit kerap jadi lupa segalanya. Lalu setelah sekian tahun berikutnya baru menyadari si A yang saya pilih itu ternyata koruptor. Nah sobat, gimana kalo itu terjadi lagi di tahun 2014? 
Sebagai bangsa yang telah merdeka sekian tahun lamanya dan sekian lamanya belajar, seharusnya di pemilu tahun 2014 tidak lagi terjebak rayuan gombal si mulut manis, tidak lagi melihat dia artis atau aktor, tidak lagi mau dibeli untuk memilih. Kitalah raja dan kitalah yang menentukan nasib calon itu tanpa paksaan dan tipuan mereka. Bangsa ini ada ditangan kita memang, bukan ditangan para calon wakil rakyat seperti yang sudah-sudah. Jadi, dalam memilih wakil rakyat di pemilu 2014 yang dibutuhkan hanya satu, yaitu kecerdasan kita dalam memilih.
Kabupaten Kupang pasti akan lebih baik, lebih maju dan lebih sejahtera  bila rakyat Kabupaten Kupang cerdas dalam memilih calon legislatifnya di pemilu 2014 nanti. Jangan sampai kita berjalan mundur seperti yang diajarkan menteri pendidikan, kita harus maju bersama bangun negara ini. Jangan pula kita malu, karena dijaman orde baru sebutan adil dan makmur bertebaran selama puluhan tahun, sedangkan sekarang kata itu seperti hilang. Ya, meskipun jaman itu meninggalkan luka dalam pada bangsa Indonesia. Apa salahnya bila setelah pemilu mendatang ada slogan lebih dari sekedar adil dan makmur, tidak seperti saat ini yang sama sekali tidak memiliki slogan kecuali slogan pujian palsu bangsa asing. 
Ayo saudaraku sebangsa dan setanah air, saudara-saudaraku di daerah Kabupaten Kupang, kita lupakan masa lalu dan pandang masa depan daerah kita untuk lebih baik dan tidak lagi menjadi daerah besar hanya dalam sejarah. Kabupaten Kupang harus menjadi daerah yang maju dan perduli pada rakyatnya, maka itu perlu kecerdasan pada pemilu 2014. Merdeka! Kabupaten Kupang pasti maju, bila kita cerdas dalam memilih wakil rakyat di pemilu 2014. 
<<=======================

PUSTAKA 

Cipto, Bambang, Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Era Pemerintahan Modern-Industri, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 1995.

Ramdlon Naning, Lembaga Legislatif Sebagai Pilar Demokrasi dan Mekanisme Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, liberty Yogyakarta 1982.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPD/DPRD/D.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar