A.
PENDAHULUAN
Seiring
dengan perkembangan teknologi Internet, menyebabkan munculnya kejahatan yang
disebut dengan “CyberCrime” atau kejahatan melalui jaringan Internet. Munculnya
beberapa kasus “CyberCrime” di Indonesia, seperti pencurian kartu kredit,
hacking beberapa situs, menyadap transmisi data orang lain, misalnya email, dan
memanipulasi data dengan cara menyiapkan perintah yang tidak dikehendaki ke
dalam programmer komputer. Sehingga dalam kejahatan komputer dimungkinkan adanya
delik formil dan delik materil. Delik formil adalah perbuatan seseorang yang
memasuki komputer orang lain tanpa ijin, sedangkan delik materil adalah
perbuatan yang menimbulkan akibat kerugian bagi orang lain. Adanya CyberCrime
telah menjadi ancaman stabilitas, sehingga pemerintah sulit mengimbangi teknik
kejahatan yang dilakukan dengan teknologi komputer, khususnya jaringan internet
dan intranet.
1. Pengertian Cybercrime
Cybercrime
merupakan bentuk-bentuk kejahatan yang timbul karena pemanfaatan teknologi
internet. Beberapa pendapat mengindentikkan cybercrime dengan computer
crime. The U.S. Department of Justice memberikan pengertien computer
crime sebagai: “…any illegal act requiring knowledge of computer
technology for its perpetration, investigation, or prosecution”. (www.usdoj.gov/criminal/cybercrimes)
Pengertian
tersebut identik dengan yang diberikan Organization of European Community
Development, yang mendefinisikan computer crime sebagai: “any
illegal, unehtical or unauthorized behavior relating to the automatic
processing and/or the transmission of data”.
Adapun
Andi Hamzah (1989) dalam tulisannya “Aspek-aspek Pidana di Bidang komputer”,
mengartikan kejahatan komputer sebagai: ”Kejahatan di bidang komputer secara
umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara illegal”.
Dari
beberapa pengertian di atas, secara ringkas dapat dikatakan bahwa cybercrime
dapat didefinisikan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan internet yang berbasis pada kecanggihan teknologi komputer dan
telekomunikasi.
2. Karakteristik Cybercrime
Selama
ini dalam kejahatan konvensional, dikenal adanya dua jenis kejahatan sebagai
berikut:
a.
Kejahatan
kerah biru (blue collar crime)
Kejahatan
ini merupakan jenis kejahatan atau tindak kriminal yang dilakukan secara
konvensional seperti misalnya perampokkan, pencurian, pembunuhan dan lain-lain.
b.
Kejahatan
kerah putih (white collar crime)
Kejahatan jenis ini terbagi dalam
empat kelompok kejahatan, yakni kejahatan korporasi, kejahatan birokrat,
malpraktek, dan kejahatan individu.
Cybercrime
sendiri sebagai kejahatan yang muncul sebagai akibat adanya komunitas dunia
maya di internet, memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan kedua
model di atas. Karakteristik unik dari kejahatan di dunia maya tersebut antara
lain menyangkut lima hal berikut:
a.
Ruang
lingkup kejahatan
b.
Sifat
kejahatan
c.
Pelaku
kejahatan
d.
Modus
Kejahatan
e.
Jenis
kerugian yang ditimbulkan
3. Jenis Cybercrime
Berdasarkan
jenis aktifitas yang dilakukannya, cybercrime dapat digolongkan menjadi
beberapa jenis sebagai berikut:
a.
Unauthorized
Access
Merupakan kejahatan yang terjadi
ketika seseorang memasuki atau menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer
secara tidak sah, tanpa izin, atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem
jaringan komputer yang dimasukinya. Probing dan port merupakan
contoh kejahatan ini.
b.
Illegal
Contents
Merupakan kejahatn yang dilakukan
dengan memasukkan data atau informasi ke internet tentang suatu hal yang tidak
benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau menggangu ketertiban
umum, contohnya adalah penyebaran pornografi.
c.
Penyebaran
virus secara sengaja
Penyebaran virus pada umumnya
dilakukan dengan menggunakan email. Sering kali orang yang sistem emailnya
terkena virus tidak menyadari hal ini. Virus ini kemudian dikirimkan ke tempat
lain melalui emailnya.
d.
Data
Forgery
Kejahatan jenis ini dilakukan dengan
tujuan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang ada di internet.
Dokumen-dokumen ini biasanya dimiliki oleh institusi atau lembaga yang memiliki
situs berbasis web database.
e.
Cyber
Espionage, Sabotage, and Extortion
Cyber Espionage merupakan kejahatan
yang memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap
pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer pihak sasaran. Sabotage
and Extortion merupakan jenis kejahatan yang dilakukan dengan membuat gangguan,
perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem
jaringan komputer yang terhubung dengan internet.
f.
Cyberstalking
Kejahatan jenis ini dilakukan untuk
mengganggu atau melecehkan seseorang dengan memanfaatkan komputer, misalnya
menggunakan e-mail dan dilakukan berulang-ulang. Kejahatan tersebut menyerupai
teror yang ditujukan kepada seseorang dengan memanfaatkan media internet. Hal
itu bisa terjadi karena kemudahan dalam membuat email dengan alamat tertentu
tanpa harus menyertakan identitas diri yang sebenarnya.
g.
Carding
Carding merupakan kejahatan yang
dilakukan untuk mencuri nomor kartu kredit milik orang lain dan digunakan dalam
transaksi perdagangan di internet.
h.
Hacking
dan Cracker
Istilah hacker biasanya
mengacu pada seseorang yang punya minat besar untuk mempelajari sistem komputer
secara detail dan bagaimana meningkatkan kapabilitasnya. Adapun mereka yang
sering melakukan aksi-aksi perusakan di internet lazimnya disebut cracker.
Boleh dibilang cracker ini sebenarnya adalah hacker yang yang memanfaatkan
kemampuannya untuk hal-hal yang negatif. Aktivitas cracking di internet
memiliki lingkup yang sangat luas, mulai dari pembajakan account milik orang
lain, pembajakan situs web, probing, menyebarkan virus, hingga pelumpuhan
target sasaran. Tindakan yang terakhir disebut sebagai DoS (Denial Of Service).
Dos attack merupakan serangan yang bertujuan melumpuhkan target (hang, crash)
sehingga tidak dapat memberikan layanan.
i.
Cybersquatting
and Typosquatting
Cybersquatting merupakan kejahatan
yang dilakukan dengan mendaftarkan domain nama perusahaan orang lain dan
kemudian berusaha menjualnya kepada perusahaan tersebut dengan harga yang lebih
mahal. Adapun typosquatting adalah kejahatan dengan membuat domain plesetan
yaitu domain yang mirip dengan nama domain orang lain. Nama tersebut merupakan
nama domain saingan perusahaan.
j.
Hijacking
Hijacking merupakan kejahatan
melakukan pembajakan hasil karya orang lain. Yang paling sering terjadi adalah
Software Piracy (pembajakan perangkat lunak).
k.
Cyber
Terorism
Suatu tindakan cybercrime termasuk
cyber terorism jika mengancam pemerintah atau warganegara, termasuk cracking ke
situs pemerintah atau militer. Beberapa contoh kasus Cyber Terorism sebagai
berikut :
·
Ramzi
Yousef, dalang penyerangan pertama ke gedung WTC, diketahui menyimpan detail
serangan dalam file yang di enkripsi di laptopnya.
·
Osama
Bin Laden diketahui menggunakan steganography untuk komunikasi jaringannya.
·
Suatu
website yang dinamai Club Hacker Muslim diketahui menuliskan daftar tip untuk
melakukan hacking ke Pentagon.
·
Seorang
hacker yang menyebut dirinya sebagai DoktorNuker diketahui telah kurang lebih
lima tahun melakukan defacing atau mengubah isi halaman web dengan propaganda
anti-American, anti-Israel dan pro-Bin Laden.
Berdasarkan Motif Kegiatan
Berdasarkan
motif kegiatan yang dilakukannya, cybercrime dapat digolongkan menjadi dua
jenis sebagai berikut :
a.
Cybercrime
sebagai tindakan murni kriminal
Kejahatan
yang murni merupakan tindak kriminal merupakan kejahatan yang dilakukan karena
motif kriminalitas. Kejahatan jenis ini biasanya menggunakan internet hanya
sebagai sarana kejahatan. Contoh kejahatan semacam ini adalah Carding, yaitu
pencurian nomor kartu kredit milik orang lain untuk digunakan dalam transaksi
perdagangan di internet. Juga pemanfaatan media internet (webserver, mailing
list) untuk menyebarkan material bajakan. Pengirim e-mail anonim yang berisi
promosi (spamming) juga dapat dimasukkan dalam contoh kejahatan yang
menggunakan internet sebagai sarana. Di beberapa negara maju, pelaku spamming
dapat dituntut dengan tuduhan pelanggaran privasi.
b.
Cybercrime
sebagai kejahatan ”abu-abu”
Pada
jenis kejahatan di internet yang masuk dalam wilayah ”abu-abu”, cukup sulit
menentukan apakah itu merupakan tindak kriminal atau bukan mengingat motif
kegiatannya terkadang bukan untuk kejahatan. Salah satu contohnya adalah
probing atau portscanning. Ini adalah sebutan untuk semacam tindakan
pengintaian terhadap sistem milik orang lain dengan mengumpulkan informasi
sebanyak-banyaknya dari sistem yang diintai, termasuk sistem operasi yang
digunakan, port-port yang ada, baik yang terbuka maupun tertutup, dan
sebagainya.
Berdasarkan Sasaran Kejahatan
Sedangkan
berdasarkan sasaran kejahatan, cybercrime dapat dikelompokkan menjadi beberapa
kategori seperti berikut ini :
a.
Cybercrime
yang menyerang individu (Against Person)
Jenis
kejahatan ini, sasaran serangannya ditujukan kepada perorangan atau individu
yang memiliki sifat atau kriteria tertentu sesuai tujuan penyerangan tersebut.
Beberapa contoh kejahatan ini antara lain :
·
Pornografi
Kegiatan yang dilakukan dengan
membuat, memasang, mendistribusikan, dan menyebarkan material yang berbau
pornografi, cabul, serta mengekspos hal-hal yang tidak pantas.
·
Cyberstalking
Kegiatan yang dilakukan untuk
mengganggu atau melecehkan seseorang dengan memanfaatkan komputer, misalnya
dengan menggunakan e-mail yang dilakukan secara berulang-ulang seperti halnya
teror di dunia cyber. Gangguan tersebut bisa saja berbau seksual, religius, dan
lain sebagainya.
·
Cyber-Tresspass
Kegiatan yang dilakukan melanggar
area privasi orang lain seperti misalnya Web Hacking. Breaking ke PC, Probing,
Port Scanning dan lain sebagainya.
b.
Cybercrime
menyerang hak milik (Againts Property)
Cybercrime
yang dilakukan untuk menggangu atau menyerang hak milik orang lain. Beberapa
contoh kejahatan jenis ini misalnya pengaksesan komputer secara tidak sah
melalui dunia cyber, pemilikan informasi elektronik secara tidak sah/pencurian
informasi, carding, cybersquating, hijacking, data forgery dan segala kegiatan
yang bersifat merugikan hak milik orang lain.
c.
Cybercrime
menyerang pemerintah (Againts Government)
Cybercrime
Againts Government dilakukan dengan tujuan khusus penyerangan terhadap
pemerintah. Kegiatan tersebut misalnya cyber terorism sebagai tindakan
yang mengancam pemerintah termasuk juga cracking ke situs resmi pemerintah atau
situs militer.
4. Penanggulangan Cybercrime
Aktivitas
pokok dari cybercrime adalah penyerangan terhadap content, computer system dan
communication system milik orang lain atau umum di dalam cyberspace. Fenomena
cybercrime memang harus diwaspadai karena kejahatan ini agak berbeda dengan
kejahatan lain pada umumnya. Cybercrime dapat dilakukan tanpa mengenal batas
teritorial dan tidak memerlukan interaksi langsung antara pelaku dengan korban
kejahatan. Berikut ini cara penanggulangannya :
a.
Mengamankan
sistem
Tujuan
yang nyata dari sebuah sistem keamanan adalah mencegah adanya perusakan bagian
dalam sistem karena dimasuki oleh pemakai yang tidak diinginkan. Pengamanan
sistem secara terintegrasi sangat diperlukan untuk meminimalisasikan
kemungkinan perusakan tersebut. Membangun sebuah keamanan sistem harus merupakan
langkah-langkah yang terintegrasi pada keseluruhan subsistemnya, dengan tujuan
dapat mempersempit atau bahkan menutup adanya celah-celah unauthorized actions
yang merugikan. Pengamanan secara personal dapat dilakukan mulai dari tahap
instalasi sistem sampai akhirnya menuju ke tahap pengamanan fisik dan
pengamanan data. Pengaman akan adanya penyerangan sistem melaui jaringan juga
dapat dilakukan dengan melakukan pengamanan FTP, SMTP, Telnet dan pengamanan
Web Server.
b.
Penanggulangan
Global
The
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) telah membuat
guidelines bagi para pembuat kebijakan yang berhubungan dengan computer-related
crime, dimana pada tahun 1986 OECD telah memublikasikan laporannya yang
berjudul Computer-Related Crime : Analysis of Legal Policy. Menurut OECD,
beberapa langkah penting yang harus dilakukan setiap negara dalam
penanggulangan cybercrime adalah :
1. melakukan modernisasi hukum pidana
nasional beserta hukum acaranya.
2. meningkatkan sistem pengamanan
jaringan komputer nasional sesuai standar internasional.
3. meningkatkan pemahaman serta
keahlian aparatur penegak hukum mengenai upaya pencegahan, investigasi dan
penuntutan perkara-perkara yang berhubungan dengan cybercrime.
4. meningkatkan kesadaran warga negara
mengenai masalah cybercrime serta pentingnya mencegah kejahatan tersebut
terjadi.
5. meningkatkan kerjasama antarnegara,
baik bilateral, regional maupun multilateral, dalam upaya penanganan
cybercrime.
5. Perlunya Cyberlaw
Perkembangan
teknologi yang sangat pesat, membutuhkan pengaturan hukum yang berkaitan dengan
pemanfaatan teknologi tersebut. Sayangnya, hingga saat ini banyak negara belum
memiliki perundang-undangan khusus di bidang teknologi informasi, baik dalam
aspek pidana maupun perdatanya.
Permasalahan yang sering muncul
adalah bagaimana menjaring berbagai kejahatan komputer dikaitkan dengan
ketentuan pidana yang berlaku karena ketentuan pidana yang mengatur tentang
kejahatan komputer yang berlaku saat ini masih belum lengkap.
Banyak
kasus yang membuktikan bahwa perangkat hukum di bidang TI masih lemah. Seperti
contoh, masih belum dilakuinya dokumen elektronik secara tegas sebagai alat
bukti oleh KUHP. Hal tersebut dapat dilihat pada UU No8/1981 Pasal 184 ayat 1
bahwa undang-undang ini secara definitif membatasi alat-alat bukti hanya
sebagai keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan
terdakwa saja. Demikian juga dengan kejahatan pornografi dalam internet,
misalnya KUH Pidana pasal 282 mensyaratkan bahwa unsur pornografi dianggap
kejahatan jika dilakukan di tempat umum.
Hingga
saat ini, di negara kita ternyata belum ada pasal yang bisa digunakan untuk
menjerat penjahat cybercrime. Untuk kasuss carding misalnya, kepolisian baru
bisa menjerat pelaku kejahatan komputer dengan pasal 363 soal pencurian karena
yang dilakukan tersangka memang mencuri data kartu kredit orang lain.
6. Perlunya Dukungan Lembaga Khusus
Lembaga-lembaga
khusus, baik milik pemerintah maupun NGO (Non Government Organization),
diperlukan sebagai upaya penanggulangan kejahatan di internet. Amerika Serikat
memiliki komputer Crime and Intellectual Property Section (CCIPS) sebagai
sebuah divisi khusus dari U.S. Departement of Justice. Institusi ini memberikan
informasi tentang cybercrime, melakukan sosialisasi secara intensif kepada
masyarakat, serta melakukan riset-riset khusus dalam penanggulangan cybercrime.
Indonesia sendiri sebenarnya sudah memiliki IDCERT (Indonesia Computer
Emergency Rensponse Team). Unit ini merupakan point of contact bagi orang untuk
melaporkan masalah-masalah keamanan komputer.
B.
PENEGAKAN
HUKUM POSITIF DI INDONESIA TERHADAP CYBERCRIME
Menjawab tuntutan dan tantangan komunikasi
global lewat Internet, Undang-Undang yang diharapkan (ius konstituendum) adalah
perangkat hukum yang akomodatif terhadap perkembangan serta antisipatif
terhadap permasalahan, termasuk dampak negatif penyalahgunaan Internet dengan
berbagai motivasi yang dapat menimbulkan korban-korban seperti kerugian materi
dan non materi. Saat ini, Indonesia belum memiliki Undang – Undang khusus / cyber law yang mengatur
mengenai cybercrime Tetapi,
terdapat beberapa hukum positif lain yang berlaku umum dan dapat dikenakan bagi
para pelaku cybercrime terutama
untuk kasus-kasus yang menggunakan komputer sebagai sarana, antara lain:
1.
Kitab Undang Undang Hukum Pidana
Dalam upaya menangani kasus-kasus yang
terjadi para penyidik melakukan analogi atau perumpamaan dan persamaaan
terhadap pasal-pasal yang ada dalam KUHP. Pasal-pasal didalam KUHP biasanya
digunakan lebih dari satu Pasal karena melibatkan beberapa perbuatan sekaligus
pasal – pasal yang dapat dikenakan dalam KUHP pada cybercrime antara lain :
1)
Pasal
362 KUHP yang dikenakan untuk kasus carding
dimana pelaku mencuri nomor kartu kredit milik orang lain walaupun
tidak secara fisik karena hanya nomor kartunya saja yang diambil dengan
menggunakan software card
generator di Internet untuk melakukan transaksi di e-commerce. Setelah
dilakukan transaksi dan barang dikirimkan, kemudian penjual yang ingin
mencairkan uangnya di bank ternyata ditolak karena pemilik kartu bukanlah orang
yang melakukan transaksi.
2)
Pasal
378 KUHP dapat dikenakan untuk penipuan dengan seolah olah menawarkan dan
menjual suatu produk atau barang dengan memasang iklan di salah satu website sehingga orang
tertarik untuk membelinya lalu mengirimkan uang kepada pemasang iklan. Tetapi,
pada kenyataannya, barang tersebut tidak ada. Hal tersebut diketahui setelah
uang dikirimkan dan barang yang dipesankan tidak datang sehingga pembeli
tersebut menjadi tertipu.
3)
Pasal
335 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pengancaman dan pemerasan yang dilakukan
melalui e-mail yang
dikirimkan oleh pelaku untuk memaksa korban melakukan sesuatu sesuai dengan apa
yang diinginkan oleh pelaku dan jika tidak dilaksanakan akan membawa dampak
yang membahayakan. Hal ini biasanya dilakukan karena pelaku biasanya mengetahui
rahasia korban.
4)
Pasal
311 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pencemaran nama baik dengan menggunakan
media Internet. Modusnya adalah pelaku menyebarkan email kepada teman-teman korban tentang suatu
cerita yang tidak benar atau mengirimkan email
ke suatu mailing
list sehingga banyak orang mengetahui cerita tersebut.
5)
Pasal
303 KUHP dapat dikenakan untuk menjerat permainan judi yang dilakukan secara online di Internet dengan
penyelenggara dari Indonesia.
6)
Pasal
282 KUHP dapat dikenakan untuk penyebaran pornografi maupun website porno yang banyak
beredar dan mudah diakses di Internet. Walaupun berbahasa Indonesia, sangat
sulit sekali untuk menindak pelakunya karena mereka melakukan pendaftaran
domain tersebut diluar negri dimana pornografi yang menampilkan
orang dewasa bukan merupakan hal yang ilegal.
7)
Pasal
282 dan 311 KUHP dapat dikenakan untuk kasus penyebaran foto atau film pribadi
seseorang yang vulgar di Internet , misalnya kasus Sukma Ayu-Bjah.
8)
Pasal
378 dan 262 KUHP dapat dikenakan pada kasus carding,
karena pelaku melakukan penipuan seolah-olah ingin membeli suatu barang dan
membayar dengan kartu kreditnya yang nomor kartu kreditnya merupakan curian.
9)
Pasal
406 KUHP dapat dikenakan pada kasus deface
atau hacking yang
membuat sistem milik orang lain, seperti website
atau program menjadi tidak berfungsi atau dapat digunakan
sebagaimana mestinya.
2.
Undang-Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Menurut Pasal 1 angka (8) Undang – Undang No
19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, program
komputer adalah sekumpulan intruksi yang diwujudkan dalam
bentuk bahasa, kode, skema ataupun bentuk lain yang apabila digabungkan dengan
media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja
untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus,
termasuk persiapan dalam merancang intruksi-intruksi tersebut. Hak cipta untuk
program komputer berlaku selama 50 tahun (Pasal 30). Harga program komputer/ software yang sangat mahal
bagi warga negara Indonesia merupakan peluang yang cukup menjanjikan bagi para
pelaku bisnis guna menggandakan serta menjual software bajakan dengan harga yang sangat
murah. Misalnya, program anti virus seharga $ 50 dapat dibeli dengan harga
Rp20.000,00. Penjualan dengan harga sangat murah dibandingkan dengan software asli tersebut
menghasilkan keuntungan yang sangat besar bagi pelaku sebab modal yang
dikeluarkan tidak lebih dari Rp 5.000,00 perkeping. Maraknya pembajakan software di Indonesia yang
terkesan “dimaklumi” tentunya sangat merugikan pemilik hak cipta. Tindakan
pembajakan program komputer tersebut juga merupakan tindak pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 72 ayat (3) yaitu “Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak
memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program
komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/
atau denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) “.
3.
Undang-Undang No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
Menurut Pasal 1 angka (1) Undang – Undang No
36 Tahun 1999, Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan/atau
penerimaan dan setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan,
gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem
elektromagnetik lainnya. Dari definisi tersebut, maka Internet dan segala
fasilitas yang dimilikinya merupakan salah satu bentuk alat komunikasi karena
dapat mengirimkan dan menerima setiap informasi dalam bentuk gambar, suara
maupun film dengan sistem elektromagnetik. Penyalahgunaan Internet yang
mengganggu ketertiban umum atau pribadi dapat dikenakan sanksi dengan
menggunakan Undang- Undang ini, terutama bagi para hacker yang masuk ke sistem jaringan milik
orang lain sebagaimana diatur pada Pasal 22, yaitu Setiap orang dilarang
melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi:
a)
Akses
ke jaringan telekomunikasi
b)
Akses
ke jasa telekomunikasi
c)
Akses
ke jaringan telekomunikasi khusus
Apabila anda melakukan hal tersebut seperti
yang pernah terjadi pada website KPU www.kpu.go.id,
maka dapat dikenakan Pasal 50 yang berbunyi “Barang siapa yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”
4.
Undang-Undang No 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 8
Tahun 1997 tanggal 24 Maret 1997 tentang Dokumen Perusahaan, pemerintah
berusaha untuk mengatur pengakuan atas mikrofilm dan media lainnya (alat
penyimpan informasi yang bukan kertas dan mempunyai tingkat pengamanan yang
dapat menjamin keaslian dokumen yang dialihkan atau ditransformasikan. Misalnya
Compact Disk – Read Only
Memory (CD – ROM), dan Write
– Once -Read – Many (WORM), yang diatur dalam Pasal 12
Undang-Undang tersebut sebagai
alat bukti yang sah.
5.
Undang-Undang No 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang
yang paling ampuh bagi seorang penyidik untuk mendapatkan informasi mengenai
tersangka yang melakukan penipuan melalui Internet, karena tidak memerlukan
prosedur birokrasi yang panjang dan memakan waktu yang lama, sebab penipuan
merupakan salah satu jenis tindak pidana yang termasuk dalam pencucian uang
(Pasal 2 Ayat (1) Huruf q). Penyidik dapat meminta kepada bank yang menerima
transfer untuk memberikan identitas dan data perbankan yang dimiliki oleh
tersangka tanpa harus mengikuti peraturan sesuai dengan yang diatur dalam
Undang-Undang Perbankan. Dalam Undang-Undang Perbankan identitas dan data
perbankan merupakan bagian dari kerahasiaan bank sehingga apabila penyidik
membutuhkan informasi dan data tersebut, prosedur yang harus dilakukan adalah
engirimkan surat dari Kapolda ke Kapolri untuk diteruskan ke Gubernur
Bank Indonesia. Prosedur tersebut memakan waktu yang cukup lama untuk
mendapatkan data dan informasi yang diinginkan. Dalam Undang-Undang Pencucian
Uang proses tersebut lebih cepat karena Kapolda cukup mengirimkan surat
kepada Pemimpin Bank Indonesia di daerah tersebut dengan tembusan kepada
Kapolri dan Gubernur Bank Indonesia, sehingga data dan informasi yang
dibutuhkan lebih cepat didapat dan memudahkan proses penyelidikan
terhadap pelaku, karena data yang diberikan oleh pihak bank, berbentuk:
aplikasi pendaftaran, jumlah rekening masuk dan keluar serta kapan dan
dimana dilakukan transaksi maka penyidik dapat menelusuri keberadaan
pelaku berdasarkan data– data tersebut. Undang-Undang ini juga mengatur
mengenai alat bukti elektronik atau digital
evidence sesuai dengan Pasal 38 huruf b yaitu alat bukti lain
berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
6.
Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme
Selain Undang-Undang No. 25 Tahun 2003,
Undang-Undang ini mengatur mengenai alat bukti elektronik sesuai dengan Pasal
27 huruf b yaitu alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa
dengan itu. Digital evidence
atau alat bukti elektronik sangatlah berperan dalam penyelidikan
kasus terorisme, karena saat ini komunikasi antara para pelaku di lapangan
dengan pimpinan atau aktor intelektualnya dilakukan dengan memanfaatkan
fasilitas di Internet untuk menerima perintah atau menyampaikan kondisi di
lapangan karena para pelaku mengetahui pelacakan terhadap Internet lebih sulit
dibandingkan pelacakan melalui handphone. Fasilitas yang sering digunakan
adalah e-mail dan
chat room selain
mencari informasi dengan menggunakan search
engine serta melakukan propaganda melalui bulletin board atau mailing list.
7.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet &
Transaksi Elektronik
Undang-undang ini, yang telah disahkan dan diundangkan
pada tanggal 21 April 2008, walaupun sampai dengan hari ini belum ada sebuah PP
yang mengatur mengenai teknis pelaksanaannya, namun diharapkan dapat menjadi
sebuah undang-undang cyber atau cyberlaw guna menjerat pelaku-pelaku cybercrime
yang tidak bertanggungjawab dan menjadi sebuah payung hukum bagi masyarakat
pengguna teknologi informasi guna mencapai sebuah kepastian hukum.
Sumber
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar