Penegakan Hukum Lingkungan
Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut
menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide tersebut merupakan hakekat dari
penegakan hukum. Apabila berbicara mengenai perwujudan ide-ide yang abstrak
menjadi kenyataan.
Konsep pemikiran yang dipakai yaitu penegakan hukum sudah dimulai pada
saat peraturan hukum dibuat atau diciptakan. Penegakan hukum adalah suatu
proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan
pembuatan UU yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum. Proses penegakan
hukum menjangkau pula sampai kepada pembuat hukum. Perumusan pikiran pembuatan
hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menemukan bagaimana
penegakan hukum itu dijalankan.
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu
lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Ditinjau dari sudut
subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan
dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subyek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas,
proses penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan
hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang
berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya
itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum
tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan
sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila
diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya
paksa.
Penegakan hukum dalam bahasa Inggris disebut “law enforcement”, bahasa Belanda disebut “rechtshandhaving”. Pengertian penegakan hukum dalam terminologi
bahasa Indonesia selalu mengarah kepada force (Supriadi, 2006). “Penegakan hukum
lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan warga
masyarakat terhadap peraturan yang berlaku, yang meliputi tiga bidang hukum
yaitu administratif, pidana dan perdata”.
Dalam upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan
dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual, melalui
pengawasan dan penerapan sanksi administrasi, kepidanaan dan keperdataan.
Penegakan hukum lingkungan dapat dilakukan secara preventif dan represif,
sesuai dengan sifat dan efektivitasnya.
Pengawasan yang dilakukan oleh pihak pemerintah atau pejabat berwenang,
telah diatur dalam Pasal 71 UU No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu:
- Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangaan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
- Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
- Dalam melaksanakan pengawasan, menteri, gubernur, atau bupati/walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.
Penegakan hukum lingkungan terbagi menjadi 3 (tiga) aspek yaitu:
a.
Penegakan Hukum Lingkungan Administratif
Upaya penegakan Hukum Lingkungan yang
diterapkan kepada kegiatan dan/atau usaha yang ditemukan pelanggaran terhadap
izin lingkungan. Penegakan hukum tersebut diterapkan melalui sanksi
administratif seperti yang termuat dalam Pasal 76 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, yang terdiri dari:
1)
Teguran tertulis;
2)
Paksaan pemerintah;
3)
Pembekuan izin lingkungan; atau
4)
Pencabutan izin lingkungan.
b.
Penegakan Hukum Lingkungan Perdata
Upaya penegakan hukum ini dapat dilakukan
melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Bentuk dari penegakan hukum ini
adalah sanksi perdata berupa pembayaran ganti rugi bagi masyarakat dan
pemulihan terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
c.
Penegakan Hukum Lingkungan Pidana
Penegakan hukum pidana lingkungan dapat
dilaksanakan apabila telah memenuhi salah satu persyaratan berikut:
1) Sanksi administratif, sanksi perdata, penyelesaian
sengketa alternatif melalui negosiasi, mediasi, musyawarah diluar pengadilan
setelah diupayakan tidak efektif atau diperkirakan tidak akan efektif.
2)
Tingkat kesalahan pelaku relatif berat;
3)
Akibat perbuatan pelaku relatif besar; dan
4) Perbuatan pelaku menimbulkan keresahan bagi
masyarakat. Hal ini berkaitan bahwa penerapan sanksi pidana lingkungan tetap
memerhatikan asas ultimum remedium, yang mewajibkan penerapan penegakan hukum
pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administratif,
sanksi perdata dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Upaya penegakan
hukum ini diwujudkan dalam bentuk sanksi pidana berupa pidana penjara dan denda
seperti yang diatur dalam Pasal 98 s/d Pasal 120 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
5)
UU No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam negara hukum (rule of law) ada ada 3 (tiga) prinsip dasar yakni a) Supremecy of law, yakni segala tindakan
negara dan warga negara harus dilakuakan dengan berdasarkan atas hukum dan
tidak bertentangan dengan hukum, b) Equality
before the law, yakni setiap orang memiliki kedudukan yang sama dihadapan
hukum dan karenanya harus diperlakukan sama, dan c) Due process of law yakni proses penegakan hukum harus diabdikan
bukan semata-mata demi tegaknya hukum saja, melainkan demi tegaknya keadilan
dan kepastian. Dengan demikan dalam proses pembentukan dan penegakan hukum
tidak boleh bertentangan dengan hukum dan harus mengindahkan harkat dan
martabat manusia serta hak-haknya yang melekat. Dalam konteks UU No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, secara filosofi
dari Undang-undang ini adalah bahwa Negara menjamin hak atas lingkungan yang
baik dan sehat yang diamanatkan dalam Pasal 28
UUD (Undang-undang Dasar) 1945 bagi warganya. Dengan adanya perubahan
UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diharapkan masalah lingkungan
yang berupa pencemaran, kerusakan, perusakan dan lain-lain dapat diminimalisir
dan ada pertanggujawaban sehat hukum dalam penegakan.
Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan
penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk
menjadikan hukum, baik dalam arti formal yang sempit maupun dalam arti material
yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh
para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang
resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin
berfungsinya Norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan kita tentang penegakan
hukum dapat kita tentukan sendiri batas-batasnya. Apakah kita akan membahas
keseluruhan aspek dan dimensi penegakan hukum itu, baik dari segi subyeknya
maupun obyeknya atau kita batasi hanya membahas hal-hal tertentu saja,
misalnya, hanya menelaah aspek-aspek subyektifnya saja.
Penegakan
Hukum Obyektif
Seperti disebut di muka, secara obyektif, norma hukum yang hendak
ditegakkan mencakup pengertian hukum formal dan hukum material. Hukum formal
hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan
hukum material mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
Penegakan hukum dalam makna yang sederhana yaitu dalam tataran aplikatif
adalah upayah penegakkan hukum material agar tercipta kehidupan masyarakat yang
sejahtera. Penegakkan hukum pidana bidang lingkungan dilakukan oleh aparat penegak
hukum penyidik Polri maupun PPNS, Jaksa, Hakim, lembaga permasyarakatan serta
advokat yang memberikan advokat terhadap terdakwa.
Dalam perbuatan pidana lingkungan hidup terkadang unsur hubungan
kausalitas sangat sulit dibuktikan. Terhadap bahan-bahan kimia sangat
diperlukan scientific proof dan sangat diperlukan keahlian khusus
serta perangkat laboraterium yang canggih untuk memastikan apakah alam telah
tercemar dan/atau rusak. Karena kurang sempurnanya scientific proof tersebut dapat
berakibat gagalnya upayah penegakan hukum karena aparat hukum sangat bergantung
pada keterangan ahli ini. Perbedaan pendapat parah ahli tentang alam telah
tercemar atau/belum, membuat hakim harus menggunakan asas in dubio proreo yaitu yang dapat dikenakan kepada terdakwa adalah
yang paling ringan baginya.
Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara
pengertian penegakan hukum dan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat
dikaitkan dengan pengertian ‘law enforcement’ dalam arti sempit,
sedangkan penegakan hukum dalam arti
luas, dalam arti hukum material, diistilahkan dengan penegakan keadilan.
Dalam bahasa Inggris juga terkadang dibedakan antara konsepsi ‘court of law’
dalam arti pengadilan hukum dan ‘court
of justice’ atau pengadilan keadilan. Bahkan, dengan semangat yang sama
pula, Mahkamah Agung di Amerika Serikat disebut dengan istilah ‘supreme
court of justice’. Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa
hukum yang harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan itu sendiri,
melainkan nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Memang ada doktrin
yang membedakan antara tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana
dan perdata. Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan
kebenaran formal belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim
diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran
material yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan
dalam peradilan pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang
seharusnya mencari dan menemukan kebenaran material untuk mewujudkan keadilan
material. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun di
lapangan hukum perdata.
Pada waktu hukum diterapkan oleh lembaga penerap hukum sangat
dipengaruhi oleh kekuatan sosial dan pribadi yang ada di luar hukum. Kekuatan
sosial dan pribadi disini adalah dominasi kekuasaan dalam proses penegakan
hukum pidanan lingkungan hidup, intervensi kekuasaan, merosot kinerja
pengadilan, konflik kepentingan intervensi politik, ketergantungan penerapan
hukum pidana pada hukum administrasi. Faktor-faktor inilah yang sangat
mempengaruhi proses penegakan hukum pidana lingkungan pada tahap aplikasi
antara lain sebagai berikut :
1.
Dominasi kekuasaan dalam proses penegakan hukum
lingkungan.
2.
Intervensi kekuasaan terhadap proses penegakan
hukum lingkungan hidup.
3.
Merosotnya kinerja peradilan dalam menagani masalah
lingkungan hidup.
4.
Mafia peradilan dalam proses penegakan hukum pidana
lingkungan.
5.
Konflik kepentingan antara pemerintah, pengusaha
dan masyarakat dalam proses penegakan hukum pidana lingkungan.
6.
Intervensi politik pada tahap aplikasi penegakan
hukum lingkungan.
Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisi
penegakan keadilan itu sendiri, sehingga istilah penegakan hukum dan penegakan
keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Setiap norma hukum sudah
dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban
para subyek hukum dalam lalu lintas hukum. norma-norma hukum yang bersifat
dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang juga dasar
dan mendasar. Karena itu, secara akademis, sebenarnya, persoalan hak dan
kewajiban asasi manusia memang menyangkut konsepsi yang niscaya ada dalam
keseimbangan konsep hukum dan keadilan. Dalam setiap hubungan hukum terkandung
di dalamnya dimensi hak dan kewajiban secara paralel dan bersilang. Karena itu,
secara akademis, Hak Asasi Manusia (HAM) mestinya diimbangi dengan kewajiban
asasi manusia. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah, issue hak asasi manusia
itu sendiri terkait erat dengan persoalan ketidakadilan yang timbul dalam
kaitannya dengan persoalan kekuasaan.
Dalam sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam dan melalui
organ-organ negara, seringkali terbukti melahirkan penindasan dan
ketidakadilan. Karena itu, sejarah umat manusia mewariskan gagasan perlindungan
dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Gagasan perlindungan dan
penghormatan hak asasi manusia ini bahkan diadopsikan ke dalam pemikiran
mengenai pembatasan kekuasaan yang kemudian dikenal dengan aliran
konstitusionalisme. Aliran konstitusionalime inilah yang memberi warna modern
terhadap ide-ide demokrasi dan nomokrasi (negara hukum) dalam sejarah, sehingga perlindungan
konstitusional terhadap hak asasi manusia dianggap sebagai ciri utama yang
perlu ada dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun
negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy).
Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya terkait
erat dengan persoalan penegakan hukum
dan keadilan itu sendiri. Karena itu, sebenarnya, tidaklah terlalu tepat untuk mengembangkan istilah
penegakan hak asasi manusia secara tersendiri. Lagi pula, apakah hak asasi
manusia dapat ditegakkan? Bukankah yang
ditegakkan itu adalah aturan hukum dan konstitusi yang menjamin hak
asasi manusia itu, dan bukannya hak asasinya itu sendiri? Namun, dalam praktek
sehari-hari, kita memang sudah salah kaprah. Kita sudah terbiasa menggunakan
istilah penegakan ‘hak asasi manusia’. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak
asasi manusia dan kesadaran untuk menghormati hak asasi orang lain di kalangan
masyarakat kitapun memang belum berkembang secara sehat.
Aparatur
Penegak Hukum
Penegakan hukum pidana lingkungan merupakan serangkaian kegiatan dalam
upaya tetap mempertahankan lingkungan hidup dalam keadaan lestari yang
memberikan manfaat bagi generasi masa kini dan juga bagi generasi masa depan.
Upaya tersebut sangat kompleks dan banyak sekali kendala dalam tataran
aplikatif (Syahrul. M 20012). Aparatur penegak hukum mencakup pengertian
mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Aparat
penegakan hukum yang diberikan wewenang oleh UU untuk melakukan penegakan hukum
sebagaimana yang dimaksud pada KUHAP. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum
yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, Polisi,
Penasehat hukum, Jaksa, Hakim, dan Petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat
dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas
atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan,
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan
pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.
Pengertian penegakan hukum lingkungan menurut tim
penyusun kebijaksanaan Strategi dan Rencana Aksi Pengelolaan Lingkungan Hidup
Kantor Kemetrian Negara Lingkungan Hidup, bahwa penegakan hukum lingkungan
hidup adalah tindakan untuk menerapkan perangkat hukum melalui upayah pemaksaan
sanksi hukum guna menjaminkan ditaatinya ketentuan-ketentuan yang termuat dalam
peraturan perundang-undangan lingkungan hidup.
Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian ‘law enforcement dalam arti sempit,
sedangkan penegakan hukum dalam arti hukum materil diistilahkan dengan
penegakan keadilan. Dalam bahasa inggris juga dibedakan antara konsepsi ’ Cout of law” dalam arti pengadilan
hukum dan court of justice’ atau
pengadilan keadilan (Syahrul. M, 2012),
sekurang-kurangnya ada 4 (empat) hal yang harus diperhatikan oleh
penegakan hukum dalam melakukan penegakan hukum, yaitu:
1.
Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap
perbuatan anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat. Maka tujuan
penegakan hukum adalah untuk penanggulangan kejahatan.
2. Masyarakan memerlukan perlindungan terhadap sifat
berbahanya seseorang. Maka penegakan hukum ditujukan untuk memperbaiki si
pelaku kejahatan atau berusaha mengubah dan mempengaruhi tingkah lakunya agar
kembali patuh pada hukum dan menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna.
3. Masyarakat memerlukan pula perlindungan terhadap
penyalahgunaan sanksi atau reaksi dari penegakan hukum maupun disini
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
perlakuan atau tindakan yang sewenang-wenang di luar hukum.
4. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap
keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu
sebagai akibat dari adanya kejahatan. Penegakan hukum di maksudkan
menyelesaikan konflik yang ditimbulkan
oleh tindak pidana, dapat memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai
masyarakat.
Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu,
terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu: (i) Institusi penegak
hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme
kerja kelembagaannya; (ii) Budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk
mengenai kesejahteraan aparatnya, dan (iii) Perangkat peraturan yang mendukung
baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan
standar kerja, baik hukum materialnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan
hukum secara sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan,
sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat
diwujudkan secara nyata.
Namun selain ketiga faktor di atas, keluhan
berkenaan dengan kinerja penegakan hukum di negara kita selama ini, sebenarnya
juga memerlukan analisis yang lebih menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum
hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai Negara Hukum
yang mencita-citakan upaya menegakkan dan mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu
sendiri tidak atau belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang
hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya
sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan
tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan
upaya penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan hukum baru.
Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama
yaitu :
1.
Pembuatan hukum (the legislation of law atau
law and rule making),
2. Sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan
hukum (socialization and promulgation of law, dan
3.
Penegakan hukum (the enforcement of law).
Sementara makna penegakan hukum atau law enforment atau rechthandhaving khusus terhadap penegakan hukum pidana sebagaimana
yang dirumuskan dalam seminar hukum nasional 1980 dinyatakan “Penegakan hukum
pidana diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kejahatan serta
keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan
kepentingan-kepentingan masyarakat/negara, korban dan pelaku”
Ketiganya membutuhkan dukungan adminstrasi hukum (the administration of
law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab (Accountable).
Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut
sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda
tersebut di atas. Dalam arti luas, the
administration of law itu mencakup
pengertian pelaksanaan hukum (rules
executing) dan tata administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang
sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi
berbagai produk hukum yang ada selama ini telah dikembangkan dalam rangka
pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusan-keputusan
administrasi negara (beschikkings), ataupun penetapan
dan putusan (vonis) hakim di
seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Jika sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana
mungkin akses masyarakat luas terhadap aneka bentuk produk hukum tersebut dapat
terbuka? Jika akses tidak ada, bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat dapat
taat pada aturan yang tidak diketahuinya? Meskipun ada teori ‘fiktie’ yang
diakui sebagai doktrin hukum yang bersifat universal, hukum juga perlu
difungsikan sebagai sarana pendidikan dan pembaruan masyarakat (social
reform), dan karena itu ketidaktahuan masyarakat akan
hukum tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosialisasi dan pembudayaan hukum
secara sistematis dan bersengaja.
Sistim Penegakan Hukum Lingkungan Pada Sektor
Kehutanan
Sistem
penegakan hukum lingkungan di Indonesia, penegakan hukum terdiri dari kata
penegakan dan hukum. Penegakan berasal dari kata penegak yang dalam kamus besar
bahasa Indonesia artinya adalah yang mendirikan/menegakkan. Penegak hukum
adalah yang menegakkan hukum. Pengertian penegakan hukum dalam bahasa Inggris
dikenal dengan istilah law enforcement
dan diartikan the act of putting
something such as a law into effect, the execution of a law, (penegakan
hukum adalah suatu tindakan terhadap sesuatu/kejadian sesuai dengan hukum yang
berlaku).
Dengan
demikian menarik garis antara apa yang sesuai hukum dan apa yang melawan hukum.
Hukum dapat mengkualifikasikan sesuatu perbuatan sesuai dengan hukum atau
mendiskualifikasikannya sebagai melawan hukum. Perbuatan yang sesuai dengan
hukum tidak merupakan masalah dan tidak perlu dipersoalkan; yang menjadi
masalah ialah perbuatan yang melawan hukum. Bahkan yang diperhatikan dan
digarap oleh hukum ialah justru perbuatan yang disebut terakhir ini, baik
perbuatan melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin akan
terjadi (onrecht in potentie).
Perhatian dan penggarapan perbuatan itulah yang merupakan penegakan hukum .
Kalau tata hukum dilihat secara skematis, maka dapat dibedakan adanya tiga
sistem penegakan hukum, yaitu sistem penegakan hukum perdata, sistem penegakan
hukum pidana dan sistem penegakan hukum administrasi. Sejalan dengan itu
terdapat berturut-turut sistem sanksi hukum perdata, sistem sanksi hukum pidana
dan sistem sanksi hukum administrasi (tata usaha negara).
Ketiga
sistem penegakan hukum tersebut masing-masing didukung dan dilaksanakan oleh
alat perlengkapan negara atau biasa disebut aparatur (alat) penegak hukum, yang
mempunyai aturan sendiri-sendiri. Selanjutnya dikatakan bahwa dilihat secara
fungsional, maka sistem penegakan hukum itu merupakan suatu sistem aksi. Ada
sekian banyak aktivitas yang dilakukan oleh alat perlengkapan negara dalam
penegakan hukum. Yang dimaksud dengan “alat penegak hukum” itu biasanya
hanyalah kepolisian, setidak-tidaknya badan-badan yang mempunyai wewenang
kepolisian atau kejaksaan. Akan tetapi kalau penegakan hukum itu diartikan
secara luas, seperti yang dikemukakan di atas, maka penegakan hukum itu menjadi
tugas pula dari pembentuk UU, Hakim, Instansi Pemerintahan, Aparat Eksekusi
Pidana.
Dari segi
praktis, penegakan hukum merupakan upaya untuk mencapai ketaatan terhadap
peraturan dan persyaratan dalam ketentuan yang secara umum dan individual
berlaku melalui pengawasan dan penerapan sanksi. Penegakan hukum preventif
berarti pengawasan aktif yang dilakukan terhadap kepatuhan atas peraturan tanpa
kejadian langsung yang menyangkut kejadian konkrit, yang menimbulkan dugaan
bahwa peraturan hukum tersebut telah dilanggar. Upaya ini dilakukan dengan
penyuluhan, pemantauan dan penggunaan kewenangan yang bersifat pengawasan.
Penegakan hukum represif, dilaksanakan dalam hal perbuatan melanggar peraturan
dan bertujuan untuk mengakhiri secara langsung perbuatan terlarang tersebut.
Esensi
dari penegakan hukum lingkungan adalah sebagai upaya preventif maupun represif
dalam menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, baik dilakukan
dengan sengaja ataupun tidak sengaja. Hal tersebut perlu, karena dalam proses
pembangunan dampak berupa pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sulit
dihindari.
Penegakan
hukum lingkungan sesungguhnya bukan satu-satunya cara atau alat penataan.
Penataan dapat ditempuh melalui cara-cara lain seperti instrumen ekonomi,
pendekatan melalui mekanisme negosiasi dan mediasi, amdal dan perizinan. Akan
tetapi, penegakan hukum lingkungan seringkali diartikan secara tidak tepat.
Penegakan hukum lingkungan sering diartikan sebagai upaya penataan melalui
pengadilan (ligitasi). Perlu
ditekankan di sini, bahwa upaya paksa melalui penerapan sanksi tidak harus
melalui pengadilan.
Dalam
hubungan dengan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, penegakan hukum di bidang lingkungan hidup dapat
diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) kategori yaitu :
a.
Penegakan
hukum lingkungan dalam kaitannya dengan hukum administrasi/tata usaha negara.
b.
Penegakan
hukum lingkungan dalam kaitannya dengan hukum perdata.
c.
Penegakan
hukum lingkungan dalam kaitannya dengan hukum pidana.
Ditinjau
dari aspek hukum administrasi negara/hukum tata negara, sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 8 UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, yang menyatakan bahwa:
1)
Setiap
usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk
memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan;
2)
Izin
melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3)
Dalam
izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan persyaratan dan kewajiban
untuk melakukan upaya pengendalian dampak lingkungan hidup.
UU No. 23
Tahun 1997 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup kemudian digantikan dengan UU
No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
mewajibkan penggunaan asas subsidiaritas. UU ini juga mengubah sistem izin
lingkungan sebagai syarat wajib dan utama dalam setiap kegiatan yang berdampak
pada lingkungan hidup (Pasal 36 sampai dengan Pasal 40). Orientasi UU No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah jaminan
kepastian hukum dan perlindungan hak atas lingkungan yang baik dan sehat
sebagai bagian hak asasi manusia yang ditentukan Pasal 28 h UUD 1945 (lihat
konsideran huruf a dan f UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup).
Pasal 44
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
menentukan bahwa setiap penyusunan peraturan perundang-undangan pada tingkat
nasional dan daerah wajib memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup
dan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di sini tampak bahwa sistem hukum nasional
diarahkan dan diwajibkan berorientasi pada lingkungan hidup (green law atau eco-law system). Prinsip-prinsip dan Norma hukum lingkungan harus
menjiwai substansi hukum bidang lainnya dan harus menjadi panduan dalam
menyusun peraturan perundang-undangan. Bahkan penyusunan anggaran negara (pusat
dan daerah) juga berbasis lingkungan hidup (Pasal 45 dan 46).
UU No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga
menentukan adanya garansi lingkungan hidup dengan mewajibkan kepada setiap
pemegang izin lingkungan untuk menyediakan dana penjaminan pemulihan lingkungan
hidup yang disimpan dalam bank yang ditunjuk oleh Menteri Lingkungan Hidup,
Gubernur dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Dalam UU ini memuat
sistem internalisasi biaya lingkungan hidup ke dalam kegiatan usaha ekonomi
yang menjadi bagian dari instrumen perencanaan pembangunan selain neraca sumber
daya alam dan lingkungan hidup, penyusunan produk domestik bruto dan produk
domestik regional bruto yang mencakup penyusutan sumber daya alam dan kerusakan
lingkungan hidup dan mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antar
daerah (Pasal 43).
Sejak
berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bidang pengelolaan
lingkungan hidup juga menjadi urusan wajib pemerintah daerah di wilayah
masing-masing pemerintah daerah. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup pun menentukan adanya adanya kewenangan pemerintah
daerah tersebut yang dikoordinasi oleh Menteri Lingkungan Hidup (Pasal 63 dan
Pasal 64) sebagai konsekuensi sistem negara kesatuan.
UU No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup mengakui hukum adat dengan menganut asas kearifan
lokal sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2. Asas ini menentukan prinsip bahwa
dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan
nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. Asas ini juga
erat kaitannya dengan “asas ekoregion”, yaitu bahwa perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan karakteristik sumber daya
alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan
lokal.
Ketentuan
tersebut selaras dengan Ketetapan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) No.
IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang
dalam Pasal 4 menetapkan prinsip: “melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan
fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat” dan “mengakui,
menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya
bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam.” Prinsip dasar pengakuan kearifan
lokal ditentukan Pasal 28 i ayat (3) UUD 1945 yang menentukan, “Identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban.”
Atas dasar itu ketentuan-ketentuan prosedural
terdapat dalam KUHAP yang harus dipergunakan. Khusus mengenai pembuktian,
diatur dalam Pasal 183 sampai 189 KUHAP. Pembuktian tindak pidana lingkungan
tidak dapat dipersamakan dengan pembuktian tindak pidana lainnya. Di dalam
pembuktian tindak pidana lingkungan melalui pendekatan terpadu lintas disiplin
dan diperlukan kemampuan menterjemahkan fakta-fakta hukum.
PUSTAKA
Hardjasoematri,K., 1995, Hukum Perlindungan Lingkungan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Edisi
Pertama, Gadjah Mada, Yogyakarta.
Salim,H.S., 2002, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan,
Sinar Grafita, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar