Total Tayangan Halaman

Sabtu, 07 Desember 2013

Dampak Negatif Penyerbuan Lapas Cebongan (sebuah kajian ilmiah)



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada prinsipnya ide dasar yang melatarbelakangi adanya perlakuan khusus mengenai hukum pidana bagi anggota militer dilandasi oleh beberapa pokok pemikiran. Pertama ; adanya tugas khusus yang menjadi tanggung jawab anggota militer dalam suatu negara dan kekhususan-kekhususan yang melekat dalam kehidupan militer, Kedua  kecenderungan dunia internasional yang memasukan hukum pidana militer sebagai bagian dari Tata Hukum Negara yang bersangkutan, Ketiga ; hukum pidana militer merupakan hukum pidana khusus yang telah dikenal dan diakui dalam lapangan hukum pidana.
Tindak pidana militer adalah tindak pidana yang dilakukan oleh subjek hukumnya yaitu militer. Tindak pidana semacam ini disebut tindak pidana militer murni (zuiver militaire delict). Tindak pidana militer murni adalah suatu tindak pidana yang hanya dilakukan oleh seorang militer, karena sifatnya khusus untuk militer. Contoh: Tindak pidana desersi sebagaimana diatur Pasal 87 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM); tindak pidana insubordinasi sebagaimana diatur dalam Pasal 105-109 KUHPM dan lain-lain.
Salah satu jenis tindak pidana yang menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini adalah tindak pidana penyerbuan dan pembunuhan yang dilakukan oleh oknum anggota Komando Pasukan Khusus yang menyerbu Lapas Cebongan hingga menewaskan 4 orang tahanan. Tindak pidana tersebut tergolong tindak pidana militer campuran (germengde militaire delict), yaitu tindak pidana mengenai perkara koneksitas artinya suatu tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama antara sipil dan militer yang dalam hal ini dasarnya kepada undang-undang militer dan KUH Pidana. Tindak pidana campuran ini selalu melibatkan subjek hukum yakni sipil baik pelaku maupun sebagai korban tindak pidana.
Kejadian ini tentu membuat gempar di seluruh indonesia karena seluruh media massa baik cetak maupun elektronik semua terfokus pada kejadian ini. Pertanyaan yang pertama kali muncul adalah siapakah pelakunya? Namun setelah Tim Investigasi TNI Angkatan Darat menyatakan bahwa pelaku penyerangan Lapas Kelas II B Cebongan, Sleman, Yogyakarta, adalah oknum anggota Grup 2 Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Kartasura, Jawa Tengah yang melibatkan 11 oknum anggota Kopassus, dengan satu orang eksekutor, delapan pendukung, dan dua orang berusaha mencegah penyerbuan.
Dalam Pasal 25 ayat 1 huruf c Undang – Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dijelaskan bahwa : Prajurit TNI adalah insan Prajurit yang bermoral dan tunduk pada hukum serta peraturan perundang-undangan. Dan dalam ayat 2 disebutkan dengan tegas bahwa Prajurit TNI diwajibkan mengucapkan Sumpah Prajurit, sebagai berikut : Demi Allah Saya bersumpah / berjanji : “Bahwa saya akan tunduk kepada hukum dan memegang teguh disiplin keprajuritan.”
Apakah penyerangan yang dilakukan oleh sekelompok Prajurit Koppassus ke Lapas Cebongan beberapa waktu yang lalu dengan cara melakukan penembakan secara biadab dan brutal terhadap 4 (empat) orang Tahanan yang berakibat meninggal dunia, penganiayaan terhadap para Sipir Lapas, Pengerusakan CCTV Lapas dan adanya upaya menghilangkan Barang Bukti CCTV merupakan tindakan bermoral dan tunduk pada hukum serta peraturan perundang-undangan? Apakah normal bila seoarang pemimpin memberikan suatu apresiasi dan kebanggaan terhadap prajurit-prajurit elit TNI yang telah terbukti mengingkari sumpah / janjinya atas nama Allah untuk tunduk kepada hukum ?
Fenomena di atas menjadikan suatu pembelajaran sosial yang salah kaprah dan semakin merusak moral bangsa serta membuat tindak kekerasan dan main hakim sendiri seperti layaknya preman bukan lagi dianggap sebagai suatu bentuk penyimpangan sosial dan pelanggaran hukum di masyarakat.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka masalah yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah : Apakah dampak negatif dari penyerbuan Lapas Cebongan oleh oknum Anggota Kopassus terhadap kepercayaan publik pada hukum dan para aparat negara di negeri ini?

C.    Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui dampak negatif apa yang dapat terjadi dari kasus penyerbuan Lapas Cebongan oleh oknum Anggota Kopassus terhadap kepercayaan publik pada hukum dan aparat negara di negeri ini.



BAB II
KAJIAN TEORITIS
A.    Teori Kriminologi
Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. Nama kriminologi yang ditemukan oleh P. Tonipard (1830-1911) seorang ahli antropologi Perancis, secara harfiah berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat (Toto Santoso, Achyani Zulfa, 2002: 9).
Kriminologi lahir dan kemudian berkembang menduduki posisi yang penting sebagai salah satu ilmu pengetahuan yang interdisiplin dan semakin menarik, bergerak dalam dua “roda besar” yang terus berputar dalam perubahan pola-pola kriminalitas sebagai fenomena sosial yang senantiasa dipengaruhi oleh kecepatan perubahan sosial dan teknologi. Roda-roda yang bergerak itu adalah penelitian kriminologi dan teori-teori kriminologi (Soedjono Dirdjosisworo, 1994: 107).
Ada beberapa penggolongan teori dalam kriminologi antara lain (Soedjono Dirdjosisworo, 1994: 108-143) :
       1.      Teori Asosiasi Diferensial (Differential Association Theory)
Sutherland  menghipotesakan bahwa perilaku kriminal itu dipelajari melalui asosiasi yang dilakukan dengan mereka yang melanggar norma-norma masyarakat termasuk norma hukum. Proses mempelajari tadi meliputi tidak hanya teknik kejahatan sesungguhnya, namun juga motif, dorongan, sikap dan rasionalisasi yang nyaman yang memuaskan bagi dilakukannya perbuatan-perbuatan anti sosial.
Theori asosiasi differensial Sutherland mengenai kejahatan menegaskan bahwa :
a.       Perilaku kriminal seperti halnya perilaku lainnya, dipelajari.
b.      Perilaku kriminal dipelajari dalam hubungan interaksi dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi.
c.       Bagian penting dari mempelajari perilaku kriminal terjadi dalam pergaulan intim dengan mereka yang melakukan kejahatan, yang berarti dalam relasi langsung di tengah pergaulan.
d.      Mempelajari perilaku kriminal, termasuk didalamnya teknik melakukan kejahatan dan motivasi/ dorongan atau alasan pembenar.
e.       Dorongan tertentu ini dipelajari melalui penghayatan atas peraturan perundang-undangan; menyukai atau tidak menyukai.
f.       Seseorang menjadi deliquent karena penghayatannya terhadap peraturan perundangan lebih suka melanggar daripada mentaatinya.
g.      Asosiasi diferensial ini bervariasi tergantung dari frekuensi, durasi, prioritas dan intensitas.
h.      Proses mempelajari perilaku kriminal melalui pergaulan dengan pola kriminal dan anti kriminal melibatkan semua mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar.
i.        Sekalipun perilaku kriminal merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai, akan tetapi tingkah laku kriminal  tersebut tidak dapat dijelaskan melalui kebutuhan umum dan nilai-nilai tadi, oleh karena perilaku non kriminal pun merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai yang sama.

      2.      Teori Tegang (Strain Theory)
Teori ini beranggapan bahwa manusia pada dasarnya makhluk yang selalu memperkosa hukum atau melanggar hukum, norma-norma dan peraturan-peraturan setelah terputusnya antara tujuan dan cara mencapainya menjadi demikian besar sehingga baginya satu-satunya cara untuk mencapai tujuan ini adalah melalui saluran yang tidak legal. Akibatnya, teori “tegas” memandang manusia dengan sinar atau cahanya optimis. Dengan kata lain, manusia itu pada dasarnya baik, karena kondisi sosiallah yang menciptakan tekanan atau stress, ketegangan dan akhirnya kejahatan.

     3.      Teori Kontrol Sosial (Social Control Theory)
Landasan berpikir teori ini adalah tidak melihat individu sebagai orang yang secara intriksik patuh pada hukum, namun menganut segi pandangan antitesis di mana orang harus belajar untuk tidak melakukan tindak pidana. Mengingat bahwa kita semua dilahirkan dengan kecenderungan alami untuk melanggar peraturan-peraturan di dalam masyarakat, delinkuen di pandang oleh para teoretisi kontrol sosial sebagai konsekuensi logis kegagalan seseorang untuk mengembangkan larangan-larangan ke dalam terhadap perilaku melanggar hukum.
Terdapat empat unsur kunci dalam teori kontrol sosial mengenai perilaku kriminal menurut Hirschi (1969), yang meliputi :
 a.       Kasih Sayang
Kasih sayang ini meliputi kekuatan suatu ikatan yang ada antara individu dan saluran primer sosialisasi, seperti orang tua, guru dan para pemimpin masyarakat. Akibatnya, itu merupakan ukuran tingkat terhadap mana orang-orang  yang patuh pada hukum bertindak sebagai sumber kekuatan positif bagi individu.
b.      Komitmen
Sehubungan dengan komitmen ini, kita melihat investasi dalam suasana konvensional dan pertimbangan bagi tujuan-tujuan untuk hari depan yang bertentangan dengan gaya hidup delinkuensi.
c.       Keterlibatan
Keterlibatan, yang merupakan ukuran kecenderungan seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan konvensional mengarahkan individu kepada keberhasilan yang dihargai masyarakat.
d.      Kepercayaan
Akhirnya kepercayaan memerlukan diterimanya keabsahan moral norma-norma sosial serta mencerminkan kekuatan sikap konvensional seseorang. Keempat unsur ini sangat mempengaruhi ikatan sosial antara seorang individu dengan lingkungan masyarakatnya.

     4.      Teori Label (Labeling Theory)
Landasan berpikir dari teori ini diartikan dari segi pandangan pemberian norma, yaitu bahwa sebab utama kejahatan dapat dijumpai dalam pemberian nama atau pemberian label oleh masyarakat untuk mengidentifikasi anggota-anggota tertentu pada masyarakatnya. (Gibbs dan Erickson, 1975; Plummer 1979; Schur 1971).
Terdapat banyak cara dimana pemberian label itu dapat menentukan batas bersama dengan perilaku kriminal telah dijadikan teori, misalnya bahwa pemberian label memberikan pengaruh melalui perkermbangan imajinasi sendiri yang negatif. Menurut teori label ini maka cap atau merek yang dilekatkan oleh penguasa sosial terhadap warga masyarakat tertentu lewat aturan dan undang-undang sebenarnya berakibat panjang yaitu yang di cap tersebut akan berperilaku seperti cap yang melekat itu. jadi sikap mencap orang dengan predikat jahat adalah kriminogen.
 
     5.      Teori Psikoanalitik (Psyco Analytic Theory)
Menurut Sigmund Freud, penemu psikonanalisa, hanya sedikit berbicara tentang orang-orang kriminal. Ini dikarenakan perhatian Freud hanya tertuju pada neurosis dan faktor-faktor di luar kesadaran yang tergolong kedalam struktur yang lebih umum mengenai tipe-tipe ketidakberesan atau penyakit seperti ini. Seperti yang dinyatakan oleh Alexander dan Staub (1931), kriminalitas merupakan bagian sifat manusia. Dengan demikian, dari segi pandangan psikoanalitik, perbedaan primer antara kriminal dan bukan kriminal adalah bahwa non kriminal ini telah belajar mengontrol dan menghaluskan dorongan-dorongan dan perasaan anti-sosialnya.

      6.      Teori Rancangan Pathologis (Pathological Simulation Seeking)
Menurut Herbert C. Quay (1965) mengemukakan teori kriminalitas yang didasarkan pada observasi bahwa banyak kejahatan yang nampak memberikan seseorang perasaan gempar dan getaran hati atau sensasi. Kriminalitas merupakan manifestasi “banyak sekali kebutuhan bagi peningkatan atau perubahan-perubahan dalam pola stimulasi si pelaku”. Abnormalitas primer oleh karenanya dianggap sebagai sesuatu yang terletak dalam respon psikologis seseorang pada masukan indera. Berarti perilaku kriminal merupakan salah satu respon psikologis sebagai salah satu alternatif perbuatan yang harus ditempuh. Lebih spesifik lagi telah dihipotesakan bahwa para kriminal memiliki sistem urat syarat yang hiporeaktif terhadap rangsangan.
Beberapa bahasan dari teori rangsangan pathologis yang perlu mendapat perhatian :
a.       Kriminal dilakukan dengan sistem urat syarat yang diporeaktif dan otak yang kurang memberi respon, keadaan demkian tidak terjadi dalam vakum, melainkan berinteraksi dengan tujuan tempat tinggal tertentu dimana individu hidup dalam pergaulan.
b.      Anak-anak pradelinkuen cenderung membiasakan diri terhadap hukuman yang diterimanya dan rangsangan ini dengan mudah menambah frustasi dikalangan orang tua. Pola ini kemudian bergerak dalam lingkungan interaksi negatif “orang tua dan anak” yang pada gilirannya membentuk remaja dan orang dewasa yang bersifat bermusuhan, memendam rasa benci dan anti sosial. Kecenderungan mencuri rangsangan pathologis ini merupakan bagian dari gambaran kriminal.
 c.       Interaksi orang-orang keadaan meliputi hipotesa :
1)      Bahwa respon parental yang negatif dan tidak konsisten terhadap perilaku mencari rangsangan atau stimuli sang anak, merupakan daya etiologis dalam perkembangan kecenderungan-kecenderungan kriminalitas selanjutnya.
2)      Bahwa abnormalitas psikologis sang anak akan menyulitkan baginya mangantisapasi konsekuensi yang menyakitkan atas perbuatannya.

Kedua faktor di atas merupakan faktor yang memberi kontribusi kepada siklus yang merugikan dalam interkasi orang tua anak yang bersifat negatif yang pada gilirannya berkulminasi pada pola kriminalitas berat. Christopher Mehew dalam penelitiannya mengenai kriminal dan prikologis menemukan adanya pengaruh kejiwaan terhadap perilaku jahat yang disimpulkan sebagai tingkat kedewasaan yang terhambat (emotional-immaturity) dan ternyata kondisi ini dipengaruhi  oleh masalah-masalah keluarga yaitu disharmonie home dan broken home.

     7.      Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory)
Landasan berpikir teori ini menitikberatkan pada utilitas atau pemanfaatan yang diantisipasi mengenai taat pada hukum lawan perilaku melawan hukum. Pendukung semula teori pilihan rasional, Gary Becker (1968) menegaskan bahwa akibat pidana merupakan fungsi, pilihan-pilihan langsung serta keputusan-keputusan yang dibuat relatif oleh para pelaku tindak pidana bagi yang terdapat baginya. Pilihan rasional berarti pertimbangan-pertimbangan yang rasional dalam menentukan pilihan perilaku yang kriminal atau non kriminal, dengan kesadaran bahwa ada ancaman pidana apabila perbuatannya yang kriminal diketahui dan dirinya diprotes dalam peradilan pidana. Apabila demikian seolah-olah semua perilaku kriminal adalah keputusan rasional.

B.     Kriminologi dan Hukum Pidana
Pengembangan dan penyempurnaan sistem hukum merupakan salah satu aspek penting bagi upaya pengembangan profesionalisme tentara sebagai kekuatan dan alat pertahanan negara. Dalam konteks tersebut penataan sistem peradilan militer merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari reformasi militer dan sector pertahanan. Amandemen UUD 1945 pasal 30 ayat (2), (3) dan (4) menempatkan fungsi pertahanan dan keamanan pada institusi yang berbeda, yaitu pertahanan pada institusi TNI dan keamanan pada institusi Kepolisian. Dengan demikian ketentuan yang mengatur hukum material dan hukum acara keduanya harus diubah. Ketetapan No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan No. VII/MPR/2000 secara eksplisit telah memisahkan POLRI dari angkatan bersenjata (TNI), sekaligus menundukkan prajurit TNI dan anggota POLRI kepada hukum dan prosedur peradilan pidana umum.
Ketentuan mengenai koneksitas yang diatur dalam prosedur peradilan pidana umum tidak sesuai dengan kehendak perubahan yang tersebut dalam butir (1) dan (2).
Ketentuan mengenai koneksitas yang telah diatur dalam prosedur peradilan pidana umum tidak sesuai dengan prinsip konstitusionalisme yang menempatkan militer di bawah kontrol otoritas politik demokratis.
Adanya tindak pidana yang melibatkan unsur sipil dan militer baik dalam hal subyek maupun tindak pidana yang menyebabkan terjadinya konflik yurisdiksi (tumpang tindih kewenangan mengadili) sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Konflik yurisdiksi dan ketidakpastian hukum ini juga berasal dari ketentuan hukum yang menyerahkan otoritas menentukan kewenangan peradilan itu kepada militer. Kebutuhan untuk mengatasi ketidakpastian hukum akan terus terjadi, karena dalam jangka panjang masih mungkin ada suatu tindak pidana yang berada dalam dua yurisdiksi peradilan. Hal ini disebabkan oleh diabaikannya prinsip pembedaan penempatan satuan militer dan instalasi militer dari civilians dan civilian objects sesuai dengan hukum humaniter.
Sejak kelahirannya, hubungan kriminologi dengan hukum pidana sangat erat, artinya hasil-hasil penyelidikan kriminologi dapat membantu pemerintah dalam menangani masalah kejahatan terutama melalui hasil-hasil studi di bidang etiologi kriminal dan penologi. Di samping itu dengan penelitian kriminologi dapat dipakai untuk membantu bidang pembuatan undang-undang, sehingga kriminologi sering disebut sebagai “signalwetenschap”. Bahkan aliran modern yang diorganisasikan oleh von Liszt menghendaki kriminologi bergabung dengan hukum pidana sebagai ilmu bantunya agar bersama-sama menangani hasil penyelidikan “politik kriminal” sehingga memungkinkan memberikan petunjuk jitu terhadap penanganan hukum pidana dan pelaksanaannya, yang semuanya ditujukan untuk melindungi “warga negara yang baik” dari penjahat.
Dalam hubungan ini kiranya perlu diketengahkan mengenai fungsi kriminologi terhadap hukum pidana. Menurut Prof. Sudarto, SH. Bahwa fungsi kriminologi terhadap hukum pidana adalah :
1.      Meninjau secara kritis hukum pidana yang berlaku;
2.      Rekomendasi guna perbaikan-perbaikan (J. Pinatel).
Selanjutnya dikatakan bahwa sistem pidana adalah bagian yang penting dari KUHP. Kriminolgi memberi dasar yang esensiil yang tidak dapat ditinggalkan untuk keseluruhan struktur sistem pidana. Hasil-hasil atau penemuan-penemuan dalam kriminologi diperoleh dengan penelitian.
Penemuan-penemuan ini sangat bermanfaat untuk politik kriminal pada  umumnya dan politik hukum pidana pada khususnya, ialah dapat dijadikan  pertimbangan misalnya untuk kriminalisasi, dekriminalisasi, perubahan  undang-undang.
Adapun mengenai peranan kriminologi untuk poilitik hukum pidana, Prof. Soedarto mengemukakan bahwa kriminologi bukan ilmu yang melaksanakan kebijaksanaan, akan tetapi hasilnya dapat digunakan untuk melaksanakan kebijaksanaan. Yang melaksanakan adalah unsur-unsur pelaksanaan politik kriminal. Dalam melaksanakan politik, orang mengadakan penilaian dan melakaukan pemilihan dari sekian alternatif yang dihadapi. Menjalankan politik kriminal atau khususnya menjalankan politik hukum pidana juga mengadfakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan kemanfaatan.
Menurut beliau, kriminologi dapat menyediakan bahan-bahan informasi untuk itu dan policy maker yang bijak tidak boleh mengabaikannya.
Mengabaikan hasil penelitian dari kriminologi membawa resiko terbentuknya undang-undang yang tidak fungsional, bahkan mungkin undang-undang yang disfungsional”.

Sebagai bidang pengetahuan ilmiah yang relatif muda, kriminologi di beberapa negara telah menunjukkan peranan yang berarti untuk kepentingan masyarakat.
Terhadap kriminalisasi, Hermann Mannheim memberikan pandangannya bahwa terhadapt pelbagai bentuk perbuatan anti sosial yang tidak dijadikan tindak pidana dan banyak diantaranya yang seharusnya tidak boleh dijadikan tindak pidana karena tiga alasan :
1.      Bahwa efisiensi dalam menjalankan undang-undang pidana banyak tergantung pada adanya dukungan dari masyarakat luas, sehingga harus diselidiki apakah tentang kelakuan yang bersangkutan itu ada sikap yang sama dalam masyarakat;
2.      Sekalipun ada sikap yang sama, maka harus diselidiki pula apakah tingkah laku yang bersangkutan merupakan tingkah laku yang penindakkannya secara teknis sangat sulit atau tidak. Sebab apabila ini terjadi, akan menimbulkan manipulasi dalam pelaksanaannya;
3.      Perlu diingat juga apakah tingkah laku tersebut merupakan sesuatu yang tidak sesuai untuk dijadikan objek hukum pidana, artinya apakah nantinya tidak terlalu banyak mencampuri kehidupan pribadi dari individu.
Kriminologi, khususnya bidang sosiologi hukum pidana yang mengarahkan studinya pada proses pembuatan dan bekerjanya undang-undang, dapat memberikan sumbangannya yang besar dalam bidang sistem peradilan pidana yang berupa penelitian tentang penegakan hukum, akan dapat digunakan untuk memperbaiki bekerjanya aparat penegak hukum seperti untuk memberikan perhatian terhadap hak-hak terdakwa maupun korban kejahatan, disamping untuk perundang-undangannya sendiri.
Ilmu hukum pidana merupakan ilmu atau pengetahuan yang secara khusus mempelajari salah satu bagian tertentu dari ilmu hukum pada umumnya, yaitu hukum pidana. Objek hukum pidana adalah peraturan-peraturan hukum pidana positif, yaitu hukum pidana yang berlaku pada suatu waktu tertentu di suatu negara tertentu. Jadi objek hukum pidana di Indonesia adalah peraturan-peraturan hukum pidana yang berlaku di Indonesia.
Tugas utama hukum pidana adalah mempelajari dan menjelaskan asas-asas yang menjadi dasar dari peraturan-peraturan hukum pidana positif; mempelajari dan menjelaskan hubungan antara asas yang satu dengan yang lainnya; setelah dipahami hubungan itu maka ditempatkan dalam suatu sistematika agar dapat dipahami apa yang dimaksud dengan hukum positif itu. Dalam tugas yang disebut paling akhir ini juga merupakan cara hukum pidana melaksanakan tugasnya.
Hukum pidana adalah aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diharuskan oleh undang-undang, sedangkan kriminologi adalah membahas gejala-gejala tingkah laku manusia yang melanggar aturan, baik aturan hukum (pidana), sosial, agama dan lain sebagainya. Keduanya dapat bertemu dalam kejahatan yaitu tingkah laku atau perbuatan yang diancam dengan pidana.
Perbedaaan hukum pidana dan kriminologi terletak pada objeknya, yaitu hukum pidana objek utamanya adalah menunjuk pada apa yang dapat dipidana menurut norma-norma hukum yang berlaku, sedangkan perhatian kriminologi tertuju kepada manusia yang melanggar hukum pidana dan kepada hal-hal yang mempengaruhi perbuatan tersebut.
Dalam hubungan dengan kaitan antara kriminologi dan hukum pidana di atas, perlu diketengahkan pendapat H. Bianchi yang berusaha mengungkapkan kriminologi sebagai “metascience” daripada hukum pidana yakni suatu ilmu yang memiliki ruang lingkup yang lebih luas di mana pengertiannya dapat dipergunakan untuk memperjelas konsepsi-konsepsi dan masalah-masalah yang terdapat di dalam hukum pidana. Jelaslah bahwa “metascience” di atas, bukan hanya pelengkap terhadap hukum pidana bahkan merupakan disiplin yang utama daripadanya.


BAB III
PEMBAHASAN
Salah satu sebab hipotetis dari tragedi ini mau tidak mau menggugat kehadiran negara. Negara digugat jika para pelaku pamer kekerasan brutal itu tidak dapat ditemukan seperti layaknya pekerjaan yang dilakukan siluman, leak, atau begu ganjang dalam potongan kisah rakyat kecil di Jawa, Bali, dan Batak. Menghadapi operasi ”siluman” jangan sampai negara seakan terkesan tidak berfungsi, diam, dan telah dikalahkan, bahkan mungkin ”takut”.
Gugatan ini wajar karena pamer kekerasan brutal dapat menyampaikan pesan yang mencemaskan, yaitu terdapat ”negara” di dalam negara yang kita sebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Bukankah ketika pelakunya tidak dapat ditemukan, watak monopoli negara dalam penggunaan kekerasan itu telah tercederai atau hilang?
Karena itu, yang dipertaruhkan bukanlah sekadar martabat manusia, melainkan juga martabat NKRI sebagai institusi yang seharusnya memiliki monopoli dalam penggunaan kekerasan. Tidak akan terdapat penghormatan terhadap martabat negara ketika martabat manusia diingkari. Demikian juga sebaliknya. Tidak akan terdapat penghormatan manusia ketika martabat negara sebagai pemilik monopoli penggunaan kekerasan dicederai dan dilecehkan. Hubungan martabat negara dengan martabat manusia, karenanya, haruslah dilihat secara simbiotik.
Karena itu pula, para petinggi negara yang menangani urusan penggunaan kekerasan harus dapat menunjukkan sikap perwiranya. Bukankah keteladanan dari kata perwira itu ditunjukkan oleh keberanian mempertanggungjawabkan kata sealur dengan perbuatannya?
Penulis ini menyatakan bahwa konflik kekerasan bersenjata merupakan lahan paling subur untuk menumbuhkan kejahatan yang terorganisasi. Pemerintah pusat yang lemah dan masyarakat madani (civil society) yang tercerai-berai pun menjadi lahan yang subur bagi pertumbuhan kejahatan yang terorganisasi. Lebih jauh, Brammerts menyatakan, situasi yang paling menyedihkan akan terjadi apabila kejahatan yang terorganisasi memiliki jaringan mata rantai dengan institusi-institusi negara.
A.    Dampak Penyerbuan Lapas Cebongan oleh Oknum Anggota Kopassus Terhadap Kepercayaan Publik pada Hukum dan Aparat Negara
Dalam Pasal 25 ayat 1 huruf c Undang – Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dijelaskan bahwa : Prajurit TNI adalah insan Prajurit yang bermoral dan tunduk pada hukum serta peraturan perundang-undangan. Dan dalam ayat 2 disebutkan dengan tegas bahwa Prajurit TNI diwajibkan mengucapkan Sumpah Prajurit.
Dalam point 2 Sumpah Prajurit, menyatakan Sumpah seorang Prajurit TNI (baik bawahan maupun Atasan) sebagai berikut :
Demi Allah Saya bersumpah / berjanji : “ Bahwa saya akan tunduk kepada hukum dan memegang teguh disiplin keprajuritan.”

Jika kita nilai secara lebih objektif dan lebih cerdas, Apakah penyerangan yang dilakukan oleh sekelompok Prajurit Koppassus ke Lapas Cebongan beberapa waktu yang lalu dengan cara melakukan penembakan secara brutal terhadap 4 (empat) orang Tahanan yang berakibat meninggal dunia, penganiayaan terhadap para Sipir Lapas, Pengerusakan CCTV Lapas dan adanya upaya menghilangkan Barang Bukti CCTV merupakan tindakan bermoral dan tunduk pada hukum serta peraturan perundang-undangan? Apakah normal bila seorang pemimpin memberikan suatu apresiasi dan kebanggaan terhadap prajurit-prajurit elit TNI yang telah terbukti mengingkari sumpah / janjinya atas nama Allah untuk tunduk kepada hukum?
Apakah 4 (empat) orang Tahanan Lapas Cebongan tersebut dianggap sebagai suatu bentuk ancaman militer ataupun ancaman bersenjata bagi TNI, sehingga sampai segitunya Tim Elit TNI pelakukan penyerangan? Disinilah tampak suatu bentuk tindakan sewenang-wenang yang melanggar hukum dan melenceng jauh dari tugas pokok, fungsi dan kewenangannya.
Selain mengumbar pujian dan rasa bangga yang dilakukan secara serempak oleh para petinggi TNI dan Para Purnawiran TNI serta beberapa pejabat negara, adapula upaya-upaya pembentukan opini serta ajakan mendukung gerakan tidak bermoral dan biadab ini melalui media sosial.
Fenomena di atas menjadikan suatu pembelajaran sosial yang salah kaprah dan semakin merusak moral bangsa serta membuat tindak kekerasan dan main hakim sendiri seperti layaknya preman bukan lagi dianggap sebagai suatu bentuk penyimpangan sosial dan pelanggaran hukum di masyarakat.
Supremasi hukum di negeri ini mulai terusik dengan aneka kejadian/peristiwa yang tidak jelas penyelesaiannya akibat merebaknya kekuasaan dan politik menggeser supremasi hukum. Penyerangan LP Cebongan harus menjadi ajang pembuktian bahwa semua orang sama di hadapan hukum (equality before the law), Negara melalui aparaturnya harus mampu membuka tabir penyerangan LP Cebongan agar dapat menyembalikan kepercayaan masyarakat bahwa memang di negara ini masih ada hukum dan keadilan.
Berdasarkan fakta dalam pemberitaan yang berkembang saat ini, peristiwa tersebut bermula saat beberapa prajurit sedang melakukan latihan di Gunung Lawu mendengar ada anggota Kopassus dikeroyok dan dibunuh dengan keji, sadis dan brutal.
"Karena jiwa rasa korsa mereka reaksi dan ajak temannya yang berjumlah 11 orang dan perbuatan tersebut oleh kesebelas terduga pelaku dilakukan dengan inisiatif bersama dan bukan dengan perintah atau komando dari atasan mereka, karena kebijakan sangat berkaitan dengan wewenang, dan yang mempunyai wewenang untuk memerintahkan prajurit melakukan tindakan adalah Komandan prajurit tersebut.

Apakah mungkin motif penyerangan ini semata-mata karena esprit de corps (jiwa corsa TNI) yang berlebihan? Ataukah oknum Kopassus tidak percaya dengan polisi bahwa akan menyelesaikan kasus pembunuhan yang menimpa Serka Heru Santoso yang terjadi di Hugo’s Cafe? Kalau motifnya adalah jiwa corsa TNI yang berlebihan maka pendidikan dan pembentukan karakter di lingkup TNI perlu diperbaiki karena TNI ada untuk melindungi rakyat bukan untuk melindungi corps, kepentingan rakyatlah yang harus didahulukan dan ditempatkan di atas kepentingan corps.
Jiwa korsa TNI harus sejalan dengan tujuan negara sebagaimana diatur dalam Pembukaan UUD 1945 alenea keempat di mana salah satu tujuannya adalah melindungi segenap bangsa Indonesia.
Dengan demikian kehadiran TNI di tengah rakyat bukan untuk menakut-nakuti rakyat tetapi justru harus menjadi teladan dan mampu memberi rasa aman dan nyaman kepada rakyat karena TNI juga merupakan bagian dari rakyat itu sendiri, TNI berasal dari rakyat dan pada suatu saat akan kembali menjadi rakyat pula.
Sedangkan kalau motifnya adalah ketidakpercayaan terhadap polri untuk menangani kasus penganiayaan dan pengeroyokan terhadap salah satu anggota Kopassus hingga tewas maka saatnya pula bagi polri untuk berbenah dan menjalankan fungsi penegakan hukum yang lebih profesional dan proporsional.
Mungkin benar bahwa keempat tahanan yang tewas di LP Cebongan tersebut seperti yang dituduhkan kepada mereka tetapi mengapa bukan hukum yang membuktikannya tetapi justru hukum rimba yang berlaku? Dalam konteks ini Negara gagal memberikan perlindungan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia.
TNI, Polri, Lembaga Pemasyarakatan dan lembaga-lembaga Negara lainnya merupakan representasi dari kekuasaan Negara belum maksimal melindungi rakyatnya. Bahkan TNI yang merupakan pagar negara justru menghabisi rakyatnya sendiri, seyogyanya merekalah panutan dalam masyarakat bagaimana cara hidup berhukum yang baik bukan sebaliknya premanismelah yang ditunjukkan, kalau demikian di manakah rakyat akan mencari perlindungan?
TNI AD saat ini berada dipersimpangan jalan dan telah melenceng jauh dan jauh dari jati diri TNI yang sebenarnya. Selain tidak lagi menghormati prinsip Demokrasi, TNI juga telah nyata-nyata tidak menghormati supremasi sipil, melanggar HAM dan tidak lagi patuh terhadap ketentuan hukum nasional dan hukum internasional sebagaimana telah diamanatkan dalam Pasal 2 huruf d Undang – Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Akankah para petinggi TNI dan Purna TNI serta para pejabat pemerintahan terus mendukung, melindungi dan memelihara gerakan sesat dan melanggar hukum serta HAM di negeri badut ini ?
Terungkapnya keterlibatan oknum anggota Korps Pasukan Khusus TNI AD sebagai pelaku penyerangan Lapas Kelas IIB Cebongan Sleman Yogyakarta, mengundang kecaman dan keprihatinan. Penegakan hukum harus dipastikan atas kasus ini, untuk mencegah semakin meningkatnya ketidakpercayaan publik pada hukum dan para aparat negara.
Terungkapnya pelaku penyerangan ini menambah catatan hitam sejarah kekerasan di tanah air. Di tengah kepercayaan publik pada instansi negara yang tengah menurun, fakta ini bisa membuat skeptisisme publik terhadap negara semakin bertambah. 
Kasus ini menunjukkan bahwa hukum di Indonesia masih lemah. Karena ternyata justru para aparat sendiri yang masih sering mempermainkan hukum. Oleh karena itu jika tidak diatasi, akan memicu ketidakpercayaan publik terhadap hukum, dan akan mendorong orang melakukan categorical hakim sendiri. Bangsa Indonesia saat ini sungguh-sungguh kehilangan figur keteladanan bagi rakyat, kurang adanya orang atau lembaga negara yang patut dicontohi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
 

BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Terungkapnya keterlibatan oknum anggota Korps Pasukan Khusus TNI AD sebagai pelaku penyerangan Lapas Kelas IIB Cebongan Sleman Yogyakarta, mengundang kecaman dan keprihatinan. Penegakan hukum harus dipastikan atas kasus ini, untuk mencegah semakin meningkatnya ketidakpercayaan publik pada hukum dan para aparat negara.
TNI, Polri, Lembaga Pemasyarakatan dan lembaga-lembaga Negara lainnya merupakan representasi dari kekuasaan Negara belum maksimal melindungi rakyatnya. Bahkan TNI yang merupakan pagar negara justru menghabisi rakyatnya sendiri, seyogyanya merekalah panutan dalam masyarakat bagaimana cara hidup berhukum yang baik bukan sebaliknya premanismelah yang ditunjukkan, kalau demikian di manakah rakyat akan mencari perlindungan?
Pembunuhan 4 orang di Lapas Cebongan Sleman oleh 11 anggota Grup 2 Kopassus adalah tindakan yang tidak bisa ditelorir dengan dalih dan alasan apapun. Selain telah merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan, aksi itu juga melecehkan simbol negara. Sikap permisif dan apalagi jika membenarkan tindakan extra judicial killing oleh 11 orang itu sama sekali tidak dibenarkan dan patut ditolak. Tindakan sebelas orang itu bukanlah tindakan melawan premanisme tetapi merupakan tindakan pembunuhan berencana dengan motif sementara waktu adalah balas dendam.
Penulis menilai saat ini ada upaya-upaya sistematis membelokkan kasus pembunuhan di Lapas Cebongan pada issu pemberantasan premanisme. Penyesatan dan pengalihan isu dengan dukungan dan mobilisasi seruan memberantas premanisme dengan menyetujui tindakan main hakim sendiri tanpa  melalui proses penegakan hukum adalah  keliru dan salah. Upaya itu tentu sangat berbahaya dan mengancam negara hukum.
Munculnya sikap-sikap yang menyatakan pembunuhan oleh 11 anggota Kopassus sebagai tindakan ksatria dan pantas diberi tanda jasa sangat sesat dan jelas jelas telah melecehkan negara hukum. Sikap-sikap itu tidak bisa diterima akal sehat karena membenarkan aksi-aksi yang tidak manusiawi.



B.     Saran
1.      Aksi-aksi premanisme harus diberantas dan ditangani secara serius oleh pemerintah. Meski demikian, penanganan premanisme harus selaras dan dilakukan dalam koridor penegakan hukum. Hukum rimba tidak boleh hidup dalam negara hukum dan harus dihentikan.
2.      Kejahatan yang dilakukan 11 anggota Grup 2 Kopassus di Lapas Sleman harus diproses hukum secara transparan dan akuntabel. Para pelaku harus dihukum berat dengan pasal berlapis sesuai tindak kejahatan yang dilakukannya.
3.      Sebagai bagian dari aparat negara yang seharusnya menghormati hukum dan HAM, mereka sebaliknya justru melecehkan wibawa negara, hukum, dan kemanusiaan.
4.      Pemerintah  harus mendorong proses hukum  kasus ini dengan menggunakan mekanisme peradilan umum, bukan militer. Peradilan militer selama ini tidak transparan dan akuntabel, yang nyata-nyata sering melindungi pelaku dan menjadi sarang impunitas.
5.      Presiden Susilo Bambang Yudhyono harus segera membuat Perppu tentang revisi Peradilan Militer mengingat terdapat kondisi yang mendesak untuk segera dilakukannya reformasi peradilan militer. Kondisi itu terlihat dari adanya ketidakadilan bagi korban kasus cebongan dan bagi publik karena peradilan militer tidak independen dan bertentangan dengan Konstitusi Pasal 27 dan Pasal 28D tentang asas persaman di hadapan hukum.
6.      Tidak boleh ada pengistimewaan terhadap warga negara dihadapan hukum, tidak terkecuali anggota TNI.  Apalagi, Selama 10 tahun sejak 2004, pemerintah dan DPR gagal menyelesaikan revisi UU 31 tahun 1997 yang dimandatkan oleh UU TNI Pasal 65.
7.      Sudah saatnya komandan group 2 kopasus pantas dievaluasi karena lalai dan gagal dalam mengontrol anak buahnya. Pertanggungjawaban Danjen Kopasus juga harus ditindaklanjuti dengan sikap dan langkah yang kongkrit.
8.      Lebih dari itu, reformasi sitem penegakan hukum tidak boleh ditunda-tunda lagi khususnya menghilangkan budaya korupsi dalam semua level penegakan hukum sehingga wibawa hukum dapat segera dipulihkan.

Data : Dari Berbagai Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar