BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada prinsipnya ide dasar
yang melatarbelakangi adanya perlakuan khusus mengenai hukum pidana bagi
anggota militer dilandasi oleh beberapa pokok pemikiran. Pertama ; adanya tugas
khusus yang menjadi tanggung jawab anggota militer dalam suatu negara dan kekhususan-kekhususan
yang melekat dalam kehidupan militer, Kedua
kecenderungan dunia internasional yang memasukan hukum pidana militer
sebagai bagian dari Tata Hukum Negara yang bersangkutan, Ketiga ; hukum pidana
militer merupakan hukum pidana khusus yang telah dikenal dan diakui dalam
lapangan hukum pidana.
Tindak pidana militer
adalah tindak pidana yang dilakukan oleh subjek hukumnya yaitu militer. Tindak
pidana semacam ini disebut tindak pidana militer murni (zuiver
militaire delict). Tindak pidana militer murni
adalah suatu tindak pidana yang hanya dilakukan oleh seorang militer, karena
sifatnya khusus untuk militer. Contoh: Tindak pidana desersi sebagaimana diatur
Pasal 87 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM); tindak pidana insubordinasi
sebagaimana diatur dalam Pasal 105-109 KUHPM dan lain-lain.
Salah satu
jenis tindak pidana yang menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini adalah
tindak pidana penyerbuan dan pembunuhan yang dilakukan oleh oknum anggota
Komando Pasukan Khusus yang menyerbu Lapas Cebongan hingga
menewaskan 4 orang tahanan. Tindak
pidana tersebut tergolong tindak pidana militer campuran (germengde militaire delict), yaitu tindak
pidana mengenai perkara koneksitas artinya suatu tindak pidana yang dilakukan
secara bersama-sama antara sipil dan militer yang dalam hal ini dasarnya kepada
undang-undang militer dan KUH Pidana. Tindak pidana campuran ini selalu
melibatkan subjek hukum yakni sipil baik pelaku maupun sebagai korban tindak
pidana.
Kejadian ini tentu membuat gempar di seluruh indonesia
karena seluruh media massa baik cetak maupun elektronik semua terfokus pada
kejadian ini. Pertanyaan yang pertama kali muncul adalah siapakah pelakunya? Namun
setelah Tim
Investigasi TNI Angkatan Darat menyatakan bahwa
pelaku
penyerangan Lapas Kelas II B Cebongan, Sleman, Yogyakarta, adalah oknum anggota
Grup 2 Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Kartasura, Jawa Tengah yang
melibatkan 11
oknum anggota Kopassus, dengan satu orang eksekutor, delapan pendukung, dan dua
orang berusaha mencegah penyerbuan.
Dalam Pasal 25 ayat 1 huruf c Undang – Undang Nomor 34 Tahun
2004 tentang TNI dijelaskan bahwa : Prajurit TNI adalah insan Prajurit yang
bermoral dan tunduk pada hukum serta peraturan perundang-undangan. Dan dalam
ayat 2 disebutkan dengan tegas bahwa Prajurit TNI diwajibkan mengucapkan Sumpah
Prajurit, sebagai berikut : Demi Allah Saya bersumpah /
berjanji : “Bahwa saya akan tunduk kepada hukum dan memegang teguh disiplin
keprajuritan.”
Apakah penyerangan yang dilakukan oleh sekelompok Prajurit
Koppassus ke Lapas Cebongan beberapa waktu yang lalu dengan cara melakukan
penembakan secara biadab dan brutal terhadap 4 (empat) orang Tahanan yang
berakibat meninggal dunia, penganiayaan terhadap para Sipir Lapas, Pengerusakan
CCTV Lapas dan adanya upaya menghilangkan Barang Bukti CCTV merupakan tindakan
bermoral dan tunduk pada hukum serta peraturan perundang-undangan? Apakah
normal bila seoarang pemimpin memberikan suatu apresiasi dan kebanggaan
terhadap prajurit-prajurit elit TNI yang telah terbukti mengingkari sumpah /
janjinya atas nama Allah untuk tunduk kepada hukum ?
Fenomena di atas menjadikan suatu pembelajaran sosial yang
salah kaprah dan semakin merusak moral bangsa serta membuat tindak kekerasan
dan main hakim sendiri seperti layaknya preman bukan lagi dianggap sebagai
suatu bentuk penyimpangan sosial dan pelanggaran hukum di masyarakat.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian pada latar belakang masalah di atas, maka masalah yang akan dikaji dalam
tulisan ini adalah : Apakah dampak negatif dari penyerbuan Lapas Cebongan oleh
oknum Anggota Kopassus terhadap kepercayaan publik pada hukum dan para aparat
negara di negeri ini?
C. Tujuan
Penulisan
Untuk
mengetahui dampak negatif apa yang dapat terjadi dari kasus penyerbuan Lapas
Cebongan oleh oknum Anggota Kopassus terhadap kepercayaan publik pada hukum dan aparat
negara di negeri ini.
BAB II
KAJIAN
TEORITIS
A. Teori Kriminologi
Kriminologi merupakan ilmu
pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. Nama kriminologi yang ditemukan
oleh P. Tonipard (1830-1911) seorang ahli antropologi Perancis, secara harfiah
berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat dan “logos”
yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang
kejahatan atau penjahat (Toto Santoso, Achyani Zulfa, 2002: 9).
Kriminologi lahir dan kemudian
berkembang menduduki posisi yang penting sebagai salah satu ilmu pengetahuan
yang interdisiplin dan semakin menarik, bergerak dalam dua “roda besar” yang
terus berputar dalam perubahan pola-pola kriminalitas sebagai fenomena sosial
yang senantiasa dipengaruhi oleh kecepatan perubahan sosial dan teknologi.
Roda-roda yang bergerak itu adalah penelitian kriminologi dan teori-teori
kriminologi (Soedjono Dirdjosisworo, 1994: 107).
Ada beberapa penggolongan teori
dalam kriminologi antara lain (Soedjono Dirdjosisworo, 1994: 108-143) :
1.
Teori Asosiasi Diferensial (Differential
Association Theory)
Sutherland
menghipotesakan bahwa perilaku kriminal itu dipelajari melalui asosiasi yang
dilakukan dengan mereka yang melanggar norma-norma masyarakat termasuk norma
hukum. Proses mempelajari tadi meliputi tidak hanya teknik kejahatan
sesungguhnya, namun juga motif, dorongan, sikap dan rasionalisasi yang nyaman
yang memuaskan bagi dilakukannya perbuatan-perbuatan anti sosial.
Theori asosiasi
differensial Sutherland mengenai kejahatan menegaskan bahwa :
a. Perilaku kriminal seperti halnya
perilaku lainnya, dipelajari.
b. Perilaku kriminal dipelajari dalam
hubungan interaksi dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi.
c. Bagian penting dari mempelajari
perilaku kriminal terjadi dalam pergaulan intim dengan mereka yang melakukan
kejahatan, yang berarti dalam relasi langsung di tengah pergaulan.
d. Mempelajari perilaku kriminal,
termasuk didalamnya teknik melakukan kejahatan dan motivasi/ dorongan atau
alasan pembenar.
e. Dorongan tertentu ini dipelajari
melalui penghayatan atas peraturan perundang-undangan; menyukai atau tidak
menyukai.
f. Seseorang menjadi deliquent
karena penghayatannya terhadap peraturan perundangan lebih suka melanggar
daripada mentaatinya.
g. Asosiasi diferensial ini bervariasi
tergantung dari frekuensi, durasi, prioritas dan intensitas.
h. Proses mempelajari perilaku kriminal
melalui pergaulan dengan pola kriminal dan anti kriminal melibatkan semua
mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar.
i.
Sekalipun perilaku kriminal merupakan pencerminan dari
kebutuhan umum dan nilai-nilai, akan tetapi tingkah laku kriminal
tersebut tidak dapat dijelaskan melalui kebutuhan umum dan nilai-nilai tadi,
oleh karena perilaku non kriminal pun merupakan pencerminan dari kebutuhan umum
dan nilai-nilai yang sama.
2.
Teori Tegang (Strain Theory)
Teori ini
beranggapan bahwa manusia pada dasarnya makhluk yang selalu memperkosa hukum
atau melanggar hukum, norma-norma dan peraturan-peraturan setelah terputusnya
antara tujuan dan cara mencapainya menjadi demikian besar sehingga baginya
satu-satunya cara untuk mencapai tujuan ini adalah melalui saluran yang tidak
legal. Akibatnya, teori “tegas” memandang manusia dengan sinar atau cahanya
optimis. Dengan kata lain, manusia itu pada dasarnya baik, karena kondisi
sosiallah yang menciptakan tekanan atau stress, ketegangan dan akhirnya
kejahatan.
3.
Teori Kontrol Sosial (Social
Control Theory)
Landasan
berpikir teori ini adalah tidak melihat individu sebagai orang yang secara
intriksik patuh pada hukum, namun menganut segi pandangan antitesis di mana
orang harus belajar untuk tidak melakukan tindak pidana. Mengingat bahwa kita
semua dilahirkan dengan kecenderungan alami untuk melanggar peraturan-peraturan
di dalam masyarakat, delinkuen di pandang oleh para teoretisi kontrol sosial
sebagai konsekuensi logis kegagalan seseorang untuk mengembangkan
larangan-larangan ke dalam terhadap perilaku melanggar hukum.
Terdapat
empat unsur kunci dalam teori kontrol sosial mengenai perilaku kriminal menurut
Hirschi (1969), yang meliputi :
a. Kasih Sayang
Kasih sayang ini meliputi kekuatan suatu ikatan yang ada
antara individu dan saluran primer sosialisasi, seperti orang tua, guru dan
para pemimpin masyarakat. Akibatnya, itu merupakan ukuran tingkat terhadap mana
orang-orang yang patuh pada hukum
bertindak sebagai sumber kekuatan positif bagi individu.
b. Komitmen
Sehubungan dengan komitmen ini, kita melihat investasi dalam
suasana konvensional dan pertimbangan bagi tujuan-tujuan untuk hari depan yang
bertentangan dengan gaya hidup delinkuensi.
c. Keterlibatan
Keterlibatan, yang merupakan ukuran kecenderungan seseorang
untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan konvensional mengarahkan individu
kepada keberhasilan yang dihargai masyarakat.
d. Kepercayaan
Akhirnya kepercayaan memerlukan diterimanya keabsahan moral
norma-norma sosial serta mencerminkan kekuatan sikap konvensional seseorang.
Keempat unsur ini sangat mempengaruhi ikatan sosial antara seorang individu
dengan lingkungan masyarakatnya.
4.
Teori Label (Labeling Theory)
Landasan
berpikir dari teori ini diartikan dari segi pandangan pemberian norma, yaitu
bahwa sebab utama kejahatan dapat dijumpai dalam pemberian nama atau pemberian
label oleh masyarakat untuk mengidentifikasi anggota-anggota tertentu pada
masyarakatnya. (Gibbs dan Erickson, 1975; Plummer 1979; Schur 1971).
Terdapat
banyak cara dimana pemberian label itu dapat menentukan batas bersama dengan
perilaku kriminal telah dijadikan teori, misalnya bahwa pemberian label memberikan
pengaruh melalui perkermbangan imajinasi sendiri yang negatif. Menurut teori
label ini maka cap atau merek yang dilekatkan oleh penguasa sosial terhadap
warga masyarakat tertentu lewat aturan dan undang-undang sebenarnya berakibat
panjang yaitu yang di cap tersebut akan berperilaku seperti cap yang melekat
itu. jadi sikap mencap orang dengan predikat jahat adalah kriminogen.
5.
Teori Psikoanalitik (Psyco
Analytic Theory)
Menurut
Sigmund Freud, penemu psikonanalisa, hanya sedikit berbicara tentang orang-orang
kriminal. Ini dikarenakan perhatian Freud hanya tertuju pada neurosis dan
faktor-faktor di luar kesadaran yang tergolong kedalam struktur yang lebih umum
mengenai tipe-tipe ketidakberesan atau penyakit seperti ini. Seperti yang
dinyatakan oleh Alexander dan Staub (1931), kriminalitas merupakan bagian sifat
manusia. Dengan demikian, dari segi pandangan psikoanalitik, perbedaan primer
antara kriminal dan bukan kriminal adalah bahwa non kriminal ini telah belajar
mengontrol dan menghaluskan dorongan-dorongan dan perasaan anti-sosialnya.
6.
Teori Rancangan Pathologis (Pathological
Simulation Seeking)
Menurut
Herbert C. Quay (1965) mengemukakan teori kriminalitas yang didasarkan pada
observasi bahwa banyak kejahatan yang nampak memberikan seseorang perasaan
gempar dan getaran hati atau sensasi. Kriminalitas merupakan manifestasi
“banyak sekali kebutuhan bagi peningkatan atau perubahan-perubahan dalam pola
stimulasi si pelaku”. Abnormalitas primer oleh karenanya dianggap sebagai
sesuatu yang terletak dalam respon psikologis seseorang pada masukan indera.
Berarti perilaku kriminal merupakan salah satu respon psikologis sebagai salah
satu alternatif perbuatan yang harus ditempuh. Lebih spesifik lagi telah
dihipotesakan bahwa para kriminal memiliki sistem urat syarat yang hiporeaktif
terhadap rangsangan.
Beberapa bahasan dari teori
rangsangan pathologis yang perlu mendapat perhatian :
a. Kriminal dilakukan dengan sistem
urat syarat yang diporeaktif dan otak yang kurang memberi respon, keadaan
demkian tidak terjadi dalam vakum, melainkan berinteraksi dengan tujuan tempat
tinggal tertentu dimana individu hidup dalam pergaulan.
b. Anak-anak pradelinkuen cenderung
membiasakan diri terhadap hukuman yang diterimanya dan rangsangan ini dengan
mudah menambah frustasi dikalangan orang tua. Pola ini kemudian bergerak dalam
lingkungan interaksi negatif “orang tua dan anak” yang pada gilirannya
membentuk remaja dan orang dewasa yang bersifat bermusuhan, memendam rasa benci
dan anti sosial. Kecenderungan mencuri rangsangan pathologis ini merupakan
bagian dari gambaran kriminal.
c. Interaksi orang-orang keadaan
meliputi hipotesa :
1) Bahwa respon parental yang negatif
dan tidak konsisten terhadap perilaku mencari rangsangan atau stimuli sang
anak, merupakan daya etiologis dalam perkembangan kecenderungan-kecenderungan
kriminalitas selanjutnya.
2) Bahwa abnormalitas psikologis sang
anak akan menyulitkan baginya mangantisapasi konsekuensi yang menyakitkan atas
perbuatannya.
Kedua
faktor di atas merupakan faktor yang memberi kontribusi kepada siklus yang
merugikan dalam interkasi orang tua anak yang bersifat negatif yang pada
gilirannya berkulminasi pada pola kriminalitas berat. Christopher Mehew dalam
penelitiannya mengenai kriminal dan prikologis menemukan adanya pengaruh
kejiwaan terhadap perilaku jahat yang disimpulkan sebagai tingkat kedewasaan
yang terhambat (emotional-immaturity) dan ternyata kondisi ini
dipengaruhi oleh masalah-masalah keluarga yaitu disharmonie home
dan broken home.
7.
Teori Pilihan Rasional (Rational
Choice Theory)
Landasan
berpikir teori ini menitikberatkan pada utilitas atau pemanfaatan yang
diantisipasi mengenai taat pada hukum lawan perilaku melawan hukum. Pendukung
semula teori pilihan rasional, Gary Becker (1968) menegaskan bahwa akibat
pidana merupakan fungsi, pilihan-pilihan langsung serta keputusan-keputusan
yang dibuat relatif oleh para pelaku tindak pidana bagi yang terdapat baginya.
Pilihan rasional berarti pertimbangan-pertimbangan yang rasional dalam
menentukan pilihan perilaku yang kriminal atau non kriminal, dengan kesadaran
bahwa ada ancaman pidana apabila perbuatannya yang kriminal diketahui dan
dirinya diprotes dalam peradilan pidana. Apabila demikian seolah-olah semua
perilaku kriminal adalah keputusan rasional.
B. Kriminologi dan Hukum Pidana
Pengembangan dan penyempurnaan
sistem hukum merupakan salah satu aspek penting bagi upaya pengembangan
profesionalisme tentara sebagai kekuatan dan alat pertahanan negara. Dalam
konteks tersebut penataan sistem peradilan militer merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari reformasi militer dan sector pertahanan. Amandemen UUD 1945
pasal 30 ayat (2), (3) dan (4) menempatkan fungsi pertahanan dan keamanan pada
institusi yang berbeda, yaitu pertahanan pada institusi TNI dan keamanan pada
institusi Kepolisian. Dengan demikian ketentuan yang mengatur hukum material
dan hukum acara keduanya harus diubah. Ketetapan No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan
No. VII/MPR/2000 secara eksplisit telah memisahkan POLRI dari angkatan
bersenjata (TNI), sekaligus menundukkan prajurit TNI dan anggota POLRI kepada
hukum dan prosedur peradilan pidana umum.
Ketentuan mengenai koneksitas yang
diatur dalam prosedur peradilan pidana umum tidak sesuai dengan kehendak
perubahan yang tersebut dalam butir (1) dan (2).
Ketentuan mengenai koneksitas yang telah
diatur dalam prosedur peradilan pidana umum tidak sesuai dengan prinsip
konstitusionalisme yang menempatkan militer di bawah kontrol otoritas politik
demokratis.
Adanya tindak pidana yang melibatkan
unsur sipil dan militer baik dalam hal subyek maupun tindak pidana yang
menyebabkan terjadinya konflik yurisdiksi (tumpang tindih kewenangan mengadili)
sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Konflik yurisdiksi dan
ketidakpastian hukum ini juga berasal dari ketentuan hukum yang menyerahkan otoritas
menentukan kewenangan peradilan itu kepada militer. Kebutuhan untuk mengatasi
ketidakpastian hukum akan terus terjadi, karena dalam jangka panjang masih
mungkin ada suatu tindak pidana yang berada dalam dua yurisdiksi peradilan. Hal
ini disebabkan oleh diabaikannya prinsip pembedaan penempatan satuan militer
dan instalasi militer dari civilians
dan civilian objects sesuai dengan hukum humaniter.
Sejak kelahirannya, hubungan
kriminologi dengan hukum pidana sangat erat, artinya hasil-hasil penyelidikan
kriminologi dapat membantu pemerintah dalam menangani masalah kejahatan
terutama melalui hasil-hasil studi di bidang etiologi kriminal dan penologi. Di
samping itu dengan penelitian kriminologi dapat dipakai untuk membantu bidang
pembuatan undang-undang, sehingga kriminologi sering disebut sebagai “signalwetenschap”.
Bahkan aliran modern yang diorganisasikan oleh von Liszt menghendaki
kriminologi bergabung dengan hukum pidana sebagai ilmu bantunya agar
bersama-sama menangani hasil penyelidikan “politik kriminal” sehingga
memungkinkan memberikan petunjuk jitu terhadap penanganan hukum pidana dan
pelaksanaannya, yang semuanya ditujukan untuk melindungi “warga negara yang
baik” dari penjahat.
Dalam hubungan ini kiranya perlu
diketengahkan mengenai fungsi kriminologi terhadap hukum pidana. Menurut Prof. Sudarto, SH. Bahwa fungsi
kriminologi terhadap hukum pidana adalah :
1. Meninjau secara kritis hukum pidana
yang berlaku;
2. Rekomendasi guna perbaikan-perbaikan
(J. Pinatel).
Selanjutnya dikatakan bahwa sistem pidana adalah bagian yang
penting dari KUHP. Kriminolgi memberi dasar yang esensiil yang tidak dapat
ditinggalkan untuk keseluruhan struktur sistem pidana. Hasil-hasil atau
penemuan-penemuan dalam kriminologi diperoleh dengan penelitian.
Penemuan-penemuan ini sangat
bermanfaat untuk politik kriminal pada
umumnya dan politik hukum pidana pada khususnya, ialah dapat
dijadikan pertimbangan misalnya untuk
kriminalisasi, dekriminalisasi, perubahan
undang-undang.
Adapun mengenai peranan kriminologi
untuk poilitik hukum pidana, Prof. Soedarto mengemukakan bahwa kriminologi
bukan ilmu yang melaksanakan kebijaksanaan, akan tetapi hasilnya dapat
digunakan untuk melaksanakan kebijaksanaan. Yang melaksanakan adalah
unsur-unsur pelaksanaan politik kriminal. Dalam melaksanakan politik, orang
mengadakan penilaian dan melakaukan pemilihan dari sekian alternatif yang
dihadapi. Menjalankan politik kriminal atau khususnya menjalankan politik hukum
pidana juga mengadfakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan yang paling
baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan kemanfaatan.
Menurut beliau, kriminologi dapat
menyediakan bahan-bahan informasi untuk itu dan policy maker yang bijak
tidak boleh mengabaikannya.
“Mengabaikan hasil penelitian
dari kriminologi membawa resiko terbentuknya undang-undang yang tidak
fungsional, bahkan mungkin undang-undang yang disfungsional”.
Sebagai bidang pengetahuan ilmiah
yang relatif muda, kriminologi di beberapa negara telah menunjukkan peranan
yang berarti untuk kepentingan masyarakat.
Terhadap kriminalisasi, Hermann
Mannheim memberikan pandangannya bahwa terhadapt pelbagai bentuk perbuatan anti
sosial yang tidak dijadikan tindak pidana dan banyak diantaranya yang
seharusnya tidak boleh dijadikan tindak pidana karena tiga alasan :
1. Bahwa efisiensi dalam menjalankan
undang-undang pidana banyak tergantung pada adanya dukungan dari masyarakat
luas, sehingga harus diselidiki apakah tentang kelakuan yang bersangkutan itu
ada sikap yang sama dalam masyarakat;
2. Sekalipun ada sikap yang sama, maka
harus diselidiki pula apakah tingkah laku yang bersangkutan merupakan tingkah
laku yang penindakkannya secara teknis sangat sulit atau tidak. Sebab apabila
ini terjadi, akan menimbulkan manipulasi dalam pelaksanaannya;
3. Perlu diingat juga apakah tingkah
laku tersebut merupakan sesuatu yang tidak sesuai untuk dijadikan objek hukum
pidana, artinya apakah nantinya tidak terlalu banyak mencampuri kehidupan
pribadi dari individu.
Kriminologi, khususnya bidang
sosiologi hukum pidana yang mengarahkan studinya pada proses pembuatan dan
bekerjanya undang-undang, dapat memberikan sumbangannya yang besar dalam bidang
sistem peradilan pidana yang berupa penelitian tentang penegakan hukum, akan
dapat digunakan untuk memperbaiki bekerjanya aparat penegak hukum seperti untuk
memberikan perhatian terhadap hak-hak terdakwa maupun korban kejahatan,
disamping untuk perundang-undangannya sendiri.
Ilmu hukum pidana merupakan ilmu
atau pengetahuan yang secara khusus mempelajari salah satu bagian tertentu dari
ilmu hukum pada umumnya, yaitu hukum pidana. Objek hukum pidana adalah
peraturan-peraturan hukum pidana positif, yaitu hukum pidana yang berlaku pada
suatu waktu tertentu di suatu negara tertentu. Jadi objek hukum pidana di
Indonesia adalah peraturan-peraturan hukum pidana yang berlaku di Indonesia.
Tugas utama hukum pidana adalah
mempelajari dan menjelaskan asas-asas yang menjadi dasar dari
peraturan-peraturan hukum pidana positif; mempelajari dan menjelaskan hubungan
antara asas yang satu dengan yang lainnya; setelah dipahami hubungan itu maka
ditempatkan dalam suatu sistematika agar dapat dipahami apa yang dimaksud dengan
hukum positif itu. Dalam tugas yang disebut paling akhir ini juga merupakan
cara hukum pidana melaksanakan tugasnya.
Hukum pidana adalah aturan-aturan
mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diharuskan oleh undang-undang,
sedangkan kriminologi adalah membahas gejala-gejala tingkah laku manusia yang
melanggar aturan, baik aturan hukum (pidana), sosial, agama dan lain
sebagainya. Keduanya dapat bertemu dalam kejahatan yaitu tingkah laku atau
perbuatan yang diancam dengan pidana.
Perbedaaan hukum pidana dan
kriminologi terletak pada objeknya, yaitu hukum pidana objek utamanya adalah
menunjuk pada apa yang dapat dipidana menurut norma-norma hukum yang berlaku,
sedangkan perhatian kriminologi tertuju kepada manusia yang melanggar hukum
pidana dan kepada hal-hal yang mempengaruhi perbuatan tersebut.
Dalam hubungan dengan kaitan antara
kriminologi dan hukum pidana di atas, perlu diketengahkan pendapat H. Bianchi
yang berusaha mengungkapkan kriminologi sebagai “metascience” daripada
hukum pidana yakni suatu ilmu yang memiliki ruang lingkup yang lebih luas di
mana pengertiannya dapat dipergunakan untuk memperjelas konsepsi-konsepsi dan
masalah-masalah yang terdapat di dalam hukum pidana. Jelaslah bahwa
“metascience” di atas, bukan hanya pelengkap terhadap hukum pidana bahkan
merupakan disiplin yang utama daripadanya.
BAB III
PEMBAHASAN
Salah satu sebab hipotetis dari
tragedi ini mau tidak mau menggugat kehadiran negara. Negara digugat jika para
pelaku pamer kekerasan brutal itu tidak dapat ditemukan seperti layaknya
pekerjaan yang dilakukan siluman, leak, atau begu ganjang dalam potongan kisah
rakyat kecil di Jawa, Bali, dan Batak. Menghadapi operasi ”siluman” jangan
sampai negara seakan terkesan tidak berfungsi, diam, dan telah dikalahkan,
bahkan mungkin ”takut”.
Gugatan ini wajar karena pamer
kekerasan brutal dapat menyampaikan pesan yang mencemaskan, yaitu terdapat
”negara” di dalam negara yang kita sebut sebagai Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) ini. Bukankah ketika pelakunya tidak dapat ditemukan, watak
monopoli negara dalam penggunaan kekerasan itu telah tercederai atau hilang?
Karena itu, yang dipertaruhkan
bukanlah sekadar martabat manusia, melainkan juga martabat NKRI sebagai
institusi yang seharusnya memiliki monopoli dalam penggunaan kekerasan. Tidak
akan terdapat penghormatan terhadap martabat negara ketika martabat manusia
diingkari. Demikian juga sebaliknya. Tidak akan terdapat penghormatan manusia
ketika martabat negara sebagai pemilik monopoli penggunaan kekerasan dicederai
dan dilecehkan. Hubungan martabat negara dengan martabat manusia, karenanya,
haruslah dilihat secara simbiotik.
Karena itu pula, para petinggi
negara yang menangani urusan penggunaan kekerasan harus dapat menunjukkan sikap
perwiranya. Bukankah keteladanan dari kata perwira itu ditunjukkan oleh
keberanian mempertanggungjawabkan kata sealur dengan perbuatannya?
Penulis ini menyatakan bahwa konflik
kekerasan bersenjata merupakan lahan paling subur untuk menumbuhkan kejahatan
yang terorganisasi. Pemerintah pusat yang lemah dan masyarakat madani (civil society) yang tercerai-berai pun
menjadi lahan yang subur bagi pertumbuhan kejahatan yang terorganisasi. Lebih
jauh, Brammerts menyatakan, situasi yang paling menyedihkan akan terjadi
apabila kejahatan yang terorganisasi memiliki jaringan mata rantai dengan
institusi-institusi negara.
A.
Dampak Penyerbuan Lapas Cebongan oleh Oknum Anggota
Kopassus Terhadap Kepercayaan Publik pada Hukum dan Aparat Negara
Dalam Pasal 25 ayat 1 huruf c Undang
– Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dijelaskan bahwa : Prajurit TNI adalah
insan Prajurit yang bermoral dan tunduk pada hukum serta peraturan
perundang-undangan. Dan dalam ayat 2 disebutkan dengan tegas bahwa Prajurit TNI
diwajibkan mengucapkan Sumpah Prajurit.
Dalam point 2 Sumpah Prajurit,
menyatakan Sumpah seorang Prajurit TNI (baik bawahan maupun Atasan) sebagai
berikut :
Demi Allah Saya bersumpah / berjanji
: “ Bahwa saya akan tunduk kepada
hukum dan memegang teguh disiplin keprajuritan.”
Jika kita nilai secara lebih objektif dan
lebih cerdas,
Apakah penyerangan yang dilakukan oleh sekelompok Prajurit Koppassus ke Lapas
Cebongan beberapa waktu yang lalu dengan cara melakukan penembakan secara
brutal terhadap 4 (empat) orang Tahanan yang berakibat meninggal dunia,
penganiayaan terhadap para Sipir Lapas, Pengerusakan CCTV Lapas dan adanya
upaya menghilangkan Barang Bukti CCTV merupakan tindakan bermoral dan tunduk
pada hukum serta peraturan perundang-undangan? Apakah normal bila seorang
pemimpin memberikan suatu apresiasi dan kebanggaan terhadap prajurit-prajurit
elit TNI yang telah terbukti mengingkari sumpah / janjinya atas nama Allah
untuk tunduk kepada hukum?
Apakah 4 (empat) orang Tahanan Lapas
Cebongan tersebut dianggap sebagai suatu bentuk ancaman militer ataupun ancaman
bersenjata bagi TNI, sehingga sampai segitunya Tim Elit TNI pelakukan penyerangan?
Disinilah tampak suatu bentuk tindakan sewenang-wenang yang melanggar hukum dan
melenceng jauh dari tugas pokok, fungsi dan kewenangannya.
Selain mengumbar pujian dan rasa
bangga yang dilakukan secara serempak oleh para petinggi TNI dan Para
Purnawiran TNI serta beberapa pejabat negara, adapula upaya-upaya pembentukan
opini serta ajakan mendukung gerakan tidak bermoral dan biadab ini melalui
media sosial.
Fenomena di atas menjadikan suatu
pembelajaran sosial yang salah kaprah dan semakin merusak moral bangsa serta
membuat tindak kekerasan dan main hakim sendiri seperti layaknya preman bukan
lagi dianggap sebagai suatu bentuk penyimpangan sosial dan pelanggaran hukum di
masyarakat.
Supremasi hukum di negeri ini mulai
terusik dengan aneka kejadian/peristiwa yang tidak jelas penyelesaiannya akibat
merebaknya kekuasaan dan politik menggeser supremasi hukum. Penyerangan LP
Cebongan harus menjadi ajang pembuktian bahwa semua orang sama di hadapan hukum
(equality before the law), Negara
melalui aparaturnya harus mampu membuka tabir penyerangan LP Cebongan agar
dapat menyembalikan kepercayaan masyarakat bahwa memang di negara ini masih ada
hukum dan keadilan.
Berdasarkan fakta dalam pemberitaan
yang berkembang saat ini, peristiwa tersebut bermula saat beberapa prajurit
sedang melakukan latihan di Gunung Lawu mendengar ada anggota Kopassus
dikeroyok dan dibunuh dengan keji, sadis dan brutal.
"Karena
jiwa rasa korsa mereka reaksi dan ajak temannya yang berjumlah 11 orang dan
perbuatan tersebut oleh kesebelas terduga pelaku dilakukan dengan inisiatif
bersama dan bukan dengan perintah atau komando dari atasan mereka, karena
kebijakan sangat berkaitan dengan wewenang, dan yang mempunyai wewenang untuk
memerintahkan prajurit melakukan tindakan adalah Komandan prajurit tersebut”.
Apakah mungkin motif penyerangan ini
semata-mata karena esprit de corps (jiwa corsa TNI) yang berlebihan? Ataukah
oknum Kopassus tidak percaya dengan polisi bahwa akan menyelesaikan kasus
pembunuhan yang menimpa Serka Heru Santoso yang terjadi di Hugo’s Cafe? Kalau
motifnya adalah jiwa corsa TNI yang berlebihan maka pendidikan dan pembentukan
karakter di lingkup TNI perlu diperbaiki karena TNI ada untuk melindungi rakyat
bukan untuk melindungi corps, kepentingan rakyatlah yang harus didahulukan dan
ditempatkan di atas kepentingan corps.
Jiwa korsa TNI harus sejalan dengan tujuan
negara sebagaimana diatur dalam Pembukaan UUD 1945 alenea keempat di mana salah
satu tujuannya adalah melindungi segenap bangsa Indonesia.
Dengan demikian kehadiran TNI di
tengah rakyat bukan untuk menakut-nakuti rakyat tetapi justru harus menjadi
teladan dan mampu memberi rasa aman dan nyaman kepada rakyat karena TNI juga
merupakan bagian dari rakyat itu sendiri, TNI berasal dari rakyat dan pada
suatu saat akan kembali menjadi rakyat pula.
Sedangkan kalau motifnya adalah
ketidakpercayaan terhadap polri untuk menangani kasus penganiayaan dan
pengeroyokan terhadap salah satu anggota Kopassus hingga tewas maka saatnya
pula bagi polri untuk berbenah dan menjalankan fungsi penegakan hukum yang
lebih profesional dan proporsional.
Mungkin benar bahwa keempat tahanan
yang tewas di LP Cebongan tersebut seperti yang dituduhkan kepada mereka tetapi
mengapa bukan hukum yang membuktikannya tetapi justru hukum rimba yang berlaku?
Dalam konteks ini Negara gagal memberikan perlindungan hukum bagi seluruh
rakyat Indonesia.
TNI, Polri, Lembaga Pemasyarakatan
dan lembaga-lembaga Negara lainnya merupakan representasi dari kekuasaan Negara
belum maksimal melindungi rakyatnya. Bahkan TNI yang merupakan pagar negara
justru menghabisi rakyatnya sendiri, seyogyanya merekalah panutan dalam
masyarakat bagaimana cara hidup berhukum yang baik bukan sebaliknya
premanismelah yang ditunjukkan, kalau demikian di manakah rakyat akan mencari
perlindungan?
TNI AD saat ini berada
dipersimpangan jalan dan telah melenceng jauh dan jauh dari jati diri TNI yang
sebenarnya. Selain tidak lagi menghormati prinsip Demokrasi, TNI juga telah
nyata-nyata tidak menghormati supremasi sipil, melanggar HAM dan tidak lagi
patuh terhadap ketentuan hukum nasional dan hukum internasional sebagaimana
telah diamanatkan dalam Pasal 2 huruf d Undang – Undang Nomor 34 Tahun 2004
tentang TNI.
Akankah para petinggi TNI dan Purna
TNI serta para pejabat pemerintahan terus mendukung, melindungi dan memelihara
gerakan sesat dan melanggar hukum serta HAM di negeri badut ini ?
Terungkapnya keterlibatan oknum
anggota Korps Pasukan Khusus TNI AD sebagai pelaku penyerangan Lapas Kelas IIB
Cebongan Sleman Yogyakarta, mengundang kecaman dan keprihatinan. Penegakan
hukum harus dipastikan atas kasus ini, untuk mencegah semakin meningkatnya
ketidakpercayaan publik pada hukum dan para aparat negara.
Terungkapnya pelaku penyerangan ini menambah
catatan hitam sejarah kekerasan di tanah air. Di tengah kepercayaan publik pada
instansi negara yang tengah menurun, fakta ini bisa membuat skeptisisme publik terhadap
negara semakin bertambah.
Kasus ini menunjukkan bahwa hukum di
Indonesia masih lemah. Karena ternyata justru para aparat sendiri yang masih
sering mempermainkan hukum. Oleh karena itu jika tidak diatasi, akan memicu ketidakpercayaan publik
terhadap hukum, dan akan mendorong orang melakukan categorical hakim sendiri. Bangsa
Indonesia saat ini sungguh-sungguh kehilangan figur keteladanan bagi rakyat,
kurang adanya orang atau lembaga negara yang patut dicontohi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara yang baik dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Terungkapnya keterlibatan oknum
anggota Korps Pasukan Khusus TNI AD sebagai pelaku penyerangan Lapas Kelas IIB
Cebongan Sleman Yogyakarta, mengundang kecaman dan keprihatinan. Penegakan
hukum harus dipastikan atas kasus ini, untuk mencegah semakin meningkatnya
ketidakpercayaan publik pada hukum dan para aparat negara.
TNI, Polri, Lembaga Pemasyarakatan
dan lembaga-lembaga Negara lainnya merupakan representasi dari kekuasaan Negara
belum maksimal melindungi rakyatnya. Bahkan TNI yang merupakan pagar negara
justru menghabisi rakyatnya sendiri, seyogyanya merekalah panutan dalam
masyarakat bagaimana cara hidup berhukum yang baik bukan sebaliknya
premanismelah yang ditunjukkan, kalau demikian di manakah rakyat akan mencari
perlindungan?
Pembunuhan 4
orang di Lapas Cebongan Sleman oleh 11 anggota Grup 2 Kopassus adalah tindakan
yang tidak bisa ditelorir dengan dalih dan alasan apapun. Selain telah
merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan, aksi itu juga melecehkan simbol
negara. Sikap permisif dan apalagi jika membenarkan tindakan extra judicial
killing oleh 11 orang itu sama sekali tidak dibenarkan dan patut ditolak.
Tindakan sebelas orang itu bukanlah tindakan melawan premanisme tetapi
merupakan tindakan pembunuhan berencana dengan motif sementara waktu adalah
balas dendam.
Penulis menilai
saat ini ada upaya-upaya sistematis membelokkan kasus pembunuhan di Lapas
Cebongan pada issu pemberantasan premanisme. Penyesatan dan pengalihan isu
dengan dukungan dan mobilisasi seruan memberantas premanisme dengan menyetujui
tindakan main hakim sendiri tanpa melalui proses penegakan hukum
adalah keliru dan salah. Upaya itu tentu sangat berbahaya dan mengancam
negara hukum.
Munculnya
sikap-sikap yang menyatakan pembunuhan oleh 11 anggota Kopassus sebagai
tindakan ksatria dan pantas diberi tanda jasa sangat sesat dan jelas jelas
telah melecehkan negara hukum. Sikap-sikap itu tidak bisa diterima akal sehat
karena membenarkan aksi-aksi yang tidak manusiawi.
B. Saran
1.
Aksi-aksi premanisme harus diberantas dan ditangani
secara serius oleh pemerintah. Meski demikian, penanganan premanisme harus
selaras dan dilakukan dalam koridor penegakan hukum. Hukum rimba tidak boleh
hidup dalam negara hukum dan harus dihentikan.
2.
Kejahatan yang dilakukan 11 anggota Grup 2 Kopassus di
Lapas Sleman harus diproses hukum secara transparan dan akuntabel. Para pelaku
harus dihukum berat dengan pasal berlapis sesuai tindak kejahatan yang
dilakukannya.
3.
Sebagai bagian dari aparat negara yang seharusnya
menghormati hukum dan HAM, mereka sebaliknya justru melecehkan wibawa negara,
hukum, dan kemanusiaan.
4.
Pemerintah harus mendorong proses hukum
kasus ini dengan menggunakan mekanisme peradilan umum, bukan militer. Peradilan
militer selama ini tidak transparan dan akuntabel, yang nyata-nyata sering
melindungi pelaku dan menjadi sarang impunitas.
5.
Presiden Susilo Bambang Yudhyono harus segera membuat
Perppu tentang revisi Peradilan Militer mengingat terdapat kondisi yang
mendesak untuk segera dilakukannya reformasi peradilan militer. Kondisi itu
terlihat dari adanya ketidakadilan bagi korban kasus cebongan dan bagi
publik karena peradilan militer tidak independen dan bertentangan dengan
Konstitusi Pasal 27 dan Pasal 28D tentang asas persaman di hadapan hukum.
6.
Tidak boleh ada pengistimewaan terhadap warga negara
dihadapan hukum, tidak terkecuali anggota TNI. Apalagi, Selama 10 tahun
sejak 2004, pemerintah dan DPR gagal menyelesaikan revisi UU 31 tahun 1997 yang
dimandatkan oleh UU TNI Pasal 65.
7.
Sudah saatnya komandan group 2 kopasus pantas
dievaluasi karena lalai dan gagal dalam mengontrol anak buahnya.
Pertanggungjawaban Danjen Kopasus juga harus ditindaklanjuti dengan sikap dan
langkah yang kongkrit.
8.
Lebih dari itu, reformasi sitem penegakan hukum tidak
boleh ditunda-tunda lagi khususnya menghilangkan budaya korupsi dalam semua
level penegakan hukum sehingga wibawa hukum dapat segera dipulihkan.
Data : Dari Berbagai
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar