1.
Mengapa istilah “Hukum Administrasi”
dianggap lebih tepat untuk nama mata kuliah ini dibanding dengan istilah “Hukum
Administrasi Negara”?
Menurut kamus besar bahasa Indonesia,
administrasi dapat diartikan sebagai:
- Usaha/kegiatan yang meliputi penetapan tujuan serta penetapan cara-cara penyelenggaraan pembinaan organisasi;
- Usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan peneyelenggaraan kebijaksanaan serta mencapai tujuan;
- Kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan;
- Kegiatan kantor dan tata usaha.
Istilah administrasi dapat memiliki
makna dalam artian yang luas dan dalam arti yang sempit. Dalam arti sempit,
administrasi dapat berarti kegiatan tata usaha yang meliputi surat menyurat dan
pengurusan masalah ketatausahaan. Sementara pengertian administrasi dalam arti
luas dapat dilihat dalam pengertian yang diberikan oleh beberapa ahli antara
lain:
“Suatu proses yang umumnya terdapat
pada semua usaha kelompok, baik itu yang besar dan kecil, swasta dan negara,
atau sipil dan militer” Leonard D. White.
“Kegiatan dari kelompok manusia yang
mengadakan usaha kerjasama untuk mencapai tujuan bersama” H.A. Simon.
Sementara itu, CST. Kansil memberikan
pengertian terhadap administrasi negara sebagai berikut:
- Sebagai aparatur negara, pemerintahan atau instansi politik kenegaraan, yakni meliputi semua organisasi negara yang menjalankan administrasi negara;
- Sebagai fungsi atau aktivitas, yakni kegiatan pemerintahan untuk mengurus kepentingan negara;
- Sebagai teknis penyelenggaraan peraturan perundang-undangan, yakni segala tindakan aparatur negara adalah dalam rangka menjalankan perintah atau amanah peraturan perundang-undangan.
Hukum Administrasi
Negara vs Hukum Administrasi
Penggunaan istilah bagi “Administrasi
recht atau hukum administrasi negara” di perguruan tinggi pada awalnya tidak
sama. Terdapat penggunaan beberapa istilah yang semuanya merujuk pada hukum
administrasi negara, antara lain Hukum tata Usaha Indonesia, Peradilan Tata
Usaha Negara, Peradilan Tata U .saha
Pemerintahan, dan lain sebagainya. Istilah hukum administrasi negara adalah
istilah yang muncul dan digunakan belakangan.
Pada tahun 1972, Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan pernah menerbitkan SK mengenai pedoman kurikulum yang
menggunakan istilah Hukum Tata Pemerintahan. Meski demikian, kurikulum
pendidikan pada perguruan tinggi swasta dan maupun perguruan tinggi negeri pada
masa itu belum ada keseragaman dan tetap menggunakan istilah yang berbeda,
diantaranya adalah Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Tata Pemerintahan dan ada
juga yang telah menggunakan istilah Hukum Admnistrasi Negara dalam
kurikulumnya.
Ada pendapat yang cukup menarik yang
dikemukakan oleh Prof. Philipus M. Hadjon, SH. yang menyatakan bahwa penggunaan
istilah hukum administrasi negara perlu dikaji kembali. Terlebih lagi apabila
penggunaan istilah tersebut dikaitkan dengan disiplin ilmu administrasi negara.
Terdapat perbedaan yang cukup
mendasar dalam pengertian antara hukum administrasi dan administrasi negara.
Hukum administrasi lebh identik dengan pemerintahan sedangkan administrasi
negara lebih identik dengan konsep manajemen. Oleh karena pengertian tersebut
sehingga dalam hukum administrasi dirasakan tidak perlu lagi untuk menambahkan
istilah negara dibalakangnya menjadi Hukum Administrasi negara. Dengan
demikian, hukum administrasi akan secara lebih jelas fokus kajiannya yang
dititikberatkan pada pengaturan mengenai kewenangan, organisasi publik dan
prosedur dalam pemerintahan serta hal lainnya yang berkaitan erat.
Jika kita mencermati dengan baik
istilah bagi hukum administrasi negara yang digunakan di negara lainnya, maka
kita akan menemukan fakta bahwa sesungguhnya di negara lain hukum administrasi
negara tidak lagi menambahkan kata “negara” di belakangnya. Di belanda misalnya
disebut sebaga Administratief Recht, di Perancis disebut dengan Droit
Administratif, di Jerman disebut dengan Verwaltungrecht dan di Perancis disebut
dengan Administrative law.
2.
Uraikan Makna pendekatan fungsionaris terhadap Hukum
Administrasi!
Sjachran Basah mengemukakan bahwa sebagai
inti hakekat Hukum Administrasi Negara adalah : Pertama, memungkinkan administrasi negara untuk menjalankan fungsinya; Kedua, melindungi keluarga terhadap sikap tindak (perbuatan) administrasi negara dan juga melindungi administrasi negara itu sendiri. Selanjutnya dikatakan bahwa melindungi sikap tindak administrasi negara di satu pihak dan warga negara di lain pihak, pada dasarnya menciptakan kepastian hukum yaitu segala sikap tindak administrasi negara harus senantiasa memperhatikan batas-batas, baik batas atas maupun bawah. Batas asas, dimaksudkan taat asas yaitu bahwa sikap tindak administrasi negara dalam mewujudkan tugas kekuasaannya, di antaranya mengeluarkan keputusan, maka putusan-putusan itu apabila lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Batas bawah, maksudnya bahwa peraturan yang dibuat tidak boleh melanggar hak dan kewajiban asasi warga negara.
Kesimpulan :
dapat dikatakan secara ringkas bahwa yang
dimaksudkan dengan Hukum Administrasi negara adalah hukum yang mengatur dan mengikat alat administrasi negara dalam menjalankan wewenang yang menjadi tugasnya selaku alat administrasi negara dalam melayani warga negara harus senantiasa memperhatikan kepentingan warga negara. HAN sangat penting dan dibutuhkan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara oleh administrasi negara. Keberadaan hukum administrasi negara berperan mengatur wewenang, tugas dan fungsi administrasi negara, disamping itu juga berperan untuk membatasi kekuasaan yang diselenggarakan oleh administrasi negara.
3. Jelaskan konsekuensi dari perubahan fungsi negara penjaga
malam ke negara hukum kesejahteraan dan pengaruhnya terhadap perkembangan Hukum
Administrasi!
Konsep Negara Kesejahetaran yang lahir di era abad ke-20 sebagai koreksi berkembangnya konsep negara 'Penjaga Malam' (nachtwachtersstaat), muncul pula gejala kapitalisme di lapangan perekonomian yang secara perlahan-lahan menyebabkan terjadinya kepincangan dalam pembagian sumber-sumber kemakmuran bersama. Akibatnya timbul jurang kemiskinan yang menunjukkan kecenderungan semakin menajam, yang sulit dipecahkan oleh negara yang difungsikan secara minimal. Negara dianggap tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kenyataan ini, mendorong muncul kesadaran baru mengenai pentingnya keterlibatan negara dalam menangani dan mengatasi masalah ketimpangan itu. Negara dianggap tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Negara perlu turut campur tangan dalam mengatur agar sumber-sumber kemakmuran tidak dikuasai oleh segelintir orang.
Bersamaan dengan itu, muncul pula aliran sosialisme yang sangat menentang individualisme dan liberalisme yang dianggap sebagai sebab munculnya kapitalisme yang menindas rakyat miskin dan bahkan menciptakan kemiskinan itu sendiri. Karena itu, atas pengaruh sosialisme ini, muncul konsepsi baru mengenai negara sejak permulaan abad ke-20 ini sebagai ganti dari 'Nachwachterstaat', yaitu Welvaarstaat'/'Welfare State' (Negara Kesejahteraan).
Dalam konsep negara kesejahteraan ini, negara dituntut untuk memperluas tanggung jawabnya kepada masalah-masalah sosia! ekonomi yang dihadapi rakyat banyak. Perkembangan inilah yang memberikan legalisasi bagi 'negara intervensionis' abad ke-20. Fungsi negara juga meliputi kegiatan-kegiatan yang sebelumnya berada diluar jangkauan fungsi negara, seperti memperluas ketentuan pelayanan sosial kepada individu- dan keluarga dalam hai-hal khusus, seperti 'social security', kesehatan, kesejahteraan-sosial, pendidikan dan pelatihan serta perumahan.
Negara perlu dan bahkan hams melakukan intervensi dalam berbagai masalah sosial dan ekonomi untuk menjamin terciptanya kesejahteraan bersama dalam masyarakat. Sesuai dengan tujuan terakhir bagi setiap negara adalah untuk menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum publicum, common good, common weal).
4. Berdasarkan penjelasan umum undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
maka penanganan perlindungan hukum bagi rakyat dapat melalui PTUN, Peradilan
Militer, dan Peradilan Umum.
Uraikan secara singkat kompetensi
dari masing-masing peradilan tersebut dalam penanganan perlindungan hukum bagi
rakyat.
a.
Kompetensi Peradilan Militer
Kompetensi peradilan militer perlu dibenahi karena sudah
melenceng dari asas sesungguhnya. Pasalnya, peradilan militer saat ini
cenderung mengadili semua kasus yang dilakukan anggota militer. Baik itu yang
bersinggungan dengan tindak pidana umum ataupun militer.
Melihat hal itu dapat dinilai proses peradilan militer hanya
mendasarkan pada status, bukan perbuatan pelaku. Padahal, yang mesti diadili
itu perbuatan yang dilakukan oleh anggota yang bersangkutan.
Untuk itu, peradilan militer harusnya khusus mengadili
tindak pidana militer misalnya ada anggota TNI yang melawan perintah komando.
Namun, ketika perbuatan yang dilakukan adalah tindak pidana umum seperti
pemerkosaan, pengerusakan dan pembunuhan, sudah selayaknya diproses di
peradilan umum.
Lebih jauh Undang-undang Peradilan Militer perlu direvisi.
Hal itu ditujukan agar peradilan militer berfungsi sesuai kompetensinya, yaitu
memproses tindakan yang hanya dipahami oleh TNI. Seperti garis komando, desersi
dan lain sebagainya. Pasalnya, militer punya keahlian khusus dan bersenjata.
Namun, dengan kewenangan tersebut ketika anggota militer melakukan tindak pidana
umum, maka hukumannya perlu diperberat ketimbang masyarakat sipil.
Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan khusus untuk
memproses anggota militer yang tersangkut kasus pidana umum. Misalnya, dalam
kasus penyerangan LP Cebongan, anggota militer yang melakukan penyerangan
menggunakan senjata berat. Mengingat hal itu dikategorikan sebagai
penyalahgunaan kewenangan maka Ganjar menilai hukuman yang dijatuhkan kepada
pelaku harus lebih berat jika dibandingkan dengan masyarakat sipil yang
melakukan penyerangan serupa.
Teknisnya nanti, para pelaku penyerangan LP Cebongan harus
melewati proses di peradilan umum dan ketika hakim menjatuhkan putusan maka
kewenangan yang melekat pada pelaku memperberat hukuman yang dijatuhkan.
Sayangnya, Ganjar melihat hal itu potensinya kecil dilakukan jika mengacu UU
Peradilan Militer.
Pantauan selama ini, kasus-kasus yang sering digelar di
peradilan militer seringkali berkaitan dengan pidana umum. Bahkan sangat sulit
menemukan peradilan militer yang memproses tindak pidana militer murni. Untuk
itu ia berharap peraturan tersebut segera diubah untuk mengembalikan fungsi
peradilan militer pada fungsinya.
Jika kompetensi peradilan militer tak dibenahi, penegakan
hukum dan pemenuhan keadilan bagi masyarakat sukar dipenuhi. Misalnya, ketika
mengikuti sebuah persidangan di peradilan militer, majelis hakim berpangkat
kolonel sementara pelaku yang disidangkan berpangkat lebih tinggi yaitu bintang
I.
Melihat struktur kepangkatan yang timpang antara yang
mengadili dan diadili itu, sang hakim diberi pangkat sementara atau tituler,
menjadi bintang I. Walau begitu, tetap saja kondisi itu menyulitkan sang hakim
untuk memberikan keputusan yang adil karena pangkatnya yang permanen adalah
kolonel. Ujungnya, putusan yang dihasilkan dinilai tak memberi rasa keadilan
bagi korban.
Wacana untuk merevisi UU Peradilan Militer sudah muncul
sejak tahun 2000-an. Namun, proses revisinya seolah timbul dan tenggelam serta
berarut, ujungnya sampai saat ini revisi itu tak terwujud. Dalam memperjuangkan
agar UU Peradilan Militer dibenahi, masyarakat sipil perlu menggunakan strategi
yang tepat. Misalnya, memanfaatkan peluang dan momentum yang ada untuk
mendukung terealisasinya revisi peraturan tersebut. Seperti momen terjadinya
penyerangan LP Cebongan dan masa menjelang Pemilu.
Ketika mendorong pembentukan UU Bantuan Hukum, menjelang
pelaksanaan Pemilu organisasi masyarakat sipil mendekati para calon legislatif
(caleg). Untuk diajak berkomitmen memperjuangkan pembentukan UU tersebut ketika
nanti berhasil terpilih menjadi anggota DPR. Walau begitu, upaya pendekatan
tersebut harus dilakukan pada saat yang tepat. Pasalnya, menjelang pelaksanaan
Pemilu, para calon cenderung sibuk mempersiapkan diri untuk kampanye.
Tapi ada alternatif lain yang dapat digunakan masyarakat
sipil untuk mendorong revisi UU Peradilan Militer yaitu mengajukannya judicial
review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Jika mekanisme itu ditempuh dan MK
memberi putusan sesuai harapan, maka masyarakat sipil dapat menggunakannya
sebagai alat kampanye menggaungkan revisi UU Peradilan Militer. Namun, tetap
saja masyarakat sipil harus melihat berapa besar peluang yang bisa diraih agar
MK memberi putusan sesuai dengan harapan.
Secara umum, revisi UU Peradilan Militer tak terpisahkan
dari ketentuan lainnnya yang terkait seperti KUHP dan KUHAP Militer. Mengingat
pembahasan revisi UU Peradilan Militer sudah dilakukan berulang kali,
masyarakat sipil harus melihat peristiwa-peristiwa apa yang terjadi kala itu
sehingga dimasukan dalam ketentuan tersebut.
Militer dan negara sangat lekat sejak negara itu dibentuk.
Namun, semakin modern sebuah negara maka garis pembatas antara militer dan
negara semakin jelas. Selaras dengan itu semakin terang pula kalau peradilan
militer hanya khusus mengadili kasus yang tak dapat ditindak lewat mekanisme
peradilan umum.
Menanggapi banyaknya kasus pidana umum yang dilakukan
anggota militer dibawa ke peradilan militer, persoalan itu berada di ranah
kemauan politik pemerintah dan parlemen. Menurutnya, dalam mendorong revisi UU
Peradilan Militer masyarakat sipil dapat memaksimalkan ketentuan yang ada di
konstitusi misalnya dengan melakukan judicial review.
b.
Kompetensi peradilan TUN
Kompetensi absolut adalah menyangkut kewenangan badan
peradilan apa untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara.
Sebagaimana diketahui berdasarkan Pasal 10 UU No. 14/1970, kita mengenal 4
(empat) lingkungan peradilan, yakni: peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer dan peradilan tata usaha negara. Diantara keempat badan peradilan ini
masing-masing mempunyai kompetensi mengadili yang berbeda-beda.
Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman. Secara konstitusional dan legal formal ketentuan ini
ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 yang kemudian ditindaklanjuti
oleh Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman, kompetensi absolut dari PTUN
menurut UU PTUN 1986 adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata
Usaha Negara. Sengketa TUN dirumuskan sebagai sengketa yang timbul dalam bidang
Tata Usaha Negara antara orang atau
badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di
pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara KTUN merupakan suatu
ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkrit, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang
atau badan hukum perdata. Selain KTUN yang bersifat penetapan tertulis, KTUN
yang bersifat fiktif dan negatif juga masuk dalam pengertian KTUN (walaupun
bukan merupakan penetapan tertulis), sehingga dapat menjadi objek sengketa TUN.
Penetapan tertulis terutama menunjuk kepada isi dan bukan
kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN. Badan
atau Pejabat TUN adalah Badan atau Pejabat di pusat dan di daerah yang
melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif. Tindakan hukum TUN adalah perbuatan
hukum Badan atau Pejabat TUN yang bersumber pada suatu ketentuan Hukum Tata
Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain. Bersifat
konkret artinya objek yang diputuskan dalam KTUN itu tidak abstrak, tetapi
berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Bersifat individual artinya KTUN itu
tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju.
Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat
hukum.
Dilihat dari penjelasan diatas KTUN yang dapat dijadikan
objek sengketa di PTUN adalah sangat luas. Namun apabila dilihat pembatasan
yang diberikan UU PTUN 2004 junto UU PTUN 1986 , KTUN yang dapat
dijadikan objek sengketa TUN adalah terbatas. Dikecualikan atau tidak termasuk
dalam pengertian KTUN apabila:
a.
Keputusan Tata Usaha Negara yang
merupakan perbuatan hukum perdata;
b.
Keputusan Tata Usaha Negara yang
merupakan pengaturan yang bersifat umum;
c.
Keputusan Tata Usaha Negara yang
masih memerlukan persetujuan;
d.
Keputusan Tata Usaha Negara yang
dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana atau peraturan perundang-undangan
lain yang bersifat hukum pidana;
e.
Keputusan Tata Usaha Negara yang
dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan
badan peradilan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f.
Keputusan Tata Usaha Negara mengenai
tata usaha Tentara Nasional
Indonesia;
g.
Keputusan Komisi Pemilihan Umum,
baik di pusat maupun di daerah, mengenai
hasil pemilihan umum.
Dalam kaitannya dengan huruf g diatas, dalam UU PTUN tidak
ada pernyataan tegas apakah KTUN yang dikeluarkan selama proses pemilu seperti
penetapan (KTUN) Daftar Pemilih Tetap (DPT) menjadi objek sengketa TUN yang
dapat di gugat ke PTUN oleh warga masyarakat yang kepentingan hukumnya
dirugikan dengan keputusan DPT tersebut. Namun secara eksplisit dapat dipahami
bahwa titik tekannya adalah KTUN mengenai hasil pemilu, sehingga KTUN yang
dikeluarkan selama proses pemilu pada dasarnya merupakan kompetensi PTUN dam
dapat di gugat oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan ke PTUN.
Demikan pula dikeluarkan dari kompetensi absolut PTUN dengan
menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang
disengketakan itu dikeluarkan:
1.
dalam waktu perang, keadaan bahaya,
keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2.
dalam keadaan mendesak untuk
kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Rumusan atau batasan-batasan mengenai kepentingan umum tidak
di jelaskan dalam UU PTUN, sehingga dalam implementasinya sangat ditentukan
oleh penafsiran dan kepentingan penyelenggaraan negara yang secara sepihak
ditentukan oleh Pemerintah. Bila dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 65
Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005
Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,
yang menyebutkan sejumlah kegiatan yang berkaitan dengan tanah yang
dikategorikan sebagai kepentingan umum, sehingga semua KTUN yang dikeluarkan
untuk penyelenggaraan kepentingan umum tersebut tidak dapat dijadikan objek
sengketa TUN atau tidak dapat di gugat ke PTUN. Sejumlah kegiatan dimaksud
adalah baik pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah
maupun oleh Pemerintah Daerah, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki
oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, meliputi :
1.
jalan umum dan jalan tol, rel kereta
api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran
air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;
2.
waduk, bendungan, bendungan irigasi
dan bangunan pengairan lainnya;
3.
pelabuhan, bandar udara, stasiun
kereta api, dan terminal;
4.
fasilitas keselamatan umum, seperti
tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana;
5.
tempat pembuangan sampah;
6.
cagar alam dan cagar budaya;
7.
pembangkit, transmisi, distribusi
tenaga listrik.”
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi
PTUN sangat terbatas. Walaupun UU PTUN secara eksplisit menyatakan bahwa PTUN
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa TUN, namun terdapat
pembatasan-pembatasan baik dalam UU PTUN maupun dalam PP 65 Tahun 2006 terhadap
KTUN yang dapat dijadikan objek sengketa TUN. Dengan demikian KTUN yang dapat
dijadikan objek sengketa TUN dalam PTUN adalah KTUN menurut pengertian
Pasal 1 angka 3 UU PTUN 1986 berikut penjelasannya ditambah KTUN menurut Pasal
3 kemudian dikurangi dengan KTUN yang dimaksud Pasal 2 dan Pasal 49 UU
PTUN 2004. Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa kompetensi absolut PTUN
untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa TUN sebagai akibat
dikeluarkannya KTUN sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 3 dan Pasal
3 dengan pengecualian-pengecualian yang ditentukan dalam Pasal 2 dan
Pasal 49 UU PTUN.
c.
Kompetensi Peradilan Umum
Pengadilan Umum adalah pengadilan yg bertugas di lingkungan
peradilan yang menjalankan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan.
Pengadilan
umum meliputi :
1)
Pengadilan Negeri, berkedudukan di
ibukota kabupaten/kota, dengan daerah hukum meliputi wilayah kabupaten / kota
bertugas utk memeriksa dan memutuskan perkara tinggkat pertama dari segala
perkara sipil untuk semua golongan penduduk (warga negara dan orang asing).
setiap perkara dalam pengadilan negeri diadili oleh sekurang-kurangnya tiga
orong hakim yang dibantu oleh seorang panitera. Pengadilan negeri memiliki
kewenangan nisbi, kewenangan nisbi adalah kewenangan untuk memeriksa gugatan
atas tuntutan berdasarkan tempat tinggi tergugat.
2)
Pengadilan Tinggi, berkedudukan di
ibukota provinsi, dengan daerah hukum meliputi wilayah provinsi. Fungsi dan Wewenang Pengadilan Tinggi adalah
sebagai berikut :
·
Memutuskan pada tingkat pertama dan
terakhir mengenai sengketa wewenang danmengadili antarpengadilan negeri dalam
daerah hukumnya (provinsi)
·
Memeriksa ulang semua perkara
perdata dan pidana sepanjang dimungkinkan untuk dimintakan banding
·
Memimpin pengadilan-pengadilan
negeri dalam daerah hukum
·
Melakukan pengawasan terhadap
jalannyapengadilan dalam daerah hukumnya dan menjaga agar peradilan tersebut
diselenggarakan dengan saksama dan sewajarnya.
·
Mengawasi perbuatan hakim pengadilan
negeri dengan daerah hukumnya secara teliti.
3)
Mahkamah Agung (MA) merupakan badan
kehakiman tertinggi di berbagai negara (termasuk Indonesia) dan merupakan pengadilan
terakhir di mana putusannya tidak dapat diajukan banding. MA berkedudukan di
ibu kota Republik Indonesia (Jakarta).
Fungsi n tugasnya adalah sbb:
Fungsi n tugasnya adalah sbb:
·
Memutuskan pada pemeriksaan pertama
dan tingkat tertinggi mengenai perselisihan-perselisihan yurisdiksi antarpengadilan
negeri, pengadilan tinggi yang sama, pengadilan tinggi dan pengadilan negeri,
pengadilan sipil dan pengadilan militer.
·
Memberi atau membatalkan kasasi atau
keputusan hakim yang lebih rendah. Kasasi dapat diajukan apabila peraturan
hukum tidak dilaksanakan atau terdapat kesalahan pada pelaksanaannya dan
peradilan tidak dilaksanakan menurut undang-undang
·
Memberi keputusan dalam tingkat
banding atas keputusan-keputusan wasit atau pengadilan arbiter (pengadilan
swasta yang terdapat dalam dunia perdagangan dan diakui oleh pemerintah)
·
Mengadakan pengawasan tertinggi atas
jalannya peradilan dan memberi keterangan,pertimbangan, dan nasihat tentang
soal-soal yang berhubungan dengan hukum, apabila hal itu diminta oleh
pemerintah.
5.
Jelaskan hubungan antara ketentuan Pasal 1 angka 3 dan Pasal
1 angka 4 Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 dengan Pasal 53 (2) Undang-undang
Nomor 9 tahun 2004.
Administrasi Negara Cq. Pemerintah yang disebut sebagai
Badan/Pejabat TUN menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 adalah yang diberi tugas oleh peraturan perundang-undangan
untuk mengurus berbagai segi kehidupan masyarakat.
Karena perbuatan-perbuatan Administrasi Negara/Tata Usaha
Negara tersebut lalu lahirlah hubungan hukum antara Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan TUN yang bersangkutan dengan warga
masyarakat atau badan hukum perdata yang terkena oleh suatu Keputusan Tata
Usaha Negara. Dari ke-3 (tiga) macam perbuatan tersebut, yang menjadi wewenang
Peradilan Tata Usaha Negara adalah terbatas pada perbuatan mengeluarkan
Keputusan tersebut dalam butir a, artinya keputusan yang dikeluarkan Badan/Pejabat
Tata Usaha Negara dapat dinilai oleh Peradilan Tata Usaha Negara.
Dengan demikian semua perbuatan Administrasi Negara dapat
dinilai oleh Pengadilan, walaupun yang menilai itu mungkin tidak termasuk
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Bahwa yang
dapat menjadi objek sengketa di Peradilan TUN adalah Keputusan Tata Usaha
Negara (beschikking) . Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 butir 3
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004,
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha
Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau Badan Hukum Perdata”.
Dari bunyi ketentuan pasal tersebut diatas, dapat kita lihat
bahwa yang dimaksud Keputusan TUN yang dapat digugat di Peradilan Tata Usaha
Negara menunjukkan adanya ciri-ciri khusus yang meliputi beberapa elemen.
Bahwa segenap elemen-elemen tersebut adalah bersifat
kumulatif untuk dapat menjadi objek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara ;
Walaupun suatu keputusan sudah memenuhi pasal 1 butir 3
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tersebut,
ada beberapa kategori Keputusan TUN yang tidak dapat digugat di Peradilan Tata
Usaha Negara yaitu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 peraturan perundangan
tersebut.
Batal atau
Tidak Sahnya Keputusan Tata Usaha Negara.
Bahwa dalam tindakan Hukum Administrasi dianut asas
“Presumtio Justae Causa” yang maksudnya bahwa suatu Keputusan TUN harus selalu
dianggap benar dan dapat dilaksanakan, sepanjang Hakim belum membuktikan
sebaliknya.
Badan Peradilan yang diberi wewenang oleh Undang-Undang
untuk menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Tata Usaha Negara adalah
Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.
Bahwa secara umum syarat-syarat untuk sahnya suatu keputusan
Tata Usaha Negara adalah sebagai berikut :
Syarat
Materiil :
a.
Keputusan harus dibuat oleh alat
negara (organ) yang berwenang ;
b.
Karena keputusan itu suatu
pernyataan kehendak (wilsverklaring) maka pembentukan kehendak itu
tidak boleh
memuat kekurangan yuridis ;
c.
Keputusan harus diberi bentuk (vorm)
yang ditetapkan dalam peraturan dasarnya dan pembuatnya
harus memperhatikan
cara (prosedur) membuat keputusan itu, bilamana hal ini ditetapkan dengan tegas
dalam peraturan dasar tersebut.
d.
Isi dan tujuan keputusan harus
sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar ;
Syarat
Formil :
a.
Syarat-syarat yang ditentukan
berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara
dibuatnya keputusan harus dipenuhi ;
b.
Keputusan harus diberi bentuk yang
ditentukan ;
c.
Syarat-syarat yang ditentukan
berhubung dengan dilakukannya keputusan harus dipenuhi ;
d.
Jangka waktu yang ditentukan antara
timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya keputusan dan diumumkannya
keputusan itu tidak boleh dilewati ;
Bahwa bagi Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, masalah yang
sangat erat hubungannya dengan fungsi peradilan adalah masalah hak menguji
(toetsing recht).
Dasar
pengujian sebagaimana diatur dalam pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, yaitu :
a.
Keputusan Tata Usaha Negara yang
digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ;
b.
Badan atau Pejabat TUN pada waktu
mengeluarkan keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari
maksud diberikannya wewenang tersebut ;
c.
Badan atau Pejabat TUN pada waktu
mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan setelah mempertimbangkan semua
kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada
pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.
Di dalam praktek Peradilan Tata Usaha Negara pengujian Hakim
Tata Usaha Negara terhadap Surat Keputusan Tata Usaha Negara sesuai ketentuan
Pasal 53 diatas, adalah meliputi 3 (tiga) aspek yaitu :
1.
Aspek kewenangan :
yaitu meliputi hal berwenang, tidak berwenang atau melanggar
kewenangan, Dasar kewenangan Badan/Pejabat TUN adalah secara ATRIBUSI (berasal
dari perundang-undangan yang melekat pada suatu jabatan), DELEGASI (adanya
pemindahan / pengalihan suatu kewenangan yang ada) dan MANDAT (dalam hal ini
tidak ada pengakuan kewenangan atau pengalihan kewenangan).
2.
Aspek Substansi/Materi :
Yaitu meliputi pelaksanaan atau penggunaan kewenangannya
apakah secara materi/substansi telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum
atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.
Aspek Prosedural :
yaitu apakah prosedur pengambilan Keputusan Tata Usaha
Negara yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan
kewenangan tersebut telah ditempuh atau tidak.
Pengujian tersebut tidak saja berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku tetapi juga dengan memperhatikan asas-asas umum
pemerintahan yang baik (AAUPB), yaitu :
1.
Asas yang berkaitan dengan proses
persiapan dan proses pembentukan keputusan
·
Persiapan yang cermat ;
·
Asas fair play ;
·
Larangan detournement de procedure
(menyalahi prosedur);
2.
Asas yang berkaitan dengan
pertimbangan serta susunan keputusan :
·
Keharusan memberikan pertimbangan
terhadap semua kepentingan pada suatu keputusan ;
·
Pertimbangan tersebut harus memadai
;
3.
Asas yang berkaitan dengan isi keputusan
:
·
Asas kepastian hukum dan asas
kepercayaan ;
·
Asas persamaan perlakuan ;
·
Larangan detournement de pouvoir ;
·
Asas kecermatan materiil ;
·
Asas keseimbangan ;
·
Larangan willekeur (sewenang-wenang)
Sumber data
:
Dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar