Total Tayangan Halaman

Sabtu, 07 Desember 2013

Pertanyaan Seputar Hukum Administrasi & Hukum Administrasi Negara



1.      Mengapa istilah “Hukum Administrasi” dianggap lebih tepat untuk nama mata kuliah ini dibanding dengan istilah “Hukum Administrasi Negara”?

 Menurut kamus besar bahasa Indonesia, administrasi dapat diartikan sebagai:

  • Usaha/kegiatan yang meliputi penetapan tujuan serta penetapan cara-cara penyelenggaraan pembinaan organisasi;
  • Usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan peneyelenggaraan kebijaksanaan serta mencapai tujuan;
  • Kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan;
  • Kegiatan kantor dan tata usaha.

Istilah administrasi dapat memiliki makna dalam artian yang luas dan dalam arti yang sempit. Dalam arti sempit, administrasi dapat berarti kegiatan tata usaha yang meliputi surat menyurat dan pengurusan masalah ketatausahaan. Sementara pengertian administrasi dalam arti luas dapat dilihat dalam pengertian yang diberikan oleh beberapa ahli antara lain:

“Suatu proses yang umumnya terdapat pada semua usaha kelompok, baik itu yang besar dan kecil, swasta dan negara, atau sipil dan militer” Leonard D. White.

“Kegiatan dari kelompok manusia yang mengadakan usaha kerjasama untuk mencapai tujuan bersama” H.A. Simon.

Sementara itu, CST. Kansil memberikan pengertian terhadap administrasi negara sebagai berikut:

  • Sebagai aparatur negara, pemerintahan atau instansi politik kenegaraan, yakni meliputi semua organisasi negara yang menjalankan administrasi negara;
  • Sebagai fungsi atau aktivitas, yakni kegiatan pemerintahan untuk mengurus kepentingan negara;
  • Sebagai teknis penyelenggaraan peraturan perundang-undangan, yakni segala tindakan aparatur negara adalah dalam rangka menjalankan perintah atau amanah peraturan perundang-undangan.



Hukum Administrasi Negara vs Hukum Administrasi

Penggunaan istilah bagi “Administrasi recht atau hukum administrasi negara” di perguruan tinggi pada awalnya tidak sama. Terdapat penggunaan beberapa istilah yang semuanya merujuk pada hukum administrasi negara, antara lain Hukum tata Usaha Indonesia, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Tata U                                                               .saha Pemerintahan, dan lain sebagainya. Istilah hukum administrasi negara adalah istilah yang muncul dan digunakan belakangan.

Pada tahun 1972, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pernah menerbitkan SK mengenai pedoman kurikulum yang menggunakan istilah Hukum Tata Pemerintahan. Meski demikian, kurikulum pendidikan pada perguruan tinggi swasta dan maupun perguruan tinggi negeri pada masa itu belum ada keseragaman dan tetap menggunakan istilah yang berbeda, diantaranya adalah Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Tata Pemerintahan dan ada juga yang telah menggunakan istilah Hukum Admnistrasi Negara  dalam kurikulumnya.

Ada pendapat yang cukup menarik yang dikemukakan oleh Prof. Philipus M. Hadjon, SH. yang menyatakan bahwa penggunaan istilah hukum administrasi negara perlu dikaji kembali. Terlebih lagi apabila penggunaan istilah tersebut dikaitkan dengan disiplin ilmu administrasi negara.

Terdapat perbedaan yang cukup mendasar dalam pengertian antara hukum administrasi dan administrasi negara. Hukum administrasi lebh identik dengan pemerintahan sedangkan administrasi negara lebih identik dengan konsep manajemen. Oleh karena pengertian tersebut sehingga dalam hukum administrasi dirasakan tidak perlu lagi untuk menambahkan istilah negara dibalakangnya menjadi Hukum Administrasi negara. Dengan demikian, hukum administrasi akan secara lebih jelas fokus kajiannya yang dititikberatkan pada pengaturan mengenai kewenangan, organisasi publik dan prosedur dalam pemerintahan serta hal lainnya yang berkaitan erat.

Jika kita mencermati dengan baik istilah bagi hukum administrasi negara yang digunakan di negara lainnya, maka kita akan menemukan fakta bahwa sesungguhnya di negara lain hukum administrasi negara tidak lagi menambahkan kata “negara” di belakangnya. Di belanda misalnya disebut sebaga Administratief Recht, di Perancis disebut dengan Droit Administratif, di Jerman disebut dengan Verwaltungrecht dan di Perancis disebut dengan Administrative law.



2.      Uraikan Makna pendekatan fungsionaris terhadap Hukum Administrasi!

Sjachran Basah mengemukakan bahwa sebagai inti hakekat Hukum Administrasi Negara adalah : Pertama, memungkinkan administrasi negara untuk menjalankan fungsinya; Kedua, melindungi keluarga terhadap sikap tindak (perbuatan) administrasi negara dan juga melindungi administrasi negara itu sendiri. Selanjutnya dikatakan bahwa melindungi sikap tindak administrasi negara di satu pihak dan warga negara di lain pihak, pada dasarnya menciptakan kepastian hukum yaitu segala sikap tindak administrasi negara harus senantiasa memperhatikan batas-batas, baik batas atas maupun bawah. Batas asas, dimaksudkan taat asas yaitu bahwa sikap tindak administrasi negara dalam mewujudkan tugas kekuasaannya, di antaranya mengeluarkan keputusan, maka putusan-putusan itu apabila lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Batas bawah, maksudnya bahwa peraturan yang dibuat tidak boleh melanggar hak dan kewajiban asasi warga negara.

Kesimpulan : dapat dikatakan secara ringkas bahwa yang dimaksudkan dengan Hukum Administrasi negara adalah hukum yang mengatur dan mengikat alat administrasi negara dalam menjalankan wewenang yang menjadi tugasnya selaku alat administrasi negara dalam melayani warga negara harus senantiasa memperhatikan kepentingan warga negara. HAN sangat penting dan dibutuhkan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara oleh administrasi negara. Keberadaan hukum administrasi negara berperan mengatur wewenang, tugas dan fungsi administrasi negara, disamping itu juga berperan untuk membatasi kekuasaan yang diselenggarakan oleh administrasi negara.



3. Jelaskan konsekuensi dari perubahan fungsi negara penjaga malam ke negara hukum kesejahteraan dan pengaruhnya terhadap perkembangan Hukum Administrasi!



Konsep Negara Kesejahetaran yang lahir di era abad ke-20 sebagai koreksi berkembangnya konsep negara 'Penjaga Malam' (nachtwachtersstaat), muncul pula gejala kapitalisme di lapangan perekonomian yang secara perlahan-lahan menyebabkan terjadinya kepincangan dalam pembagian sumber-sumber kemakmuran bersama. Akibatnya timbul jurang kemiskinan yang menunjukkan kecenderungan semakin menajam, yang sulit dipecahkan oleh negara yang difungsikan secara minimal. Negara dianggap tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kenyataan ini, mendorong muncul kesadaran baru mengenai pentingnya keterlibatan negara dalam menangani dan mengatasi masalah ketimpangan itu. Negara dianggap tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Negara perlu turut campur tangan dalam mengatur agar sumber-sumber kemakmuran tidak dikuasai oleh segelintir orang.

Bersamaan dengan itu, muncul pula aliran sosialisme yang sangat menentang individualisme dan liberalisme yang dianggap sebagai sebab munculnya kapitalisme yang menindas rakyat miskin dan bahkan menciptakan kemiskinan itu sendiri. Karena itu, atas pengaruh sosialisme ini, muncul konsepsi baru mengenai negara sejak permulaan abad ke-20 ini sebagai ganti dari 'Nachwachterstaat', yaitu Welvaarstaat'/'Welfare State' (Negara Kesejahteraan).

Dalam konsep negara kesejahteraan ini, negara dituntut untuk memperluas tanggung jawabnya kepada masalah-masalah sosia! ekonomi yang dihadapi rakyat banyak. Perkembangan inilah yang memberikan legalisasi bagi 'negara intervensionis' abad ke-20. Fungsi negara juga meliputi kegiatan-kegiatan yang sebelumnya berada diluar jangkauan fungsi negara, seperti memperluas ketentuan pelayanan sosial kepada individu- dan keluarga dalam hai-hal khusus, seperti 'social security', kesehatan, kesejahteraan-sosial, pendidikan dan pelatihan serta perumahan.

Negara perlu dan bahkan hams melakukan intervensi dalam berbagai masalah sosial dan ekonomi untuk menjamin terciptanya kesejahteraan bersama dalam masyarakat. Sesuai dengan tujuan terakhir bagi setiap negara adalah untuk menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum publicum, common good, common weal).




4.  Berdasarkan penjelasan umum undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 maka penanganan perlindungan hukum bagi rakyat dapat melalui PTUN, Peradilan Militer, dan Peradilan Umum.

Uraikan secara singkat kompetensi dari masing-masing peradilan tersebut dalam penanganan perlindungan hukum bagi rakyat.

a.      Kompetensi Peradilan Militer

Kompetensi peradilan militer perlu dibenahi karena sudah melenceng dari asas sesungguhnya. Pasalnya, peradilan militer saat ini cenderung mengadili semua kasus yang dilakukan anggota militer. Baik itu yang bersinggungan dengan tindak pidana umum ataupun militer.

Melihat hal itu dapat dinilai proses peradilan militer hanya mendasarkan pada status, bukan perbuatan pelaku. Padahal, yang mesti diadili itu perbuatan yang dilakukan oleh anggota yang bersangkutan.

Untuk itu, peradilan militer harusnya khusus mengadili tindak pidana militer misalnya ada anggota TNI yang melawan perintah komando. Namun, ketika perbuatan yang dilakukan adalah tindak pidana umum seperti pemerkosaan, pengerusakan dan pembunuhan, sudah selayaknya diproses di peradilan umum.

Lebih jauh Undang-undang Peradilan Militer perlu direvisi. Hal itu ditujukan agar peradilan militer berfungsi sesuai kompetensinya, yaitu memproses tindakan yang hanya dipahami oleh TNI. Seperti garis komando, desersi dan lain sebagainya. Pasalnya, militer punya keahlian khusus dan bersenjata. Namun, dengan kewenangan tersebut ketika anggota militer melakukan tindak pidana umum, maka hukumannya perlu diperberat ketimbang masyarakat sipil.

Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan khusus untuk memproses anggota militer yang tersangkut kasus pidana umum. Misalnya, dalam kasus penyerangan LP Cebongan, anggota militer yang melakukan penyerangan menggunakan senjata berat. Mengingat hal itu dikategorikan sebagai penyalahgunaan kewenangan maka Ganjar menilai hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku harus lebih berat jika dibandingkan dengan masyarakat sipil yang melakukan penyerangan serupa.

Teknisnya nanti, para pelaku penyerangan LP Cebongan harus melewati proses di peradilan umum dan ketika hakim menjatuhkan putusan maka kewenangan yang melekat pada pelaku memperberat hukuman yang dijatuhkan. Sayangnya, Ganjar melihat hal itu potensinya kecil dilakukan jika mengacu UU Peradilan Militer.

Pantauan selama ini, kasus-kasus yang sering digelar di peradilan militer seringkali berkaitan dengan pidana umum. Bahkan sangat sulit menemukan peradilan militer yang memproses tindak pidana militer murni. Untuk itu ia berharap peraturan tersebut segera diubah untuk mengembalikan fungsi peradilan militer pada fungsinya.

Jika kompetensi peradilan militer tak dibenahi, penegakan hukum dan pemenuhan keadilan bagi masyarakat sukar dipenuhi. Misalnya, ketika mengikuti sebuah persidangan di peradilan militer, majelis hakim berpangkat kolonel sementara pelaku yang disidangkan berpangkat lebih tinggi yaitu bintang I.

Melihat struktur kepangkatan yang timpang antara yang mengadili dan diadili itu, sang hakim diberi pangkat sementara atau tituler, menjadi bintang I. Walau begitu, tetap saja kondisi itu menyulitkan sang hakim untuk memberikan keputusan yang adil karena pangkatnya yang permanen adalah kolonel. Ujungnya, putusan yang dihasilkan dinilai tak memberi rasa keadilan bagi korban.

Wacana untuk merevisi UU Peradilan Militer sudah muncul sejak tahun 2000-an. Namun, proses revisinya seolah timbul dan tenggelam serta berarut, ujungnya sampai saat ini revisi itu tak terwujud. Dalam memperjuangkan agar UU Peradilan Militer dibenahi, masyarakat sipil perlu menggunakan strategi yang tepat. Misalnya, memanfaatkan peluang dan momentum yang ada untuk mendukung terealisasinya revisi peraturan tersebut. Seperti momen terjadinya penyerangan LP Cebongan dan masa menjelang Pemilu.

Ketika mendorong pembentukan UU Bantuan Hukum, menjelang pelaksanaan Pemilu organisasi masyarakat sipil mendekati para calon legislatif (caleg). Untuk diajak berkomitmen memperjuangkan pembentukan UU tersebut ketika nanti berhasil terpilih menjadi anggota DPR. Walau begitu, upaya pendekatan tersebut harus dilakukan pada saat yang tepat. Pasalnya, menjelang pelaksanaan Pemilu, para calon cenderung sibuk mempersiapkan diri untuk kampanye.

Tapi ada alternatif lain yang dapat digunakan masyarakat sipil untuk mendorong revisi UU Peradilan Militer yaitu mengajukannya judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Jika mekanisme itu ditempuh dan MK memberi putusan sesuai harapan, maka masyarakat sipil dapat menggunakannya sebagai alat kampanye menggaungkan revisi UU Peradilan Militer. Namun, tetap saja masyarakat sipil harus melihat berapa besar peluang yang bisa diraih agar MK memberi putusan sesuai dengan harapan.

Secara umum, revisi UU Peradilan Militer tak terpisahkan dari ketentuan lainnnya yang terkait seperti KUHP dan KUHAP Militer. Mengingat pembahasan revisi UU Peradilan Militer sudah dilakukan berulang kali, masyarakat sipil harus melihat peristiwa-peristiwa apa yang terjadi kala itu sehingga dimasukan dalam ketentuan tersebut.

Militer dan negara sangat lekat sejak negara itu dibentuk. Namun, semakin modern sebuah negara maka garis pembatas antara militer dan negara semakin jelas. Selaras dengan itu semakin terang pula kalau peradilan militer hanya khusus mengadili kasus yang tak dapat ditindak lewat mekanisme peradilan umum.

Menanggapi banyaknya kasus pidana umum yang dilakukan anggota militer dibawa ke peradilan militer, persoalan itu berada di ranah kemauan politik pemerintah dan parlemen. Menurutnya, dalam mendorong revisi UU Peradilan Militer masyarakat sipil dapat memaksimalkan ketentuan yang ada di konstitusi misalnya dengan melakukan judicial review.



b.      Kompetensi peradilan TUN

Kompetensi absolut adalah menyangkut kewenangan badan peradilan apa untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. Sebagaimana diketahui berdasarkan Pasal 10 UU No. 14/1970, kita mengenal 4 (empat) lingkungan peradilan, yakni: peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Diantara keempat badan peradilan ini masing-masing mempunyai kompetensi mengadili yang berbeda-beda.

Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman. Secara konstitusional dan legal formal ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 yang kemudian ditindaklanjuti oleh Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman, kompetensi absolut dari PTUN menurut UU PTUN 1986 adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Sengketa TUN dirumuskan sebagai sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara KTUN merupakan suatu ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Selain KTUN yang bersifat penetapan tertulis, KTUN yang bersifat fiktif dan negatif juga masuk dalam pengertian KTUN (walaupun bukan merupakan penetapan tertulis), sehingga dapat menjadi objek sengketa TUN.

Penetapan tertulis terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN. Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau Pejabat di pusat dan di daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif. Tindakan hukum TUN adalah perbuatan hukum Badan atau Pejabat TUN yang bersumber pada suatu ketentuan Hukum Tata Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain. Bersifat konkret artinya objek yang diputuskan dalam KTUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Bersifat individual artinya KTUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum.

Dilihat dari penjelasan diatas KTUN yang dapat dijadikan objek sengketa di PTUN adalah sangat luas. Namun apabila dilihat pembatasan yang diberikan UU PTUN 2004 junto UU PTUN 1986 , KTUN yang dapat dijadikan objek sengketa TUN adalah terbatas. Dikecualikan atau tidak termasuk dalam pengertian KTUN apabila:

a.       Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;

b.      Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat    umum;

c.       Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;

d.      Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab        Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara         Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;

e.       Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan         badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang    berlaku;

f.       Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional          Indonesia;

g.      Keputusan Komisi Pemilihan Umum, baik di pusat maupun di daerah,        mengenai hasil pemilihan umum.



Dalam kaitannya dengan huruf g diatas, dalam UU PTUN tidak ada pernyataan tegas apakah KTUN yang dikeluarkan selama proses pemilu seperti penetapan (KTUN) Daftar Pemilih Tetap (DPT) menjadi objek sengketa TUN yang dapat di gugat ke PTUN oleh warga masyarakat yang kepentingan hukumnya  dirugikan dengan keputusan DPT tersebut. Namun secara eksplisit dapat dipahami bahwa titik tekannya adalah KTUN mengenai hasil pemilu, sehingga KTUN yang dikeluarkan selama proses pemilu pada dasarnya merupakan kompetensi PTUN dam dapat di gugat oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan ke PTUN.

Demikan pula dikeluarkan dari kompetensi absolut PTUN dengan menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan:

1.      dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

2.      dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



Rumusan atau batasan-batasan mengenai kepentingan umum tidak di jelaskan dalam UU PTUN, sehingga dalam implementasinya sangat ditentukan oleh penafsiran dan kepentingan penyelenggaraan negara yang secara sepihak ditentukan oleh Pemerintah. Bila dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,  yang menyebutkan sejumlah kegiatan yang berkaitan dengan tanah yang dikategorikan sebagai kepentingan umum, sehingga semua KTUN yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan kepentingan umum tersebut tidak dapat dijadikan objek sengketa TUN atau tidak dapat di gugat ke PTUN. Sejumlah kegiatan dimaksud adalah baik pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah maupun oleh Pemerintah Daerah, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, meliputi :

1.      jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;

2.      waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;

3.      pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;

4.      fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana;

5.      tempat pembuangan sampah;

6.      cagar alam dan cagar budaya;

7.      pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.”



Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi PTUN sangat terbatas. Walaupun UU PTUN secara eksplisit menyatakan bahwa PTUN berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa TUN, namun terdapat pembatasan-pembatasan baik dalam UU PTUN maupun dalam PP 65 Tahun 2006 terhadap KTUN yang dapat dijadikan objek sengketa TUN. Dengan demikian KTUN yang dapat dijadikan objek sengketa TUN dalam PTUN  adalah KTUN menurut pengertian Pasal 1 angka 3 UU PTUN 1986 berikut penjelasannya ditambah KTUN menurut Pasal 3 kemudian dikurangi dengan KTUN yang dimaksud Pasal 2 dan Pasal 49  UU PTUN 2004. Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa kompetensi absolut PTUN untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa TUN sebagai akibat dikeluarkannya KTUN sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 3  dan Pasal 3  dengan pengecualian-pengecualian yang ditentukan dalam Pasal 2 dan Pasal 49 UU PTUN.



c.       Kompetensi Peradilan Umum

Pengadilan Umum adalah pengadilan yg bertugas di lingkungan peradilan yang menjalankan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan.

Pengadilan umum meliputi :

1)      Pengadilan Negeri, berkedudukan di ibukota kabupaten/kota, dengan daerah hukum meliputi wilayah kabupaten / kota bertugas utk memeriksa dan memutuskan perkara tinggkat pertama dari segala perkara sipil untuk semua golongan penduduk (warga negara dan orang asing). setiap perkara dalam pengadilan negeri diadili oleh sekurang-kurangnya tiga orong hakim yang dibantu oleh seorang panitera. Pengadilan negeri memiliki kewenangan nisbi, kewenangan nisbi adalah kewenangan untuk memeriksa gugatan atas tuntutan berdasarkan tempat tinggi tergugat.

2)      Pengadilan Tinggi, berkedudukan di ibukota provinsi, dengan daerah hukum meliputi wilayah provinsi.  Fungsi dan Wewenang Pengadilan Tinggi adalah sebagai berikut :

·         Memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir mengenai sengketa wewenang danmengadili antarpengadilan negeri dalam daerah hukumnya (provinsi)

·         Memeriksa ulang semua perkara perdata dan pidana sepanjang dimungkinkan untuk dimintakan banding

·         Memimpin pengadilan-pengadilan negeri dalam daerah hukum

·         Melakukan pengawasan terhadap jalannyapengadilan dalam daerah hukumnya dan menjaga agar peradilan tersebut diselenggarakan dengan saksama dan sewajarnya.

·         Mengawasi perbuatan hakim pengadilan negeri dengan daerah hukumnya secara teliti.

3)      Mahkamah Agung (MA) merupakan badan kehakiman tertinggi di berbagai negara (termasuk Indonesia) dan merupakan pengadilan terakhir di mana putusannya tidak dapat diajukan banding. MA berkedudukan di ibu kota Republik Indonesia (Jakarta).
Fungsi n tugasnya adalah sbb:

·         Memutuskan pada pemeriksaan pertama dan tingkat tertinggi mengenai perselisihan-perselisihan yurisdiksi antarpengadilan negeri, pengadilan tinggi yang sama, pengadilan tinggi dan pengadilan negeri, pengadilan sipil dan pengadilan militer.

·         Memberi atau membatalkan kasasi atau keputusan hakim yang lebih rendah. Kasasi dapat diajukan apabila peraturan hukum tidak dilaksanakan atau terdapat kesalahan pada pelaksanaannya dan peradilan tidak dilaksanakan menurut undang-undang

·         Memberi keputusan dalam tingkat banding atas keputusan-keputusan wasit atau pengadilan arbiter (pengadilan swasta yang terdapat dalam dunia perdagangan dan diakui oleh pemerintah)

·         Mengadakan pengawasan tertinggi atas jalannya peradilan dan memberi keterangan,pertimbangan, dan nasihat tentang soal-soal yang berhubungan dengan hukum, apabila hal itu diminta oleh pemerintah.



5.      Jelaskan hubungan antara ketentuan Pasal 1 angka 3 dan Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 dengan Pasal 53 (2) Undang-undang Nomor 9 tahun 2004.

Administrasi Negara Cq. Pemerintah yang disebut sebagai Badan/Pejabat TUN menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 adalah yang diberi tugas oleh peraturan perundang-undangan untuk mengurus berbagai segi kehidupan masyarakat.

Karena perbuatan-perbuatan Administrasi Negara/Tata Usaha Negara tersebut lalu lahirlah hubungan hukum antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan TUN yang bersangkutan dengan warga masyarakat atau badan hukum perdata yang terkena oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Dari ke-3 (tiga) macam perbuatan tersebut, yang menjadi wewenang Peradilan Tata Usaha Negara adalah terbatas pada perbuatan mengeluarkan Keputusan tersebut dalam butir a, artinya keputusan yang dikeluarkan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dapat dinilai oleh Peradilan Tata Usaha Negara.

Dengan demikian semua perbuatan Administrasi Negara dapat dinilai oleh Pengadilan, walaupun yang menilai itu mungkin tidak termasuk lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.

Bahwa yang dapat menjadi objek sengketa di Peradilan TUN adalah Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) . Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata”.

Dari bunyi ketentuan pasal tersebut diatas, dapat kita lihat bahwa yang dimaksud Keputusan TUN yang dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara menunjukkan adanya ciri-ciri khusus yang meliputi beberapa elemen.

Bahwa segenap elemen-elemen tersebut adalah bersifat kumulatif untuk dapat menjadi objek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara ;

Walaupun suatu keputusan sudah memenuhi pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tersebut, ada beberapa kategori Keputusan TUN yang tidak dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara yaitu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 peraturan perundangan tersebut.

Batal atau Tidak Sahnya Keputusan Tata Usaha Negara.

Bahwa dalam tindakan Hukum Administrasi dianut asas “Presumtio Justae Causa” yang maksudnya bahwa suatu Keputusan TUN harus selalu dianggap benar dan dapat dilaksanakan, sepanjang Hakim belum membuktikan sebaliknya.

Badan Peradilan yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Tata Usaha Negara adalah Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.

Bahwa secara umum syarat-syarat untuk sahnya suatu keputusan Tata Usaha Negara adalah sebagai berikut :

Syarat Materiil :

            a.       Keputusan harus dibuat oleh alat negara (organ) yang berwenang ;

           b.      Karena keputusan itu suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring) maka pembentukan kehendak itu 
                 tidak boleh memuat kekurangan yuridis ;

          c.       Keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan dasarnya dan pembuatnya 
               harus memperhatikan cara (prosedur) membuat keputusan itu, bilamana hal ini ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut.

        d.      Isi dan tujuan keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar ;



Syarat Formil :

a.       Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi ;

b.      Keputusan harus diberi bentuk yang ditentukan ;

c.       Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan dilakukannya keputusan harus dipenuhi ;

d.      Jangka waktu yang ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya keputusan dan diumumkannya keputusan itu tidak boleh dilewati ;

Bahwa bagi Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, masalah yang sangat erat hubungannya dengan fungsi peradilan adalah masalah hak menguji (toetsing recht).

Dasar pengujian sebagaimana diatur dalam pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, yaitu :

a.       Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ;

b.      Badan atau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut ;

c.       Badan atau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.

Di dalam praktek Peradilan Tata Usaha Negara pengujian Hakim Tata Usaha Negara terhadap Surat Keputusan Tata Usaha Negara sesuai ketentuan Pasal 53 diatas, adalah meliputi 3 (tiga) aspek yaitu :

1.      Aspek kewenangan :

yaitu meliputi hal berwenang, tidak berwenang atau melanggar kewenangan, Dasar kewenangan Badan/Pejabat TUN adalah secara ATRIBUSI (berasal dari perundang-undangan yang melekat pada suatu jabatan), DELEGASI (adanya pemindahan / pengalihan suatu kewenangan yang ada) dan MANDAT (dalam hal ini tidak ada pengakuan kewenangan atau pengalihan kewenangan).

2.      Aspek Substansi/Materi :

Yaitu meliputi pelaksanaan atau penggunaan kewenangannya apakah secara materi/substansi telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.



3.      Aspek Prosedural :

yaitu apakah prosedur pengambilan Keputusan Tata Usaha Negara yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan kewenangan tersebut telah ditempuh atau tidak.

Pengujian tersebut tidak saja berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku tetapi juga dengan memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB), yaitu :

1.      Asas yang berkaitan dengan proses persiapan dan proses pembentukan keputusan

·         Persiapan yang cermat ;

·         Asas fair play ;

·         Larangan detournement de procedure (menyalahi prosedur);

2.      Asas yang berkaitan dengan pertimbangan serta susunan keputusan :

·         Keharusan memberikan pertimbangan terhadap semua kepentingan pada suatu keputusan ;

·         Pertimbangan tersebut harus memadai ;

3.      Asas yang berkaitan dengan isi keputusan :

·         Asas kepastian hukum dan asas kepercayaan ;

·         Asas persamaan perlakuan ;

·         Larangan detournement de pouvoir ;

·         Asas kecermatan materiil ;

·         Asas keseimbangan ;

·         Larangan willekeur (sewenang-wenang)





Sumber data : Dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar