Total Tayangan Halaman

1,795

Selasa, 24 Desember 2013

Penegakan Hukum Lingkungan



Penegakan Hukum Lingkungan
Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide tersebut merupakan hakekat dari penegakan hukum. Apabila berbicara mengenai perwujudan ide-ide yang abstrak menjadi kenyataan.
Konsep pemikiran yang dipakai yaitu penegakan hukum sudah dimulai pada saat peraturan hukum dibuat atau diciptakan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan pembuatan UU yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum. Proses penegakan hukum menjangkau pula sampai kepada pembuat hukum. Perumusan pikiran pembuatan hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menemukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan.
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subyek dalam arti  yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan  hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Penegakan hukum dalam bahasa Inggris disebut “law enforcement”, bahasa Belanda disebut “rechtshandhaving”. Pengertian penegakan hukum dalam terminologi bahasa Indonesia selalu mengarah kepada  force (Supriadi, 2006). “Penegakan hukum lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku, yang meliputi tiga bidang hukum yaitu administratif, pidana dan perdata”.  Dalam upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan sanksi administrasi, kepidanaan dan keperdataan. Penegakan hukum lingkungan dapat dilakukan secara preventif dan represif, sesuai dengan sifat dan efektivitasnya.
Pengawasan yang dilakukan oleh pihak pemerintah atau pejabat berwenang, telah diatur dalam Pasal 71 UU  No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu:

  1. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangaan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
  2. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
  3. Dalam melaksanakan pengawasan, menteri, gubernur, atau bupati/walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.


Penegakan hukum lingkungan terbagi menjadi 3 (tiga) aspek yaitu:
a.       Penegakan Hukum Lingkungan Administratif
Upaya penegakan Hukum Lingkungan yang diterapkan kepada kegiatan dan/atau usaha yang ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. Penegakan hukum tersebut diterapkan melalui sanksi administratif seperti yang termuat dalam Pasal 76 ayat (2) UU  No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang terdiri dari:
1)       Teguran tertulis;
2)       Paksaan pemerintah;
3)       Pembekuan izin lingkungan; atau
4)       Pencabutan izin lingkungan.

b.       Penegakan Hukum Lingkungan Perdata
Upaya penegakan hukum ini dapat dilakukan melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Bentuk dari penegakan hukum ini adalah sanksi perdata berupa pembayaran ganti rugi bagi masyarakat dan pemulihan terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

c.       Penegakan Hukum Lingkungan Pidana
Penegakan hukum pidana lingkungan dapat dilaksanakan apabila telah memenuhi salah satu persyaratan berikut:
1) Sanksi administratif, sanksi perdata, penyelesaian sengketa alternatif melalui negosiasi, mediasi, musyawarah diluar pengadilan setelah diupayakan tidak efektif atau diperkirakan tidak akan efektif.
2)     Tingkat kesalahan pelaku relatif berat;
3)     Akibat perbuatan pelaku relatif besar; dan
4)  Perbuatan pelaku menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Hal ini berkaitan bahwa penerapan sanksi pidana lingkungan tetap memerhatikan asas ultimum remedium, yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administratif, sanksi perdata dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Upaya penegakan hukum ini diwujudkan dalam bentuk sanksi pidana berupa pidana penjara dan denda seperti yang diatur dalam Pasal 98 s/d Pasal 120 UU  No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
5)     UU  No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.  Dalam negara hukum (rule of law) ada ada 3 (tiga) prinsip dasar yakni a) Supremecy of law, yakni segala tindakan negara dan warga negara harus dilakuakan dengan berdasarkan atas hukum dan tidak bertentangan dengan hukum, b) Equality before the law, yakni setiap orang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum dan karenanya harus diperlakukan sama, dan c) Due process of law yakni proses penegakan hukum harus diabdikan bukan semata-mata demi tegaknya hukum saja, melainkan demi tegaknya keadilan dan kepastian. Dengan demikan dalam proses pembentukan dan penegakan hukum tidak boleh bertentangan dengan hukum dan harus mengindahkan harkat dan martabat manusia serta hak-haknya yang melekat. Dalam konteks UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, secara filosofi dari Undang-undang ini adalah bahwa Negara menjamin hak atas lingkungan yang baik dan sehat yang diamanatkan dalam Pasal 28  UUD (Undang-undang Dasar) 1945 bagi warganya. Dengan adanya perubahan UU  No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diharapkan masalah lingkungan yang berupa pencemaran, kerusakan, perusakan dan lain-lain dapat diminimalisir dan ada pertanggujawaban sehat hukum dalam penegakan.

Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formal yang sempit maupun dalam arti material yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya Norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan kita tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-batasnya. Apakah kita akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan hukum itu, baik dari segi subyeknya maupun obyeknya atau kita batasi hanya membahas hal-hal tertentu saja, misalnya, hanya menelaah aspek-aspek subyektifnya saja.

Penegakan Hukum Obyektif
Seperti disebut di muka, secara obyektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup pengertian hukum formal dan hukum material. Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum material mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Penegakan hukum dalam makna yang sederhana yaitu dalam tataran aplikatif adalah upayah penegakkan hukum material agar tercipta kehidupan masyarakat yang sejahtera. Penegakkan hukum pidana bidang lingkungan dilakukan oleh aparat penegak hukum penyidik Polri maupun PPNS, Jaksa, Hakim, lembaga permasyarakatan serta advokat yang memberikan advokat terhadap terdakwa.
Dalam perbuatan pidana lingkungan hidup terkadang unsur hubungan kausalitas sangat sulit dibuktikan. Terhadap bahan-bahan kimia sangat diperlukan scientific proof  dan sangat diperlukan keahlian khusus serta perangkat laboraterium yang canggih untuk memastikan apakah alam telah tercemar dan/atau rusak. Karena kurang sempurnanya scientific proof  tersebut dapat berakibat gagalnya upayah penegakan hukum karena aparat hukum sangat bergantung pada keterangan ahli ini. Perbedaan pendapat parah ahli tentang alam telah tercemar atau/belum, membuat hakim harus menggunakan asas in dubio proreo yaitu yang dapat dikenakan kepada terdakwa adalah yang paling ringan baginya.
Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara pengertian penegakan hukum dan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian ‘law enforcement’ dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti  luas, dalam arti hukum material, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggris juga terkadang dibedakan antara konsepsi ‘court of law’ dalam arti pengadilan  hukum dan ‘court of justice’ atau pengadilan keadilan. Bahkan, dengan semangat yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika Serikat disebut dengan istilah ‘supreme court of justice’. Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan itu sendiri, melainkan nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Memang ada doktrin yang membedakan antara tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata. Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan kebenaran formal belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran  material yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran material untuk mewujudkan keadilan material. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun di lapangan hukum perdata.
Pada waktu hukum diterapkan oleh lembaga penerap hukum sangat dipengaruhi oleh kekuatan sosial dan pribadi yang ada di luar hukum. Kekuatan sosial dan pribadi disini adalah dominasi kekuasaan dalam proses penegakan hukum pidanan lingkungan hidup, intervensi kekuasaan, merosot kinerja pengadilan, konflik kepentingan intervensi politik, ketergantungan penerapan hukum pidana pada hukum administrasi. Faktor-faktor inilah yang sangat mempengaruhi proses penegakan hukum pidana lingkungan pada tahap aplikasi antara lain sebagai berikut :
1.         Dominasi kekuasaan dalam proses penegakan hukum lingkungan.
2.         Intervensi kekuasaan terhadap proses penegakan hukum lingkungan hidup.
3.         Merosotnya kinerja peradilan dalam menagani masalah lingkungan hidup.
4.         Mafia peradilan dalam proses penegakan hukum pidana lingkungan.
5.         Konflik kepentingan antara pemerintah, pengusaha dan masyarakat dalam proses penegakan hukum pidana lingkungan.
6.         Intervensi politik pada tahap aplikasi penegakan hukum lingkungan.
Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisi penegakan keadilan itu sendiri, sehingga istilah penegakan hukum dan penegakan keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subyek hukum dalam lalu lintas hukum. norma-norma hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang juga dasar dan mendasar. Karena itu, secara akademis, sebenarnya, persoalan hak dan kewajiban asasi manusia memang menyangkut konsepsi yang niscaya ada dalam keseimbangan konsep hukum dan keadilan. Dalam setiap hubungan hukum terkandung di dalamnya dimensi hak dan kewajiban secara paralel dan bersilang. Karena itu, secara akademis, Hak Asasi Manusia (HAM) mestinya diimbangi dengan kewajiban asasi manusia. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah, issue hak asasi manusia itu sendiri terkait erat dengan persoalan ketidakadilan yang timbul dalam kaitannya dengan persoalan kekuasaan.
Dalam sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam dan melalui organ-organ negara, seringkali terbukti melahirkan penindasan dan ketidakadilan. Karena itu, sejarah umat manusia mewariskan gagasan perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Gagasan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia ini bahkan diadopsikan ke dalam pemikiran mengenai pembatasan kekuasaan yang kemudian dikenal dengan aliran konstitusionalisme. Aliran konstitusionalime inilah yang memberi warna modern terhadap ide-ide demokrasi dan nomokrasi (negara hukum)  dalam sejarah, sehingga perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada dalam setiap negara hukum yang demokratis  (democratische rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy).
Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat dengan  persoalan penegakan hukum dan keadilan itu sendiri. Karena itu, sebenarnya, tidaklah  terlalu tepat untuk mengembangkan istilah penegakan hak asasi manusia secara tersendiri. Lagi pula, apakah hak asasi manusia dapat ditegakkan? Bukankah yang  ditegakkan itu adalah aturan hukum dan konstitusi yang menjamin hak asasi manusia itu, dan bukannya hak asasinya itu sendiri? Namun, dalam praktek sehari-hari, kita memang sudah salah kaprah. Kita sudah terbiasa menggunakan istilah penegakan ‘hak asasi manusia’. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak asasi manusia dan kesadaran untuk menghormati hak asasi orang lain di kalangan masyarakat kitapun memang belum berkembang secara sehat.

Aparatur Penegak Hukum
Penegakan hukum pidana lingkungan merupakan serangkaian kegiatan dalam upaya tetap mempertahankan lingkungan hidup dalam keadaan lestari yang memberikan manfaat bagi generasi masa kini dan juga bagi generasi masa depan. Upaya tersebut sangat kompleks dan banyak sekali kendala dalam tataran aplikatif (Syahrul. M 20012). Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Aparat penegakan hukum yang diberikan wewenang oleh UU untuk melakukan penegakan hukum sebagaimana yang dimaksud pada KUHAP. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, Polisi, Penasehat hukum, Jaksa, Hakim, dan Petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.
Pengertian penegakan hukum lingkungan menurut tim penyusun kebijaksanaan Strategi dan Rencana Aksi Pengelolaan Lingkungan Hidup Kantor Kemetrian Negara Lingkungan Hidup, bahwa penegakan hukum lingkungan hidup adalah tindakan untuk menerapkan perangkat hukum melalui upayah pemaksaan sanksi hukum guna menjaminkan ditaatinya ketentuan-ketentuan yang termuat dalam peraturan perundang-undangan lingkungan hidup.
Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian ‘law enforcement dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti hukum materil diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa inggris juga dibedakan antara konsepsi ’ Cout of law” dalam arti pengadilan hukum dan court of justice’ atau pengadilan keadilan (Syahrul. M, 2012),  sekurang-kurangnya ada 4 (empat) hal yang harus diperhatikan oleh penegakan hukum dalam melakukan penegakan hukum, yaitu:
1.     Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap perbuatan anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat. Maka tujuan penegakan hukum adalah untuk penanggulangan kejahatan.
2.  Masyarakan memerlukan perlindungan terhadap sifat berbahanya seseorang. Maka penegakan hukum ditujukan untuk memperbaiki si pelaku kejahatan atau berusaha mengubah dan mempengaruhi tingkah lakunya agar kembali patuh pada hukum dan menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna.
3.   Masyarakat memerlukan pula perlindungan terhadap penyalahgunaan sanksi atau reaksi dari penegakan hukum maupun disini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya  perlakuan atau tindakan yang sewenang-wenang di luar hukum.
4. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu sebagai akibat dari adanya kejahatan. Penegakan hukum di maksudkan menyelesaikan konflik  yang ditimbulkan oleh tindak pidana, dapat memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai masyarakat.
Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu: (i) Institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (ii) Budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan (iii) Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materialnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.
Namun selain ketiga faktor di atas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan hukum di negara kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai Negara Hukum yang mencita-citakan upaya menegakkan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama yaitu :
1.    Pembuatan hukum (the legislation of law atau law and rule making),
2. Sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization and promulgation of law, dan
3.    Penegakan hukum (the enforcement of law).
Sementara makna penegakan hukum atau law enforment atau rechthandhaving khusus terhadap penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan dalam seminar hukum nasional 1980 dinyatakan “Penegakan hukum pidana diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kejahatan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat/negara, korban dan pelaku”
Ketiganya membutuhkan dukungan  adminstrasi hukum (the administration of law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab (Accountable). Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut di atas. Dalam arti luas,  the administration of law  itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang ada selama ini telah dikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusan-keputusan administrasi negara (beschikkings), ataupun penetapan dan putusan (vonis) hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Jika sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana mungkin akses masyarakat luas terhadap aneka bentuk produk hukum tersebut dapat terbuka? Jika akses tidak ada, bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat dapat taat pada aturan yang tidak diketahuinya? Meskipun ada teori ‘fiktie’ yang diakui sebagai doktrin hukum yang bersifat universal, hukum juga perlu difungsikan sebagai sarana pendidikan dan pembaruan masyarakat (social reform), dan karena itu ketidaktahuan masyarakat akan hukum tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosialisasi dan pembudayaan hukum secara sistematis dan bersengaja.

Sistim Penegakan Hukum Lingkungan Pada Sektor Kehutanan
Sistem penegakan hukum lingkungan di Indonesia, penegakan hukum terdiri dari kata penegakan dan hukum. Penegakan berasal dari kata penegak yang dalam kamus besar bahasa Indonesia artinya adalah yang mendirikan/menegakkan. Penegak hukum adalah yang menegakkan hukum. Pengertian penegakan hukum dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah law enforcement dan diartikan the act of putting something such as a law into effect, the execution of a law, (penegakan hukum adalah suatu tindakan terhadap sesuatu/kejadian sesuai dengan hukum yang berlaku).
Dengan demikian menarik garis antara apa yang sesuai hukum dan apa yang melawan hukum. Hukum dapat mengkualifikasikan sesuatu perbuatan sesuai dengan hukum atau mendiskualifikasikannya sebagai melawan hukum. Perbuatan yang sesuai dengan hukum tidak merupakan masalah dan tidak perlu dipersoalkan; yang menjadi masalah ialah perbuatan yang melawan hukum. Bahkan yang diperhatikan dan digarap oleh hukum ialah justru perbuatan yang disebut terakhir ini, baik perbuatan melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi (onrecht in potentie). Perhatian dan penggarapan perbuatan itulah yang merupakan penegakan hukum . Kalau tata hukum dilihat secara skematis, maka dapat dibedakan adanya tiga sistem penegakan hukum, yaitu sistem penegakan hukum perdata, sistem penegakan hukum pidana dan sistem penegakan hukum administrasi. Sejalan dengan itu terdapat berturut-turut sistem sanksi hukum perdata, sistem sanksi hukum pidana dan sistem sanksi hukum administrasi (tata usaha negara).
Ketiga sistem penegakan hukum tersebut masing-masing didukung dan dilaksanakan oleh alat perlengkapan negara atau biasa disebut aparatur (alat) penegak hukum, yang mempunyai aturan sendiri-sendiri. Selanjutnya dikatakan bahwa dilihat secara fungsional, maka sistem penegakan hukum itu merupakan suatu sistem aksi. Ada sekian banyak aktivitas yang dilakukan oleh alat perlengkapan negara dalam penegakan hukum. Yang dimaksud dengan “alat penegak hukum” itu biasanya hanyalah kepolisian, setidak-tidaknya badan-badan yang mempunyai wewenang kepolisian atau kejaksaan. Akan tetapi kalau penegakan hukum itu diartikan secara luas, seperti yang dikemukakan di atas, maka penegakan hukum itu menjadi tugas pula dari pembentuk UU, Hakim, Instansi Pemerintahan, Aparat Eksekusi Pidana.
Dari segi praktis, penegakan hukum merupakan upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan yang secara umum dan individual berlaku melalui pengawasan dan penerapan sanksi. Penegakan hukum preventif berarti pengawasan aktif yang dilakukan terhadap kepatuhan atas peraturan tanpa kejadian langsung yang menyangkut kejadian konkrit, yang menimbulkan dugaan bahwa peraturan hukum tersebut telah dilanggar. Upaya ini dilakukan dengan penyuluhan, pemantauan dan penggunaan kewenangan yang bersifat pengawasan. Penegakan hukum represif, dilaksanakan dalam hal perbuatan melanggar peraturan dan bertujuan untuk mengakhiri secara langsung perbuatan terlarang tersebut.
Esensi dari penegakan hukum lingkungan adalah sebagai upaya preventif maupun represif dalam menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, baik dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja. Hal tersebut perlu, karena dalam proses pembangunan dampak berupa pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sulit dihindari.
Penegakan hukum lingkungan sesungguhnya bukan satu-satunya cara atau alat penataan. Penataan dapat ditempuh melalui cara-cara lain seperti instrumen ekonomi, pendekatan melalui mekanisme negosiasi dan mediasi, amdal dan perizinan. Akan tetapi, penegakan hukum lingkungan seringkali diartikan secara tidak tepat. Penegakan hukum lingkungan sering diartikan sebagai upaya penataan melalui pengadilan (ligitasi). Perlu ditekankan di sini, bahwa upaya paksa melalui penerapan sanksi tidak harus melalui pengadilan.
Dalam hubungan dengan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, penegakan hukum di bidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) kategori yaitu :
a.     Penegakan hukum lingkungan dalam kaitannya dengan hukum administrasi/tata usaha negara.
b.     Penegakan hukum lingkungan dalam kaitannya dengan hukum perdata.
c.      Penegakan hukum lingkungan dalam kaitannya dengan hukum pidana.

Ditinjau dari aspek hukum administrasi negara/hukum tata negara, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyatakan bahwa:
1)     Setiap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan;
2)     Izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3)     Dalam izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan persyaratan dan kewajiban untuk melakukan upaya pengendalian dampak lingkungan hidup.
UU No. 23 Tahun 1997 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup kemudian digantikan dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mewajibkan penggunaan asas subsidiaritas. UU ini juga mengubah sistem izin lingkungan sebagai syarat wajib dan utama dalam setiap kegiatan yang berdampak pada lingkungan hidup (Pasal 36 sampai dengan Pasal 40). Orientasi UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah jaminan kepastian hukum dan perlindungan hak atas lingkungan yang baik dan sehat sebagai bagian hak asasi manusia yang ditentukan Pasal 28 h UUD 1945 (lihat konsideran huruf a dan f UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup).
Pasal 44 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menentukan bahwa setiap penyusunan peraturan perundang-undangan pada tingkat nasional dan daerah wajib memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di sini tampak bahwa sistem hukum nasional diarahkan dan diwajibkan berorientasi pada lingkungan hidup (green law atau eco-law system). Prinsip-prinsip dan Norma hukum lingkungan harus menjiwai substansi hukum bidang lainnya dan harus menjadi panduan dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Bahkan penyusunan anggaran negara (pusat dan daerah) juga berbasis lingkungan hidup (Pasal 45 dan 46).
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga menentukan adanya garansi lingkungan hidup dengan mewajibkan kepada setiap pemegang izin lingkungan untuk menyediakan dana penjaminan pemulihan lingkungan hidup yang disimpan dalam bank yang ditunjuk oleh Menteri Lingkungan Hidup, Gubernur dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Dalam UU ini memuat sistem internalisasi biaya lingkungan hidup ke dalam kegiatan usaha ekonomi yang menjadi bagian dari instrumen perencanaan pembangunan selain neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup, penyusunan produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto yang mencakup penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup dan mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antar daerah (Pasal 43).
Sejak berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bidang pengelolaan lingkungan hidup juga menjadi urusan wajib pemerintah daerah di wilayah masing-masing pemerintah daerah. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pun menentukan adanya adanya kewenangan pemerintah daerah tersebut yang dikoordinasi oleh Menteri Lingkungan Hidup (Pasal 63 dan Pasal 64) sebagai konsekuensi sistem negara kesatuan.
UU No. 32 Tahun 2009  tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengakui hukum adat dengan menganut asas kearifan lokal sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2. Asas ini menentukan prinsip bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. Asas ini juga erat kaitannya dengan “asas ekoregion”, yaitu bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan lokal.
Ketentuan tersebut selaras dengan Ketetapan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) No. IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang dalam Pasal 4 menetapkan prinsip: “melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat” dan “mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam.” Prinsip dasar pengakuan kearifan lokal ditentukan Pasal 28 i ayat (3) UUD 1945 yang menentukan, “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” 
Atas dasar itu ketentuan-ketentuan prosedural terdapat dalam KUHAP yang harus dipergunakan. Khusus mengenai pembuktian, diatur dalam Pasal 183 sampai 189 KUHAP. Pembuktian tindak pidana lingkungan tidak dapat dipersamakan dengan pembuktian tindak pidana lainnya. Di dalam pembuktian tindak pidana lingkungan melalui pendekatan terpadu lintas disiplin dan diperlukan kemampuan menterjemahkan fakta-fakta hukum.


PUSTAKA 
 
Hardjasoematri,K., 1995, Hukum Perlindungan Lingkungan Konservasi Sumber Daya  Alam Hayati dan Ekosistemnya, Edisi Pertama, Gadjah Mada, Yogyakarta.
Salim,H.S., 2002, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Sinar Grafita, Jakarta.