BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar tertulis yang tertinggi
telah menetapkan sebagaimana berdasarkan Pasal 1 ayat (3) disebutkan bahwa
Indonesia ialah Negara yang berdasarkan atas hukum. Implementasinya bahwa
pemerintah atau Lembaga Negara dalam menjalankan tugas harus dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Pengertian negara hukum dalam arti luas
yaitu negara hukum dalam arti materiil yang tidak hanya melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, tetapi juga harus memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskkan kehidupan bangsa. Berbicara tentang suatu
negara hukum, maka dapat diketahui dari hal-hal yang disebut sebagai ciri khas
bagi suatu negara hukum adalah :
- Adanya pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan di bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
- Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh sesuatu kekuasaan atau kekuatan apapun juga.
- Adanya legalitas dalam arti segala bentuknya.
Hukum materiil seperti yang terjelma dalam Undang-undang dan peraturan
perundang-undangan lainnya ataupun yang bersifat tidak tertulis, merupakan
pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana selayaknya berbuat dalam
masyarakat. Hukum juga merupakan wujud dari perintah dan kehendak negara yang
dijalankan oleh pemerintah melalui aparat penegak hukum untuk mengemban
kepercayaan dan perlindungan terhadap masyarakat sebagai warga negara.
Aparat penegak hukum mendapat wewenang untuk menjalankan tugasnya
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku sesuai dengan tujuan hukum untuk
mengatur masyarakat dalam bertindak dan berbuat yang sepatutnya dan juga
mengatur aparat penegak hukum yang mewakili negara untuk bertindak secara patut
dan bermanfaat dengan menetapkan apa yang diharuskan, apa yang dibolehkan dan/atau sebaliknya.
Berdasarkan
Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) pada hakekatnya merupakan bagian dari hukum formil sebagai sarana hukum
yang penting dalam pelaksanaan hukum pidana. KUHAP menetapkan perangkat penegak
hukum yakni perangkat penyidik seperti kepolisian ataupun Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (KPK), dan perangkat lain yang berfungsi melakukan
penyidikan terhadap setiap tindak pidana yang terjadi sebagai pelanggaran
terhadap hukum yang berlaku, Jaksa Penuntut Umum bertugas melakukan tuntutan
pidana terhadap pelaku pelanggaran hukum dan hakim bertugas memutuska terhadap
pelanggaran-pelanggaran hukum materiil. Berbicara tentang fungsi penuntutan hukum,
maka substansi tersebut merupakan tugas pokok dari pihak kejaksaan dalam hal
ini tanggung jawab Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan tuntutan terhadap para
pelaku tindak pidana termasuk tuntutan untuk mengembalikan barang bukti kepada
pihak yang berhak/saksi korban dan termasuk peranan mengamankan barang bukti
baik sebagai alat melakukan tindak pidana maupun barang bukti sebagai akibat
terjadinya tindak pidana.
Tugas
mengamankan barang bukti oleh Jaksa Penuntut Umum terutama terhadap barang bukti
sebagai akibat terjadinya tindak pidana seperti dalam hal ini barang bukti
jenis kayu dalam praktek cukup terdapat masalah yang kompleks yang sulit
dipecahkan. Sebab berbicara tentang barang bukti jenis kayu tentu mempunyai
konsekwensi hukum bahwa siapa yang berhak untuk mendapatkan kembali barang
bukti tersebut sesuai dengan mekanisme ketentuan hukum yang berlaku. Jadi
penyerahan kembali barang bukti kayu kepada pihak yang berhak adalah hal yang
tidak bersifat relatif, akan tetapi hal tersebut sungguh sangat penting dan
bersifat mutlak barang bukti tersebut harus diterima kembali oleh pihak yang
memang berhak untuk itu, seperti pihak pemilik/saksi korban, termasuk pihak
negara jika barang bukti jenis kayu tersebut diambil dari kawasan hutan.
Permasalahan yang menarik yang berhubungan dengan pengembalian barang
bukti jenis kayu kepada yang berhak/pemilik/saksi korban, ketika diamati
terhadap sejumlah perkara pidana yang diproses melalui Pengadilan Negeri Kupang
yang mempunyai barang bukti jenis kayu dalam hal ini jenis kayu jati yang
berasal baik dari penebangan liar pada kawasan hutan ataupun penebangan di luar
kawasan hutan yang dilakukan tanpa dokumen perizinan yang sah, justru ternyata
telah terjadi masalah yang berdampak sangat merugikan pihak pemilik kayu/saksi
korban. Hal tersebut disebabkan karena ternyata kayu-kayu yang merupakan barang
bukti telah rusak total dalam arti tidak dapat dipergunakan lagi seperti nilai
semula dan hal yang pasti tidak dapat diterima kembali oleh pihak yang berhak
dalam hal ini negara melalui pihak dinas kehutanan atau orang perseorangan yang
berhak sebagai pemilik dari barang bukti tersebut. Permasalahan adanya
kerusakan barang bukti kayu secara total tersebut adalah merupakan akibat dari
adanya persoalan/faktor terjadinya upaya hukum baik yang dilakukan oleh
terdakwa/jaksa penuntut umum terhadap putusan hakim. Upaya hukum tersebut tentu
dengan sendirinya memperlambat terciptanya putusan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap. Dan termasuk pula faktor yang lain yaitu tidak ada upaya efektif
dari jaksa penuntut umum yang bersangkutan dalam rangka pengamanan barang bukti
jenis kayu berdasarkan cara-cara yang dianggap layak dan tidak bertentangan
dengan hukum. Sebab konsekuensi yang penting dalam penegakan hukum terhadap
tindak pidana yang berhubungan dengan penebangan kayu secara tidak sah/dan atau
pencurian kayu milik perseorangan, maka justru barang bukti kayu harus kembali
kepada pihak yang berhak / pemilik / saksi korban dan bukan sekedar ada
penegakan hukum dalam batas pelaku dijatuhi hukuman penjara.
Berdasarkan permasalahan di atas dan dalam rangka melakukan suatu kajian
secara ilmiah, maka adalah penting perlu ditetapkan judul : “Tanggung Jawab Jaksa Penuntut Umum Terhadap
Barang Bukti Jenis Kayu Dalam Suatu Perkara Pidana Ditinjau Dari Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP”.
B. Rumusan Masalah
Menunjuk permasalahan sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang
di atas, maka substansi yang penting untuk ditetapkan sebagai masalah pokok
adalah :
1.
Bagaimana Pelimpahan Tersangka dan Barang Bukti pada Jaksa Penuntut
Umum?
2.
Bagaimana Pertimbangan Hakim terhadap Barang Bukti?
3.
Bagaimana Tanggung Jawab Yuridis Jaksa Penuntut Umum Terhadap Barang
Bukti Jenis Kayu Yang Rusak?
C. Tujuan Penelitian
Agar penelitian yang dilakukan lebih tertuju pada sasaran yang hendak
dicapai serta berpangkal tolak pada dasar-dasar pemikiran sebagai tujuan
tersebut, maka tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah :
1.
Tujuan Objektif
a.
Untuk mengetahui bagaimana mekanisme pelimpahan tersangka dan barang
bukti pada jaksa penuntut umum.
b.
Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim terhadap barang bukti.
c.
Untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab yuridis jaksa penuntut umum
terhadap barang bukti jenis kayu yang rusak.
2.
Tujuan Subjektif
a.
Agar bisa dipergunakan untuk pengembangan pengetahuan penulis pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya, sehingga dapat mengetahui secara benar
tentang bagaimana tanggung jawab Jaksa Penuntut Umum terhadap barang bukti
jenis kayu yang mengalami akibat rusak total dan tidak dapat diambil kembali
oleh pihak yang berhak/pemilik/saksi korban.
b.
Untuk memperoleh data sebagai bahan utama dalam penyusunan penulisan
proposal penelitian dan penelitian skripsi guna melengkapi persyaratan untuk
memperoleh gelar sarjana dalam bidang ilmu hukum di Universitas Nusa Cendana.
D. Manfaat Penelitian
1.
Manfaat Teoritis
a.
Sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada
umumnya dan ilmu hukum pada khususnya.
b.
Untuk menambah bahan referensi dan bahan masukan untuk penelitian
selanjutnya.
2.
Manfaat Praktis
a.
Dapat memberikan sumbangan pemikiran pada praktisi hukum terutama Jaksa
Penuntut umum dan masyarakat umumnya dan khususnya masyarakat yang memiliki hak
untuk menerima kembali barang bukti jenis kayu dalam suatu perkara pidana.
b.
Sebagai bahan masukan bagi pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum tetap yang menetapkan barang bukti jenis kayu dikembalikan
kepada yang berhak.
E. Tinjauan Pustaka
Sebagaimana dipandang menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) sebagai hukum formil dalam pelaksanaan hukum pidana tentu sebagai
pedoman dan mutlak setiap pemeriksaan perkara harus berpedoman pada tata cara
yang telah digariskan dalam KUHAP. Hukum Acara Pidana dipastikan akan membawa
sebuah kebenaran materil yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu
perkara pidana dengan tujuan untuk mencari siapa pelaku tindak pidana dan
selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan hakim guna menentukan apakah
terbukti suatu tindak pidana telah dilakukan oleh terdakwa dan apakah terdakwa
tersebut patut harus dipersalahkan atau tidak.
Untuk menentukan salah atau tidak seorang pelanggar hukum (terdakwa),
maka perlu berpedoman pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, secara pokok menentukan
alat bukti yang sah yaitu :
a.
Keterangan saksi
b.
Keterangan ahli
c.
Surat
d.
Petunjuk
e.
Keterangan terdakwa
Sistem pembuktian dalam suatu perkara pidana adalah untuk mencari dan
menemukan kebenaran materiil, maka untuk menjatuhkan pidana oleh hakim kepada
terdakwa harus didukung dengan sekurang-kurangnya harus ada dua alat bukti yang
sah dan hakim mempunyai keyakinan bahwa terdakwalah yang melakukan tindak
pidana tersebut.
Setiap putusan hakim tidak dengan sendirinya dipertimbangkan dan
dijatuhi hukuman atau tidak kepada terdakwa, namun semuanya karena atas dasar
adanya tuntutan pidana dari Jaksa Penuntut umum. Berdasarkan Pasal 1 butir 6 UU
Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa :
- Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
- Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan ketetapan hakim.
Rumusan pengertian Jaksa di dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia diatur pada Pasal 1 butir 1 dan 2, jadi rumusan
tersebut terdapat 2 kewenangan jaksa adalah : sebagai penuntut umum, dan
sebagai eksekutor, sedangkan penuntut umum berwenang untuk : melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Dengan perkataan lain, jaksa yang
menangani perkara dalam tahap penuntutan disebut : Penuntut Umum. Jadi penuntut
umumlah yang dapat melaksanakan penetapan hakim, tetapi tetap penuntut umum
dapat melaksanakan eksekusi karena dia adalah jaksa.
Perbedaan jaksa dan penuntut umum pada hakikatnya adalah jaksa bertugas
pada kegiatan penanganan perkara pada tahap penuntutan, maka jaksa disebut
penuntut umum. Jika bertugas di luar penuntutan, maka ia tetap disebut jaksa.
Pembuktian terhadap perbuatan terdakwa tidak saja semata-mata dilihat
pada alat-alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud menurut Pasal 184 KUHAP,
akan tetapi perlu dihubungkan dan dipertimbangkan dengan pengajuan barang bukti
oleh Jaksa Penuntut Umum. Sebab dengan barang bukti tersebut akan menjadi
petunjuk bahwa benar telah terjadi tindak pidana sebagaimana yang didakwakan
Jaksa Penuntut Umum.
Berkaitan dengan putusan pengadilan yang berisi pemidanaan, atau putusan
bebas maupun putusan lepas dari semua tuntutan hukum, maka pengadilan juga
menetapkan supaya barang bukti yang disita dalam perkara yang bersangkutan
diserahkan kepada pihak yang dinilai paling berhak menerima kembali barang
bukti tersebut termasuk dirampas untuk kepentingan negara, kecuali jika menurut
ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk dimusnahkan atau
dirusakkan sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.
Penetapan / perintah penyerahan barang bukti dilakukan tanpa disertai
suatu syarat apapun kecuali dalam hal putusan pengadilan belum mempunyai
kekuatan hukum tetap, barang bukti tersebut dapat diserahkan kepada pihak yang
berhak dengan syarat tertentu. Jadi meskipun putusannya belum mempunyai
kekuatan hukum tetap, barang bukti tersebut dapat diserahkan kepada yang berhak
dengan syarat tertentu, misalnya yang menerima barang bukti tersebut sanggup
menghadapkan atau membawa barang bukti tersebut di muka sidang pengadilan
apabila suatu waktu diperlukan oleh pengadilan (Pasal 194 KUHAP).
Menunjuk acuan teoritis di atas, maka tentu jaksa penuntut umum harus
berperan aktif untuk mengamankan barang bukti terutama barang bukti jenis kayu
karena barang bukti dalam kelompok tersebut sangat mudah terjadi kerusakan
secara total. Karena itu, seharusnya tidak tergantung kepada soal putusan
mempunyai kekuatan hukum tetap, karena bisa saja ditetapkan supaya barang bukti
jenis kayu tersebut tetap diserahkan kepada yang berhak atau disita untuk
kepentingan negara, meskipun putusan hakim belum mempunyai kekuatan hukum
tetap. Sebab tidak mungkin adil, jika putusan mengatakan bahwa bersalah,
sedangkan barang bukti yang sebelumnya utuh ternyata tidak dapat diperoleh
kembali oleh pihak yang berhak akibat barang bukti telah rusak total.
F. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,
sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari suatu atau
beberapa gejala hukum tertetu dengan menganalisisnya. Dalam melakukan
penelitian hukum, sebenarnya selalu dihubungkan dengan makna yang mungkin dapat
diberikan kepada hukum.
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ilmiah,
diperlukan suatu metode penelitian tertentu untuk mendapatkan data yang
diteliti. Dengan menggunakan metode penelitian akan dapat memecahkan masalah
yang dihadapinya, yaitu dengan cara mengumpulkan data, kemudian mengolahnya
dalam rangka penyelesaian masalah tersebut.
Jenis penelitian yang
penulis lakukan adalah penelitian deskriptif, yaitu suatu penelitian yang
dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan maksud
mempertegas analisis dan memberikan gambaran yang jelas tentang masalah yang
dibahas dalam penelitian.
2. Lokasi Penelitian
Penulis dalam rangka
mengadakan penelitian guna penulisan hukum ini mengambil lokasi di Kupang dan
dilakukan di Pengadilan Negeri Klas 1A Kupang dan Kejaksaan Negeri Kupang.
3. Jenis dan Sumber Data
Pengumpulan data dalam suatu
penelitian sangat diperlukan, karena dengan data akan menunjang dalam penulisan
terutama sebagai bahan penulisan.
Adapun jenis data dan sumber
data dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
a.
Data Primer
Merupakan data yang diperoleh secara langsung dari lokasi penelitian
yaitu Pengadilan Negeri Klas 1A Kupang dan Kejaksaan Negeri Kupang.
Dalam
hal ini data diperoleh dari putusan hakim dan hasil wawancara dengan hakim,
Jaksa Penuntut Umum dan pihak yang berhak mendapatkan kembali barang bukti.
b.
Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku, tulisan-tulisan
dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang
diteliti atau data yang diperoleh dengan cara studi kepustakaan yang
berhubungan dengan tanggung jawab jaksa terhadap barang bukti dalam perkara
pidana.
4. Aspek-Aspek Yang Diteliti
a.
Mekanisme pelimpahan tersangka dan barang bukti pada Jaksa Penuntut Umum
b.
Pertimbangan hakim terhadap barang bukti
c.
Tanggung jawab yuridis jaksa penuntut umum terhadap barang bukti jenis
kayu yang rusak
5. Populasi, Sampel dan Responden
a.
Populasi
Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah semua perkara pidana
yang telah diputuskan oleh hakim pada Pengadilan Negeri Kupang baik yang sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap maupun
putusan hakim yang masih menggunakan upaya hukum.
b.
Sampel
Sampel yang digunakan adalah khusus perkara pidana yang memiliki barang
bukti jenis kayu baik putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap
maupun putusan hakim yang masih menggunakan upaya hukum.
c.
Responden
Yang
menjadi responden dalam penelitian ini adalah :
a)
Hakim :
4 orang
b)
Jaksa Penuntut Umum :
5 orang
c)
Penasehat Hukum :
4 orang
d) Saksi Korban/anggota masyarakat /
institusi
yang berhak menerima
kembali barang bukti :
5 orang
Jumlah : 18 orang
6. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan dan
mengumpulkan data dari sumber data tersebut, penulis dalam melakukan penelitian
menggunakan cara sebagai berikut :
a.
Wawancara
Metode wawancara digunakan untuk memperoleh informasi tentang hal-hal
yang tidak dapat diperoleh lewat pengamatan, akan tetapi penulis akan melakukan
cara wawancara, dimana penulis mengajukan pertanyaan kepada responden yang
dirancang sedemikian rupa sehingga responden memberikan keterangan secara bebas
dan tepat sesuai tujuan pertanyaan.
b.
Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan ini diperoleh dengan cara membaca, mempelajari dan
mengkaji buku-buku yang berhubungan erat dengan penelitian yang dilakukan
sehingga dapat memperoleh informasi yang berbentuk formal maupun data melalui
naskah resmi.
7. Pengolahan Data dan Analisis Data
Berdasarkan data yang
diperoleh dengan metode wawancara dan studi kepustakaan, maka hasil tersebut
kemudian dilakukan editing yang bertujuan untuk mengurangi kesalahan-kesalahan
didalam daftar pertanyaan dan jawaban yang sudah diselesaikan sampai seminimal
mungkin. Data yang masuk sebelum diproses harus dievaluasi terlebih dahulu agar
benar-benar valid, reliabel dan dapat dipertanggungjawabkan. Jadi, didalam
editing terjadi penyortiran data yang dapat dipisahkan antara data yang valid
dan data yang kurang valid. Tujuan dari semua ini agar didapatkan data yang
benar-benar objektif.
Langkah selanjutnya adalah
data dianalisa secara deskriptif, kualitatif yaitu menjelaskan dan menguraikan
data yang telah diperoleh dengan memberikan penafsiran yang logis dan benar
sesuai fakta yang ada
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.
Tugas dan Wewenang Polri
Dalam Proses Penyidikan
Konsep
polisi di Indonesia, selalu dipahami menurut kamus hukum Bahasa Indonesia bahwa
merupakan badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban
umum (menangkap orang-orang yang melanggar undang-undang) atau dapat pula diartikan sebagai anggota dari badan pemerintahan (pegawai
negara yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum).[1]
Demikian
pengertian polisi menurut kamus besar bahasa indonesia adalah badan pemerintah
yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (menegakan berlakunya
undang-undang dan menindak bagi siapa yang melanggarnya).[2]
Sedangkan
berdasarkan pasal 1angka 1 undang –undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang kepolisian
Negara Republik Indonesia menentukan bahwa:
“Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan
dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang –undang”.
Pada
dasarnya kepolisian Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah Republik
Indonesia yang bertugas untuk menjamin ketertiban dan tegaknya hukum sertas
membina ketenteraman masyarakat.
Demikian
pula berdasarkan pasal 1 butir 1 undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP
menentukan bahwa penyidik adalah pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia (POLRI) atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
tertentu yang diberikan wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan.
Jadi penyidik menurut KUHAP pasti adalah Polri dan penyidik Polri adalah
Pejabat Polri tertentu dengan pangkat paling rendah Ajun Inspektur Polisi II /
AIPDA yang ditunjuk/diangkat oleh Kapolri. Jadi tidak setiap anggota Polri
dengan pangkat paling rendah Aipda boleh bertindak selaku penyidik, melainkan
terbatas hanya Pejabat Polri yang diangkat atau ditunjuk oleh Kapolri untuk
menjabat selaku penyidik Polri.
1.
Tugas Polri
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri telah
mengatur tugas-tugas dari Kepolisian Republik Indonesia sebagaimana terlihat
pada pasal 13 dan pasal
14 Undang Nomor 2 Tahun 2002 tersebut.
Adapun pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
disebutkan bahwa tugas pokok Polri adalah :
a.
Memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat
b.
Menegakkan hukum
c.
Memberi perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Selanjutnya pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan sebagai berikut :
Dalam
melaksanakan tugas pokok sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 13, Kepolisian
Negara Republik Indonesia bertugas :
a.
Melaksanakan
pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan
pemerintah sesuai kebutuhan;
b.
Menyelenggarakan
segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c.
Membina masyarakat
untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta
ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
d.
Turut serta dalam
pembinaan hukum nasional;
e.
Memelihara ketertiban
dan
f.
Menjamin keamanan umum;
g.
Melakukan koordinasi,
pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap Kepolisian khusus, penyidik pegawai
negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakaarsa-,
h.
Melakukan penyelidikan
dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana
dan peraturan perundang-undangan lainnya;
i.
Menyelenggarakan
identifikasi Kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan
psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
j.
Melindungi keselamatan
jiwa raga, harta benda, masyarakat dan linkungan hidup dari gangguan ketertiban
dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia;
k.
Melayani kepentingan
warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak
yang berwenang;
l.
Memberikan pelayanan
kepada masyarakat sesuai dengan kepentingan dalam lingkup tugas kepolisian;
serta
m.
Melakukan tugas lain
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Jadi
berdasarkan tugas Polri
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa fungsi kepolisian adalah merupakaan salah
satu tugas pemerintahan negara
di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan
hukum, perlindungan, serta penganyoman dan pelayanan kepada masyarakat.
2.
Wewenang
Polri
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 wewenang
Polri dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu :
a. Wewenang yang diatur dalam pasal 15 ayat (1) yang
menentukan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum
berwenang:
a) Menerima laporan dan/atau pengaduan;
b) Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat
yang dapat mengganggu ketertiban umum;
c) Mencegah dan menangulangi penyakit masyarakat;
d) Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan
atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
e) Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup
kewenangan administratif kepolisian;
f) Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari
tindakan kepolisaian daalam rangka pencegalian;
g) Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
h) Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta
memotret seseorang;
i)
Mencari
keterangan dan barang bukti;
j)
Menyelenggarakan
Pusat Informasi Kriminal Nasional;
k) Mengeluarkan surat ijin dan/atau surat keterangan yang
diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;
l)
Memberiakan
bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan
instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
m) Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara
waktu.
b. Wewenang yang diatur dalam Pasal 15 ayat (2)
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 yang menyebutkan bahwa: Kepolisian Negara
Republik Indonesia sesuai dengan peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya
berwenang:
a)
Memberi ijin dan
mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainya;
b)
Menyelenggarakan
registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
c)
Memberikan Surat
ijin nmengemudi kendaaraan bermotor;
d)
Menerima pemberitahuan
tentang, kegiatan politik;
e)
Memberikan ijin
dan melakukan pengawasan senjata api, bahkan peledak dan senjata tajam;
f)
Memberikan ijin
operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha dibidang jasa
pengamanan;
g)
Memberikan
petunjuk, mendidik dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan
swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
h)
Melakukan
kerjasama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantaskejahatan
internasional;
i)
Melakukan
pengawasan fungsional kepolisian terhadap prang asing di wilayah Indonesia
dengan koordinasi instansi terkait;
j)
Mewakili
Pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian Internasional;
k)
Melaksanakan
kewenangan lain yang tennasuk dalam lingkup tugas kepolisian.
c.
Wewenang yang
diatur dalam pasal 1 ayat (4) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 menyebutkan bahwa
dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 13 dan 14 di
bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang, untuk:
a)
Melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
b)
Melarang setiap
orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan
penyidikan;
c)
Membawa dan
menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
d)
Menyuruh
berhenti orang yang dicurigai dan menanyaakan serta memeriksa tanda pengenal
diri;
e)
Melakukan
pemeriksaan clan penyitaan Surat;
f)
Memanggil orang
untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g)
Mendatangkan
orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h)
Mengadakan
penghentian penyidikan;
i)
Menyerahkan
berkas perkara kepada penuntut umum;
j)
Mengajukan
permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat
pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau
menangkal orang, yang disangka melakukan tindak pidana;
k)
Memberi petunjuk
dan bantuan penyidikan kepada penyidik Pegawai Negeri Sipil serta mencrima
hasil penyidikan, penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada
penuntut umum;dan
l)
Mengadakan
tindakan lain menurut hokum yang bertanggung jawab.
Lepas dari tiga macam kewenangan Polri sesuai
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tersebut di atas, maka kewenangan Polri juga
telah diatur secara paten menurut Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP, dimana diatur kewenangan Polri sebagai
penyelidik dan penyidik.
Berdasarkan pasal 1 angka 4 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana menyebutkan bahwa:
"Penyelidik
adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu
dapat melakukan togas penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini".
Sedangkan yang dimaksud dengan tindakan penyelidikan
adalah berdasarkan pasal 1 angka 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
menyebutkan bahwa:
"Penyelidikan
adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini".
Sebagai penyelidik, maka berdasarkan pasal 5 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Polri berwenang:
1)
Karena
kewajibannya mempunyai wewenang:
(1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang
adanya tindak pidana;
(2) Mencari keterangan dan barang bukti;
(3) Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan
menanyakan Berta memeriksa tanda pengenal diri;
(4) Mengadakan tindakan lain menurut hokum yang
bertanggung jawab.
2)
Atas perintah penyidik
dapat melakukan tindakan berupa:
(1)
Penangkapan,
larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;
(2)
Pemeriksaan dan
penyitaan surat;
(3)
Mengambil sidik jari
dan memotret seseorang;
(4)
Membawa dan
menghadapkan seseorang pada penyidik.
Berdasarkan pasal 1 angka, 1 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana menyebutkan bahwa:
"Penyidik
adalah Pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri
Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan.
Dalam hal ini pejabat penyidik tidak hanya Polri saja,
namun berkaitan dengan tujuan penelitian, maka penulis hanya menitik beratkan
pada pejabat Polri saja.
Pengertian penyidikan diatur dalam pasal 1 angka 2
Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ;
"Penyidikan
adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya".
Penyidikan merupakan tindak lanjut dari penyelidikan.
Sebagai penyidik, pejabat Polri memiliki beberapa kewenangan yang termuat dalam
pasal 7 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang
menyatakan sebagai berikut:
Penyidik
karena kewajibannya mempunyai wewenang:
a)
Menerima laporan
atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
b)
Melakukan
tindakan pertania pada saat di tempat kejadian;
c)
Menyuruh
berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d)
Melakukan
penangkapan, penabanan, penggeledahan dan penyitaan;
e)
Melakukan
pemeriksaan dan penyitaan surat;
f)
Mengambil sidik
jari dan memotret surat;
g)
Memanggil orang
untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h)
Mendatangkan
orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i)
Mengadakan
penghentian penyidikan;
j)
Mengadakan tindakan
lain menurut hukum
yang bertanggung jawab.
3. Proses Penyidikan Menurut KUHAP
Dengan
berlakunya KUHAP maka terjadi
perubahan fundamental di dalam hukum acara pidana, karena hukum acara pidana
yang baru ini merupakan
realisasi cita-cita hukum
nasional yang memuat azaz-azaz yang
tercermin dalam Pancasila
dan
Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 hak asasi
manusia dijunjung tinggi dan menjamin warga negara persamaan kedudukan di dalam
hukum dan pemerintahan, serta menjunjung hukum
dan pemerintahan itu tanpa kecualinya. Pembangunan dalam bidang hukum dengan membuat dan
menyernpurnakan Undang-undang ditingkatkan dengan unifikssi dan kodifikasi,
yang dalam bidang hukum Acara Pidana, bertujuan agar masyarakat dapat
menghayati hak dan kewajibannya dan agar dapat ditingkatkan pembinaan sikap
para penegak hukum sesuai dengan fungsi dari
wewenang
masing-masing ke arah tegak dan mantapnya hukum dengan
keadilan dan perlindungan terhadap hak azazi harkat dan martabat manusia serta
ketertiban dan kepastian hukum.
Materi hukum acara pidana yang diatur di dalam KUHAP sangat berbeda dengan HIR, oleh
karena itu tejadi perubahan yang fundamental di dalam sistem peradilan pidana
yang mempengaruhi pula sistim penyidikan. Perubahan fundamental tersebut dalam bidang penyidikan antara lain sebagai berikut :
1) Sistim peradilan pidana, yang mengutamakan
perlinduagan hak-hak azazi manusia dimann masyarakat dapat menghayati hak dan
kewajibannya, yang dalam bidang penyidikan dinyatakan antara lain dengan
menjamin hak-hak tersangka clan perlakuan terhadap tersangka secara layak dan
sebagai subyek.
2) Peningkatan pembinaan sikap para petugas penegak hukum
sesuai dengan wewenang dan fungsi masing-masing dengan pebidangan tugas,
wewenang dan tanggung jawab. Pembidangan tersebut tak berarti
mengkotak-kotakkan tugas, wewenang dan tanggung jawab tapi mengandung
koordinasi dan singkronisasi.
3) Kedudukan Polri sebagai penyidik yang mandiri tak
dapat terlepas dari fungsi penuntutan dan pengadilan, dimana terjalin adanya
hubungan koordinasi fungsional dan instasional serta adanya singkronisasi.
4) Polri sebagai penyidik utama wajib mengkoordinasikan
penyidik pejabat pegawai negeri sipil dengan memberikan pengawasan, petunjuk dan
bantuan.
5) Adanya pembatasan wewenang yang lebih sempit dan pengawasan
yang lebih ketat bagi penyidik demi penegakkan hukum dan perlindungan hak azazi.
6) Kewajiban penyidik untuk memberikan perlakuan yang
layak disertai kewajiban memberikan perlindungan dan pengayoman, misalnya dalam
hal terdakwa tak mampu dan tak mempunyai penasehat hukum.
7)
Pembatasan
wewenang dan pengketatan terhadap penyidik yang dilengkapi dengan pendampingan
oleh pembela kepada tersangka yang diperiksa.
Dengan
berlakunya KUHAP, maka Polri bertindak
sebagai penyidik utama, maka harus diadakan koordinasi fungsional dan
intansional dalam rangka memperlancar pelaksanaan
tugas antara lain
hubungan penyidik dengan penuntut umum seperti diuraikan di dalam beberapa
pasal;
Ø Pasal
109 ayat 1
bahwa sejak diadakan penyidikan maka penyidik harus memberitahu pada penuntut umum.
Ø Pasal
24 ayat 2 perpanjangan waktu penahanam
Ø Apabila
penyidik menghentikan penyidikan maka penyidik harus memberitahu pada penuntut umum (pasal
109 ayat 2)
Setelah penyidikan selesai,
maka penyidik harus menyerahkan
hasilnya kepada penuntut umum.
Ø Apabila
hasil penyidikan belum sempurna maka penuntut umum mengembalikannya kepada
penyidik disertai petunjuk hal-hal yang perlu diperbaiki.
Dengan ditetapkan polri sebagai penyidik utama, maka
rantai dari penyidikan dipersingkat dan tidak banyak aparat yang turut campur di dalam
melakukan penyidikan.
Dalam
KUHAP dibedakan antara penyidik dengan penyelidikan, yaitu.:
Penyelidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang guna mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka,
adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
diakukan penyidikan menurut cara yang teratur dalam undang-undang.
Penyelidikan bukanlah merupakan fungsi yang berdiri
sendiri terpisah dari fungsi penyidikan, melainkan hanya merupakan salah satu
cara atau metode atau sub dari fungsi penyidikan, yang mendahului tindakan lain
yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanai4 pemeriksaan Surat,
pemanggilan, tindakan pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara
kepada penuntut umum. Oleh karena itu dengan ditetapkan Polri sebagai penyidik
dan penyelidik utama, maka penuntut umum tidak mempunyai wewenang untuk
mengadakan penyidikan dan penyelidikan.
B. Peranan Jaksa Dalam Sistem Peradilan Pidana
1.
Pengertian
Kejaksaan
Kejaksaan adalah lembaga
pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara terutama di bidang penuntutan dalam tata susunan kekuasaan badan-badan
penegak hukum dan keadilan, dipimpin oleh Jaksa Agung yang bertanggung jawab
langsung kepada presiden.[3]
Keberadaan Kejaksaan Republik Idonesia tidak diatur secara tegas (eksplisit) dalam
Undang-undang Dasar 1945 sebelum perubahan, melainkan hanya tersirat
(implisit). Pengaturannya dalam Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar
1945 berbunyi :
"Segala
badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini".
Demikian juga, dalam UUD 1945 sesudah perubahan hanya
tersirat dalam Pasal 24 ayat (3), dan dalam Pasal II Aturan Peralihan. Pasal 24
ayat (3) mengatur bahwa "Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan
Kekuasaan Kehakiman diatur dalam undang-undang". Kemudian Pasal II Aturan
Peralihan mengatur bahwa : "Semua Lembaga Negara yang ada masih hidup
tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang Dasar dan
belum diadakannya yang baru menurut Undang-undang Dasar ini".
Perubahan mendasar terjadi setelah keluar Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menggantikan dan
mencabut Undang-undang Nomor 5 tahun 1991, didalam konsideran Menimbang
dinyatakan : “Bahwa untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan
Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan
negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun”.
Kedua undang-undang ini menunjukan bahwa eksistensi
Kejaksaan Republik Indonesia dalam upaya penegakan hukum tidak bisa diabaikan.
Ini adalah karena disamping secara normatif ada yang mengatur, juga dalam
tataran faktual, masyarakat menghendaki lembaga / aparat penegak hukum
benar-benar berperan. sehingga terwujud rasa keadilan, kepastian hukum, dan
kemanfaatan hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kedudukan serta fungsi kejaksaan sangat rentan oleh
sistem ketatanegaraan atau corak pemerintahan yang dianut. Misalnya, pada masa
penjajahan Belanda dan Jepang, kejaksaan semata-mata merupakan alat kekuasaan
atau perpanjangan tangan penguasa pada saat itu. Begitu juga pada masa
pemerintahan setelah kemerdekaan, kejaksaan seharusnya merupakan sarana untuk
melindungi dan mengayomi masyarakat, tetapi malah terkesan sebaliknya, khususnya
dalam penanganan perkara subversi, pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia
(HAM), dan tindak pidana korupsi dalam kasus-kasus tertentu.
Secara universal, posisi dan fungsi kejaksaan di berbagai
belahan dunia hampir tidak berbeda, merupakan bagian dari fungsi penegakkan
hukum dari suatu negara. Di Indonesia Kejaksaan Republik Indonesia
merupakan salah sate institusi penegak hukum yang
kedudukannya berada di lingkungan kekuasaan eksekutif (pemerintah) yang berfungsi melaksanakan kekuasaan
negara di bidang penuntutan, sebagaimana secara tegas ditetapkan dalam pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia, disamping melaksanakan fungsi kekuasaan lain yang diberikan oleh
undang-undang.
Fungsi kejaksaan sesuai dengan Undang-undang Nomor 16
tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia mencakup aspek preventif dan aspek represif dalam kepidanaan serta Pengacara Negara dalam keperdataan
dan Tata Usaha Negara. Aspek preventif
berupa peningkatan kesadaran hukum masyarakat, pengamanan penegakan hukum,
pengamanan peredaran barang cetakan, pengawasan aliran kepercayaan, pencegahan
penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, penelitian dan pengembangan hukum serta
statistik kriminal.
Aspek represif
melakukan penuntutan dalam perkara pidana, melaksanakan penetapan hakim dan
putusan pengadilan, melakukan pengawasan terhadap keputusan pelepasan
bersyarat, melengkapi berkas perkara tertentu yang berasal dari Penyidik Polri
atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Menurut Soerjono Soekanto,[4]
bahwa : Hukum dan penegakan hukum, merupakan sebagian faktor penegakan hukum
yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak
tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.
Oleh karena itu, keberadaan Kejaksaan Republik
Indonesia, sebagai institusi penegak
hukum, mempunyai kedudukan yang sentral dan peranan yang strategis didalam
suatu negara hukum karena institusi kejaksaan menjadi filter antara proses
penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan, sehingga keberadaannya dalam
kehidupan masyarakat harus mampu mengemban tugas penegakan hukum.
Secara filosofis, gambaran Jaksa / Penuntut Umum
adalah figur seseorang yang profesional, berintegritas dan disiplin. Jaksa
diharuskan berpedoman pada doktrin yang dinamakan Tri Karma Adhyaksa yaitu Satya ; kesetiaan yang bersumber pada
rasa jujur baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan
keluarga maupun kepada sesama manusia; Adhi ; kesempurnaan dalam bertugas dan berunsur
utama pemilikan rasa tanggung jawab, bertanggung jawab baik terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, terhadap keluarga dan terhadap sesama manusia; Wicaksana ; bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku khususnya
dalam pengentrapan kekuasaan dan kewenangannya, yang harus dipatuhi.
Doktrin Tri Karma Adhyaksa yang dijabarkan dalam Kode
Etik Jaksa, sebagai tuntutan tata pikir, tata tutur dan tata laku dalam mewujudkan
jati diri jaksa mandiri yang memiliki kemampuan profesional, integritas pribadi
dan disiplin tinggi dalam mengemban bakti profesi kepada masyarakat, bangsa dan
negara.
Gambaran figur Jaksa / Penuntut Umum yang berlaku umum
perlu diuji kemungkinan aplikasinya melalui suatu sistem, karena disadari atau
tidak, bahwa seorang Jaksa yang juga seorang manusia biasa, yang tidak mungkin
lepas dari suatu kesalahan dan atau kekeliruan dalam melaksanakan tugasnya,
baik itu dari teknis yuridisnya yaitu apakah prosedur penyidikan,
penyelidikan, dakwaan dan penuntutan sudah sesuai dengan undang-undang yang
berlaku, maupun dari sudut administrasi perkara, apakah dalam penyusunan berkas
perkara Jaksa/Penuntut Umum sudah secara lengkap dari mulai pra penuntutan
sampai eksekusi dalam satu berkas perkara, dan tidak menutup kemungkinan ada
sebagian kecil dari Jaksa/Penuntut Umum dalam kenyataannya melaksanakan
tugasnya tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik itu
dari sudut teknis yuridis maupun administrasi perkara.
Fungsi Kejaksaan dalam penegakan hukum berkaitan
dengan penanganan perkara lebih dipandang bukan sebagai pelaksana kekuasaan
negara, tetapi sebagai alai perpanjangan tangan penguasa untuk menindak rakyat
atau masyarakat.
Martin Basiang mengatakan bahwa,[5]
sorotan tajam masyarakat tersebut tidak sepenuhnya dapat disalahkan, mengingat
kedudukan kejaksaan oleh undang-undang dinyatakan sebagai lembaga pemerintah
yang melaksanakan penuntutan. Sepanjang kedudukan kejaksaan bukan sebagai
pelaksana kekuasaan negara di bidang penegakan hukum, maka sorotan tajam dan
tudingan miring terhadap penanganan suatu perkara selamanya akan tetap dinilai
bernuansa politik. Hal ini akan memungkinkan pula munculnya intervensi dari
pihak-pihak lain terhadap kebijakan penuntutan.
Akuntabilitas (keterbukaan) sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi
terjadinya deviasi (penyalahgunaan) kewenangan oleh aparat kejaksaan saat
menjalankan tugas dan wewenangnya menegakan hukum. Untuk menciptakan
akuntabilitas dimaksud, perlu dilakukan pengawasan agar terbentuk aparat yang bersih,
penuh tanggung jawab, baik secara moral, agama, dan hukum dalam menjalankan tugas
dan wewenangnya. Pada dasarnya pertanggungjawaban kejaksaan adalah pertanggungjawaban
institusi kejaksaan dan pertanggungjawaban jaksa perorangan, dilihat dari
persoalan-persoalan tersebut di atas, maka eksaminasi perkara merupakan suatu
sarana yang sangat penting untuk dapat meneliti dan menilai kinerja
Jaksa/Penuntut Umum, apabila ditemukan adanya kesalahan, kekeliruan yang
dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum.
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, alinea
ke-empat dijumpai kata-kata "Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu
pemerintaban negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial, .....dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia".
Semuanya itu merupakan dasar bahwa Indonesia adalah
negara hukum, karena memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak
asasi manusia dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan pendidikan.
Tujuan hukum menjadi tujuan dan isi dari suatu negara
hukum. Indonesia, sebagai suatu negara hukum, memiliki tujuan hukum untuk
menciptakan keadilan, kepastian hukum, dan kesejahteraan bagi rakyat.
Eksistensi (kedudukan
dan fungsi) kejaksaan dalam proses penegakan hukum, berorientasi pada
pencapaian tujuan hukum, yaitu kepastian hukum, keadilan dan kesejahteraan
(manfaat/faedah/hasil guna), mengenai tujuan hukum tersebut, B. Arief Sidharta,
mengatakan bahwa :
Merupakan cita
hukum bangsa Indonesia yang berakar dalam Pancasila, yang dinyatakan di dalam
alinea keempat Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang menjadi landasan
filsafah dalam menata kerangka dan struktur dasar organisasi negara. Cita hukum
tersebut mencerminkan tujuan negara serta nilai-nilai dasar yang tercantum
dalam Undang-undang Dasar 1945.
Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor
16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, menyatakan bahwa :
“Kejaksaan
adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”
Berdasarkan pasal tersebut di atas, maka kedudukan Kejaksaan
Republik Indonesia adalah sebagai lembaga penuntutan yang berperan sangat
penting dalarn upaya penegakan hukum, khususnya di bidang hukum pidana.
Selanjutnya mengenai pengertian Jaksa menurut Pasal I
butir 1 Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
mengatakan bahwa :
Jaksa adalah
pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai
penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
Menurut Pasal I butir 2 Undang-undang Nomor 16 tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang dimaksud Jaksa Penuntut Umum
adalah :
Penuntut umum adalah
jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penuntutan
dan melaksanakan penetapan Hakim.
Selanjutnya, mengenai wewenang Jaksa Penuntut Umum
diatur lebih lanjut dalam Pasal 14 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), yaitu :
1.
Menerima dan
memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik tertentu,
2.
Mengadakan pra penuntutan
apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110
ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan
dari penyidik,
3.
Memberikan perpanjangan
penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status
tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik,
4.
Membuat surat
dakwaan,
5.
Melimpahkan
perkara ke pengadilan,
6.
Menyampaikan
pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara
disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada
saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan,
7.
Melakukan
penuntutan,
8.
Menutup perkara
demi kepentingan hukum,
9.
Mengadakan
tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut, umum
menurut ketentuan undang-undang ini,
10. Melaksanakan penetapan hakim
Sehubungan dengan wewenang penuntutan di atas, maka
dalam hukum acara pidana di Indonesia dikenal dua asas penuntutan yaitu :
1. Asas Legalitas ; yaitu penuntut umum diwajibkan
menuntut semua orang yang dianggap cukup alasan bahwa yang bersangkutan telah
melakukan pelanggaran hukum..
2. Asas Oportunitas ; yaitu penuntut umum tidak
diharuskan menuntut seseorang, meskipun yang bersangkutan sudah jelas melakukan
suatu tindak pidana yang dapat dihukum.
Mengenai penuntutan menurut ketentuan Pasal 1 butir 7
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa :
"Penuntutan
adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke penagadilan
negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di
sidang pengadilan".
Untuk melaksanakan tugas penuntutan tersebut, maka
diperlukan adanya suatu pengawasan yang terkoordinasi, sebagaimana dulu diatur
dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 15 tahun 1961 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, Jaksa Agung adalah Penuntut Umum Tertinggi,
untuk kepentingan penuntutan perkara Jaksa Agung dan jaksa-jaksa lainnya dalam
lingkungan daerah hukumnya memberikan petunjuk-petunjuk, mengkoordinasikan dan
mengawasi alatalat penyidik dengan mengindahkan hierarki, Jaksa Agung memimpin
dan mengawasi para Jaksa dalam melaksanakan tugasnya.
Selanjutnya menurut Pasal 38 Undang-undang Nomor 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, mengatakan bahwa :
"Untuk
meningkatkan kualitas kinerja kejaksaan, presiden dapat membentuk sebuah komisi
yang susunan dan kewenangannya diatur oleh Presiden".
Dalam ketentuan pasal 284 Keputusan Jaksa Agung
Republik Indonesia Nomor 115 tahun 1999 tentang Sususan Organisasi dan Tata
Organisasi Kejaksaan Republik Indonesia, yang berbunyi:
"Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada pasal 284, sub direktorat
keamanan, ketertiban umum dan tindak pidana umum lainnya mengelenggarakan fungsi
:
1.
Penyelenggaraan pengkajian
terhadap segi teknis administrasi dan penerapan hukum dalam menangani perkara
tindak pidana umum mulai dari pemberian petunjuk kepada penyidik sampai dengan eksekusi.
2.
Pelaksanaan urusan
administrasi dan dokumentasi.
Untuk melaksanakan pengawasan terhadap jaksa penutut
umum dalam melaksanakan penuntutan tindak pidana perlu adanya peraturan yang mengatur
mengenai pelaksanaan eksaminasi sebagaimana diatur dalam pasal 556 huruf c
Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 115 tahun 1999 tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia yang menyebutkan. bahwa:
Pelaksanaan
eksaminasi terhadap pelaksanaan tugas jaksa penuntut umum atas penanganan
perkara tindak pidana umum.
Istilah eksaminasi berasal dari bahasa ingris yaitu exsamination yang
berarti ujian atau pemeriksaan. Apabila dihubungkan dengan konteks eksaminasi
terhadap produk pengadilan (dakwaan, putusan hakim, surat perintah), makna
eksaminasi berarti melakukan pengujian atau pemeriksaan terhadap produk-produk
tersebut.
Eksaminasi sering disebut dengan istilah legal anatation, yaitu pemberian catatan-catatan hukum terhadap putusan pengadilan
maupun dakwaan jaksa penutut umum. Pengawasan internal yaitu pengawasan dari
institusi penegak hukum seperti badan peradilan (yang dikoordinasikan oleh
Kejaksaan Agung).
Pengawasan internal yaitu pengawasan yang dilakukan
dalam anggota masyarakat, hal ini dilakukan atas dasar bahwa masyarakat
pemegang hak kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Bentuk pengawasan
masyarakat terhadap kinerja kerja aparatur penegak hukum, khususnya jaksa
pentunt umum dapat dilakukan dengan cara pembentukan jaringan, majelis dan
segala bentuk keorganisasian untuk penegakan aparatur penegak hukum khususunya
Jaksa Penuntut Umum.
Pemikiran terhadap perlunya pengawasan masyarakat yang
lebih luas ini sebagai suatu perwujudan dari pembangunan hukum nasional, namun
perubahan perubahan ini terus senantiasa melalui koridor dan etika yang baik,
sehingga citra penegakan hukum diharapkan menuju kearah yang lebih baik.
Pemikiran ini sesuai dengan uraian Mochtar Kusumaatmadja:[6]
"semua masyarakat yang sedang membangun diceriakan oleh
perubahan………..peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa
perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur".
Salah satu bentuk terhadap penyelenggaraan negara
dapat diwujudkan dalam bentuk pengujian (eksaminasi) terhadap produk penyelenggaraan
negara, salah satunya yaitu kinerja jaksa penuntut umum, wujud dan pengawasan
tersebut (baik internal maupun eksaminasi) dapat dilakukan dalam bentuk
eksaminasi terhadap produk-produk yang dihasilkan aparatur penegak hukum
seperti putusan hakim, surat dakwaan, surat penggeledahan dan lain sebagainya.
Berdasarkan Keputusan Presiders Republik Indonesia
Nomor 86 tahun 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik
Indonesia, Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan bahwa :
“kejaksaan
adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara terutama di bidang
penuntutan dalam tata susunan kekuasaan badan-badan penegak hukum dan keadilan,
dipimpin oleh Jaksa Agung yang bertanggung jawab langsung kepada presiden”.
Rumusan tersebut menegaskan kedudukan kejaksaan
sebagai satu-satunya lembaga penuntutan yang berperan sangat penting dalam
upaya penegakan hukum, khususnya di bidang hukum pidana. Jaksa sebagai pejabat
yang diberi wewenang untuk bertindak selaku penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan
memainkan peran yang sangat penting, mengingat peran yang sangat penting itu
pula, seorang jaksa dituntut untuk dapat bekerja secara profesional sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Menurut pandangan pemikiran cendikiawan kejaksaan
yaitu Dr. Saherodji, menjelaskan bahwa: Kata Jaksa berasal dari bahasa
sansekerta yang berarti pengawas (superintendant) atau pengontrol, yaitu
pengawas soal-soal kemasyarakatan.
Sesuai dengan Lampiran Surat Keputusan Jaksa Agung Republik
Indonesia No. Kep.047/J.A/1987, tanggal 17 Juli tahun 1978, mengatakan bahwa
pengertian jaksa adalah:
Jaksa asal kata
dari seloka satya adhy wicakasana yang merupakan trapsila adiyaksa yang menjadi
landasan jiwa dan raihan cita-cita setiap warga adiyaksa dan mempuyai arti
serat makna sebagai berikut: Satya,
kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap, Tuhan Yang
Malia Esa, terhadap, diri pribadi dan keluarga maupun terhadap sesama manusia. Adhy, kesempurnaan dalam bertugas dan
yang berunsur utama kepemilikan rasa tanggungjawab baik terhadap Tuhan Yang
Maba Esa, keluarga baik terhadap sesama manusia. Wicaksana, kebijaksaan dalam tutur kata dan
tingkah laku khususnya dalam penerapan kekuasaan dan kewenangannya.[7]
Dahulu "adiyaksa" tidaklah sama tugasnya
dengan tugas utama "penuntut umum” dewasa ini. Lembaga penuntut umum
seperti sekarang ini tidak bertugas sebagai hakim, tetapi keduanya mempunyai
persamaan tugas yaitu penyidikan perkara, penuntutan, dan melakukan tugas
sebagai "hakim komisaris".
Di dalam pasal 1 butir 6 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981
disebutkan bahwa:
1. Jaksa adalah pejabat yang diberi berwenang oleh undang undang ini untuk bertindak
sebagai penutut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
2. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan ketetapan hakim.
Bahwa Undang-undang Nomor 15 tahun 1961 tentang
KetentuanKetentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, LN 1961 No. 254 dan
Undang-undang No. 255, sudah tidak sesuai lagi dengan pertumbuhan dan perkembangan
hukum serta ketatanegaraan Republik Indonesia, oleh karenanya undang-undang
tersebut harus dicabut dan kemudian dibentuk Undang-undang yang baru sebagai
penggantinya, yaitu dengan keluarnya Undang-undang No. 5 tahun 1991, dan
kemudian Undang-undang ini pun diperbaharui dan dicabut yang kemudian
digantikan dengan undang-undang No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
LN 2004 No.67 yang berlaku mulai tangal 26 Juli 2004.
Undang-undang No.16 tahun 2004 yakni dari pasal 30
sampai pasal 37 mengatur ketentuan-ketentuan tugas dan wewenang kejaksaan,
antara lain:
1. Di bidang pidana, melakukan penututan, melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan,
pengawasan terhadap putusan lepas bersyarat, melengkapi berkas dengan melakukan
pemeriksaan tambahan.
2.
Di bidang
perdata dan tata usaha negara dengan kuasa khusus mewakili negara dan
pemerintah.
3. Di bidang ketertiban dan ketenteraman umum, pengamanan kebijakan hukum, pengawasan aliran kepercayaan yang dapat
membahayakan masyarakat dan negara, pencegahan penyalahgunaan atau penodaan
agama, penelitian pengembangan hukum serta statistik kriminal.
4. Tugas lainnya diantaranya menempatkan terdakwa di rumah sakit, memberi
pertimbangan hukum pada instansi-instansi, pembinaan hubungan sesama aparat
penegak hukum.
Secara khusus Pasal 35 Undang-Undang No.16 tahun 2004,
memuat kewenangan dan tugas jaksa agung selain dari pernimpin instansi
kejaksaan, yakni;
1. Mengendalikan kebijakan penegakan hukum.
2. Mengefektifkan proses penegakan hukum.
3. Mementingkan perkara demi kepentingan umum.
4. Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum
5. Mengajukan pertimbangan teknis kepada Mahkamah Agung dalam kasasi
perkara-perkara pidana.
6. Mencegah dan menangkal orang tertentu masuk atau keluar wilayah Negara
Republik Indonesia karena keterlibatan dalam suatu perkara pidana, dan
7.
Memberi izin berobat tersangka atau
terdakwa di dalam dan atau di luar negeri.
Dalam
Lembaga Kejaksaan terdapat
pemisahan penyidik dan penutut umum untuk menghindari dualisme, dalam
penyelidikan perlu pertimbangan-pertimbangan
yang betul-betul dapat dipertangungjawabkan
dari segi rasional, efisien
dan efektifitas yang seharusnya dengan asas sederhana, cepat dan murah. Maka
pemisahan penyidik dengan tuntutan untuk menghindari dualisme penyelidikan
adalah tidak efisien
dan efektif.
Keberhasilan
penuntutan tidak terlepas dari hasil
penyelidikan dan sebaliknya kegagalan penuntutan dapat terjadi karena hasil
penyelidikan yang tidak memadai. Ini memperlihatkan adanya hubungan yang erat
penyidik dengan penuntut.
Maka
dapat disimpulkan bahwa tugas dan wewenang jaksa sebagai penyidik tidak meliputi semua
tindak pidana, namun hanya tindak pidana khusus saja, seperti tindak pidana
korupsi yang diatur dalam Pasal
2 Undang-undang No.
20 tahun 2001, tindak pidana ekonomi dan sebagainya. Dan ini sesuai dengan
pengertian yang terdapat pada Pasal 284 ayat (2) KUHAP, dan sesuai dengan Pasal
32 Undang-undang No. 16 tahun 2004 yang menyatakan : Bahwa disamping tugas dan
wewenang tersebut dalam Undang-undang ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan
wewenang lain berdasarkan undang-undang.
Jaksa yang kita kenal dewasa ini bukan merupakan hal
yang baru bagi Indonesia. Kata tersebut berasal dari bahasa sansekerta "adhyaksa"
dapat dilihat dari beberapa pendapat para sarjana
diantaranya :
1.
Menurut Sutanto
Kartoatmodjo :[8]
bahwa, yang dimaksud dengan adhyaksa adalah superintendant atau superintendance.
2.
Menurut W. F.
Stutterheim :[9]
pengawasan dalam urusan kependetaan, baik agama Budha maupun Syiwa dan
mengepalai kuil-kuil yang didirikan di sekitar istana. Di samping itu juga
bertugas sebagai hakim, dan sebagai demikian ia berada di bawah pemerintah
serta pengawasan mahapati.
Dari arti kata yang diungkapkan di atas jelas bahwa
sejak dahulu Jaksa merupakan suatu jabatan yang mempunyai kewenangan luas.
Fungsinya senantiasa dikaitkan dengan bidang yudikatif bahkan pada masanya
dihubungkan pula dengan bidang keagamaan. Khususnya yang menyangkut bidang
keagamaan ini sangat menarik jika dihubungkan dengan bidang tugas yang
ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (3) Undangundang Nomor 15 Tahun 1961 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia.
Pada Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia, ditentukan bahwa Jaksa adalah
"pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukun serta wewenang lain berdasarkan undangundang".
Selanjutnya menurut Pasal 1 butir 2 Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang dimaksud Jaksa
Penuntut Umum adalah : "Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang
oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan
Hakim".
Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan hares
bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni dilaksanakan secara merdeka
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.
Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum
dituntut lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan
kepentingan umum, penegakkan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN).
2.
Fungsi dan
Kedudukan Kejaksaan
Secara universal, posisi dan fungsi kejaksaan di
berbagai belahan dunia hampir tidak berbeda, merupakan bagian dari fungsi
penegakkan hukum dari suatu negara. Di Indonesia Kejaksaan Republik Indonesia
merupakan salah satu institusi penegak hukum yang kedudukannya berada di
lingkungan kekuasaan eksekutif (pemerintah) yang berfungsi melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan, sebagaimana secara tegas ditetapkan
dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, disamping melaksanakan fungsi kekuasaan lain yang diberikan
oleh undang-undang.
Fungsi kejaksaan sesuai dengan Undang-undang Nomor 16
tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia mencakup aspek preventif dan aspek represif dalam kepidanaan serta Pengacara Negara dalam keperdataan
dan Tata Usaha Negara. Aspek preventif,
berupa peningkatan kesadaran hukum masyarakat, pengamanan kebijakan penegakan
hukum, pengamanan peredaran barang cetakan, pengawasan aliran kepercayaan,
pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, penelitian dan pengembangan
hukum serta statistik kriminal.
Aspek represif
melakukan penuntutan dalam perkara pidana, melaksanakan penetapan Hakim dan
putusan pengadilan, melakukan pengawasan terhadap keputusan pelepasan
bersyarat, melengkapi berkas perkara tertentu yang berasal dari Penyidik Polri
atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Kedua aspek fungsi kejaksaan tersebut menjadi acuan dalam
pengorganisasian tugas-tugas operasional, berintegritas dan disiplin.
Menyangkut keperdataan dan tata usaha negara sebagai pengacara negara dengan
kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar Pengadilan untuk dan atas
nama negara atau pemerintah.
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, menurut Pasal
24 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945, ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Ketentuan mengenai badan-badan lain
tersebut dipertegas dalam Pasal 41 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menyatakan : "Bahwa badan-badan lain yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Kejaksaan Republik Indonesia, dan badan-badan lain yang diatur dengan undangundang".
Selanjutnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 2 menegaskan bahwa :
1. Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang‑undang ini
disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara
di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
2. Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara
merdeka.
3. Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan tidak
terpisahkan.
Mencermati isi Pasal 2 Undang-undang Nomor 16 Tahun
2004 di atas, dapat diidentifikasi beberapa hal, yaitu :
1. Kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan,
2. Kejaksaan melakukan kekuasaan (kewenangan) di bidang penuntutan dan
kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
3. Kekuasaan (kewenangan) itu dilakukan secara merdeka.
4. Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan.
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor
16 tahun 2004 dijelaskan bahwa Kejaksaan adalah satu-satunya lembaga
pemerintahan pelaksana kekuasaan negara yang mempunyai tugas dan wewenang di
bidang penuntutan dalam penegakan hukum dan keadilan di lingkungan peradilan umum.
Kemudian penjelasan Pasal 2 ayat (2) menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan "secara merdeka" dalam ketentuan ini
adalah dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Serta penjelasan Pasal 2 ayat (3)
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan "kejaksaan adalah satu dan tidak
terpisah-pisahkan" adalah landasan pelaksanaan tugas dan wewenangnya di
bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang
penuntutan, sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir,
tata laku, dan tata kerja kejakasaan. Oleh karena itu, kegiatan penuntutan di
pengadilan oleh kejaksaan tidak akan berhenti hanya karena Jaksa yang semula
bertugas berhalangan. Dalam hal demikian, tugas penuntutan oleh kejaksaan akan
tetap dilakukan sekalipun oleh Jaksa pengganti.
Dalam Penjelasan Umum Undang-undang tersebut,
diuraikan bahwa pembaharuan undang-undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
dimaksudkan untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik
Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni yang
dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan
pengaruh kekuasaan lainnya, kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum
dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan
kepentingan umum, penegakkan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Oleh karena itu perlu dilakukan penataan kembali
terhadap kejaksaan untuk menyesuaikan dengan perubahan-perubahan tersebut di
atas.
Bila ketiga undang-undang mengenai kedudukan Kejaksaan
Republik Indonesia dalam penegakan hukum di Indonesia dikomparasi, tampak ada
beberapa kesamaan namun ada pula perbedaan, yaitu :[10]
1.
Kesamaan ketiga
undang-undang kejaksaan (Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004, Undang-undang Nomor
5 Tahun 1991, dan Undangundang Nomor 15 Tahun 1961) berkaitan dengan kedudukan
kejaksaan adalah Pertama, kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan; Kedua,
kejaksaan melakukan kekuasaan (kewenangan) utama di bidang penuntutan.
2.
Kesamaan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 yakni
Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melakukan kekuasaan negara di bidang
penuntutan. Berbeda dari pengaturan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 yang
menegaskan bahwa kejaksaan adalah alat negara penegak hukum yang terutama
bertugas sebagai penuntut umum.
3.
Perbedaan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 dengan Undangundang Nomor 5 Tahun 1991 dan
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 terletak pada unsur bahwa "kekuasaan
(kewenangan) itu dilakukan secara merdeka". Undang-undang Nomor 16 Tahun
2004 mengatur dengan tegas bahwa kejaksaan memilih kemerdekaan dan kemandirian
dalam melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan, sedangkan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1991 dan Undang-undang Nomor 15 tahun 1961 tidak mengatur hal
ini.
4.
Perbedaan
lainnya adalah Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 menegaskan secara eksplisit
bahwa Kejaksaan harus menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara,
sementara Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun
1991 tidak menegaskan hal tersebut.
Mencermati pengaturan di atas dapat dijelaskan bahwa
kedudukan kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan yang melakukan kekuasaan
negara di bidang penuntutan, bila dilihat dari sudut kedudukan, mengandung
makna bahwa kejaksaan merupakan suatu lembaga yang berada di bawah kekuasaan
eksekutif. Sementara itu, bila dilihat dari sisi kewenangan kejaksaan dalam
melakukan penuntutan berarti kejaksaan menjalankan kekuasaan yudikatif.
Disinilah terjadi ambivalensi kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia dalam
penegakan hukum di Indonesia.
Selanjutnya, sehubungan dengan makna kekuasaan kejaksaan
dalam melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka,
penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 menjelaskan bahwa
kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.
Lebih jauh, dalam penjelasan Umum Undang-undang, Nomor
16 Tahun 2004, antara lain dinyatakan bahwa diberlakukannya undang-undang ini
adalah untuk pembaruan kejaksaan, agar kedudukan dan perannya sebagai lembaga
pemerintahan lebih mantap dan dapat mengemban kekuasaan negara di bidang
penuntutan, yang bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun.
Dalam pengertian lain, kejaksaan dalam melaksanakan
tugasnya, hendaknya merdeka dan terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintahan dan
kekuasaan lainnya dalam upayanya mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum,
keadilan dan kebenaran dengan mengindahkan norma‑norma keagamaan, kesopanan dan
kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan
yang hidup dalam masyarakat.
Bila kedudukan kejaksaan sebagai suatu lembaga
pemerintahan dikaitkan dengan kewenangan
kejaksaan melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka, di
sini terdapat kontradiksi dalam pengaturannya (Dual Obligation). Dikatakan demikian, adalah mustahil kejaksaan
dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah dan mungkin juga pengaruh kekuasaan lainnya, karena
kedudukan kejaksaan berada di bawah kekuasaan eksekutif.
Kesimpulan ini, diperkuat lagi dengan kedudukan Jaksa
Agung sebagai pemimpin dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin,
mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan, dan juga pimpinan dan
penanggung jawab tertinggi dalam bidang penuntutan, adalah sebagai Pejabat
Negara yang diangkat dan diberhentikan serta bertanggung jawab kepada Presiden.
Dalam konteks Ilmu Manajemen Pemerintahan, Jaksa Agung sebagai bawahan
Presiden, harus mampu melakukan tiga hal :[11]
1.
Menjabarkan
instruksi, petunjuk, dan berbagai bentuk kebijakan lainnya dari Presiden dalam
tugas dan wewenangnya dalam bidang penegakan hukum;
2.
Melaksanakan
instruksi, petunjuk, dan berbagai kebijakan Presiden yang telah dijabarkan
tersebut; dan
3.
Mengamankan
istruksi, petunjuk, dan berbagai kebijakan Presiden yang sementara dan telah
dilaksanakan.
Dedikasi, loyalitas, dan kredibilitas Jaksa Agung
dihadapan Presiden diukur dari sejauhmana Jaksa Agung mampu melakukan ketiga
hal tersebut. Yang pasti adalah Jaksa Agung harus berusaha melakukan ketiga itu
untuk menunjukan dedikasi, loyalitas dan kredibilitasnya sebagai pengemban
kekuasaan negara di bidang penegakan hukum. Disinilah letak kecenderungan
ketidakmerdekaan kekuasaan kejaksaan melakukan fungsi, tugas dan wewenangnya.
Implikasinya adalah keadilan, kepastian hukum dan kegunaan (kemanfaatan) hukum
yang menjadi cita hukum bangsa Idonesia, sekaligus yang menjadi tujuan hukum
yang mestinya harus diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hanya
menjadi cita-cita dan jauh dari kenyataan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa
Undangundang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
menempatkan kejaksaan pada kedudukan yang ambigu. Di satu sisi, kejaksaan dituntut menjalankan fungsi,
tugas, dan wewenangnya secara merdeka, di sisi lain kejaksaan dipasung karena
kedudukannya berada di bawah kekuasaan eksekutif.
Di sinilah antara lain letak kelemahan pengaturan undang-undang ini.
Apabila pemerintah (Presiden) benar-benar memiliki komitmen untuk menegakan
supremasi hukum di Indonesia, tidak menjadi masalah bila kejaksaan tetap berada
di lingkungan eksekutii asalkan kejaksaan diberdayakan dengan diberi kewenangan
dan tanggung jawab luas dan besar namun proporsional.
3.
Tugas dan
Wewenang Kejaksaan
Wewenang adalah hak dan kuasa untuk melakukan sesuatu.
Tanpa wewenang maka segala sesuatu yang dilakukan penuntut umum tidak mempunyai
landasan yang kuat. Maka agar tindakan yang dilakukan khusus dalam melaksanakan
dapat dianggap sah, penuntut umum harus diberikan wewenang untuk hal tersebut.
Menurut Max Weber, wewenang adalah : "Suatu hak
yang telah ditetapkan dalam suatu tata tertib sosial untuk menetapkan kebijakankebijakan,
menentukan keputusan-keputusan mengenai persoalan-persoalan yang penting dan
untuk menyelesaikan pertentanganpertentangan".[12]
Untuk tugas utama tersebut, penuntut umum diberi tugas
dan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 13 KUHAP. Dan dalam Pasal 14 KUHAP
ditentukan tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh penuntut umum. Sedangkan di
dalam Pasal 137 KUHAP ditentukan wewenang penuntut umum.
Berdasarkan rumusan Pasal 1 butir 6 huruf a KUHAP,
maka tugas utama Jaksa adalah :
"Jaksa
adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak
sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap".
Untuk tugas utama tersebut, penuntut umum diberi tugas
dan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 13 KUHAP :
"Penuntut
umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”.
Sedangkan di dalam Pasal 137 KUHAP ditentukan wewenang
penuntut umum, yaitu :
"Penuntut
umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan
suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke
pengadilan yang berwenang mengadili”.
Dalam mengkaji kedudukan dan fungsi kejaksaan, penting
terlebih dahulu memahami apa tujuan hukum, dapat dipastikan bahwa pada
hakikatnya eksistensi kejaksaan dalam proses penegakan hukum di Indonesia
adalah untuk mencapai tujuan hukum bagi pencari keadilan (kemasyarakatan).
Jika direduksi, tujuan utama hukum adalah untuk
mewujudkan ketertiban (order). Tujuan
ini sejalan dengan fungsi utama hukum, yaitu mengatur. Ketertiban merupakan
syarat mendasar yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Ketertiban benar-benar
merupakan kebutuhan masyarakat manusia yang nyata dan objektif.
Para penganut paradigma hukum positif mengatakan bahwa
tujuan hukum adalah kepastian hukum. Aliran ini menganggap ketertiban atau
keteraturan tidak mungkin terwujud tanpa pola-pola perilaku yang pasti. Keteraturan
akan terwujud jika ada kepastian, dan untuk itu hukum haruslah diwujudkan dalam
pola-pola tertulis. Hukum dalam pola-pola tertulis hendaknya bersifat
fleksibel, jangan kaku. Kepastian hukum meskipun fleksibel, tetapi harus
bersifat lengkap, kongkret, prediktif, dan antisipatif.
Sementara itu, para penganut paradigma hukum alam
berpendapat bahwa tujuan hukum adalah unhtuk mewujudkan keadilan, mereka
menganggap bahwa satu-satunya tujuan hukum yang terutama adalah keadilan hukum
ada atau diadakan adalah untuk mengatur dan menciptakan keseimbangan atau
keharmonisan kepentigan manusia ketiga tujuan ini sering diungkapkan secara
terpisah dan dianggap sebagai suatu proses yang paling menentukan satu sama
lain, yaitu kepastian keteraturan (ketertiban) dan keadilan. Keteraturan tidak
mungkin terwujud tanpa kepastian, dan orang tidak mungkin mempersoalkan
keadilan ketidakaturan. Tetapi ketiga tujuan ini hanya sering pula hanya
diungkapkan dengan kata keteraturan dengan asumsi bahwa tujuannya hanyalah
sekedar konsekuensi dari atau termsuk dalam kata keteraturan itu.
Dalam perkembangan dan kenyataannya, keadilan bukan
satusatunya istilah yang digunakan iinhtuk menunjukan tujuan hukum pasca
keteraturan. Dalam suatu negara modern (walfare state), tujuan hukum adalah
untuk mewujudkan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi rakyat negara itu.
Tujuan ini pada mulanya diperkenalkan oleh penganut paradigma hukum utilitarin.
Jadi, disini tujuan hukum adalah manfaat atau faedah atau hasil guna dari hukum
itu untuk masyarakat manusia.
Berkembang dengan tujuan hukum dari beberarapa
paradigma hukum di atas, Moctar Kusumaatmadja, menyatakan bahwa tujuan pokok dan
pertama dari hukum adalah ketertiban. Disamping itu, tujuan lain dari hukum
adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut
masyarakat ada samannya. Tanya kepastian hukum dan ketertiban masyarakat yang
dijelmahkan oleh manusia tak mungkin mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan
yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal di lingkungan masyarakat tempat
hidup.
Hakikat deskripsi di atas memperlihatkan bahwa
kedudukan dan fungsi kejaksaan dalam proses penegakan hukum mengacu pada
beberapa tujuan hukum di atas dikongretkan dalam hukum positif (sementara ini
tercermin di dalam Undang-undang No.5 tahun 1991 dan Undang-undang No. 16 tahun
2004). Kejaksaan menjadi suatu badan yang berpotensi pada pencapaian tujuan
hukum bagi pencari keadilan, baik itu masyarakat maupun pemerintah sendiri,
yaitu kepastian hukum, keadilan dan kesejahteraan (manfaat / faedah / hasil
guna) bagi masyarakat hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa eksistensi
(kedudukan dan fungsi) kejaksaan dalam proses kepastian hukum, keadilan, dan
kesejahteraan (manfaat / faedah / hasil guna).
Bila kedudukan kejaksaan sebagai suatu lembaga
pemerintahan dikaitkan dengan kewenangan kejaksaan melakukan kekuasaan negara
dibidang penuntutan secara merdeka. Di sini terdapat kontradiksi dalam pengaturannya
(dual obligation). Dikatakan demikian adalah mustahil kejaksaan dalam
melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah dan mungkin juga berpengaruh kekuasaan lainnya, karena kedudukan
kejaksaan berada dibawah kekuasaan eksekutif.
Kesimpulan ini diperkuat lagi dengan kedudukan Jaksa
Agung sebagai pemimpin yang bertanggung jawab tinggi kejaksaan yang memimpin,
mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan, dan juga pemimpin dan penanggung jawab tertinggi
dalam bidang penuntutan, adalah sebagai pejabat negara yang diangkat dan
diberhentikan serta bertanggung jawab kepada Presiden.
Dedikasi, loyalitas, dan kredibiltas Jaksa Agung
dihadapan Presiden diukur dari sejauh mana Jaksa Agung mampu melakukan tiga hal
yang disebutkan dalam konteks menajemen pemerintahan yang telah dibahas dalam
bab sebelumnya, yaitu menjabarkan instruksi, petunjuk, dan berbagai bentuk
kebijakan lainnya dari Presiden dalam tugas dan wewenang dalam bidang penegakan
hukum melaksanakan instuksi, petunjuk dan berbagai kebijakan presiden yang
sementara telah dilaksanakan. Yang pasti adalah Jaksa Agung harus berusaha
melakukan ketiga hal tersebut untuk menunjukan dedikasi, loyalitas, dan
kredibilitasnya sebagai pengemban kekuasaan Negara dibidang penegakan hukum.
Disinilah letak kecenderungan ketidak-kemerdekaan kejaksaan melakukan fungsi, tugas,
dan wewenangnya. Implikasinya adalah keadilan, kepastian hukum, dan kegunaan
(kemanfatan) yang menjadi cita hukum bangsa Indonesia, sekaligus yang menjadi
tujuan hukum yang mestinya harus diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
hanya menjadi cita-cita dan jauh dari kenyataan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa
undangundang No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
menempatkan kejaksaan pada kedudukan yang ambigu. Disatu sisi kejaksaan
dituntut menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, disisi lain
kejaksaan dipasung karena kedudukannya berada dibawah kekuasaan eksekutif.
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa wewenang Jaksa
adalah bertindak sebagai Penuntut Umum dan sebagai Eksekutor.
Sementara tugas penyidikan ada di tangan Polri,
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 1 KUHAP yang menyatakan : "Penyidik
adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri
Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang untuk melakukan penyidikan" dan diatur lebih lanjut pada
Pasal 6 KUHAP.
Adapun yang dimaksud dengan penyidikan menurut pasal 1
butir 2 KUHAP adalah sebagai berikut: serangkaian tindakan penyidik dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindak
pidana yang terjadi dan guna untuk menemukan
tersangkanya.
Pasal 91 ayat (1) KUHAP mengatur tentang kewenangan
jaksa (penuntut umum) untuk mengambil berita acara pemeriksaan. Seyogianya jika
tidak kewenangan untuk melakukan penyidikan maka berita acara pemeriksaan itu
diambil alih, dan dapat ditafsirkan tidak sah.
Sesuai dengan ketentuan pasal 284 ayat (2) KUHAP yang
menyatakan bahwa : dalam waktu dues tahun setelah undang-undang
ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan
undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan
khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai
pada perubahan dan / atau dinyatakan tidak berlaku lagi.
Selanjutnya dalam penjelasan pasal 284 ayat (2) KUHAP,
disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan ketentuan khusus acara pidana
sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu adalah ketentuan khusus acara
pidana sebagaimana tersebut pada : undang-undang pemberantasan tindak pidana
korupsi (Undang-undang No 3 Tahun 1971) dengan catatan bahwa semua ketentuan
khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu akan
ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Agar supaya ada kesatuan pendapat mengenai makna dari
pasal 284 ayat (2) KUHAP, dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983
tentang Pelaksaan KUHAP. Pada Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983
disebut bahwa : penyidik menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana
tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 ayat
(2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa, dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Pada penjelasannya disebutkan wewenang penyidikan
tindak pidana tertentu yang diatur secara khusus oleh undang-undang tertentu
dilakukan oleh penyidik, jaksa, dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya
untuk ditunjuk berdasarkan undang-undang.
Dengan berlakunya KUHAP, ditetapkan tugas-tugas
penyidikan, Pasal 6 KUHAP, maka kejaksaan tidak lagi berwenang untuk melakukan
penyidikan terhadap perkara-perkara tindak pidana umum. Namun demikian, sesuai
dengan ketentuan pasal 282 ayat (2) KUHAP jo pasal 17 Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1983, masih berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap
perkara tindak pidana tertentu (tindak pidana khusus).
C. Sistem Pemeriksaan Dalam Perkara Pidana Pada Pengadilan
Penentuan hari sidang dilakukan oleh hakim yang
ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk menyidangkan perkara (pasal 152 ayat (1)
KUHP). Dalam hal ini hakim tersebut memerintahkan kepada penuntut umum supaya
memanggil terdakwa dan saksi untuk di sidang pengadilan (Pasal 152 ayat (2)
KUHP).
KUHP mengatur dalam pasal 145 syarat-syarat tentang
tentang sahnya suatu pemanggilan kepada terdakwa sebagai berikut;
1.
Surat panggilan kepada terdakwa disampaikan di alamat
tempat tinggalnya atau apabila tempat thiggalnya tidak diketahui disampaikan
ditempat kediaman terakhir (ayat (1)).
2.
Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau
ditempat kediaman terakhir, surat pauggilan disampaikan melalui kepada Desa
yang berdaerah hukum empat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir (ayat
(2)).
3.
Dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan
disampaikan kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara (ayat (3)).
4.
Penerimaan surat panggilan terdakwa sendiri ataupun
oleh orang lain atau melalui` orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan
(ayat (4)).
5.
Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir
tidak dikenal, surat panggilan ditempelkan pads tempat pengumuman di gedung
pengadilan yang berwenang mengadili perkaranya (ayat (5)).
Menurut ketentuan Pasal 152 ayat (2) KUHAP tersebut di
muka, penuntut umum yang menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa. Pasal
146 ayat (1) menentukan bentuk surat panggilan yang hares memuat tanggal, hari,
serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus sudah diterima
oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang. Begitu pula
bagi pemanggilan seksi berlaku hal yang sama (Pasal 246 ayat (2)).
1.
Pemeriksaan
Perkara Biasa
KUHAP membedakan tiga macam pemeriksaan sidang
pengadilan. Pertama, pemeriksaan
perkara biasa; Kedua, pemeriksaan
singkat; Ketiga, Pemeriksaan cepat.
Pemeriksaan cepat dibagi lagi atas pemeriksaan tindak pidana ringan dan perkara
pelanggaran lalu lintas jalan.
Undang-undang tidak memberikan batasan tentang
perkara-perkara yang mana yang termasuk pemeriksaan biasa. Hanya pada
pemeriksaan singkat dan cepat saja diberikan batasan. Pasal 203 ayat (1) KUHAP
memberi batasan tentang apa yang dimaksud dengan pemeriksaan singkat sebagai
berikut :
"Yang
diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau
pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan pasal 205 dan yang menurut penuntut
umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana".
Perlu ditekankan di sini kata-kata menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya sederhana yang menunjukan bahwa penuntut umumlah yang menentukan
perkara pemeriksaan singkat itu. Pemeriksaan singkat ini dahulu disebut
pemeriksaan rumit.
Selanjutnya yang dimaksudkan dengan pemeriksaan cepat
ditemukan oleh pasal 205 ayat (1) (tindak pidana ringan) sebagai berikut: yang
diperiksa menurut acara perneriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang
diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan atau denda
sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali
yang ditemukan dalam paragraf 2 bagian ini."
Paragraf 2 ialah mengenai acara pemeriksaan perkara
lalulintas jalan, yang dijelaskan dalam pasal 211 sebagai berikut:
"Yang diperiksa,
menurut acara pemeriksaan pada paragraf ini ialah perkara pelanggaran tertentu
terhadap perturan perundang-undangan lalu lintas jalan."
Acara pemeriksaan biasa sebenarnya berlaku juga bagi
pemeriksaan singkat dan cepat, kecuali dalam hal-hal tertentu yang secaca tegas
dinyatakan lain.
Dimulai hakim ketua sidang membuka sidang dan
menyatakan sidang terbuka umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau
terdakwanya anak-anak (153 ayat (3) KUHAP). Ketentuan tentang pengecualian ini
dapat dibaca di bagian depan, tentang asas-asas dalam hukum acara pidana.
Pemeriksaan itu dilakukan secara lisan dalam bahasa
Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi (pasal 153 (ayat (2). Kalau
kedua ketentuan tersebut tidak dipenuhi, maka batal demi hukum (pasal 153 ayat
(4).
Yang pertama dipanggil masuk ialah terdakwa yang
walaupun ia didalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas. Dalam
penjelasan pasal 153 ayat (1) yang mengatur hal ini, dikatakan bahwa yang
dimaksud dengan keadaan bebas ialah keadaan tidak dibelenggu tanpa mengurangi
pengawalan.
Apabila terdakwa tidak hadir, hakim ketua sidang
meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara sah. Jika tidak dipanggil
secara sah hakim ketua sidang menunda persidangan dan memerintah supaya terdakwa
dipanggil lagi untuk hadir pada hari persidangan berikutnya (pasal 154 ayat (3
ayat) KUHAP).
Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang
tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua
kalinya dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama, berikutnya (pasal 154 ayat
(6) KUHAP).
Menurut ketentuan yang pertama dipanggil untuk masuk
ke sidang ialah terdakwa. Mula-mula hakim menanyakan identitasnya, seperti
nama, tempat lahir, umur, atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat
tinggal, agama dan pekerjaan serta mengingatkan terdakwa, supaya memperhatikan
segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang (pasal 155 ayat (1)
KUHP). Sesudah itu hakim ketua sidang mempersilahkan penuntut umum membacakan
surat dakwaannya, kemudian hakim ketua sidang menanyakan terhadap terdakwa,
apakah ia sudah benar-benar mengerti apakah terdakwa tidak mengerti, pentuntut
umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan dan
diperkirakan (pasal 155 ayat (2) KUHP).
Sesudah pembacaan dan penjelasan surat dakwaan oleh
penuntut umum, maka terdakwa atau penasihat hukumnya dapat mengajukan keberatan
tentang pengadilan tidak berwenang memeriksa perkara tersebut atau terdakwa
tidak dapat diterima atau surat dakwaan dibatalkan.
Mengenai wewenang hakim untuk mengadili dapat dibaca
di muka. Kapan suatu dakwaan tidak dapat diterima tidak dijelaskan. Menurut
pendapat penulis, yang dimaksud dengan dakwaan tidak dapat diterima tersebut
ialah dakwaan penuntut tidak dapat diterima atau bisa disebut niet ontvankelijk verkaling ven het
openbaar minsterie.
Menurut Van Bemmelen hal itu terjadi jika tidak ada
aduan atau hak untuk menuntut misalnya dalam delik aduan tidak ada pengaduan
atau delik itu dilakukan pada waktu dan tempat yang
undang-undang pidana tidak berlaku atau hak menuntut telah hapus. Harus
diperhatikan katanya bahwa jika apa yang termuat dalam surat dakwaan bukan
delik. Bukan termasuk tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaring van het OM). Atau pernyataan tidak berwenang, tetapi
termasuk dilepas dari tuntutan hukum (onslag
van rechsvervolging).
Termasuk pula tuntutan penuntut umum tidak dapat
diterima jika telah ada putusan yang tidak dapat diubah mengenai perkara
tersebut, maksudnya nebis in idem.
Apabila terdakwa atau penasehat hukum keberatan,
penuntut umum diberi kesempatan untuk mengatakan pendapatnya kemudian hakim
mempertimbangkan keberatan tersebut untuk mengambil keputusan (156 ayat (1)
KUHAP). Kalau keberatan tersebut diterima oleh hakim, maka perkara itu tidak
diperiksa lebih lanjut dan untuk ini penuntut umum dapat mengajukan perlawanan
kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri yang bersangkutan (pasal 156
ayat (2) dan (3)).
Ketentuan dalam pasal 156 ayat (4) KUHAP yang
mengatakan bahwa dalam hal perlawanan yang diajukan oleh terdakwa atau
penasehat hukum umumnya diterima oleh pengadilan tinggi maka dalam waktu empat
belas hari, pengadilan tinggi dengan surat penetapannya membatalkan putusan
pengadilan negeri dan memerintahkan pengadilan negeri yang berwenang untuk
memeriksa perkara itu. Menurut pendapat penulis tidak sempurna dan tidak sesuai
dengan ketentuan pada ayat (1) pasal tersebut seperti telah dikemukakan dimuka, karena keberatan
terdakwa atau penasehat hukumnya menurut ayat (1) tersebut tidak hanya mengenai
ketidakkewenangan pengadilan negeri tetapi juga mengenai dakwaan tidak dapat
terima (niet notvankelijk verklaring van het OM) dan dakwaan harus dibatalkan.
Dalam dua hal yang tersebut terakhir, jika keberatan
terdakwa diterima, maka pengadilan tinggi mestinya mengatakan dakwaan
(tuntutan) penuntut umum tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaring van
het OM) atau dakwaan dinyatakan batal. Umpama jika waktu dan tempat serta
uraian cermat jelas dan lengkap mengenai delik yang didakwakan tidak disebut
(pasal 143 ayat (3) KUHAP).
Jelas, inilah kekurangan pasal (156 ayat (4) KUHAP tersebut, dalam ayat 5 pasal itu ditemukan bahwa ada kemungkinan
perlawanan diajukan bersama-sama dengan permintaan banding. Ini berarti bahwa
perlawanan yang demikian diajukan sesudah keputusan (vonis) hakim.
Dalam ayat (5) ini pun dengan sendirinya ada
kekekurangan, yaitu seperti pada ayat (4) hanya mempersoalkan tentang
kewenangan tidak mempersoalkan tentang dakwaan (tuntutan) pentuntut umum tidak
dapat diterima (niet otvankeljik verklaring van het OM) dan surat dakwaan yang harus dibatalkan.
Pemeriksaan saksi ditentukan dalam pasal 160 bahwa
yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi. Kemungkinan
urutan pemeriksaan saksi diserahkan kepada pertimbangan hakim ketua sidang
setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum. Salah
satu hal yang perlu diperhatikan ialah ketentuan dalam pasal itu yang
menyatakan bahwa saksi baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa
dalam surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau
penasihat hukum atau penutut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum
dijatuhkan putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi
tersebut.
Nilai suatu kesaksian yang disumpah atau mengucapkan
janji dan yang tidak diatur dalam pasal 162 KUHAP, tetapi kurang jelas. Penjelasan
pasal itu menyatakan bahwa cukup jelas, tidak jelas, karena dikatakan bahwa
jika saksi sudah memberi keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau
karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggi karena
jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang
berhubungan dengan kepentingan negara, maka keterangan yang telah diberikan itu
dibacakan.
Kalau pada waktu pemeriksaan pendahuluan (penyidikan)
saksi tersebut tidak disumpah, apakah keterangan yang dibacakan itu sama
nilainya dengan keterangan saksi yang hadir dan disumpah.
Dalam ayat (2) pasal itu dikatakan bahwa jika
keterangan itu sebelumnya telah diberikan bahwa sumpah, maka keterangan yang
diucapkan di sidang. Menurut penafsiran a’contrario, berarti keterangan
saksi yang dibacakan di sidang yang tidak mengangkat sumpah sebelumnya tidak
sama nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang.
Kalau demikian halnya, apakah keterangan saksi yang
dibacakan di sidang yang belum mengangkat sumpah sebelum itu dapat dipandang
sebagai alat bukti petunjuk, karena dalam pasal 188 ayat (2) dikatakan bahwa
petunjuk hanya dapat diperoleh dari:
a) Keterangan saksi;
b) Surat;
c) Keterangan terdakwa.
Terbukti, seperti telah dikemukakan di muka bahwa
petunjuk sebagai alat bukti sebenarnya telah kuno dan sebenarnya tidak ada.
Sering terjadi seorang saksi memberikan keterangan
yang berbeda di sidang pengadilan dan di pemeriksaan pendahuluan. Untuk ini
ditentukan oleh pasal 163 KUHAP, bahwa dalam hal yang demikian, hakim ketua
sidang memperingatkan saksi tentang hal itu serta minta keterangan mengenai
perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan di sidang. Dalam
penjelasan pada itu dikatakan cukup jelas.
Hal ini mendapat perhatian khusus karena dapat berbentuk
sumpah palsu, misalnya pada pemeriksaan pendahuluan (berita acara penyidik)
saksi memberatkan terdakwa sedangkan pada pemeriksaan di sidang pengadilan
berubah menjadi menguntungkan terdakwa.
Penting pula hakim meminta pendapat terdakwa, mengenai
keterangan saksi, begitu pula penuntut umum dan pensehat hukum berkesempatan
bertanya kepada saksi atau terdakwa melalui hakim ketua sidang. Dalam hal ini
hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan penuntut umum atau penasihat hukum
dengan suatu alasan (pasal 164 ayat (1), (2), dan (3) KUHAP).
Apabila keterangan saksi disangka palsu, maka hakim
ketua sidang memperingatkan kepadanya dengan sumpah-sumpah supaya memberikan
keterangan yang sebenamya dan mengemukakan ancaman pidana kepadanya jika tetap
memberikan keterangan palsu. Jika saksi memberikan keterangan palsu, hakim
ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa
dapat memberikan perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut
karena dakwaan sumpah palsu. Perkara semula dapat ditangguhkan oleh hakim ketua
sidang sampai perkara sumpah palsu tersebut selesai pasal 174 ayat (1), (2), (3)
dan (4) KUHAP.
Yang berbeda dengan acara pidana modern ialah
ketentuan bahwa terdakwa menurut pasal 175 KUHAP tidak mempunyai hak untuk
berdiam tidak menjawab pertanyaan, hal itu dapat ditarik dari ketentuan pasal
itu menyatakan : Hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu
pemeriksaan dilanjutkan.
Kalau pemeriksaan sidang dipandang sudah selesai, maka
penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Sesudah itu terdakwa dan penasehat
hukumnya mengajukan pembelaan yang dapat dijawab oleh penutut umum dengan
ketentuan bahwa terdakwa atau penasihat hukum selalu mendapat giliran terkahir.
Semua ini dilakukan serta ditulis dan setelah dibacakan diserahkan kepada hakim
ketua sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan pasal 182 ayat (1)
KUHAP.
Selain itu, hakim ketua sidang menyatakan periksaan
dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat dibuka sekali lagi, baik atas
kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan
penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan memberikan alasannya
(pasal 182 ayat (2) KUHAP).
2.
Pemeriksaan
Singkat
Di atas telah dikatakan bahwa ada hal hal yang secara
khusus menyimpang dari acara pemeriksaan biasa, hal itu adalah :
1) Penuntut umum tidak membut surat dakwaan, hanya
memberikan catatannya kepada terdakwa tentang tindak pidana yang didakwakan kepadanya
dengan menerangkan waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana itu
dilakukan. Pemberitauan itu dicatat dalam berita acara sidang dan merupakan
pengganti surat dakwaan (pasal 203 ayat (3) a)
2) Putusan tidak dibuat secara khusus, tetapi dicatat
dalam berita acara sidang (pasal 203 ayat (3) d). Hakim membuat surat yang
memuat amar putusan tersebut (pasal 203 ayat(3) e).
Semua ketentuan ini sama dengan acara pemeriksaan
sumir menurut HIR
dahulu.
3.
Pemeriksaan Cepat
Istilah yang dipakai ialah perkara rol. Kepada
ketentuan acara pemeriksaan biasa berlaku pula pada pemeriksaan cepat dengan
kekecualian tertentu. Hal itu dapat dibaca dalam bagian ketiga dalam pasal 210
KUHAP yang menyatakan bahwa ketentuan dalam bagian kesatu. Bagian kedua dan bagian
ketiga bab ini (bab 16) tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan
dengan paragrap ini. Seperti telah dikemukakan di muka justru bagian keempat
yang mengatur tentang alat pembuktian tidak dinyatakan berlaku, yang
menimbulkan pertanyaan pula, alat pembuktian yang bagaimana yang berlaku dalam
pemeriksaan cepat?
Pemeriksaan cepat dibagi dua menurut KUHAP, yang
pertama acara pemeriksaan tindak pidana ringan dan yang kedua acara pemeriksaan
perkara pelanggaran lalulintas jalan. Yang pertama
termasuk delik yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3
bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan
ringan. Yang kedua termasuk
perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalulintas
jalan.
Penjelasan pasal 211 memberikan uraian tentang apa
yang dimaksud dengan "perkara pelanggaran tertentu" sebagai berikut:
a.
Mempergunakan
jalan dengan cara yang dapat merintangi, membahayakan ketertiban atau keamanan
lalu lintas atau yang mungkin menimbulkan kerusakan pada jalan.
b.
Mengemudikan
kendaraan bermotor yang tidak dapat memperlihatkan surat izin mengemudi (SIM),
surat tanda nomor kendaaraan, surat tanda uji kendaraan yang sah atau tanda
bukti lainnya yang diwajibkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
lalu lintas jalan atau ia dapat memperlihatkannya tetapi masa berlakunya sudah
daluarsa.
c.
Membiarkan atau
memperkenankan kendaraan bermotor dikemudikan oleh orang yang tidak memiliki
surat izin mengemudi.
d.
Tidak memenuhi
ketentuan peraturan perundangan lalu lintas jalan tentang penomoran,
penerangan, peralatan, perlengkapan, dan pemuatan kendaraan dan syarat penggandengan
dengan kendaraan lain.
e.
Membiarkan
kendaraan bermotor yang ada di jalan tanpa dilengkapi plat tanda nomor kendaraan
yang sah, sesuai dengan surat tanda nomor kendaraan yang bersangkutan.
f.
Pelanggaran
terhadap perintah yang diberikan oleh petugas pengatur lalu lintas jalan dan atau syarat alas pengatur
lalu lintas jalan, ramburambu atau tanda yang ada di permukaan jalan.
g.
Pelanggaran
terhadap ketentuan tentang ukuran dan muatan yang diizinkan, cara menaikan dan
menurunkan penumpang dan atau cara memuat dan membongkar barang.
h.
Pelanggaran
terhadap izin trek, jenis kendaraan yang diperbolehkan beroperasi di jalan yang
ditentukan hal-hal yang menyimpang dari acara pemeriksaan biasa.
1. Pada pemeriksaan tindak pidana ringan
a)
Penyidik
langsung menghadapkan terdakwa bahwa barang bukti, saksi, ahli, dan atau juru
bahasa ke pengadilan, atas kuasa penutut umum dalam penjelasan dikatakan bahwa
atas kuasa berarti demi hukum (pasal 205 ayat KUHAP).
b)
Pengadilan mengadili
dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir, kecuali dalam hal
dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan terdakwa dapat minta banding (pasal
205 ayat (3) KUHAP). Ini berarti jika tidak dijatuhkan pidana penjara atau
kurungan, maka terpidana tidak dapat minta banding.
c)
Saksi dalam
acara pemeriksaan tindak pidana ringan tidak mengucapkan sumpah atau janji
kecuali hakim menganggap perlu.
d)
Berita acara
pemeriksaan sidang tidak dibuat kecuali jika dalam pemeriksaan tersebut
ternyata ada hal yang tidak sesuai dengan berita acara pemeriksaan yang dibuat
oleh penyidik (pasal 209 KUHAP).
2. Pada pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan
a) Suatu hal yang kelupaan oleh pembuat undang-undang ini
ialah berbeda dengan yang disebutkan pada pemeriksaan tindak pidana ringan
(pasal 205 ayat (1) dan ayat (3) KUHAP) tidak dinyatakan dalam pemeriksaan
perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Pemeriksaan dilakukan oleh seorang hakim
tunggal padahal maksud pembuat undang-undang pasti demikian.
b) Untuk perkara pelanggaran lalu lintas jalan tidak
diperlukan berita acara pemeriksaan (pasal 212 KUHAP).
c) Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk
mewakilinya di sidang pasal 211 KUHAP.
d) Pemeriksaan dapat dilakukan tanpa hadirnya terdakwa
atau wakilnya (verstek atau putusan inabsentia) ini diatur dalam pasal 214 ayat
1 KUHAP.
e) Dalam
putusan dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa dan putusan itu berupa pidana perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat
mengajukan perlawanan (pasal 214 ayat 4 KUHAP).
f)
Dalam waktu
tujuh hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa
ia dapat mengajukan
perlawanan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan itu (pasal 214 ayat 5 KUHP). Ini berbeda dengan
acara rol dahulu.
Jika
putusan setelah diajukannya perlawanan tetap berupa pidana sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4) (perampasan
kemerdekaan terdakwa), terhadap putusan itu terdakwa dapat mengajukan banding (pasal
214 ayat (8) KUHAP).
DAFTAR PUSTAKA
Al. Wisnubroto. Praktek Peradilan Pidana (Proses Persidangan
Perkara Pidana). PT. Galaxy Puspa Mega, Jakarta, 2002.
Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Revisi).
Sinar Grafika, Jakarta, 2001.
, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia. Sinar Grafika,
Jakarta, 1994
DJoko Prakoso dan I Ketut Murtika. Mengenal
Lembaga Kejaksaan di Indonesia. Bina Aksara, Jakarta, 1987.
, Tugas dan Wewenang Jaksa Dalam Pembangunan. Ghalia Indonesia,
Jakarta 1983.
Marwan Effendy. Kejaksaan RI, Posisi dan Fungsinya Dari
Perspektif Hukum. Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Moleong J.
Lexy. Metode Penelitian Hukum. PT. Rajawali Pers, Jakarta, 2002.
Mochtar Kusumaatmadja. Pembinaan Hukum Dalam Rangka
Pembangunan Nasional. Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi,
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 1976
Prinst, Darwan, SH. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik.
Djambatan, Jakarta, 2002.
Soerdjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali
Pers, Jakarta, 1987.
. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali,
Jakarta, 1983.
Soesilo R. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Politea, Bogor, 1996.
W. J. S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Balai Pustaka, Jakarta, 1952.
Yesmil Anwar, SH. Sistem Peradilan Pidana. Widya
Padjadjaran, Bandung, 2009.
[4] Soerdjono
Soekanto. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta, 1983, hal. 5
[5] Marwan
Effendy, Kejaksaan RI, Posisi dan
Fungsinya Dari Perspektif Hukum, Gramedia Pustaka Utama, 2005, hal. 6-7
[6] Mochtar
Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam
Rangka Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi,
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 1976, hal.3
[7] Joko
Prakoso dan I Ketut Murtika, Mengenal
Lembaga Kejaksaan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 17
[8] Djoko
Prakoso, Tugas dan Wewenang Jaksa Dalam
Pembangunan, Ghalia Indonesia, Jakarta 1983, hal 19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar