Total Tayangan Halaman

Minggu, 27 Oktober 2013

Skripsi Hukum Tanggung Jawab JPU terhadap Barang BUkti Jenis Kayu dalam Suatu Perkara Pidana



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar tertulis yang tertinggi telah menetapkan sebagaimana berdasarkan Pasal 1 ayat (3) disebutkan bahwa Indonesia ialah Negara yang berdasarkan atas hukum. Implementasinya bahwa pemerintah atau Lembaga Negara dalam menjalankan tugas harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Pengertian negara hukum dalam arti luas yaitu negara hukum dalam arti materiil yang tidak hanya melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, tetapi juga harus memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskkan kehidupan bangsa. Berbicara tentang suatu negara hukum, maka dapat diketahui dari hal-hal yang disebut sebagai ciri khas bagi suatu negara hukum adalah :

  1. Adanya pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan di bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
  2. Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh sesuatu kekuasaan atau kekuatan apapun juga.
  3. Adanya legalitas dalam arti segala bentuknya.
Hukum materiil seperti yang terjelma dalam Undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya ataupun yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana selayaknya berbuat dalam masyarakat. Hukum juga merupakan wujud dari perintah dan kehendak negara yang dijalankan oleh pemerintah melalui aparat penegak hukum untuk mengemban kepercayaan dan perlindungan terhadap masyarakat sebagai warga negara.
Aparat penegak hukum mendapat wewenang untuk menjalankan tugasnya berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku sesuai dengan tujuan hukum untuk mengatur masyarakat dalam bertindak dan berbuat yang sepatutnya dan juga mengatur aparat penegak hukum yang mewakili negara untuk bertindak secara patut dan bermanfaat dengan menetapkan apa yang diharuskan, apa yang dibolehkan dan/atau sebaliknya.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada hakekatnya merupakan bagian dari hukum formil sebagai sarana hukum yang penting dalam pelaksanaan hukum pidana. KUHAP menetapkan perangkat penegak hukum yakni perangkat penyidik seperti kepolisian ataupun Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), dan perangkat lain yang berfungsi melakukan penyidikan terhadap setiap tindak pidana yang terjadi sebagai pelanggaran terhadap hukum yang berlaku, Jaksa Penuntut Umum bertugas melakukan tuntutan pidana terhadap pelaku pelanggaran hukum dan hakim bertugas memutuska terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum materiil. Berbicara tentang fungsi penuntutan hukum, maka substansi tersebut merupakan tugas pokok dari pihak kejaksaan dalam hal ini tanggung jawab Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan tuntutan terhadap para pelaku tindak pidana termasuk tuntutan untuk mengembalikan barang bukti kepada pihak yang berhak/saksi korban dan termasuk peranan mengamankan barang bukti baik sebagai alat melakukan tindak pidana maupun barang bukti sebagai akibat terjadinya tindak pidana.
Tugas mengamankan barang bukti oleh Jaksa Penuntut Umum terutama terhadap barang bukti sebagai akibat terjadinya tindak pidana seperti dalam hal ini barang bukti jenis kayu dalam praktek cukup terdapat masalah yang kompleks yang sulit dipecahkan. Sebab berbicara tentang barang bukti jenis kayu tentu mempunyai konsekwensi hukum bahwa siapa yang berhak untuk mendapatkan kembali barang bukti tersebut sesuai dengan mekanisme ketentuan hukum yang berlaku. Jadi penyerahan kembali barang bukti kayu kepada pihak yang berhak adalah hal yang tidak bersifat relatif, akan tetapi hal tersebut sungguh sangat penting dan bersifat mutlak barang bukti tersebut harus diterima kembali oleh pihak yang memang berhak untuk itu, seperti pihak pemilik/saksi korban, termasuk pihak negara jika barang bukti jenis kayu tersebut diambil dari kawasan hutan.
Permasalahan yang menarik yang berhubungan dengan pengembalian barang bukti jenis kayu kepada yang berhak/pemilik/saksi korban, ketika diamati terhadap sejumlah perkara pidana yang diproses melalui Pengadilan Negeri Kupang yang mempunyai barang bukti jenis kayu dalam hal ini jenis kayu jati yang berasal baik dari penebangan liar pada kawasan hutan ataupun penebangan di luar kawasan hutan yang dilakukan tanpa dokumen perizinan yang sah, justru ternyata telah terjadi masalah yang berdampak sangat merugikan pihak pemilik kayu/saksi korban. Hal tersebut disebabkan karena ternyata kayu-kayu yang merupakan barang bukti telah rusak total dalam arti tidak dapat dipergunakan lagi seperti nilai semula dan hal yang pasti tidak dapat diterima kembali oleh pihak yang berhak dalam hal ini negara melalui pihak dinas kehutanan atau orang perseorangan yang berhak sebagai pemilik dari barang bukti tersebut. Permasalahan adanya kerusakan barang bukti kayu secara total tersebut adalah merupakan akibat dari adanya persoalan/faktor terjadinya upaya hukum baik yang dilakukan oleh terdakwa/jaksa penuntut umum terhadap putusan hakim. Upaya hukum tersebut tentu dengan sendirinya memperlambat terciptanya putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Dan termasuk pula faktor yang lain yaitu tidak ada upaya efektif dari jaksa penuntut umum yang bersangkutan dalam rangka pengamanan barang bukti jenis kayu berdasarkan cara-cara yang dianggap layak dan tidak bertentangan dengan hukum. Sebab konsekuensi yang penting dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana yang berhubungan dengan penebangan kayu secara tidak sah/dan atau pencurian kayu milik perseorangan, maka justru barang bukti kayu harus kembali kepada pihak yang berhak / pemilik / saksi korban dan bukan sekedar ada penegakan hukum dalam batas pelaku dijatuhi hukuman penjara.
Berdasarkan permasalahan di atas dan dalam rangka melakukan suatu kajian secara ilmiah, maka adalah penting perlu ditetapkan judul : “Tanggung Jawab Jaksa Penuntut Umum Terhadap Barang Bukti Jenis Kayu Dalam Suatu Perkara Pidana Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP”.

B.     Rumusan Masalah
Menunjuk permasalahan sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang di atas, maka substansi yang penting untuk ditetapkan sebagai masalah pokok adalah :
           1.      Bagaimana Pelimpahan Tersangka dan Barang Bukti pada Jaksa Penuntut Umum?
           2.      Bagaimana Pertimbangan Hakim terhadap Barang Bukti?
           3.      Bagaimana Tanggung Jawab Yuridis Jaksa Penuntut Umum Terhadap Barang Bukti Jenis Kayu Yang Rusak?

C.    Tujuan Penelitian
Agar penelitian yang dilakukan lebih tertuju pada sasaran yang hendak dicapai serta berpangkal tolak pada dasar-dasar pemikiran sebagai tujuan tersebut, maka tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah :
           1.      Tujuan Objektif
a.       Untuk mengetahui bagaimana mekanisme pelimpahan tersangka dan barang bukti pada jaksa penuntut umum.
b.      Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim terhadap barang bukti.
c.       Untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab yuridis jaksa penuntut umum terhadap barang bukti jenis kayu yang rusak.
           2.      Tujuan Subjektif
a.       Agar bisa dipergunakan untuk pengembangan pengetahuan penulis pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, sehingga dapat mengetahui secara benar tentang bagaimana tanggung jawab Jaksa Penuntut Umum terhadap barang bukti jenis kayu yang mengalami akibat rusak total dan tidak dapat diambil kembali oleh pihak yang berhak/pemilik/saksi korban.
b.      Untuk memperoleh data sebagai bahan utama dalam penyusunan penulisan proposal penelitian dan penelitian skripsi guna melengkapi persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana dalam bidang ilmu hukum di Universitas Nusa Cendana.

D.    Manfaat Penelitian
            1.      Manfaat Teoritis
a.       Sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya.
b.      Untuk menambah bahan referensi dan bahan masukan untuk penelitian selanjutnya.
           2.      Manfaat Praktis
a.       Dapat memberikan sumbangan pemikiran pada praktisi hukum terutama Jaksa Penuntut umum dan masyarakat umumnya dan khususnya masyarakat yang memiliki hak untuk menerima kembali barang bukti jenis kayu dalam suatu perkara pidana.
b.      Sebagai bahan masukan bagi pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang menetapkan barang bukti jenis kayu dikembalikan kepada yang berhak. 
 
E.     Tinjauan Pustaka
Sebagaimana dipandang menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum formil dalam pelaksanaan hukum pidana tentu sebagai pedoman dan mutlak setiap pemeriksaan perkara harus berpedoman pada tata cara yang telah digariskan dalam KUHAP. Hukum Acara Pidana dipastikan akan membawa sebuah kebenaran materil yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan tujuan untuk mencari siapa pelaku tindak pidana dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan hakim guna menentukan apakah terbukti suatu tindak pidana telah dilakukan oleh terdakwa dan apakah terdakwa tersebut patut harus dipersalahkan atau tidak.
Untuk menentukan salah atau tidak seorang pelanggar hukum (terdakwa), maka perlu berpedoman pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, secara pokok menentukan alat bukti yang sah yaitu :
           a.       Keterangan saksi
           b.      Keterangan ahli
           c.       Surat
          d.      Petunjuk
          e.       Keterangan terdakwa
Sistem pembuktian dalam suatu perkara pidana adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil, maka untuk menjatuhkan pidana oleh hakim kepada terdakwa harus didukung dengan sekurang-kurangnya harus ada dua alat bukti yang sah dan hakim mempunyai keyakinan bahwa terdakwalah yang melakukan tindak pidana tersebut.
Setiap putusan hakim tidak dengan sendirinya dipertimbangkan dan dijatuhi hukuman atau tidak kepada terdakwa, namun semuanya karena atas dasar adanya tuntutan pidana dari Jaksa Penuntut umum. Berdasarkan Pasal 1 butir 6 UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa :
  1. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 
  2. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan ketetapan hakim.
Rumusan pengertian Jaksa di dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia diatur pada Pasal 1 butir 1 dan 2, jadi rumusan tersebut terdapat 2 kewenangan jaksa adalah : sebagai penuntut umum, dan sebagai eksekutor, sedangkan penuntut umum berwenang untuk : melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Dengan perkataan lain, jaksa yang menangani perkara dalam tahap penuntutan disebut : Penuntut Umum. Jadi penuntut umumlah yang dapat melaksanakan penetapan hakim, tetapi tetap penuntut umum dapat melaksanakan eksekusi karena dia adalah jaksa.
Perbedaan jaksa dan penuntut umum pada hakikatnya adalah jaksa bertugas pada kegiatan penanganan perkara pada tahap penuntutan, maka jaksa disebut penuntut umum. Jika bertugas di luar penuntutan, maka ia tetap disebut jaksa.
Pembuktian terhadap perbuatan terdakwa tidak saja semata-mata dilihat pada alat-alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud menurut Pasal 184 KUHAP, akan tetapi perlu dihubungkan dan dipertimbangkan dengan pengajuan barang bukti oleh Jaksa Penuntut Umum. Sebab dengan barang bukti tersebut akan menjadi petunjuk bahwa benar telah terjadi tindak pidana sebagaimana yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum.
Berkaitan dengan putusan pengadilan yang berisi pemidanaan, atau putusan bebas maupun putusan lepas dari semua tuntutan hukum, maka pengadilan juga menetapkan supaya barang bukti yang disita dalam perkara yang bersangkutan diserahkan kepada pihak yang dinilai paling berhak menerima kembali barang bukti tersebut termasuk dirampas untuk kepentingan negara, kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk dimusnahkan atau dirusakkan sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.
Penetapan / perintah penyerahan barang bukti dilakukan tanpa disertai suatu syarat apapun kecuali dalam hal putusan pengadilan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, barang bukti tersebut dapat diserahkan kepada pihak yang berhak dengan syarat tertentu. Jadi meskipun putusannya belum mempunyai kekuatan hukum tetap, barang bukti tersebut dapat diserahkan kepada yang berhak dengan syarat tertentu, misalnya yang menerima barang bukti tersebut sanggup menghadapkan atau membawa barang bukti tersebut di muka sidang pengadilan apabila suatu waktu diperlukan oleh pengadilan (Pasal 194 KUHAP).
Menunjuk acuan teoritis di atas, maka tentu jaksa penuntut umum harus berperan aktif untuk mengamankan barang bukti terutama barang bukti jenis kayu karena barang bukti dalam kelompok tersebut sangat mudah terjadi kerusakan secara total. Karena itu, seharusnya tidak tergantung kepada soal putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, karena bisa saja ditetapkan supaya barang bukti jenis kayu tersebut tetap diserahkan kepada yang berhak atau disita untuk kepentingan negara, meskipun putusan hakim belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Sebab tidak mungkin adil, jika putusan mengatakan bahwa bersalah, sedangkan barang bukti yang sebelumnya utuh ternyata tidak dapat diperoleh kembali oleh pihak yang berhak akibat barang bukti telah rusak total.

F.     Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari suatu atau beberapa gejala hukum tertetu dengan menganalisisnya. Dalam melakukan penelitian hukum, sebenarnya selalu dihubungkan dengan makna yang mungkin dapat diberikan kepada hukum.
           1.      Jenis Penelitian
Dalam penelitian ilmiah, diperlukan suatu metode penelitian tertentu untuk mendapatkan data yang diteliti. Dengan menggunakan metode penelitian akan dapat memecahkan masalah yang dihadapinya, yaitu dengan cara mengumpulkan data, kemudian mengolahnya dalam rangka penyelesaian masalah tersebut.
Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian deskriptif, yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan maksud mempertegas analisis dan memberikan gambaran yang jelas tentang masalah yang dibahas dalam penelitian.
           2.      Lokasi Penelitian
Penulis dalam rangka mengadakan penelitian guna penulisan hukum ini mengambil lokasi di Kupang dan dilakukan di Pengadilan Negeri Klas 1A Kupang dan Kejaksaan Negeri Kupang.
3.      Jenis dan Sumber Data
Pengumpulan data dalam suatu penelitian sangat diperlukan, karena dengan data akan menunjang dalam penulisan terutama sebagai bahan penulisan.
Adapun jenis data dan sumber data dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
a.       Data Primer
Merupakan data yang diperoleh secara langsung dari lokasi penelitian yaitu Pengadilan Negeri Klas 1A Kupang dan Kejaksaan Negeri Kupang.
Dalam hal ini data diperoleh dari putusan hakim dan hasil wawancara dengan hakim, Jaksa Penuntut Umum dan pihak yang berhak mendapatkan kembali barang bukti.
b.      Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku, tulisan-tulisan dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti atau data yang diperoleh dengan cara studi kepustakaan yang berhubungan dengan tanggung jawab jaksa terhadap barang bukti dalam perkara pidana.
           4.      Aspek-Aspek Yang Diteliti
a.       Mekanisme pelimpahan tersangka dan barang bukti pada Jaksa Penuntut Umum
b.      Pertimbangan hakim terhadap barang bukti
c.       Tanggung jawab yuridis jaksa penuntut umum terhadap barang bukti jenis kayu yang rusak
           5.      Populasi, Sampel dan Responden
a.       Populasi
Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah semua perkara pidana yang telah diputuskan oleh hakim pada Pengadilan Negeri Kupang baik yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap  maupun putusan hakim yang masih menggunakan upaya hukum.
b.      Sampel
Sampel yang digunakan adalah khusus perkara pidana yang memiliki barang bukti jenis kayu baik putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap maupun putusan hakim yang masih menggunakan upaya hukum.
          c.       Responden
Yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah :
a)      Hakim                                                  :   4 orang
b)      Jaksa Penuntut Umum                         :   5 orang
c)      Penasehat Hukum                                :   4 orang
d)     Saksi Korban/anggota masyarakat /
institusi yang berhak menerima
kembali barang bukti                            :   5 orang
Jumlah                                    : 18 orang

            6.      Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan dan mengumpulkan data dari sumber data tersebut, penulis dalam melakukan penelitian menggunakan cara sebagai berikut :
a.       Wawancara
Metode wawancara digunakan untuk memperoleh informasi tentang hal-hal yang tidak dapat diperoleh lewat pengamatan, akan tetapi penulis akan melakukan cara wawancara, dimana penulis mengajukan pertanyaan kepada responden yang dirancang sedemikian rupa sehingga responden memberikan keterangan secara bebas dan tepat sesuai tujuan pertanyaan.
b.      Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan ini diperoleh dengan cara membaca, mempelajari dan mengkaji buku-buku yang berhubungan erat dengan penelitian yang dilakukan sehingga dapat memperoleh informasi yang berbentuk formal maupun data melalui naskah resmi.
         7.      Pengolahan Data dan Analisis Data
Berdasarkan data yang diperoleh dengan metode wawancara dan studi kepustakaan, maka hasil tersebut kemudian dilakukan editing yang bertujuan untuk mengurangi kesalahan-kesalahan didalam daftar pertanyaan dan jawaban yang sudah diselesaikan sampai seminimal mungkin. Data yang masuk sebelum diproses harus dievaluasi terlebih dahulu agar benar-benar valid, reliabel dan dapat dipertanggungjawabkan. Jadi, didalam editing terjadi penyortiran data yang dapat dipisahkan antara data yang valid dan data yang kurang valid. Tujuan dari semua ini agar didapatkan data yang benar-benar objektif.
Langkah selanjutnya adalah data dianalisa secara deskriptif, kualitatif yaitu menjelaskan dan menguraikan data yang telah diperoleh dengan memberikan penafsiran yang logis dan benar sesuai fakta yang ada   

     

 BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A.    Tugas dan Wewenang Polri Dalam Proses Penyidikan
Konsep polisi di Indonesia, selalu dipahami menurut kamus hukum Bahasa Indonesia bahwa merupakan badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (menangkap orang-orang yang melanggar undang-undang) atau dapat pula  diartikan sebagai  anggota dari badan pemerintahan (pegawai negara yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum).[1]
Demikian pengertian polisi menurut kamus besar bahasa indonesia adalah badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (menegakan berlakunya undang-undang dan menindak bagi siapa yang melanggarnya).[2]
Sedangkan berdasarkan pasal 1angka 1 undang –undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang kepolisian Negara Republik Indonesia menentukan bahwa:
“Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang –undang”.

Pada dasarnya kepolisian Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah Republik Indonesia yang bertugas untuk menjamin ketertiban dan tegaknya hukum sertas membina ketenteraman masyarakat.
Demikian pula berdasarkan pasal 1 butir 1 undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP menentukan bahwa penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI) atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu yang diberikan wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan. Jadi penyidik menurut KUHAP pasti adalah Polri dan penyidik Polri adalah Pejabat Polri tertentu dengan pangkat paling rendah Ajun Inspektur Polisi II / AIPDA yang ditunjuk/diangkat oleh Kapolri. Jadi tidak setiap anggota Polri dengan pangkat paling rendah Aipda boleh bertindak selaku penyidik, melainkan terbatas hanya Pejabat Polri yang diangkat atau ditunjuk oleh Kapolri untuk menjabat selaku penyidik Polri.
           1.      Tugas Polri
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri telah mengatur tugas-tugas dari Kepolisian Republik Indonesia sebagaimana terlihat pada pasal 13 dan pasal 14 Undang Nomor 2 Tahun 2002 tersebut.
Adapun pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa tugas pokok Polri adalah :
a.         Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
b.         Menegakkan hukum
c.         Memberi perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Selanjutnya pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan sebagai berikut :
Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :
a.       Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b.      Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c.       Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
d.      Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e.       Memelihara ketertiban dan
f.       Menjamin keamanan umum;
g.      Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap Kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakaarsa-,
h.      Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
i.        Menyelenggarakan identifikasi Kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
j.        Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan linkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
k.      Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
l.        Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingan dalam lingkup tugas kepolisian; serta
m.    Melakukan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Jadi berdasarkan tugas Polri di atas, maka dapat disimpulkan bahwa fungsi kepolisian adalah merupakaan salah satu tugas pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum, perlindungan, serta penganyoman dan pelayanan kepada masyarakat.
            2.      Wewenang Polri
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 wewenang Polri dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu :
a.       Wewenang yang diatur dalam pasal 15 ayat (1) yang menentukan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:
a)      Menerima laporan dan/atau pengaduan;
b)      Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;
c)      Mencegah dan menangulangi penyakit masyarakat;
d)     Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
e)      Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;
f)       Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisaian daalam rangka pencegalian;
g)      Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
h)      Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
i)        Mencari keterangan dan barang bukti;
j)        Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
k)      Mengeluarkan surat ijin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;
l)        Memberiakan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
m)    Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

b.      Wewenang yang diatur dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 yang menyebutkan bahwa: Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya berwenang:
a)         Memberi ijin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainya;
b)        Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
c)         Memberikan Surat ijin nmengemudi kendaaraan bermotor;
d)        Menerima pemberitahuan tentang, kegiatan  politik;
e)         Memberikan ijin dan melakukan pengawasan senjata api, bahkan peledak dan senjata tajam;
f)         Memberikan ijin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha dibidang jasa pengamanan;
g)        Memberikan petunjuk, mendidik dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
h)        Melakukan kerjasama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantaskejahatan internasional;
i)          Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap prang asing di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
j)          Mewakili Pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian Internasional;
k)        Melaksanakan kewenangan lain yang tennasuk dalam lingkup tugas kepolisian.

c.       Wewenang yang diatur dalam pasal 1 ayat (4) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 menyebutkan bahwa dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang, untuk:
a)     Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
b)     Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
c)     Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
d)     Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyaakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
e)     Melakukan pemeriksaan clan penyitaan Surat;
f)      Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g)     Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h)     Mengadakan penghentian penyidikan;
i)      Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
j)      Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang, yang disangka melakukan tindak pidana;
k)     Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik Pegawai Negeri Sipil serta mencrima hasil penyidikan, penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum;dan
l)      Mengadakan tindakan lain menurut hokum yang bertanggung jawab.

Lepas dari tiga macam kewenangan Polri sesuai Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tersebut di atas, maka kewenangan Polri juga telah diatur secara paten menurut Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP, dimana diatur kewenangan Polri sebagai penyelidik dan penyidik.
Berdasarkan pasal 1 angka 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa:
"Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan togas penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini".

Sedangkan yang dimaksud dengan tindakan penyelidikan adalah berdasarkan pasal 1 angka 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa:
"Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini".

Sebagai penyelidik, maka berdasarkan pasal 5 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Polri berwenang:
1)      Karena kewajibannya mempunyai wewenang:
(1)   Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
(2)   Mencari keterangan dan barang bukti;
(3)   Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan Berta memeriksa tanda pengenal diri;
(4)   Mengadakan tindakan lain menurut hokum yang bertanggung jawab.
2)      Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
(1)     Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;
(2)     Pemeriksaan dan penyitaan surat;
(3)     Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
(4)     Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.

Berdasarkan pasal 1 angka, 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa:
"Penyidik adalah Pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Dalam hal ini pejabat penyidik tidak hanya Polri saja, namun berkaitan dengan tujuan penelitian, maka penulis hanya menitik beratkan pada pejabat Polri saja.
Pengertian penyidikan diatur dalam pasal 1 angka 2 Kitab Undang­Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ;
"Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya".

Penyidikan merupakan tindak lanjut dari penyelidikan. Sebagai penyidik, pejabat Polri memiliki beberapa kewenangan yang termuat dalam pasal 7 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menyatakan sebagai berikut:
Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang:
a)      Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
b)      Melakukan tindakan pertania pada saat di tempat kejadian;
c)      Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d)     Melakukan penangkapan, penabanan, penggeledahan dan penyitaan;
e)      Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f)       Mengambil sidik jari dan memotret surat;
g)      Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h)      Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i)        Mengadakan penghentian penyidikan;
j)        Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

           3.      Proses Penyidikan Menurut KUHAP
Dengan berlakunya KUHAP maka terjadi perubahan fundamental di dalam hukum acara pidana, karena hukum acara pidana yang baru ini merupakan realisasi cita-cita hukum nasional yang memuat azaz-azaz yang tercermin dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 hak asasi manusia dijunjung tinggi dan menjamin warga negara persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, serta menjunjung hukum dan pemerintahan itu tanpa kecualinya. Pembangunan dalam bidang hukum dengan membuat dan menyernpurnakan Undang-undang ditingkatkan dengan unifikssi dan kodifikasi, yang dalam bidang hukum Acara Pidana, bertujuan agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya dan agar dapat ditingkatkan pembinaan sikap para penegak hukum sesuai dengan fungsi dari wewenang masing-masing ke arah tegak dan mantapnya hukum dengan keadilan dan perlindungan terhadap hak azazi harkat dan martabat manusia serta ketertiban dan kepastian hukum.
Materi hukum acara pidana yang diatur di dalam KUHAP sangat berbeda dengan HIR, oleh karena itu tejadi perubahan yang fundamental di dalam sistem peradilan pidana yang mempengaruhi pula sistim penyidikan. Perubahan fundamental tersebut dalam bidang penyidikan antara lain sebagai berikut :
1)      Sistim peradilan pidana, yang mengutamakan perlinduagan hak-hak azazi manusia dimann masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya, yang dalam bidang penyidikan dinyatakan antara lain dengan menjamin hak-hak tersangka clan perlakuan terhadap tersangka secara layak dan sebagai subyek.
2)      Peningkatan pembinaan sikap para petugas penegak hukum sesuai dengan wewenang dan fungsi masing-masing dengan pebidangan tugas, wewenang dan tanggung jawab. Pembidangan tersebut tak berarti mengkotak-kotakkan tugas, wewenang dan tanggung jawab tapi mengandung koordinasi dan singkronisasi.
3)      Kedudukan Polri sebagai penyidik yang mandiri tak dapat terlepas dari fungsi penuntutan dan pengadilan, dimana terjalin adanya hubungan koordinasi fungsional dan instasional serta adanya singkronisasi.
4)      Polri sebagai penyidik utama wajib mengkoordinasikan penyidik pejabat pegawai negeri sipil dengan memberikan pengawasan, petunjuk dan bantuan.
5)      Adanya pembatasan wewenang yang lebih sempit dan pengawasan yang lebih ketat bagi penyidik demi penegakkan hukum dan perlindungan hak azazi.
6)      Kewajiban penyidik untuk memberikan perlakuan yang layak disertai kewajiban memberikan perlindungan dan pengayoman, misalnya dalam hal terdakwa tak mampu dan tak mempunyai penasehat hukum.
7)      Pembatasan wewenang dan pengketatan terhadap penyidik yang dilengkapi dengan pendampingan oleh pembela kepada tersangka yang diperiksa.
Dengan berlakunya KUHAP, maka Polri bertindak sebagai penyidik utama, maka harus diadakan koordinasi fungsional dan intansional dalam rangka memperlancar pelaksanaan tugas antara lain hubungan penyidik dengan penuntut umum seperti diuraikan di dalam beberapa pasal;
Ø  Pasal 109 ayat 1 bahwa sejak diadakan penyidikan maka penyidik harus memberitahu pada penuntut umum.
Ø  Pasal 24 ayat 2 perpanjangan waktu penahanam
Ø  Apabila penyidik menghentikan penyidikan maka penyidik harus memberitahu pada penuntut umum (pasal 109 ayat 2)
Setelah penyidikan selesai, maka penyidik harus menyerahkan hasilnya kepada penuntut umum.
Ø  Apabila hasil penyidikan belum sempurna maka penuntut umum mengembalikannya kepada penyidik disertai petunjuk hal-hal yang perlu diperbaiki.
Dengan ditetapkan polri sebagai penyidik utama, maka rantai dari penyidikan dipersingkat dan tidak banyak aparat yang turut campur di dalam melakukan penyidikan.
Dalam KUHAP dibedakan antara penyidik dengan penyelidikan, yaitu.:
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang guna mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka, adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya diakukan penyidikan menurut cara yang teratur dalam undang-undang.

Penyelidikan bukanlah merupakan fungsi yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan, melainkan hanya merupakan salah satu cara atau metode atau sub dari fungsi penyidikan, yang mendahului tindakan lain yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanai4 pemeriksaan Surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum. Oleh karena itu dengan ditetapkan Polri sebagai penyidik dan penyelidik utama, maka penuntut umum tidak mempunyai wewenang untuk mengadakan penyidikan dan penyelidikan.

B.     Peranan Jaksa Dalam Sistem Peradilan Pidana
            1.      Pengertian Kejaksaan
Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara terutama di bidang penuntutan dalam tata susunan kekuasaan badan-badan penegak hukum dan keadilan, dipimpin oleh Jaksa Agung yang bertanggung jawab langsung kepada presiden.[3]
Keberadaan Kejaksaan Republik Idonesia tidak diatur secara tegas (eksplisit) dalam Undang-undang Dasar 1945 sebelum perubahan, melainkan hanya tersirat (implisit). Pengaturannya dalam Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi :
"Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini".

Demikian juga, dalam UUD 1945 sesudah perubahan hanya tersirat dalam Pasal 24 ayat (3), dan dalam Pasal II Aturan Peralihan. Pasal 24 ayat (3) mengatur bahwa "Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman diatur dalam undang-undang". Kemudian Pasal II Aturan Peralihan mengatur bahwa : "Semua Lembaga Negara yang ada masih hidup tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang Dasar dan belum diadakannya yang baru menurut Undang-undang Dasar ini".
Perubahan mendasar terjadi setelah keluar Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menggantikan dan mencabut Undang-undang Nomor 5 tahun 1991, didalam konsideran Menimbang dinyatakan : “Bahwa untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun”.
Kedua undang-undang ini menunjukan bahwa eksistensi Kejaksaan Republik Indonesia dalam upaya penegakan hukum tidak bisa diabaikan. Ini adalah karena disamping secara normatif ada yang mengatur, juga dalam tataran faktual, masyarakat menghendaki lembaga / aparat penegak hukum benar-benar berperan. sehingga terwujud rasa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kedudukan serta fungsi kejaksaan sangat rentan oleh sistem ketatanegaraan atau corak pemerintahan yang dianut. Misalnya, pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, kejaksaan semata-mata merupakan alat kekuasaan atau perpanjangan tangan penguasa pada saat itu. Begitu juga pada masa pemerintahan setelah kemerdekaan, kejaksaan seharusnya merupakan sarana untuk melindungi dan mengayomi masyarakat, tetapi malah terkesan sebaliknya, khususnya dalam penanganan perkara subversi, pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), dan tindak pidana korupsi dalam kasus-kasus tertentu.
Secara universal, posisi dan fungsi kejaksaan di berbagai belahan dunia hampir tidak berbeda, merupakan bagian dari fungsi penegakkan hukum dari suatu negara. Di Indonesia Kejaksaan Republik Indonesia merupakan salah sate institusi penegak hukum yang kedudukannya berada di lingkungan kekuasaan eksekutif (pemerintah) yang berfungsi melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan, sebagaimana secara tegas ditetapkan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, disamping melaksanakan fungsi kekuasaan lain yang diberikan oleh undang-undang.
Fungsi kejaksaan sesuai dengan Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia mencakup aspek preventif dan aspek represif dalam kepidanaan serta Pengacara Negara dalam keperdataan dan Tata Usaha Negara. Aspek preventif berupa peningkatan kesadaran hukum masyarakat, pengamanan penegakan hukum, pengamanan peredaran barang cetakan, pengawasan aliran kepercayaan, pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Aspek represif melakukan penuntutan dalam perkara pidana, melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan, melakukan pengawasan terhadap keputusan pelepasan bersyarat, melengkapi berkas perkara tertentu yang berasal dari Penyidik Polri atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Menurut Soerjono Soekanto,[4] bahwa : Hukum dan penegakan hukum, merupakan sebagian faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.
Oleh karena itu, keberadaan Kejaksaan Republik Indonesia, sebagai  institusi penegak hukum, mempunyai kedudukan yang sentral dan peranan yang strategis didalam suatu negara hukum karena institusi kejaksaan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan, sehingga keberadaannya dalam kehidupan masyarakat harus mampu mengemban tugas penegakan hukum.
Secara filosofis, gambaran Jaksa / Penuntut Umum adalah figur seseorang yang profesional, berintegritas dan disiplin. Jaksa diharuskan berpedoman pada doktrin yang dinamakan Tri Karma Adhyaksa yaitu Satya ; kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga maupun kepada sesama manusia;  Adhi ; kesempurnaan dalam bertugas dan berunsur utama pemilikan rasa tanggung jawab, bertanggung jawab baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap keluarga dan terhadap sesama manusia; Wicaksana ; bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku khususnya dalam pengentrapan kekuasaan dan kewenangannya, yang harus dipatuhi.
Doktrin Tri Karma Adhyaksa yang dijabarkan dalam Kode Etik Jaksa, sebagai tuntutan tata pikir, tata tutur dan tata laku dalam mewujudkan jati diri jaksa mandiri yang memiliki kemampuan profesional, integritas pribadi dan disiplin tinggi dalam mengemban bakti profesi kepada masyarakat, bangsa dan negara.
Gambaran figur Jaksa / Penuntut Umum yang berlaku umum perlu diuji kemungkinan aplikasinya melalui suatu sistem, karena disadari atau tidak, bahwa seorang Jaksa yang juga seorang manusia biasa, yang tidak mungkin lepas dari suatu kesalahan dan atau kekeliruan dalam melaksanakan tugasnya, baik itu dari teknis yuridisnya yaitu apakah prosedur penyidikan, penyelidikan, dakwaan dan penuntutan sudah sesuai dengan undang-undang yang berlaku, maupun dari sudut administrasi perkara, apakah dalam penyusunan berkas perkara Jaksa/Penuntut Umum sudah secara lengkap dari mulai pra penuntutan sampai eksekusi dalam satu berkas perkara, dan tidak menutup kemungkinan ada sebagian kecil dari Jaksa/Penuntut Umum dalam kenyataannya melaksanakan tugasnya tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik itu dari sudut teknis yuridis maupun administrasi perkara.
Fungsi Kejaksaan dalam penegakan hukum berkaitan dengan penanganan perkara lebih dipandang bukan sebagai pelaksana kekuasaan negara, tetapi sebagai alai perpanjangan tangan penguasa untuk menindak rakyat atau masyarakat.
Martin Basiang mengatakan bahwa,[5] sorotan tajam masyarakat tersebut tidak sepenuhnya dapat disalahkan, mengingat kedudukan kejaksaan oleh undang-undang dinyatakan sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan penuntutan. Sepanjang kedudukan kejaksaan bukan sebagai pelaksana kekuasaan negara di bidang penegakan hukum, maka sorotan tajam dan tudingan miring terhadap penanganan suatu perkara selamanya akan tetap dinilai bernuansa politik. Hal ini akan memungkinkan pula munculnya intervensi dari pihak-pihak lain terhadap kebijakan penuntutan.
Akuntabilitas (keterbukaan) sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi terjadinya deviasi (penyalahgunaan) kewenangan oleh aparat kejaksaan saat menjalankan tugas dan wewenangnya menegakan hukum. Untuk menciptakan akuntabilitas dimaksud, perlu dilakukan pengawasan agar terbentuk aparat yang bersih, penuh tanggung jawab, baik secara moral, agama, dan hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Pada dasarnya pertanggungjawaban kejaksaan adalah pertanggungjawaban institusi kejaksaan dan pertanggungjawaban jaksa perorangan, dilihat dari persoalan-persoalan tersebut di atas, maka eksaminasi perkara merupakan suatu sarana yang sangat penting untuk dapat meneliti dan menilai kinerja Jaksa/Penuntut Umum, apabila ditemukan adanya kesalahan, kekeliruan yang dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum.
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, alinea ke-empat dijumpai kata-kata "Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu pemerintaban negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, .....dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".
Semuanya itu merupakan dasar bahwa Indonesia adalah negara hukum, karena memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan pendidikan.
Tujuan hukum menjadi tujuan dan isi dari suatu negara hukum. Indonesia, sebagai suatu negara hukum, memiliki tujuan hukum untuk menciptakan keadilan, kepastian hukum, dan kesejahteraan bagi rakyat.
Eksistensi (kedudukan dan fungsi) kejaksaan dalam proses penegakan hukum, berorientasi pada pencapaian tujuan hukum, yaitu kepastian hukum, keadilan dan kesejahteraan (manfaat/faedah/hasil guna), mengenai tujuan hukum tersebut, B. Arief Sidharta, mengatakan bahwa :
Merupakan cita hukum bangsa Indonesia yang berakar dalam Pancasila, yang dinyatakan di dalam alinea keempat Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang menjadi landasan filsafah dalam menata kerangka dan struktur dasar organisasi negara. Cita hukum tersebut mencerminkan tujuan negara serta nilai-nilai dasar yang tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945.

Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, menyatakan bahwa :
“Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”

Berdasarkan pasal tersebut di atas, maka kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia adalah sebagai lembaga penuntutan yang berperan sangat penting dalarn upaya penegakan hukum, khususnya di bidang hukum pidana.
Selanjutnya mengenai pengertian Jaksa menurut Pasal I butir 1 Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, mengatakan bahwa :
Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-­undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.

Menurut Pasal I butir 2 Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang dimaksud Jaksa Penuntut Umum adalah :
Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang­undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim.

Selanjutnya, mengenai wewenang Jaksa Penuntut Umum diatur lebih lanjut dalam Pasal 14 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu :
1.      Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik tertentu,
2.      Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik,
3.      Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik,
4.      Membuat surat dakwaan,
5.      Melimpahkan perkara ke pengadilan,
6.      Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan,
7.      Melakukan penuntutan,
8.      Menutup perkara demi kepentingan hukum,
9.      Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut, umum menurut ketentuan undang-undang ini,
10.  Melaksanakan penetapan hakim
Sehubungan dengan wewenang penuntutan di atas, maka dalam hukum acara pidana di Indonesia dikenal dua asas penuntutan yaitu :
1.      Asas Legalitas ; yaitu penuntut umum diwajibkan menuntut semua orang yang dianggap cukup alasan bahwa yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran hukum..
2.      Asas Oportunitas ; yaitu penuntut umum tidak diharuskan menuntut seseorang, meskipun yang bersangkutan sudah jelas melakukan suatu tindak pidana yang dapat dihukum.
Mengenai penuntutan menurut ketentuan Pasal 1 butir 7 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa :
"Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke penagadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang pengadilan".

Untuk melaksanakan tugas penuntutan tersebut, maka diperlukan adanya suatu pengawasan yang terkoordinasi, sebagaimana dulu diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 15 tahun 1961 tentang Ketentuan­ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, Jaksa Agung adalah Penuntut Umum Tertinggi, untuk kepentingan penuntutan perkara Jaksa Agung dan jaksa-jaksa lainnya dalam lingkungan daerah hukumnya memberikan petunjuk-petunjuk, mengkoordinasikan dan mengawasi alat­alat penyidik dengan mengindahkan hierarki, Jaksa Agung memimpin dan mengawasi para Jaksa dalam melaksanakan tugasnya.
Selanjutnya menurut Pasal 38 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, mengatakan bahwa :
"Untuk meningkatkan kualitas kinerja kejaksaan, presiden dapat membentuk sebuah komisi yang susunan dan kewenangannya diatur oleh Presiden".

Dalam ketentuan pasal 284 Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 115 tahun 1999 tentang Sususan Organisasi dan Tata Organisasi Kejaksaan Republik Indonesia, yang berbunyi:
"Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada pasal 284, sub direktorat keamanan, ketertiban umum dan tindak pidana umum lainnya mengelenggarakan fungsi :
1.      Penyelenggaraan pengkajian terhadap segi teknis administrasi dan penerapan hukum dalam menangani perkara tindak pidana umum mulai dari pemberian petunjuk kepada penyidik sampai dengan eksekusi.
2.      Pelaksanaan urusan administrasi dan dokumentasi.
Untuk melaksanakan pengawasan terhadap jaksa penutut umum dalam melaksanakan penuntutan tindak pidana perlu adanya peraturan yang mengatur mengenai pelaksanaan eksaminasi sebagaimana diatur dalam pasal 556 huruf c Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 115 tahun 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia yang menyebutkan. bahwa:
Pelaksanaan eksaminasi terhadap pelaksanaan tugas jaksa penuntut umum atas penanganan perkara tindak pidana umum.

Istilah eksaminasi berasal dari bahasa ingris yaitu exsamination yang berarti ujian atau pemeriksaan. Apabila dihubungkan dengan konteks eksaminasi terhadap produk pengadilan (dakwaan, putusan hakim, surat perintah), makna eksaminasi berarti melakukan pengujian atau pemeriksaan terhadap produk-produk tersebut.
Eksaminasi sering disebut dengan istilah legal  anatation, yaitu pemberian  catatan-catatan hukum terhadap putusan pengadilan maupun dakwaan jaksa penutut umum. Pengawasan internal yaitu pengawasan dari institusi penegak hukum seperti badan peradilan (yang dikoordinasikan oleh Kejaksaan Agung).
Pengawasan internal yaitu pengawasan yang dilakukan dalam anggota masyarakat, hal ini dilakukan atas dasar bahwa masyarakat pemegang hak kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Bentuk pengawasan masyarakat terhadap kinerja kerja aparatur penegak hukum, khususnya jaksa pentunt umum dapat dilakukan dengan cara pembentukan jaringan, majelis dan segala bentuk keorganisasian untuk penegakan aparatur penegak hukum khususunya Jaksa Penuntut Umum.
Pemikiran terhadap perlunya pengawasan masyarakat yang lebih luas ini sebagai suatu perwujudan dari pembangunan hukum nasional, namun perubahan perubahan ini terus senantiasa melalui koridor dan etika yang baik, sehingga citra penegakan hukum diharapkan menuju kearah yang lebih baik. Pemikiran ini sesuai dengan uraian Mochtar Kusumaatmadja:[6]
"semua masyarakat yang sedang membangun diceriakan oleh perubahan………..peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur".

Salah satu bentuk terhadap penyelenggaraan negara dapat diwujudkan dalam bentuk pengujian (eksaminasi) terhadap produk penyelenggaraan negara, salah satunya yaitu kinerja jaksa penuntut umum, wujud dan pengawasan tersebut (baik internal maupun eksaminasi) dapat dilakukan dalam bentuk eksaminasi terhadap produk-produk yang dihasilkan aparatur penegak hukum seperti putusan hakim, surat dakwaan, surat penggeledahan dan lain sebagainya.
Berdasarkan Keputusan Presiders Republik Indonesia Nomor 86 tahun 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan bahwa :
“kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara terutama di bidang penuntutan dalam tata susunan kekuasaan badan-badan penegak hukum dan keadilan, dipimpin oleh Jaksa Agung yang bertanggung jawab langsung kepada presiden”.

Rumusan tersebut menegaskan kedudukan kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntutan yang berperan sangat penting dalam upaya penegakan hukum, khususnya di bidang hukum pidana. Jaksa sebagai pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak selaku penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan memainkan peran yang sangat penting, mengingat peran yang sangat penting itu pula, seorang jaksa dituntut untuk dapat bekerja secara profesional sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Menurut pandangan pemikiran cendikiawan kejaksaan yaitu Dr. Saherodji, menjelaskan bahwa: Kata Jaksa berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pengawas (superintendant) atau pengontrol, yaitu pengawas soal-soal kemasyarakatan.
Sesuai dengan Lampiran Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No. Kep.047/J.A/1987, tanggal 17 Juli tahun 1978, mengatakan bahwa pengertian jaksa adalah:
Jaksa asal kata dari seloka satya adhy wicakasana yang merupakan trapsila adiyaksa yang menjadi landasan jiwa dan raihan cita-cita setiap warga adiyaksa dan mempuyai arti serat makna sebagai berikut: Satya, kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap, Tuhan Yang Malia Esa, terhadap, diri pribadi dan keluarga maupun terhadap sesama manusia. Adhy, kesempurnaan dalam bertugas dan yang berunsur utama kepemilikan rasa tanggungjawab baik terhadap Tuhan Yang Maba Esa, keluarga baik terhadap sesama manusia. Wicaksana, kebijaksaan dalam tutur kata dan tingkah laku khususnya dalam penerapan kekuasaan dan kewenangannya.[7]

Dahulu "adiyaksa" tidaklah sama tugasnya dengan tugas utama "penuntut umum” dewasa ini. Lembaga penuntut umum seperti sekarang ini tidak bertugas sebagai hakim, tetapi keduanya mempunyai persamaan tugas yaitu penyidikan perkara, penuntutan, dan melakukan tugas sebagai "hakim komisaris".
Di dalam pasal 1 butir 6 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 disebutkan bahwa:
1.      Jaksa adalah pejabat yang diberi berwenang oleh undang undang ini untuk bertindak sebagai penutut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
2.      Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang­undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan ketetapan hakim.

Bahwa Undang-undang Nomor 15 tahun 1961 tentang Ketentuan­Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, LN 1961 No. 254 dan Undang-undang No. 255, sudah tidak sesuai lagi dengan pertumbuhan dan perkembangan hukum serta ketatanegaraan Republik Indonesia, oleh karenanya undang-undang tersebut harus dicabut dan kemudian dibentuk Undang-undang yang baru sebagai penggantinya, yaitu dengan keluarnya Undang-undang No. 5 tahun 1991, dan kemudian Undang-undang ini pun diperbaharui dan dicabut yang kemudian digantikan dengan undang-undang No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, LN 2004 No.67 yang berlaku mulai tangal 26 Juli 2004.
Undang-undang No.16 tahun 2004 yakni dari pasal 30 sampai pasal 37 mengatur ketentuan-ketentuan tugas dan wewenang kejaksaan, antara lain:
1.      Di bidang pidana, melakukan penututan, melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan, pengawasan terhadap putusan lepas bersyarat, melengkapi berkas dengan melakukan pemeriksaan tambahan.
2.      Di bidang perdata dan tata usaha negara dengan kuasa khusus mewakili negara dan pemerintah.
3.      Di bidang ketertiban dan ketenteraman umum, pengamanan kebijakan hukum, pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara, pencegahan penyalahgunaan atau penodaan agama, penelitian pengembangan hukum serta statistik kriminal.
4.      Tugas lainnya diantaranya menempatkan terdakwa di rumah sakit, memberi pertimbangan hukum pada instansi-instansi, pembinaan hubungan sesama aparat penegak hukum.

Secara khusus Pasal 35 Undang-Undang No.16 tahun 2004, memuat kewenangan dan tugas jaksa agung selain dari pernimpin instansi kejaksaan, yakni;
1.      Mengendalikan kebijakan penegakan hukum.
2.      Mengefektifkan proses penegakan hukum.
3.      Mementingkan perkara demi kepentingan umum.
4.      Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum
5.      Mengajukan pertimbangan teknis kepada Mahkamah Agung dalam kasasi perkara-perkara pidana.
6.      Mencegah dan menangkal orang tertentu masuk atau keluar wilayah Negara Republik Indonesia karena keterlibatan dalam suatu perkara pidana, dan
7.      Memberi izin berobat tersangka atau terdakwa di dalam dan atau di luar negeri.

Dalam Lembaga Kejaksaan terdapat pemisahan penyidik dan penutut umum untuk menghindari dualisme, dalam penyelidikan perlu pertimbangan-pertimbangan yang betul-betul dapat dipertangungjawabkan dari segi rasional, efisien dan efektifitas yang seharusnya dengan asas sederhana, cepat dan murah. Maka pemisahan penyidik dengan tuntutan untuk menghindari dualisme penyelidikan adalah tidak efisien dan efektif.
Keberhasilan penuntutan tidak terlepas dari hasil penyelidikan dan sebaliknya kegagalan penuntutan dapat terjadi karena hasil penyelidikan yang tidak memadai. Ini memperlihatkan adanya hubungan yang erat penyidik dengan penuntut.
Maka dapat disimpulkan bahwa tugas dan wewenang jaksa sebagai penyidik tidak meliputi semua tindak pidana, namun hanya tindak pidana khusus saja, seperti tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 2 Undang-undang No. 20 tahun 2001, tindak pidana ekonomi dan sebagainya. Dan ini sesuai dengan pengertian yang terdapat pada Pasal 284 ayat (2) KUHAP, dan sesuai dengan Pasal 32 Undang-undang No. 16 tahun 2004 yang menyatakan : Bahwa disamping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-undang ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang.
Jaksa yang kita kenal dewasa ini bukan merupakan hal yang baru bagi Indonesia. Kata tersebut berasal dari bahasa sansekerta "adhyaksa" dapat dilihat dari beberapa pendapat para sarjana diantaranya :
1.         Menurut Sutanto Kartoatmodjo :[8] bahwa, yang dimaksud dengan adhyaksa adalah superintendant atau superintendance.
2.         Menurut W. F. Stutterheim :[9] pengawasan dalam urusan kependetaan, baik agama Budha maupun Syiwa dan mengepalai kuil-kuil yang didirikan di sekitar istana. Di samping itu juga bertugas sebagai hakim, dan sebagai demikian ia berada di bawah pemerintah serta pengawasan mahapati.
Dari arti kata yang diungkapkan di atas jelas bahwa sejak dahulu Jaksa merupakan suatu jabatan yang mempunyai kewenangan luas. Fungsinya senantiasa dikaitkan dengan bidang yudikatif bahkan pada masanya dihubungkan pula dengan bidang keagamaan. Khususnya yang menyangkut bidang keagamaan ini sangat menarik jika dihubungkan dengan bidang tugas yang ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (3) Undang­undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia.
Pada Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, ditentukan bahwa Jaksa adalah "pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukun serta wewenang lain berdasarkan undang­undang".
Selanjutnya menurut Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang dimaksud Jaksa Penuntut Umum adalah : "Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim".
Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan hares bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.
Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakkan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
            2.      Fungsi dan Kedudukan Kejaksaan
Secara universal, posisi dan fungsi kejaksaan di berbagai belahan dunia hampir tidak berbeda, merupakan bagian dari fungsi penegakkan hukum dari suatu negara. Di Indonesia Kejaksaan Republik Indonesia merupakan salah satu institusi penegak hukum yang kedudukannya berada di lingkungan kekuasaan eksekutif (pemerintah) yang berfungsi melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan, sebagaimana secara tegas ditetapkan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, disamping melaksanakan fungsi kekuasaan lain yang diberikan oleh undang-undang.
Fungsi kejaksaan sesuai dengan Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia mencakup aspek preventif dan aspek represif dalam kepidanaan serta Pengacara Negara dalam keperdataan dan Tata Usaha Negara. Aspek preventif, berupa peningkatan kesadaran hukum masyarakat, pengamanan kebijakan penegakan hukum, pengamanan peredaran barang cetakan, pengawasan aliran kepercayaan, pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Aspek represif melakukan penuntutan dalam perkara pidana, melaksanakan penetapan Hakim dan putusan pengadilan, melakukan pengawasan terhadap keputusan pelepasan bersyarat, melengkapi berkas perkara tertentu yang berasal dari Penyidik Polri atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Kedua aspek fungsi kejaksaan tersebut menjadi acuan dalam pengorganisasian tugas-tugas operasional, berintegritas dan disiplin. Menyangkut keperdataan dan tata usaha negara sebagai pengacara negara dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar Pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, menurut Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945, ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Ketentuan mengenai badan-badan lain tersebut dipertegas dalam Pasal 41 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan : "Bahwa badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan badan-badan lain yang diatur dengan undang­undang". Selanjutnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 2 menegaskan bahwa :
1.      Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang‑undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
2.      Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka.
3.      Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan.

Mencermati isi Pasal 2 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 di atas, dapat diidentifikasi beberapa hal, yaitu :
1.      Kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan,
2.      Kejaksaan melakukan kekuasaan (kewenangan) di bidang penuntutan dan kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
3.      Kekuasaan (kewenangan) itu dilakukan secara merdeka.
4.      Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan.
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 dijelaskan bahwa Kejaksaan adalah satu-satunya lembaga pemerintahan pelaksana kekuasaan negara yang mempunyai tugas dan wewenang di bidang penuntutan dalam penegakan hukum dan keadilan di lingkungan peradilan umum. Kemudian penjelasan Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan "secara merdeka" dalam ketentuan ini adalah dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Serta penjelasan Pasal 2 ayat (3) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan "kejaksaan adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan" adalah landasan pelaksanaan tugas dan wewenangnya di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan, sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata kerja kejakasaan. Oleh karena itu, kegiatan penuntutan di pengadilan oleh kejaksaan tidak akan berhenti hanya karena Jaksa yang semula bertugas berhalangan. Dalam hal demikian, tugas penuntutan oleh kejaksaan akan tetap dilakukan sekalipun oleh Jaksa pengganti.
Dalam Penjelasan Umum Undang-undang tersebut, diuraikan bahwa pembaharuan undang-undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dimaksudkan untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya, kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakkan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh karena itu perlu dilakukan penataan kembali terhadap kejaksaan untuk menyesuaikan dengan perubahan-perubahan tersebut di atas.
Bila ketiga undang-undang mengenai kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia dalam penegakan hukum di Indonesia dikomparasi, tampak ada beberapa kesamaan namun ada pula perbedaan, yaitu :[10]
1.      Kesamaan ketiga undang-undang kejaksaan (Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991, dan Undang­undang Nomor 15 Tahun 1961) berkaitan dengan kedudukan kejaksaan adalah Pertama, kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan; Kedua, kejaksaan melakukan kekuasaan (kewenangan) utama di bidang penuntutan.
2.      Kesamaan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 yakni Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Berbeda dari pengaturan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 yang menegaskan bahwa kejaksaan adalah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas sebagai penuntut umum.
3.      Perbedaan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 dengan Undang­undang Nomor 5 Tahun 1991 dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 terletak pada unsur bahwa "kekuasaan (kewenangan) itu dilakukan secara merdeka". Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 mengatur dengan tegas bahwa kejaksaan memilih kemerdekaan dan kemandirian dalam melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan, sedangkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 dan Undang-undang Nomor 15 tahun 1961 tidak mengatur hal ini.
4.      Perbedaan lainnya adalah Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 menegaskan secara eksplisit bahwa Kejaksaan harus menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara, sementara Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tidak menegaskan hal tersebut.
Mencermati pengaturan di atas dapat dijelaskan bahwa kedudukan kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan yang melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan, bila dilihat dari sudut kedudukan, mengandung makna bahwa kejaksaan merupakan suatu lembaga yang berada di bawah kekuasaan eksekutif. Sementara itu, bila dilihat dari sisi kewenangan kejaksaan dalam melakukan penuntutan berarti kejaksaan menjalankan kekuasaan yudikatif. Disinilah terjadi ambivalensi kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia dalam penegakan hukum di Indonesia.
Selanjutnya, sehubungan dengan makna kekuasaan kejaksaan dalam melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka, penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 menjelaskan bahwa kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.
Lebih jauh, dalam penjelasan Umum Undang-undang, Nomor 16 Tahun 2004, antara lain dinyatakan bahwa diberlakukannya undang-undang ini adalah untuk pembaruan kejaksaan, agar kedudukan dan perannya sebagai lembaga pemerintahan lebih mantap dan dapat mengemban kekuasaan negara di bidang penuntutan, yang bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun.
Dalam pengertian lain, kejaksaan dalam melaksanakan tugasnya, hendaknya merdeka dan terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan lainnya dalam upayanya mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran dengan mengindahkan norma‑norma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-­nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Bila kedudukan kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan  dikaitkan dengan kewenangan kejaksaan melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka, di sini terdapat kontradiksi dalam pengaturannya (Dual Obligation). Dikatakan demikian, adalah mustahil kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan mungkin juga pengaruh kekuasaan lainnya, karena kedudukan kejaksaan berada di bawah kekuasaan eksekutif.
Kesimpulan ini, diperkuat lagi dengan kedudukan Jaksa Agung sebagai pemimpin dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan, dan juga pimpinan dan penanggung jawab tertinggi dalam bidang penuntutan, adalah sebagai Pejabat Negara yang diangkat dan diberhentikan serta bertanggung jawab kepada Presiden. Dalam konteks Ilmu Manajemen Pemerintahan, Jaksa Agung sebagai bawahan Presiden, harus mampu melakukan tiga hal :[11]
1.    Menjabarkan instruksi, petunjuk, dan berbagai bentuk kebijakan lainnya dari Presiden dalam tugas dan wewenangnya dalam bidang penegakan hukum;
2.    Melaksanakan instruksi, petunjuk, dan berbagai kebijakan Presiden yang telah dijabarkan tersebut; dan
3.    Mengamankan istruksi, petunjuk, dan berbagai kebijakan Presiden yang sementara dan telah dilaksanakan.
Dedikasi, loyalitas, dan kredibilitas Jaksa Agung dihadapan Presiden diukur dari sejauhmana Jaksa Agung mampu melakukan ketiga hal tersebut. Yang pasti adalah Jaksa Agung harus berusaha melakukan ketiga itu untuk menunjukan dedikasi, loyalitas dan kredibilitasnya sebagai pengemban kekuasaan negara di bidang penegakan hukum. Disinilah letak kecenderungan ketidakmerdekaan kekuasaan kejaksaan melakukan fungsi, tugas dan wewenangnya. Implikasinya adalah keadilan, kepastian hukum dan kegunaan (kemanfaatan) hukum yang menjadi cita hukum bangsa Idonesia, sekaligus yang menjadi tujuan hukum yang mestinya harus diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hanya menjadi cita-cita dan jauh dari kenyataan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa Undang­undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menempatkan kejaksaan pada kedudukan yang ambigu. Di satu sisi, kejaksaan dituntut menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, di sisi lain kejaksaan dipasung karena kedudukannya berada di bawah kekuasaan eksekutif. Di sinilah antara lain letak kelemahan pengaturan undang-undang ini. Apabila pemerintah (Presiden) benar-benar memiliki komitmen untuk menegakan supremasi hukum di Indonesia, tidak menjadi masalah bila kejaksaan tetap berada di lingkungan eksekutii asalkan kejaksaan diberdayakan dengan diberi kewenangan dan tanggung jawab luas dan besar namun proporsional.
            3.      Tugas dan Wewenang Kejaksaan
Wewenang adalah hak dan kuasa untuk melakukan sesuatu. Tanpa wewenang maka segala sesuatu yang dilakukan penuntut umum tidak mempunyai landasan yang kuat. Maka agar tindakan yang dilakukan khusus dalam melaksanakan dapat dianggap sah, penuntut umum harus diberikan wewenang untuk hal tersebut.
Menurut Max Weber, wewenang adalah : "Suatu hak yang telah ditetapkan dalam suatu tata tertib sosial untuk menetapkan kebijakan­kebijakan, menentukan keputusan-keputusan mengenai persoalan­-persoalan yang penting dan untuk menyelesaikan pertentangan­pertentangan".[12]
Untuk tugas utama tersebut, penuntut umum diberi tugas dan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 13 KUHAP. Dan dalam Pasal 14 KUHAP ditentukan tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh penuntut umum. Sedangkan di dalam Pasal 137 KUHAP ditentukan wewenang penuntut umum.
Berdasarkan rumusan Pasal 1 butir 6 huruf a KUHAP, maka tugas utama Jaksa adalah :
"Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap".

Untuk tugas utama tersebut, penuntut umum diberi tugas dan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 13 KUHAP :
"Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”.

Sedangkan di dalam Pasal 137 KUHAP ditentukan wewenang penuntut umum, yaitu :
"Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili”.

Dalam mengkaji kedudukan dan fungsi kejaksaan, penting terlebih dahulu memahami apa tujuan hukum, dapat dipastikan bahwa pada hakikatnya eksistensi kejaksaan dalam proses penegakan hukum di Indonesia adalah untuk mencapai tujuan hukum bagi pencari keadilan (kemasyarakatan).
Jika direduksi, tujuan utama hukum adalah untuk mewujudkan ketertiban (order). Tujuan ini sejalan dengan fungsi utama hukum, yaitu mengatur. Ketertiban merupakan syarat mendasar yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Ketertiban benar-benar merupakan kebutuhan masyarakat manusia yang nyata dan objektif.
Para penganut paradigma hukum positif mengatakan bahwa tujuan hukum adalah kepastian hukum. Aliran ini menganggap ketertiban atau keteraturan tidak mungkin terwujud tanpa pola-pola perilaku yang pasti. Keteraturan akan terwujud jika ada kepastian, dan untuk itu hukum haruslah diwujudkan dalam pola-pola tertulis. Hukum dalam pola-pola tertulis hendaknya bersifat fleksibel, jangan kaku. Kepastian hukum meskipun fleksibel, tetapi harus bersifat lengkap, kongkret, prediktif, dan antisipatif.
Sementara itu, para penganut paradigma hukum alam berpendapat bahwa tujuan hukum adalah unhtuk mewujudkan keadilan, mereka menganggap bahwa satu-satunya tujuan hukum yang terutama adalah keadilan hukum ada atau diadakan adalah untuk mengatur dan menciptakan keseimbangan atau keharmonisan kepentigan manusia ketiga tujuan ini sering diungkapkan secara terpisah dan dianggap sebagai suatu proses yang paling menentukan satu sama lain, yaitu kepastian keteraturan (ketertiban) dan keadilan. Keteraturan tidak mungkin terwujud tanpa kepastian, dan orang tidak mungkin mempersoalkan keadilan ketidakaturan. Tetapi ketiga tujuan ini hanya sering pula hanya diungkapkan dengan kata keteraturan dengan asumsi bahwa tujuannya hanyalah sekedar konsekuensi dari atau termsuk dalam kata keteraturan itu.
Dalam perkembangan dan kenyataannya, keadilan bukan satu­satunya istilah yang digunakan iinhtuk menunjukan tujuan hukum pasca keteraturan. Dalam suatu negara modern (walfare state), tujuan hukum adalah untuk mewujudkan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi rakyat negara itu. Tujuan ini pada mulanya diperkenalkan oleh penganut paradigma hukum utilitarin. Jadi, disini tujuan hukum adalah manfaat atau faedah atau hasil guna dari hukum itu untuk masyarakat manusia.
Berkembang dengan tujuan hukum dari beberarapa paradigma hukum di atas, Moctar Kusumaatmadja, menyatakan bahwa tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah ketertiban. Disamping itu, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat ada samannya. Tanya kepastian hukum dan ketertiban masyarakat yang dijelmahkan oleh manusia tak mungkin mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal di lingkungan masyarakat tempat hidup.
Hakikat deskripsi di atas memperlihatkan bahwa kedudukan dan fungsi kejaksaan dalam proses penegakan hukum mengacu pada beberapa tujuan hukum di atas dikongretkan dalam hukum positif (sementara ini tercermin di dalam Undang-undang No.5 tahun 1991 dan Undang-undang No. 16 tahun 2004). Kejaksaan menjadi suatu badan yang berpotensi pada pencapaian tujuan hukum bagi pencari keadilan, baik itu masyarakat maupun pemerintah sendiri, yaitu kepastian hukum, keadilan dan kesejahteraan (manfaat / faedah / hasil guna) bagi masyarakat hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa eksistensi (kedudukan dan fungsi) kejaksaan dalam proses kepastian hukum, keadilan, dan kesejahteraan (manfaat / faedah / hasil guna).
Bila kedudukan kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan dikaitkan dengan kewenangan kejaksaan melakukan kekuasaan negara dibidang penuntutan secara merdeka. Di sini terdapat kontradiksi dalam pengaturannya (dual obligation). Dikatakan demikian adalah mustahil kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan mungkin juga berpengaruh kekuasaan lainnya, karena kedudukan kejaksaan berada dibawah kekuasaan eksekutif.
Kesimpulan ini diperkuat lagi dengan kedudukan Jaksa Agung sebagai pemimpin yang bertanggung jawab tinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan, dan juga pemimpin dan penanggung jawab tertinggi dalam bidang penuntutan, adalah sebagai pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan serta bertanggung jawab kepada Presiden.
Dedikasi, loyalitas, dan kredibiltas Jaksa Agung dihadapan Presiden diukur dari sejauh mana Jaksa Agung mampu melakukan tiga hal yang disebutkan dalam konteks menajemen pemerintahan yang telah dibahas dalam bab sebelumnya, yaitu menjabarkan instruksi, petunjuk, dan berbagai bentuk kebijakan lainnya dari Presiden dalam tugas dan wewenang dalam bidang penegakan hukum melaksanakan instuksi, petunjuk dan berbagai kebijakan presiden yang sementara telah dilaksanakan. Yang pasti adalah Jaksa Agung harus berusaha melakukan ketiga hal tersebut untuk menunjukan dedikasi, loyalitas, dan kredibilitasnya sebagai pengemban kekuasaan Negara dibidang penegakan hukum. Disinilah letak kecenderungan ketidak-kemerdekaan kejaksaan melakukan fungsi, tugas, dan wewenangnya. Implikasinya adalah keadilan, kepastian hukum, dan kegunaan (kemanfatan) yang menjadi cita hukum bangsa Indonesia, sekaligus yang menjadi tujuan hukum yang mestinya harus diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hanya menjadi cita-cita dan jauh dari kenyataan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa undang­undang No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, menempatkan kejaksaan pada kedudukan yang ambigu. Disatu sisi kejaksaan dituntut menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, disisi lain kejaksaan dipasung karena kedudukannya berada dibawah kekuasaan eksekutif.
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa wewenang Jaksa adalah bertindak sebagai Penuntut Umum dan sebagai Eksekutor. Sementara tugas penyidikan ada di tangan Polri, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 1 KUHAP yang menyatakan : "Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan" dan diatur lebih lanjut pada Pasal 6 KUHAP.
Adapun yang dimaksud dengan penyidikan menurut pasal 1 butir 2 KUHAP adalah sebagai berikut: serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna untuk menemukan tersangkanya.
Pasal 91 ayat (1) KUHAP mengatur tentang kewenangan jaksa (penuntut umum) untuk mengambil berita acara pemeriksaan. Seyogianya jika tidak kewenangan untuk melakukan penyidikan maka berita acara pemeriksaan itu diambil alih, dan dapat ditafsirkan tidak sah.
Sesuai dengan ketentuan pasal 284 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa : dalam waktu dues tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai pada perubahan dan / atau dinyatakan tidak berlaku lagi.
Selanjutnya dalam penjelasan pasal 284 ayat (2) KUHAP, disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu adalah ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada : undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi (Undang-undang No 3 Tahun 1971) dengan catatan bahwa semua ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu akan ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Agar supaya ada kesatuan pendapat mengenai makna dari pasal 284 ayat (2) KUHAP, dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksaan KUHAP. Pada Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 disebut bahwa : penyidik menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa, dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pada penjelasannya disebutkan wewenang penyidikan tindak pidana tertentu yang diatur secara khusus oleh undang-undang tertentu dilakukan oleh penyidik, jaksa, dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya untuk ditunjuk berdasarkan undang-undang.
Dengan berlakunya KUHAP, ditetapkan tugas-tugas penyidikan, Pasal 6 KUHAP, maka kejaksaan tidak lagi berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap perkara-perkara tindak pidana umum. Namun demikian, sesuai dengan ketentuan pasal 282 ayat (2) KUHAP jo pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983, masih berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap perkara tindak pidana tertentu (tindak pidana khusus).

C.    Sistem Pemeriksaan Dalam Perkara Pidana Pada Pengadilan
Penentuan hari sidang dilakukan oleh hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk menyidangkan perkara (pasal 152 ayat (1) KUHP). Dalam hal ini hakim tersebut memerintahkan kepada penuntut umum supaya memanggil terdakwa dan saksi untuk di sidang pengadilan (Pasal 152 ayat (2) KUHP).
KUHP mengatur dalam pasal 145 syarat-syarat tentang tentang sahnya suatu pemanggilan kepada terdakwa sebagai berikut;
1.   Surat panggilan kepada terdakwa disampaikan di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat thiggalnya tidak diketahui disampaikan ditempat kediaman terakhir (ayat (1)).
2.   Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau ditempat kediaman terakhir, surat pauggilan disampaikan melalui kepada Desa yang berdaerah hukum empat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir (ayat (2)).
3.   Dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampaikan kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara (ayat (3)).
4.   Penerimaan surat panggilan terdakwa sendiri ataupun oleh orang lain atau melalui` orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan (ayat (4)).
5.   Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, surat panggilan ditempelkan pads tempat pengumuman di gedung pengadilan yang berwenang mengadili perkaranya (ayat (5)).

Menurut ketentuan Pasal 152 ayat (2) KUHAP tersebut di muka, penuntut umum yang menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa. Pasal 146 ayat (1) menentukan bentuk surat panggilan yang hares memuat tanggal, hari, serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang. Begitu pula bagi pemanggilan seksi berlaku hal yang sama (Pasal 246 ayat (2)).
            1.      Pemeriksaan Perkara Biasa
KUHAP membedakan tiga macam pemeriksaan sidang pengadilan. Pertama, pemeriksaan perkara biasa; Kedua, pemeriksaan singkat; Ketiga, Pemeriksaan cepat. Pemeriksaan cepat dibagi lagi atas pemeriksaan tindak pidana ringan dan perkara pelanggaran lalu lintas jalan.
Undang-undang tidak memberikan batasan tentang perkara-perkara yang mana yang termasuk pemeriksaan biasa. Hanya pada pemeriksaan singkat dan cepat saja diberikan batasan. Pasal 203 ayat (1) KUHAP memberi batasan tentang apa yang dimaksud dengan pemeriksaan singkat sebagai berikut :
"Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan pasal 205 dan yang menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana".

Perlu ditekankan di sini kata-kata menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya sederhana yang menunjukan bahwa penuntut umumlah yang menentukan perkara pemeriksaan singkat itu. Pemeriksaan singkat ini dahulu disebut pemeriksaan rumit.
Selanjutnya yang dimaksudkan dengan pemeriksaan cepat ditemukan oleh pasal 205 ayat (1) (tindak pidana ringan) sebagai berikut: yang diperiksa menurut acara perneriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditemukan dalam paragraf 2 bagian ini."
Paragraf 2 ialah mengenai acara pemeriksaan perkara lalulintas jalan, yang dijelaskan dalam pasal 211 sebagai berikut:
"Yang diperiksa, menurut acara pemeriksaan pada paragraf ini ialah perkara pelanggaran tertentu terhadap perturan perundang-undangan lalu lintas jalan."

Acara pemeriksaan biasa sebenarnya berlaku juga bagi pemeriksaan singkat dan cepat, kecuali dalam hal-hal tertentu yang secaca tegas dinyatakan lain.
Dimulai hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak (153 ayat (3) KUHAP). Ketentuan tentang pengecualian ini dapat dibaca di bagian depan, tentang asas-asas dalam hukum acara pidana.
Pemeriksaan itu dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi (pasal 153 (ayat (2). Kalau kedua ketentuan tersebut tidak dipenuhi, maka batal demi hukum (pasal 153 ayat (4).
Yang pertama dipanggil masuk ialah terdakwa yang walaupun ia didalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas. Dalam penjelasan pasal 153 ayat (1) yang mengatur hal ini, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan keadaan bebas ialah keadaan tidak dibelenggu tanpa mengurangi pengawalan.
Apabila terdakwa tidak hadir, hakim ketua sidang meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara sah. Jika tidak dipanggil secara sah hakim ketua sidang menunda persidangan dan memerintah supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari persidangan berikutnya (pasal 154 ayat (3 ayat) KUHAP).
Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama, berikutnya (pasal 154 ayat (6) KUHAP).
Menurut ketentuan yang pertama dipanggil untuk masuk ke sidang ialah terdakwa. Mula-mula hakim menanyakan identitasnya, seperti nama, tempat lahir, umur, atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan serta mengingatkan terdakwa, supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang (pasal 155 ayat (1) KUHP). Sesudah itu hakim ketua sidang mempersilahkan penuntut umum membacakan surat dakwaannya, kemudian hakim ketua sidang menanyakan terhadap terdakwa, apakah ia sudah benar-benar mengerti apakah terdakwa tidak mengerti, pentuntut umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan dan diperkirakan (pasal 155 ayat (2) KUHP).
Sesudah pembacaan dan penjelasan surat dakwaan oleh penuntut umum, maka terdakwa atau penasihat hukumnya dapat mengajukan keberatan tentang pengadilan tidak berwenang memeriksa perkara tersebut atau terdakwa tidak dapat diterima atau surat dakwaan dibatalkan.
Mengenai wewenang hakim untuk mengadili dapat dibaca di muka. Kapan suatu dakwaan tidak dapat diterima tidak dijelaskan. Menurut pendapat penulis, yang dimaksud dengan dakwaan tidak dapat diterima tersebut ialah dakwaan penuntut tidak dapat diterima atau bisa disebut niet ontvankelijk verkaling ven het openbaar minsterie.
Menurut Van Bemmelen hal itu terjadi jika tidak ada aduan atau hak untuk menuntut misalnya dalam delik aduan tidak ada pengaduan atau delik itu dilakukan pada waktu dan tempat yang undang-undang pidana tidak berlaku atau hak menuntut telah hapus. Harus diperhatikan katanya bahwa jika apa yang termuat dalam surat dakwaan bukan delik. Bukan termasuk tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaring van het OM). Atau pernyataan tidak berwenang, tetapi termasuk dilepas dari tuntutan hukum (onslag van rechsvervolging).
Termasuk pula tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima jika telah ada putusan yang tidak dapat diubah mengenai perkara tersebut, maksudnya nebis in idem.
Apabila terdakwa atau penasehat hukum keberatan, penuntut umum diberi kesempatan untuk mengatakan pendapatnya kemudian hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk mengambil keputusan (156 ayat (1) KUHAP). Kalau keberatan tersebut diterima oleh hakim, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut dan untuk ini penuntut umum dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri yang bersangkutan (pasal 156 ayat (2) dan (3)).
Ketentuan dalam pasal 156 ayat (4) KUHAP yang mengatakan bahwa dalam hal perlawanan yang diajukan oleh terdakwa atau penasehat hukum umumnya diterima oleh pengadilan tinggi maka dalam waktu empat belas hari, pengadilan tinggi dengan surat penetapannya membatalkan putusan pengadilan negeri dan memerintahkan pengadilan negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara itu. Menurut pendapat penulis tidak sempurna dan tidak sesuai dengan ketentuan pada ayat (1) pasal tersebut seperti telah dikemukakan dimuka, karena keberatan terdakwa atau penasehat hukumnya menurut ayat (1) tersebut tidak hanya mengenai ketidak­kewenangan pengadilan negeri tetapi juga mengenai dakwaan tidak dapat terima (niet notvankelijk verklaring van het OM) dan dakwaan harus dibatalkan.
Dalam dua hal yang tersebut terakhir, jika keberatan terdakwa diterima, maka pengadilan tinggi mestinya mengatakan dakwaan (tuntutan) penuntut umum tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaring van het OM) atau dakwaan dinyatakan batal. Umpama jika waktu dan tempat serta uraian cermat jelas dan lengkap mengenai delik yang didakwakan tidak disebut (pasal 143 ayat (3) KUHAP).
Jelas, inilah kekurangan pasal (156 ayat (4) KUHAP tersebut, dalam ayat 5 pasal itu ditemukan bahwa ada kemungkinan perlawanan diajukan bersama-sama dengan permintaan banding. Ini berarti bahwa perlawanan yang demikian diajukan sesudah keputusan (vonis) hakim.
Dalam ayat (5) ini pun dengan sendirinya ada kekekurangan, yaitu seperti pada ayat (4) hanya mempersoalkan tentang kewenangan tidak mempersoalkan tentang dakwaan (tuntutan) pentuntut umum tidak dapat diterima (niet otvankeljik verklaring van het OM) dan surat dakwaan yang harus dibatalkan.
Pemeriksaan saksi ditentukan dalam pasal 160 bahwa yang pertama-­tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi. Kemungkinan urutan pemeriksaan saksi diserahkan kepada pertimbangan hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum. Salah satu hal yang perlu diperhatikan ialah ketentuan dalam pasal itu yang menyatakan bahwa saksi baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa dalam surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penutut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkan putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut.
Nilai suatu kesaksian yang disumpah atau mengucapkan janji dan yang tidak diatur dalam pasal 162 KUHAP, tetapi kurang jelas. Penjelasan pasal itu menyatakan bahwa cukup jelas, tidak jelas, karena dikatakan bahwa jika saksi sudah memberi keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggi karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara, maka keterangan yang telah diberikan itu dibacakan.
Kalau pada waktu pemeriksaan pendahuluan (penyidikan) saksi tersebut tidak disumpah, apakah keterangan yang dibacakan itu sama nilainya dengan keterangan saksi yang hadir dan disumpah.
Dalam ayat (2) pasal itu dikatakan bahwa jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan bahwa sumpah, maka keterangan yang diucapkan di sidang. Menurut penafsiran a’contrario, berarti keterangan saksi yang dibacakan di sidang yang tidak mengangkat sumpah sebelumnya tidak sama nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang.
Kalau demikian halnya, apakah keterangan saksi yang dibacakan di sidang yang belum mengangkat sumpah sebelum itu dapat dipandang sebagai alat bukti petunjuk, karena dalam pasal 188 ayat (2) dikatakan bahwa petunjuk hanya dapat diperoleh dari:
a)      Keterangan saksi;
b)      Surat;
c)      Keterangan terdakwa.
Terbukti, seperti telah dikemukakan di muka bahwa petunjuk sebagai alat bukti sebenarnya telah kuno dan sebenarnya tidak ada.
Sering terjadi seorang saksi memberikan keterangan yang berbeda di sidang pengadilan dan di pemeriksaan pendahuluan. Untuk ini ditentukan oleh pasal 163 KUHAP, bahwa dalam hal yang demikian, hakim ketua sidang memperingatkan saksi tentang hal itu serta minta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan di sidang. Dalam penjelasan pada itu dikatakan cukup jelas.
Hal ini mendapat perhatian khusus karena dapat berbentuk sumpah palsu, misalnya pada pemeriksaan pendahuluan (berita acara penyidik) saksi memberatkan terdakwa sedangkan pada pemeriksaan di sidang pengadilan berubah menjadi menguntungkan terdakwa.
Penting pula hakim meminta pendapat terdakwa, mengenai keterangan saksi, begitu pula penuntut umum dan pensehat hukum berkesempatan bertanya kepada saksi atau terdakwa melalui hakim ketua sidang. Dalam hal ini hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan penuntut umum atau penasihat hukum dengan suatu alasan (pasal 164 ayat (1), (2), dan (3) KUHAP).
Apabila keterangan saksi disangka palsu, maka hakim ketua sidang memperingatkan kepadanya dengan sumpah-sumpah supaya memberikan keterangan yang sebenamya dan mengemukakan ancaman pidana kepadanya jika tetap memberikan keterangan palsu. Jika saksi memberikan keterangan palsu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberikan perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut karena dakwaan sumpah palsu. Perkara semula dapat ditangguhkan oleh hakim ketua sidang sampai perkara sumpah palsu tersebut selesai pasal 174 ayat (1), (2), (3) dan (4) KUHAP.
Yang berbeda dengan acara pidana modern ialah ketentuan bahwa terdakwa menurut pasal 175 KUHAP tidak mempunyai hak untuk berdiam tidak menjawab pertanyaan, hal itu dapat ditarik dari ketentuan pasal itu menyatakan : Hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan.
Kalau pemeriksaan sidang dipandang sudah selesai, maka penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Sesudah itu terdakwa dan penasehat hukumnya mengajukan pembelaan yang dapat dijawab oleh penutut umum dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasihat hukum selalu mendapat giliran terkahir. Semua ini dilakukan serta ditulis dan setelah dibacakan diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan pasal 182 ayat (1) KUHAP.
Selain itu, hakim ketua sidang menyatakan periksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat dibuka sekali lagi, baik atas kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan memberikan alasannya (pasal 182 ayat (2) KUHAP).
            2.      Pemeriksaan Singkat
Di atas telah dikatakan bahwa ada hal hal yang secara khusus menyimpang dari acara pemeriksaan biasa, hal itu adalah :
1)      Penuntut umum tidak membut surat dakwaan, hanya memberikan catatannya kepada terdakwa tentang tindak pidana yang didakwakan kepadanya dengan menerangkan waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana itu dilakukan. Pemberitauan itu dicatat dalam berita acara sidang dan merupakan pengganti surat dakwaan (pasal 203 ayat (3) a)
2)      Putusan tidak dibuat secara khusus, tetapi dicatat dalam berita acara sidang (pasal 203 ayat (3) d). Hakim membuat surat yang memuat amar putusan tersebut (pasal 203 ayat(3) e).
Semua ketentuan ini sama dengan acara pemeriksaan sumir menurut HIR dahulu.
            3.      Pemeriksaan Cepat
Istilah yang dipakai ialah perkara rol. Kepada ketentuan acara pemeriksaan biasa berlaku pula pada pemeriksaan cepat dengan kekecualian tertentu. Hal itu dapat dibaca dalam bagian ketiga dalam pasal 210 KUHAP yang menyatakan bahwa ketentuan dalam bagian kesatu. Bagian kedua dan bagian ketiga bab ini (bab 16) tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan paragrap ini. Seperti telah dikemukakan di muka justru bagian keempat yang mengatur tentang alat pembuktian tidak dinyatakan berlaku, yang menimbulkan pertanyaan pula, alat pembuktian yang bagaimana yang berlaku dalam pemeriksaan cepat?
Pemeriksaan cepat dibagi dua menurut KUHAP, yang pertama acara pemeriksaan tindak pidana ringan dan yang kedua acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalulintas jalan. Yang pertama termasuk delik yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan. Yang kedua termasuk perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalulintas jalan.
Penjelasan pasal 211 memberikan uraian tentang apa yang dimaksud dengan "perkara pelanggaran tertentu" sebagai berikut:
a.    Mempergunakan jalan dengan cara yang dapat merintangi, membahayakan ketertiban atau keamanan lalu lintas atau yang mungkin menimbulkan kerusakan pada jalan.
b.    Mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak dapat memperlihatkan surat izin mengemudi (SIM), surat tanda nomor kendaaraan, surat tanda uji kendaraan yang sah atau tanda bukti lainnya yang diwajibkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan atau ia dapat memperlihatkannya tetapi masa berlakunya sudah daluarsa.
c.    Membiarkan atau memperkenankan kendaraan bermotor dikemudikan oleh orang yang tidak memiliki surat izin mengemudi.
d.   Tidak memenuhi ketentuan peraturan perundangan lalu lintas jalan tentang penomoran, penerangan, peralatan, perlengkapan, dan pemuatan kendaraan dan syarat penggandengan dengan kendaraan lain.
e.    Membiarkan kendaraan bermotor yang ada di jalan tanpa dilengkapi plat tanda nomor kendaraan yang sah, sesuai dengan surat tanda nomor kendaraan yang bersangkutan.
f.    Pelanggaran terhadap perintah yang diberikan oleh petugas pengatur lalu lintas jalan dan atau syarat alas pengatur lalu lintas jalan, rambu­rambu atau tanda yang ada di permukaan jalan.
g.    Pelanggaran terhadap ketentuan tentang ukuran dan muatan yang diizinkan, cara menaikan dan menurunkan penumpang dan atau cara memuat dan membongkar barang.
h.    Pelanggaran terhadap izin trek, jenis kendaraan yang diperbolehkan beroperasi di jalan yang ditentukan hal-hal yang menyimpang dari acara pemeriksaan biasa.


1.      Pada pemeriksaan tindak pidana ringan
a)      Penyidik langsung menghadapkan terdakwa bahwa barang bukti, saksi, ahli, dan atau juru bahasa ke pengadilan, atas kuasa penutut umum dalam penjelasan dikatakan bahwa atas kuasa berarti demi hukum (pasal 205 ayat KUHAP).
b)      Pengadilan mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan terdakwa dapat minta banding (pasal 205 ayat (3) KUHAP). Ini berarti jika tidak dijatuhkan pidana penjara atau kurungan, maka terpidana tidak dapat minta banding.
c)      Saksi dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan tidak mengucapkan sumpah atau janji kecuali hakim menganggap perlu.
d)     Berita acara pemeriksaan sidang tidak dibuat kecuali jika dalam pemeriksaan tersebut ternyata ada hal yang tidak sesuai dengan berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik (pasal 209 KUHAP).
2.      Pada pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan
a)    Suatu hal yang kelupaan oleh pembuat undang-undang ini ialah berbeda dengan yang disebutkan pada pemeriksaan tindak pidana ringan (pasal 205 ayat (1) dan ayat (3) KUHAP) tidak dinyatakan dalam pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Pemeriksaan dilakukan oleh seorang hakim tunggal padahal maksud pembuat undang-undang pasti demikian.
b)   Untuk perkara pelanggaran lalu lintas jalan tidak diperlukan berita acara pemeriksaan (pasal 212 KUHAP).
c)    Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya di sidang pasal 211 KUHAP.
d)   Pemeriksaan dapat dilakukan tanpa hadirnya terdakwa atau wakilnya (verstek atau putusan inabsentia) ini diatur dalam pasal 214 ayat 1 KUHAP.
e)    Dalam putusan dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa dan putusan itu berupa pidana perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat mengajukan perlawanan (pasal 214 ayat 4 KUHAP).
f)    Dalam waktu tujuh hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa ia dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan itu (pasal 214 ayat 5 KUHP). Ini berbeda dengan acara rol dahulu.

Jika putusan setelah diajukannya perlawanan tetap berupa pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) (perampasan kemerdekaan terdakwa), terhadap putusan itu terdakwa dapat mengajukan banding (pasal 214 ayat (8) KUHAP).


DAFTAR  PUSTAKA


Al. Wisnubroto. Praktek Peradilan Pidana (Proses Persidangan Perkara Pidana). PT. Galaxy Puspa Mega, Jakarta, 2002.

Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Revisi). Sinar Grafika, Jakarta, 2001.

                 , Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta, 1994

DJoko Prakoso dan I Ketut Murtika. Mengenal Lembaga Kejaksaan di Indonesia. Bina Aksara, Jakarta, 1987.

                 , Tugas dan Wewenang Jaksa Dalam Pembangunan. Ghalia Indonesia, Jakarta 1983.

Marwan Effendy. Kejaksaan RI, Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum. Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Moleong  J. Lexy. Metode Penelitian Hukum. PT. Rajawali Pers, Jakarta, 2002.

Mochtar Kusumaatmadja. Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional. Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 1976

Prinst, Darwan, SH. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. Djambatan, Jakarta, 2002.

Soerdjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Pers, Jakarta, 1987.

                 . Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali, Jakarta, 1983.

Soesilo R. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Politea, Bogor, 1996.

W. J. S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta, 1952.

Yesmil Anwar, SH. Sistem Peradilan Pidana. Widya Padjadjaran, Bandung, 2009.


[1] W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta, 1952, hal. 549
[2] Ibid
[3] Yesmil Anwar, SH. Sistem Peradilan Pidana. Widya Padjadjaran, Bandung, 2009, hal. 188
[4] Soerdjono Soekanto. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta, 1983, hal. 5
[5] Marwan Effendy, Kejaksaan RI, Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum, Gramedia Pustaka Utama, 2005, hal. 6-7
[6] Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 1976, hal.3
[7] Joko Prakoso dan I Ketut Murtika, Mengenal Lembaga Kejaksaan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 17
[8] Djoko Prakoso, Tugas dan Wewenang Jaksa Dalam Pembangunan, Ghalia Indonesia, Jakarta 1983, hal 19
[9] Ibid, hal. 19-20
[10] Op.cit, Marwan Effendy, hal. 124.
[11] Ibid, hal. 125
[12] Soerdjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta, 1987.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar