Total Tayangan Halaman

Selasa, 29 Oktober 2013

Perjanjian Kerja Sama



1.      Surat Perjanjian Kerja Sama

Surat Perjanjian Kerja Sama

Pada hari ini, Rabu, 25 Juli 2012, yang bertanda tangan di bawah ini :
1.      Nama                     : Ahmad Fahmi,
      Umur                      :
      Kewarganegaraan : Indonesia
      Nomor KTP           : 3277021910780002
      Alamat                   :  Kabupaten Lamongan, Jl. Indah Raya No 5, Kecamatan Lamongan, dalam hal ini bertindak atas jabatannya sebagai Ketua untuk mewakili Koperasi Usaha Bersama Tani Sejahtera, berkedudukan di Kabupaten Lamongan, yang didirikan dengan akta tanggal 14 april 2010 nomor 7, yang dibuat di hadapan Ina Boediarti, S.H., M.Kn, Notaris di Kabupaten Lamongan, selanjutnya dalam perjanjian ini disebut sebagai PIHAK PERTAMA

2.      Nama                     : Ir. Bagus
      Umur                      :
      Nomor KTP           : 13256078903001
      Alamat                   :
                                  dalam hal ini bertindak atas jabatannya sebagai direktur untuk mewakili perseroan komanditer CV Bumi Sejahtera yang didirikan oleh Rahmat, lahir tanggal 27 Agustus 1958, pemegang KTP nomor 13200898756002, bertempat tinggal di Jl Maju Sejahtera no. 10 Lamongan, dengan akta pendirian tertanggal 1 Februari 2000 yang dibuat di hadapan Alifa Dewi, S.H., M.H. Notaris di Lamongan, selanjutnya dalam perjanjian ini disebut sebagai PIHAK KEDUA

Kedua belah pihak sepakat mengadakan perjanjian kerjasama untuk memasarkan, mendistribusikan, serta melaksanakan penjualan beras antara PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA dengan beberapa ketentuan antara lain sebagai berikut :

PASAL I
OBJEK PERJANJIAN

Objek dalam perjanjian kerjasama ini adalah beras merek pandan wangi.

PASAL II
BENTUK KERJASAMA

1.      Untuk pertama kalinya PIHAK PERTAMA setuju untuk menyerahkan beras kepada PIHAK KEDUA sebanyak 40 ton beras yang terbagi dalam kemasan 5kg, 10kg, dan 20kg.
2.      PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA melakukan promosi terhadap produk beras pandan wangi tersebut yang biayanya akan ditanggung oleh kedua belah pihak dan jangka waktunya adalah satu tahun terhitung mulai tanggal perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang atas persetujuan para pihak.
PASAL III
KEWAJIBAN PIHAK PERTAMA

PIHAK PERTAMA menjamin bahwa beras yang akan dipasarkan tersebut adalah hasil produksi dari anggota koperasi yang kualitasnya dapat dipertanggungjawabkan.

PASAL IV
KEWAJIBAN PIHAK KEDUA

PIHAK KEDUA menjamin dalam waktu 1 minggu setelah menerima pasokan beras dari PIHAK PERTAMA akan mendistribusikan beras dalam kemasan tersebut ke toko-toko swalayan rekanan PIHAK KEDUA tidak hanya di Jawa Barat tetapi juga di Jakarta.

PASAL V
HAK PIHAK PERTAMA

PIHAK PERTAMA berhak menentukan harga penjualan beras yang akan dipasarkan dan didistribusikan.

PASAL VI
HAK PIHAK KEDUA

PIHAK KEDUA berhak menerima komisi sebesar 25% dari semua hasil pembayaran, yang pelaksanaannya langsung dipotong oleh PIHAK KEDUA sebelum diserahkan kepada PIHAK PERTAMA.

PASAL VII
BIAYA PENGIRIMAN

Biaya pengiriman beras dari koperasi ke gudang tempat penyimpanan barang PIHAK KEDUA di Jl. Soekarno Hatta no. 10 ditanggung dan menjadi beban PIHAK PERTAMA.

PASAL VIII
SISTEM PEMBAYARAN

Sistem pembayaran untuk pemasaran melalui toko – toko swalayan diperlakukan sistem konsinyasi murni dimana PIHAK KEDUA akan menunjukkan laporan penjualan bulanan dari saluran distribusi tersebut paling lambat 2 minggu setelah periode bulan penjualan. Sedangkan pembayarannya dilaksanakan paling lambat 2 minggu setelah penyerahan laporan penjualan kepada pihak koperasi.

PASAL IX
BERAKHIRNYA PERJANJIAN

Perjanjian berakhir setelah satu tahun perjanjian ini ditandatangani atau bila diakhiri lebih awal dengan persetujuan kedua belah pihak. Pada saat berakhirnya perjanjian akan dilakukan penghitungan final secara menyeluruh hasil penjualan dan sisa beras yang belum terjual.
PASAL X
PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Apabila terjadi perselisihan akan dilakukan secara musyawarah mufakat dan apabila tidak diperoleh kata sepakat maka para pihak akan menunjuk pihak ketiga sebagai mediator, dan apabila juga tidak diperoleh kesepakatan, maka akan memilih domisili di Kantor Panitera Negeri Kelas 1A di Bandung.

PASAL XI
ADDENDUM

Segala perubahan dan hal-hal lain yang belum diatur dan/atau belum cukup diatur dalam perjanjian ini akan dimusyawarahkan lebih lanjut oleh PARA PIHAK dan hasilnya akan dituangkan ke dalam suatu addendum yang ditandatangani oleh PARA PIHAK yang merupakan satu kesatuan dan bagian yang tak terpisahkan dari perjanjian ini.

PASAL XII
PENUTUP

Demikian perjanjian ini dibuat dan ditandatangani oleh kedua belah pihak di Bandung, Jawa Barat, pada hari dan tanggal yang telah disebutkan di atas, dibuat rangkap 2 dan bermeterai cukup yang berkekuatan hukum yang sama untuk masing-masing pihak.


PIHAK PERTAMA


……………………………..
PIHAK KEDUA


…………………………..

Saksi I


…………………………………

Saksi II


……………………………















2.      Analisis Hukum Perjanjian berdasarkan Pasal 1320 BW
a.       Syarat Sahnya Perjanjian
Untuk syarat sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat:
1.      Sepakat mereka yang mengikatkan  dirinya
2.      Cakap untuk membuat suatu perjanjian
3.      Suatu hal tertentu
4.      Suatu sebab yang halal.

Apabila dikaitkan dengan unsur-unsur mengenai sayarat sahnya perjanjian tersebut, maka dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.      Kesepakatan
Dengan sepakat atau perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Perjanjian escrow mengandung dua perjanjian yang bersifat pokok dan tambahan. Pertama, kata sepakat dalam perjanjian pokok adalah kesepakatan mengenai objek perjanjian antar principal, perjanjian ini mengikat para pihak/principal dalam menentukan barang atau harga. Kedua, perjanjian tambahan yakni kesepakatan di antara para pihak dalam perjanjian pokok dengan pihak ketiga sebagai agen escrow. Sepakat dalam hal ini adalah para pihak dalam perjanjian pokok sepakat dengan pihak agen yang ditunjuk untuk merumuskan  perbuatan hukum yang secara konkrit tertuang dalam sebuah instruksi yang harus dilakukan oleh agen escrow.
2.      Kecakapan
Orang yang membuat suatu perjanjian harus  cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Kecakapan para pihak dalam perjanjian escrow ditentukan oleh kemampuan subjek hukum dalam mengemban hak dan kewajiban hukum bagi perorangan. Principal dan agen escrow yang merupakan para pihak dalam perjanjian escrow harus telah memenuhi unsure cakap menurut undang-undang.
Hal ini terlihat dari adanya kriteria khusus bagi orang atau badan hukum yang ingin menjalankan usaha escrow. Seperti di Indonesia, usaha escrow dilakukan oleh bank yang bertindak independen dan tidak memihak. Agen sebagai badan hukum dalam hal ini telah cakap menurut hukum, begitu pula para pihak/principal dalam perjanjian escrow.
3.      Suatu hal tertentu
Syarat yang ketiga mengenai hal tertentu jika dianalisis maka objek perjanjian escrow adalah berupa dokumen-dokumen, saham, obligasi, dana, maupun property yang disimpan oleh pihak ketiga yaitu agen escrow. Suatu hal tertentu berarti objek perjanjian maupun hak-hak serta kewajiban yang dilakukan oleh para pihak.
4.      Kausa yang halal
Hal yang harus diperhatikan dalam hal “kausa yang halal” adalah isi perjanjian yang menggambarkan tujuan yang dicapai oleh para pihak. Kausa yang halal dapat diteliti dari tujuan dibuatnya perjanjian escrow ini. Tujuan tersebut dapat diidentifikasi dari latar belakang dibuatnya perjanjian escrow yaitu adanya kebutuhan akan kepastian oleh principal yang mengadakan transasksi atas pemenuhan objek perjanjian. Atau dengan kata lain perjanjian escrow bertujuan untuk menyerahkan pengurusan kepentinfgan principal atas keberadaan dan keabsahan objek perjanjian kepada pihak ketuga yaitu agen escrow. Tujuan atau kausa dari perjanjian escrow tersebut adalah sah dan halal karena tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertban umum.

b.      Macam-macam Perikatan
Bentuk perikatan yang paling sederhana ialah suatu perikatan yang masing-masing pihak hanya ada sattu orang dan satu prestasi yang seketika juga dapat ditagih pembayarannya. Disamping bentuk yang paling sederhana ini terdapat beberapa macam perikatan lain sebagai berikut :
1)      Perikatan Bersyarat (Voorwaardelijk)
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentun akan atau tidak terjadi. Pertama mungkin untuk memperjanjikan ,bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu itu timbul. Suatu perjanjian yang dmeikian itu, menggantungkan adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertangguhkan (opschortende voorwaarde). Suatu contoh , apabila saya berjanji pada seseorang untuk membeli mobilnya kalau saya lulus dari ujian. Kedua, mungkin untuk memperjanjikan , bahwa suatu perikatan yang sudah akan berlaku, akan dibatalkan apabila kejadian yang belum tentu itu timbul. Disini dikatakan perikatan itu digantungkan pada suatu syarat pembatalan(ontbindende  voorwaarde). Suatu contoh, misalnya suatu perjanjian: saya mengijinkan seorang mendiami rumah saya,dengan ketentuan bahwa perjanjian itu akan berakhir apabila secara mendadak, saya diberhentikan dari pekerjaan saya.
Oleh undang-undang ditetapkan, bahwa suatu perjanjian yang sejak semula sudah batal(nietig),jika ia mengandung suatu ikatan yang digantungkan pada suatu syarat yang mengharuskan suatu pihak untuk melakukan suatu perbuatan yang sama sekali tidak mungkin dilaksanakan atau yang bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan. Baiklah kiranya diperingatkan di sini, bahwa dalam hukum waris mengenai ini berlaku suatu ketentuan yang berlainan, yaitu suatu syarat yang demikian jika dicantumkan dalam suatu testament tidak mengakibatkan batalnya testament, tetapi hanya dianggap syarat yang demikian itu tidak ada, sehingga surat wasiat tersebut tetap berlaku dengann tidak mengandung syarat. Selanjutnya, diterangkan bahwa dalam tiap perjanjian yang meletakkan kewajiban timbale balik kelalaian salah satu pihak(wanprestasi) selalu dianggap sebagai suatu syarat pembatalan yang dicantumkan dalam perjanjian (pasal 1266).

2)      Perikatan Yang Digantungkan Pada Suatu Ketetapan Waktu
Perbedaan anatar suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tiadak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang,meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya,misalnya meninggalnya seseorang. Contoh-contoh suatu perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu,banyak sekali dalam praktek seperti perjanjian-perburuhan,suatu hutang wesel yang dapat ditagih suatu waktu setelahnya dipertunjukkan dan lain sebagainya.

3)      Perikatan Yang Membolehkan Memilih(Alternatief)
Ini adalah suatu perikatan, dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan . misalnya ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau uang satu juta rupiah.

4)      Perikatan Tanggung-Menanggung (Hoofdelijk Atau Solidair)
Suatu perikatan di mana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang sama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam yang belakangan ini , sedikit sekali terdapat dalam praktek.
Beberapa orang yang bersama-sama menghadapi satu orang berpiutang atau penagih utang,masing-masing dapat dituntut untuk membayar hutang itu seluruhnya. Tetapi jika salah satu membayar, maka pembayaran ini juag membebaskan semua teman-teman yang berhutang. Itulah yang dimaksudkan suatu perikatan tanggung menanggung. Jadi, jika dua orang A dan B secara tanggung-menanggung berhutang Rp.100.000,- kepada C,maka A dan B masing-masing dapat dituntut membayar Rp. 100.000,-.
Memang dari sudut si berpiutang,perikatan semacam ini telah diciptakan untuk menjamin piutangnya,karena jika satu orang tidak suka atau tidak mampu membayar hutangnya, ia selalu dapat meminta pembayaran dari yang lainnya.
Perikatan tanggung-menanggung,lazim diperjanjikan dalam suatu perjanjian. Bagaimana juag, perikatan semacam ini tidak boleh dianggap telah diadakan secara diam-diam, ia selalu harus diperjanjikan dengan tegas(uitdrukkelijk). Tetapi ada kalanya juag perikatan tanggung-menanggung itu ditetapkan oleh undang-undang misalnya dalam B.W mengenai beberapa orang bersama-sama meminjam satu barang, mengenai satu orang menerima penyuruhan(lastgeving) dari beberapa orang. Dalam W.V.K mengenai suatu perseroan firma , di mana menurut undang-undang masing-masing persero bertanggung jawab sepenuhnya untuk seluruh hutang firma, atau mengenai suatu wesel, di mana semua orang yang secara berturut-turut telah mengendosirnya, masing-masing menganggung pembayaran hutang wesel itu untuk seluruhnya, jika penagihan kepada si berhutang menemui kegagalan.

5)      Perikatan Yang Dapat Dibagi Dan Yang Tidak Dapat Dibagi
Suatu perikatan dapat dibagi atau tidak, tergantung apda kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil ke muka , jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain. Hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang menyebabkan ia digantikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian ahli warisnya
Pada dasarnya, jika tidak diperjanjikan lain-antara pihak-pihak yang semula suatu perikatan, tidak boleh dibagi-bagi ,sebab si berpiutang selalu berhak menuntut pemenuhan perjanjian untuk sepenuhnya dan tidak usah ia menerima baik suatu pembayaran sebagian demi sebagian.

6)      Perikatan Dengan Penetapan Hukuman (Strafbeding)
Untuk mencegah jangan samapai si berhutang dengan mudah sajua melalaikan kewajibannya,dalam praktek banyak dipakai perjanjian dimana si berhutang dikenakan suatu hukuman,apabila ia tidak menepati kewajibannya, dalam praktek banyak dipakai perjanjian dimana si berhutang dikenakan suatu hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya. Hukuman ini,biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu.
Hakim mempunyai kekuasaan untuk meringankan hukuman,apabila perjanjian telah sebagian dipenuhi.

c.       Asas Hukum Perjanjian
Dalam seminar tentang “Reformasi Kitab Undang-Undang Huum Perdata” yang diselenggarakan oleh Badan Pengembangan Hukum Nasional (BPHN) telah berhasil dirumuskannya delapan asas hukum perikatan nasional yaitu sebagai berikut:
1)      Asas Kepercayaan
Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dibelakang hari.
2)      Asas Persamaan Hukum
Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.
3)      Asas Kesimbangan
Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.
4)      Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
5)      Asas Moralitas
Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.
6)      Asas Kepatutan
Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPer. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.
7)      Asas Kebiasaan
Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.
8)      Asas Perlindungan
Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah.Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak.

d.      Hapusnya Perjanjian
Cara hapusnya perjanjian berbeda dengan hapusnya perikatan.
Hapusnya perikatan belum tentu menghapuskan suatu perjanjian, kecuali semua perikatan-perikatan yang ada pada perjanjian tersebut sudah hapus. Sebaliknya hapusnya suatu perjanjian mengakibatkan hapusnya perikatan-perikatannya.
·         Cara hapusnya perjanjian:
1.      Karena tujuan perjanjian sudah tercapai;
2.      Dengan persetujuan kedua belah pihak sesuai dengan Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata;
3.      Karena ketentuan undang-undang, misalnya: Pasal 1601 KUHPerdata tentang perburuhan, jika si buruh meninggal, maka perjanjian perburuhan menjadi hapus;
4.      Karena ditentukan oleh para pihak mengenai perjanjian dengan jangka waktu tertentu;
5.      Karena keputusan hakim; dan
6.      Karena diputuskan oleh salah satu pihak, yaitu jika salah satu pihak tidak melakukan prestasi, maka pihak lainnya tidak wajib melakukan kontra prestasi.

3.      Asas-Asas Hukum Perjanjian
Ada beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun ada dua diantaranya yang merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui, yaitu:
9)      Azas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
10)  Azas Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas  dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

4.      Hapusnya Perjanjian
Hapusnya suatu perjanjian yaitu dengan cara-cara sebagai berikut:
a.      Pembayaran
Adalah setiap pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian secara sukarela. Berdasarkan pasal 1382 KUH Perdata dimungkinkan menggantikan hak-hak seorang kreditur / berpiutang. Menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang dinamakan subrogatie. Mengenai subrogatie diatur dalam pasal 1400 sampai dengan 1403 KUH Perdata. Subrogatie dapat terjadi karena pasal 1401 KUH Perdata dan karena Undang-undang (Pasal 1402 KUH Perdata).



b.      Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan uang atau barang pada Panitera Pengadilan Negeri
Adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran utang dari debitur, setelah kreditur menolak pembayaran, debitur dapat memohon kepada Pengadilan Negeri untuk mengesahkan penawaran pembayaran itu yang diikuti dengan penyerahan uang atau barang sebagai tanda pelunasan atas utang debitur kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Setelah penawaran pembayaran itu disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri, dengan demikian hapuslah utang piutang itu.
c.       Pembaharuan utang atau novasi
Adalah suatu pembuatan perjanjian baru yang menggantikan suatu perjanjian lama.  Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 macam cara melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi, yaitu yang diganti debitur, krediturnya (subyeknya) atau obyek dari perjanjian itu.
d.      Perjumpaan utang atau Kompensasi
Adalah suatu cara penghapusan/pelunasan utang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik antara kreditur dan debitur.  Jika debitur mempunyai suatu piutang pada kreditur, sehingga antara debitur dan kreditur itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu dengan lainnya.
Menurut pasal 1429 KUH Perdata, perjumpaan utang ini dapat terjadi dengan tidak membedakan darimana sumber utang-piutang antara kedua belah pihak itu telah terjadi, kecuali:
(i)            Apabila penghapusan/pelunasan itu dilakukan dengan cara yang berlawanan dengan hukum.
(ii)          Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan.
(iii)        Terdapat sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita (alimentasi).

e.       Percampuran utang
Adalah apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan, misalnya: debitur menikah dengan krediturnya, atau debitur ditunjuk sebagai ahli waris tunggal oleh krediturnya.
f.       Pembebasan utang
Menurut pasal 1439 KUH Perdata, Pembebasan utang adalah suatu perjanjian yang berisi kreditur dengan sukarela membebaskan debitur dari segala kewajibannya.
g.      Musnahnya barang yang terutang
Adalah jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, jika barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
h.      Batal/Pembatalan
Menurut pasal 1446 KUH Perdata adalah, pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian, dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim, bila salah satu pihak yang melakukan perjanjian itu tidak memenuhi syarat subyektif yang tercantum pada syarat sahnya perjanjian.
Menurut Prof. Subekti  permintaan pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi   syarat   subyektif  dapat  dilakukan  dengan  dua  cara, yaitu:
(i)            Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian tersebut di depan hakim;
(ii)          Secara pembelaan maksudnya adalah menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan baru mengajukan kekurangan dari perjanjian itu.
i.        Berlakunya suatu syarat batal
Menurut pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak penah terjadi perjanjian.
j.        Lewat waktu
Menurut pasal 1946 KUH Perdata, daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Dalam pasal 1967 KUH Perdata disebutkan bahwa segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun.  Dengan lewatnya waktu tersebut, maka perjanjian yang telah dibuat tersebut menjadi hapus.
 


DAFTAR PUSTAKA 

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1999.

Rusli, Hardijan. Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.

Salim H.S. Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. II. Sinar Grafika, 2004.

Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. Cet. XXVI, PT. Intermasa, 1994.

______ dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-undang Hukum Perdata = Burgerlijk Wetboek (terjemahan). Cet. 28. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. 1996.

Subekti, R, Prof, S.H., Hukum Perjanjian, Cetakan ke-VIII, PT Intermasa. 

Tim Naskah Akademik BPHN. Lokakarya Hukum Perikatan. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Deparetmen Kehakiman RI, 1985.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar