1.
Surat
Perjanjian Kerja Sama
Surat Perjanjian Kerja Sama
Pada hari ini, Rabu, 25 Juli 2012,
yang bertanda tangan di bawah ini :
1.
Nama : Ahmad Fahmi,
Umur :
Kewarganegaraan : Indonesia
Nomor KTP : 3277021910780002
Alamat : Kabupaten Lamongan, Jl. Indah Raya No 5, Kecamatan Lamongan, dalam
hal ini bertindak atas jabatannya sebagai Ketua untuk mewakili Koperasi
Usaha Bersama Tani Sejahtera, berkedudukan di Kabupaten Lamongan, yang
didirikan dengan akta tanggal 14 april 2010 nomor 7, yang dibuat di hadapan Ina
Boediarti, S.H., M.Kn, Notaris di Kabupaten Lamongan, selanjutnya dalam
perjanjian ini disebut sebagai PIHAK
PERTAMA
2.
Nama : Ir. Bagus
Umur :
Nomor KTP : 13256078903001
Alamat :
dalam
hal ini bertindak atas jabatannya sebagai direktur untuk mewakili perseroan
komanditer CV Bumi Sejahtera yang didirikan oleh Rahmat, lahir tanggal 27
Agustus 1958, pemegang KTP nomor 13200898756002, bertempat tinggal di Jl Maju
Sejahtera no. 10 Lamongan, dengan akta pendirian tertanggal 1 Februari 2000
yang dibuat di hadapan Alifa Dewi, S.H., M.H. Notaris di Lamongan, selanjutnya
dalam perjanjian ini disebut sebagai PIHAK
KEDUA
Kedua belah pihak sepakat mengadakan perjanjian kerjasama
untuk memasarkan, mendistribusikan, serta melaksanakan penjualan beras antara
PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA dengan beberapa ketentuan antara lain sebagai
berikut :
PASAL I
OBJEK PERJANJIAN
Objek dalam perjanjian kerjasama ini adalah beras merek
pandan wangi.
PASAL II
BENTUK KERJASAMA
1.
Untuk pertama kalinya PIHAK PERTAMA
setuju untuk menyerahkan beras kepada PIHAK KEDUA sebanyak 40 ton beras yang
terbagi dalam kemasan 5kg, 10kg, dan 20kg.
2.
PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA
melakukan promosi terhadap produk beras pandan wangi tersebut yang biayanya
akan ditanggung oleh kedua belah pihak dan jangka waktunya adalah satu tahun
terhitung mulai tanggal perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang atas
persetujuan para pihak.
PASAL III
KEWAJIBAN PIHAK PERTAMA
PIHAK PERTAMA menjamin bahwa beras yang akan dipasarkan
tersebut adalah hasil produksi dari anggota koperasi yang kualitasnya dapat
dipertanggungjawabkan.
PASAL IV
KEWAJIBAN PIHAK KEDUA
PIHAK KEDUA menjamin dalam waktu 1 minggu setelah menerima
pasokan beras dari PIHAK PERTAMA akan mendistribusikan beras dalam kemasan
tersebut ke toko-toko swalayan rekanan PIHAK KEDUA tidak hanya di Jawa Barat
tetapi juga di Jakarta.
PASAL V
HAK PIHAK PERTAMA
PIHAK PERTAMA berhak menentukan harga penjualan beras yang
akan dipasarkan dan didistribusikan.
PASAL VI
HAK PIHAK KEDUA
PIHAK KEDUA berhak menerima komisi sebesar 25% dari semua
hasil pembayaran, yang pelaksanaannya langsung dipotong oleh PIHAK KEDUA
sebelum diserahkan kepada PIHAK PERTAMA.
PASAL VII
BIAYA PENGIRIMAN
Biaya pengiriman beras dari koperasi ke gudang tempat
penyimpanan barang PIHAK KEDUA di Jl. Soekarno Hatta no. 10 ditanggung dan
menjadi beban PIHAK PERTAMA.
PASAL VIII
SISTEM PEMBAYARAN
Sistem pembayaran untuk pemasaran melalui toko – toko
swalayan diperlakukan sistem konsinyasi murni dimana PIHAK KEDUA akan
menunjukkan laporan penjualan bulanan dari saluran distribusi tersebut paling
lambat 2 minggu setelah periode bulan penjualan. Sedangkan pembayarannya
dilaksanakan paling lambat 2 minggu setelah penyerahan laporan penjualan kepada
pihak koperasi.
PASAL IX
BERAKHIRNYA PERJANJIAN
Perjanjian berakhir setelah satu tahun perjanjian ini
ditandatangani atau bila diakhiri lebih awal dengan persetujuan kedua belah
pihak. Pada saat berakhirnya perjanjian akan dilakukan penghitungan final
secara menyeluruh hasil penjualan dan sisa beras yang belum terjual.
PASAL X
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
Apabila terjadi perselisihan akan dilakukan secara
musyawarah mufakat dan apabila tidak diperoleh kata sepakat maka para pihak
akan menunjuk pihak ketiga sebagai mediator, dan apabila juga tidak diperoleh
kesepakatan, maka akan memilih domisili di Kantor Panitera Negeri Kelas 1A di
Bandung.
PASAL XI
ADDENDUM
Segala perubahan dan hal-hal lain yang belum diatur dan/atau
belum cukup diatur dalam perjanjian ini akan dimusyawarahkan lebih lanjut oleh
PARA PIHAK dan hasilnya akan dituangkan ke dalam suatu addendum yang
ditandatangani oleh PARA PIHAK yang merupakan satu kesatuan dan bagian yang tak
terpisahkan dari perjanjian ini.
PASAL XII
PENUTUP
Demikian perjanjian ini dibuat dan ditandatangani oleh kedua
belah pihak di Bandung, Jawa Barat, pada hari dan tanggal yang telah disebutkan
di atas, dibuat rangkap 2 dan bermeterai cukup yang berkekuatan hukum yang sama
untuk masing-masing pihak.
PIHAK PERTAMA
……………………………..
|
PIHAK KEDUA
…………………………..
|
Saksi I
…………………………………
|
Saksi II
……………………………
|
2.
Analisis
Hukum Perjanjian berdasarkan Pasal 1320 BW
a. Syarat Sahnya Perjanjian
Untuk syarat sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat
syarat:
1.
Sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya
2.
Cakap untuk membuat suatu perjanjian
3.
Suatu hal tertentu
4.
Suatu sebab yang halal.
Apabila dikaitkan dengan unsur-unsur mengenai sayarat sahnya
perjanjian tersebut, maka dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.
Kesepakatan
Dengan sepakat atau perizinan, dimaksudkan bahwa kedua
subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata
mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Perjanjian escrow mengandung dua perjanjian yang
bersifat pokok dan tambahan. Pertama, kata sepakat dalam perjanjian pokok
adalah kesepakatan mengenai objek perjanjian antar principal, perjanjian ini
mengikat para pihak/principal dalam menentukan barang atau harga. Kedua,
perjanjian tambahan yakni kesepakatan di antara para pihak dalam perjanjian
pokok dengan pihak ketiga sebagai agen escrow. Sepakat dalam hal ini adalah
para pihak dalam perjanjian pokok sepakat dengan pihak agen yang ditunjuk untuk
merumuskan perbuatan hukum yang secara konkrit tertuang dalam sebuah
instruksi yang harus dilakukan oleh agen escrow.
2.
Kecakapan
Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap
menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan
sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Kecakapan
para pihak dalam perjanjian escrow ditentukan oleh kemampuan subjek hukum dalam
mengemban hak dan kewajiban hukum bagi perorangan. Principal dan agen escrow
yang merupakan para pihak dalam perjanjian escrow harus telah memenuhi unsure
cakap menurut undang-undang.
Hal ini terlihat dari adanya kriteria khusus bagi orang atau
badan hukum yang ingin menjalankan usaha escrow. Seperti di Indonesia, usaha
escrow dilakukan oleh bank yang bertindak independen dan tidak memihak. Agen
sebagai badan hukum dalam hal ini telah cakap menurut hukum, begitu pula para
pihak/principal dalam perjanjian escrow.
3.
Suatu hal
tertentu
Syarat yang ketiga mengenai hal tertentu jika dianalisis
maka objek perjanjian escrow adalah berupa dokumen-dokumen, saham, obligasi,
dana, maupun property yang disimpan oleh pihak ketiga yaitu agen escrow. Suatu
hal tertentu berarti objek perjanjian maupun hak-hak serta kewajiban yang
dilakukan oleh para pihak.
4.
Kausa yang
halal
Hal yang harus diperhatikan dalam hal “kausa yang halal”
adalah isi perjanjian yang menggambarkan tujuan yang dicapai oleh para pihak. Kausa yang halal dapat diteliti dari tujuan
dibuatnya perjanjian escrow ini. Tujuan tersebut dapat diidentifikasi dari
latar belakang dibuatnya perjanjian escrow yaitu adanya kebutuhan akan
kepastian oleh principal yang mengadakan transasksi atas pemenuhan objek
perjanjian. Atau dengan kata lain perjanjian escrow bertujuan untuk menyerahkan
pengurusan kepentinfgan principal atas keberadaan dan keabsahan objek perjanjian
kepada pihak ketuga yaitu agen escrow. Tujuan atau kausa dari perjanjian escrow
tersebut adalah sah dan halal karena tidak bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan dan ketertban umum.
b. Macam-macam Perikatan
Bentuk perikatan yang paling sederhana ialah suatu perikatan
yang masing-masing pihak hanya ada sattu orang dan satu prestasi yang seketika
juga dapat ditagih pembayarannya. Disamping bentuk yang paling sederhana ini
terdapat beberapa macam perikatan lain sebagai berikut :
1)
Perikatan
Bersyarat (Voorwaardelijk)
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan
pada suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentun akan atau tidak
terjadi. Pertama mungkin untuk memperjanjikan ,bahwa perikatan itu barulah akan
lahir, apabila kejadian yang belum tentu itu timbul. Suatu perjanjian yang
dmeikian itu, menggantungkan adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang
menunda atau mempertangguhkan (opschortende voorwaarde). Suatu contoh , apabila
saya berjanji pada seseorang untuk membeli mobilnya kalau saya lulus dari
ujian. Kedua, mungkin untuk memperjanjikan , bahwa suatu perikatan yang sudah
akan berlaku, akan dibatalkan apabila kejadian yang belum tentu itu timbul.
Disini dikatakan perikatan itu digantungkan pada suatu syarat pembatalan(ontbindende
voorwaarde). Suatu contoh, misalnya suatu perjanjian: saya mengijinkan seorang
mendiami rumah saya,dengan ketentuan bahwa perjanjian itu akan berakhir apabila
secara mendadak, saya diberhentikan dari pekerjaan saya.
Oleh undang-undang ditetapkan, bahwa suatu perjanjian yang
sejak semula sudah batal(nietig),jika ia mengandung suatu ikatan yang
digantungkan pada suatu syarat yang mengharuskan suatu pihak untuk melakukan
suatu perbuatan yang sama sekali tidak mungkin dilaksanakan atau yang bertentangan
dengan undang-undang atau kesusilaan. Baiklah kiranya diperingatkan di sini,
bahwa dalam hukum waris mengenai ini berlaku suatu ketentuan yang berlainan,
yaitu suatu syarat yang demikian jika dicantumkan dalam suatu testament tidak
mengakibatkan batalnya testament, tetapi hanya dianggap syarat yang demikian
itu tidak ada, sehingga surat wasiat tersebut tetap berlaku dengann tidak
mengandung syarat. Selanjutnya, diterangkan bahwa dalam tiap perjanjian yang
meletakkan kewajiban timbale balik kelalaian salah satu pihak(wanprestasi)
selalu dianggap sebagai suatu syarat pembatalan yang dicantumkan dalam
perjanjian (pasal 1266).
2)
Perikatan
Yang Digantungkan Pada Suatu Ketetapan Waktu
Perbedaan anatar suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu
ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau
tiadak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan
datang,meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya,misalnya
meninggalnya seseorang. Contoh-contoh suatu perikatan yang digantungkan pada
suatu ketetapan waktu,banyak sekali dalam praktek seperti
perjanjian-perburuhan,suatu hutang wesel yang dapat ditagih suatu waktu
setelahnya dipertunjukkan dan lain sebagainya.
3)
Perikatan
Yang Membolehkan Memilih(Alternatief)
Ini adalah suatu perikatan, dimana terdapat dua atau lebih
macam prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan
lakukan . misalnya ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau
mobilnya atau uang satu juta rupiah.
4)
Perikatan
Tanggung-Menanggung (Hoofdelijk Atau Solidair)
Suatu perikatan di mana beberapa orang bersama-sama sebagai
pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau
sebaliknya. Beberapa orang sama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu
orang. Tetapi perikatan semacam yang belakangan ini , sedikit sekali terdapat
dalam praktek.
Beberapa orang yang bersama-sama menghadapi satu orang
berpiutang atau penagih utang,masing-masing dapat dituntut untuk membayar
hutang itu seluruhnya. Tetapi jika salah satu membayar, maka pembayaran ini
juag membebaskan semua teman-teman yang berhutang. Itulah yang dimaksudkan
suatu perikatan tanggung menanggung. Jadi, jika dua orang A dan B secara
tanggung-menanggung berhutang Rp.100.000,- kepada C,maka A dan B masing-masing
dapat dituntut membayar Rp. 100.000,-.
Memang dari sudut si berpiutang,perikatan semacam ini telah
diciptakan untuk menjamin piutangnya,karena jika satu orang tidak suka atau
tidak mampu membayar hutangnya, ia selalu dapat meminta pembayaran dari yang
lainnya.
Perikatan tanggung-menanggung,lazim diperjanjikan dalam
suatu perjanjian. Bagaimana juag, perikatan semacam ini tidak boleh dianggap
telah diadakan secara diam-diam, ia selalu harus diperjanjikan dengan
tegas(uitdrukkelijk). Tetapi ada kalanya juag perikatan tanggung-menanggung itu
ditetapkan oleh undang-undang misalnya dalam B.W mengenai beberapa orang
bersama-sama meminjam satu barang, mengenai satu orang menerima
penyuruhan(lastgeving) dari beberapa orang. Dalam W.V.K mengenai suatu
perseroan firma , di mana menurut undang-undang masing-masing persero
bertanggung jawab sepenuhnya untuk seluruh hutang firma, atau mengenai suatu
wesel, di mana semua orang yang secara berturut-turut telah mengendosirnya,
masing-masing menganggung pembayaran hutang wesel itu untuk seluruhnya, jika
penagihan kepada si berhutang menemui kegagalan.
5)
Perikatan
Yang Dapat Dibagi Dan Yang Tidak Dapat Dibagi
Suatu perikatan dapat dibagi atau tidak, tergantung apda
kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari
kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan
tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil ke muka ,
jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang
lain. Hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang menyebabkan
ia digantikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian ahli warisnya
Pada dasarnya, jika tidak diperjanjikan lain-antara
pihak-pihak yang semula suatu perikatan, tidak boleh dibagi-bagi ,sebab si
berpiutang selalu berhak menuntut pemenuhan perjanjian untuk sepenuhnya dan
tidak usah ia menerima baik suatu pembayaran sebagian demi sebagian.
6)
Perikatan
Dengan Penetapan Hukuman (Strafbeding)
Untuk mencegah jangan samapai si berhutang dengan mudah
sajua melalaikan kewajibannya,dalam praktek banyak dipakai perjanjian dimana si
berhutang dikenakan suatu hukuman,apabila ia tidak menepati kewajibannya, dalam
praktek banyak dipakai perjanjian dimana si berhutang dikenakan suatu hukuman,
apabila ia tidak menepati kewajibannya. Hukuman ini,biasanya ditetapkan dalam
suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian
yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat
perjanjian itu.
Hakim mempunyai kekuasaan untuk meringankan hukuman,apabila
perjanjian telah sebagian dipenuhi.
c. Asas Hukum Perjanjian
Dalam seminar tentang “Reformasi
Kitab Undang-Undang Huum Perdata” yang diselenggarakan oleh Badan Pengembangan
Hukum Nasional (BPHN) telah berhasil dirumuskannya delapan asas hukum perikatan
nasional yaitu sebagai berikut:
1) Asas Kepercayaan
Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang
yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan
diantara mereka dibelakang hari.
2) Asas Persamaan Hukum
Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum
yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama
dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya,
walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.
3) Asas Kesimbangan
Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah
pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk
menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui
kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan
perjanjian itu dengan itikad baik.
4) Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum.
Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai
undang-undang bagi yang membuatnya.
5) Asas Moralitas
Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu
perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk
menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming,
yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan
mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya.
Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan
perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan
hati nuraninya.
6) Asas Kepatutan
Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPer. Asas ini
berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh
kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.
7) Asas Kebiasaan
Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu
perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi
juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.
8) Asas Perlindungan
Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur
dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat
perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak ini berada pada posisi yang
lemah.Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam
menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum
sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan asas diatas
merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat kontrak/perjanjian
sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana
sebagaimana diinginkan oleh para pihak.
d. Hapusnya Perjanjian
Cara hapusnya perjanjian berbeda dengan hapusnya perikatan.
Hapusnya perikatan belum tentu menghapuskan suatu
perjanjian, kecuali semua perikatan-perikatan yang ada pada perjanjian tersebut
sudah hapus. Sebaliknya hapusnya suatu perjanjian mengakibatkan hapusnya
perikatan-perikatannya.
·
Cara
hapusnya perjanjian:
1.
Karena tujuan perjanjian sudah
tercapai;
2.
Dengan persetujuan kedua belah pihak
sesuai dengan Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata;
3.
Karena ketentuan undang-undang,
misalnya: Pasal 1601 KUHPerdata tentang perburuhan, jika si buruh meninggal,
maka perjanjian perburuhan menjadi hapus;
4.
Karena ditentukan oleh para pihak
mengenai perjanjian dengan jangka waktu tertentu;
5.
Karena keputusan hakim; dan
6.
Karena diputuskan oleh salah satu
pihak, yaitu jika salah satu pihak tidak melakukan prestasi, maka pihak lainnya
tidak wajib melakukan kontra prestasi.
3.
Asas-Asas
Hukum Perjanjian
Ada beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum
Perjanjian, namun ada dua diantaranya yang merupakan azas terpenting dan
karenanya perlu untuk diketahui, yaitu:
9)
Azas
Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian dan
perikatan yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan, selama
para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
10) Azas Kebebasan Berkontrak,
yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi
dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan
dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
4.
Hapusnya
Perjanjian
Hapusnya suatu perjanjian yaitu dengan cara-cara sebagai
berikut:
a.
Pembayaran
Adalah setiap pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam
perjanjian secara sukarela. Berdasarkan pasal 1382 KUH Perdata
dimungkinkan menggantikan hak-hak seorang kreditur / berpiutang. Menggantikan
hak-hak seorang kreditur/berpiutang dinamakan subrogatie. Mengenai subrogatie
diatur dalam pasal 1400 sampai dengan 1403 KUH Perdata. Subrogatie dapat
terjadi karena pasal 1401 KUH Perdata dan karena Undang-undang (Pasal 1402
KUH Perdata).
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau
penitipan uang atau barang pada Panitera Pengadilan Negeri
Adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si
berpiutang (kreditur) menolak pembayaran utang dari debitur, setelah kreditur
menolak pembayaran, debitur dapat memohon kepada Pengadilan Negeri untuk
mengesahkan penawaran pembayaran itu yang diikuti dengan penyerahan uang atau
barang sebagai tanda pelunasan atas utang debitur kepada Panitera Pengadilan
Negeri.
Setelah penawaran pembayaran itu disahkan oleh Pengadilan
Negeri, maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpan atau
dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri, dengan demikian hapuslah utang
piutang itu.
c. Pembaharuan utang atau novasi
Adalah suatu pembuatan perjanjian baru yang menggantikan
suatu perjanjian lama. Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 macam cara
melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi, yaitu yang diganti debitur,
krediturnya (subyeknya) atau obyek dari perjanjian itu.
d. Perjumpaan utang atau Kompensasi
Adalah suatu cara penghapusan/pelunasan utang dengan jalan
memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik antara
kreditur dan debitur. Jika debitur mempunyai suatu piutang pada kreditur,
sehingga antara debitur dan kreditur itu sama-sama berhak untuk menagih piutang
satu dengan lainnya.
Menurut pasal 1429 KUH Perdata, perjumpaan utang ini dapat
terjadi dengan tidak membedakan darimana sumber utang-piutang antara kedua
belah pihak itu telah terjadi, kecuali:
(i)
Apabila penghapusan/pelunasan itu
dilakukan dengan cara yang berlawanan dengan hukum.
(ii)
Apabila dituntutnya pengembalian
barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan.
(iii)
Terdapat sesuatu utang yang
bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita
(alimentasi).
e. Percampuran utang
Adalah apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur)
dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi
hukum suatu percampuran utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan,
misalnya: debitur menikah dengan krediturnya, atau debitur ditunjuk sebagai
ahli waris tunggal oleh krediturnya.
f. Pembebasan utang
Menurut pasal 1439 KUH Perdata, Pembebasan utang adalah
suatu perjanjian yang berisi kreditur dengan sukarela membebaskan debitur dari
segala kewajibannya.
g. Musnahnya barang yang terutang
Adalah jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian
musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak
diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, jika barang
tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai
menyerahkannya.
h. Batal/Pembatalan
Menurut pasal 1446 KUH Perdata adalah, pembatalan atas
perjanjian yang telah dibuat antara kedua belah pihak yang melakukan
perjanjian, dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim, bila salah satu pihak
yang melakukan perjanjian itu tidak memenuhi syarat subyektif yang tercantum
pada syarat sahnya perjanjian.
Menurut Prof. Subekti permintaan pembatalan perjanjian
yang tidak memenuhi syarat subyektif dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu:
(i)
Secara aktif menuntut pembatalan
perjanjian tersebut di depan hakim;
(ii)
Secara pembelaan maksudnya adalah menunggu
sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan baru mengajukan
kekurangan dari perjanjian itu.
i.
Berlakunya
suatu syarat batal
Menurut pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu
syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala
sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak penah terjadi perjanjian.
j.
Lewat
waktu
Menurut pasal 1946 KUH Perdata, daluwarsa atau lewat waktu
adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu
perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang
ditentukan oleh undang-undang.
Dalam pasal 1967 KUH Perdata disebutkan bahwa segala
tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan
hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun. Dengan
lewatnya waktu tersebut, maka perjanjian yang telah dibuat tersebut menjadi
hapus.
DAFTAR PUSTAKA
Mertokusumo,
Sudikno. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1999.
Rusli, Hardijan. Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1996.
Salim H.S. Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. II. Sinar
Grafika, 2004.
Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. Cet. XXVI, PT. Intermasa, 1994.
______ dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-undang Hukum Perdata = Burgerlijk
Wetboek (terjemahan). Cet. 28. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. 1996.
Subekti, R, Prof, S.H., Hukum Perjanjian,
Cetakan ke-VIII, PT Intermasa.
Tim Naskah Akademik BPHN. Lokakarya Hukum Perikatan. Jakarta: Badan Pembinaan
Hukum Nasional Deparetmen Kehakiman RI, 1985.