Total Tayangan Halaman

Sabtu, 30 November 2013

Mahkamah Konstitusi vs Suap vs Kepercayaan Publik

Kokoh dan kuatnya fondasi hukum di Indonesia kini seakan di ambang kehancuran. Bangunan sistem hukum yang dibangun di atas fondasi Konstitusional yang selama ini dimuliakan dan disegani kini makin jauh dari kepercayaan publik. Hal tersebut diakibatkan oleh ulah para penyelenggara negara yang adalah pengawal utama fondasi hukum di Indonesia  yang dengan beraninya mempertontonkan berbagai pertunjukan “tabu” di atas pentas hukum negeri ini.

Perubahan yang sangat besar terhadap tata kehidupan berbangsa dan bernegara telah dibawa oleh amandemenkan UUD 1945, yaitu perubahan yang akan mengarah kepada cita-cita negara hukum yang demokratis sesuai dengan prinsip-prinsip negara demokrasi konstitusional yang dikawal oleh Mahkamah Konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam segala aspek terutama aspek hukum yang konstitusional kini mulai pupus akibat perilaku Akil Mochtar (Ketua MK nonaktif) yang terlibat dalam skandal suap Pilbup Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Pilbup Lebak, Banten.

Pertiwi menangis ketika ternyata Mahkamah Konstitusi harus dijebol oleh uang suap yang diperankan oleh Akil Mochtar. Kasus suap yang menimpa ketua MK Akil Mochtar tersebut membuat / membunuh semangat, ambisi, cita-cita dan harapan masyarakat negeri ini yang ingin melihat terwujudnya negara Indonesia yang demokratis dan berlandasan hukum.

Bukan baru kali ini oknum hakim terjaring aparat penegak hukum akibat ulah tak terpuji. Dengan kasus suap yang melibatkan ketua MK, lengkap sudah perbuatan tercela oknum hakim. Dari oknum hakim level terbawah hingga oknum hakim agung dan ketua MK terjaring operasi penegakan hukum. Sudah sepatutnya untuk mencemaskan perubahan ekstrem persepsi publik mengenai masa depan penegakan hukum di negara ini.

Kalau hakim konstitusi pun sudah goyah menghadapi uang suap, benteng keadilan mana lagi yang masih bisa diandalkan pencari keadilan di negara ini? Pesimisme seperti ini sebenarnya telah berkembang di ruang publik sejak sejumlah oknum dari institusi penegak hukum, termasuk oknum hakim, terjaring kasus suap atau korupsi. Tidak mudah untuk mengubah pesimisme itu menjadi optimisme sebab tidak ada yang tahu kapan negara ini bisa mereduksi perilaku korup para oknum birokrat, termasuk pejabat penegak hukum.

Kini situasinya menjadi sulit untuk dipahami. Masyarakat dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah; antara mempercayai harapan baru yang coba dikawal oleh Mahkamah Konstitusi sebagai penyelenggara negara untuk mewujudkan cita-cita negara Indonesia yang demokratis atau kini harus ikut tenggelam oleh tingginya gelombang kasus suap ketua MK.

Sungguh memprihatinkan. Padahal dalam konstitusi mensyaratkan bahwa “Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan…..”. Syarat inilah yang seharusnya menjadi landasan pijak prinsip dan budaya hukum hakim MK dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim di lembaga yang mulia dan terhormat ini.

Budaya hukum menuntu hakim MK bertanggung jawab atas pemahaman masyarakat secara utuh tentang negara hukum konstitusional tidak hanya lewat sosialisasi dan desiminasi tetapi juga keteladanan hakim MK dalam menjaga integritas dan kepribadian yang baik sebagai seorang negarawan yang patut diteladani oleh masyarakat dan penyelenggara negara lainnya tentang kehidupan berhukum dan bernegara yang pancasilais. Disini moral hakim menjadi penopang dalam menjaga integritas dan kepribadian yang negarawan.

Mengingat kewenangan MK yang sangat vital ini maka bukan tidak mungkin peluang suap terhadap hakim MK semakin terbuka apalagi banyaknya pemilukada di Indonesia yang berujung di MK karena masyarakat meyakini bahwa hakim MK masih bersih dan dipercayai. Ketua MK nonaktif Akil Mochtar sentak membuat kaget bangsa dan masyarakat Indonesia seiring dengan itu pula banyak masalah pemilukada yang telah diputus oleh MK terutama yang ditangani oleh Akil Mochtar diminta untuk ditinjau kembali. Hal ini dikarenakan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap MK kian menipis.

Kasus suap Akil Mochtar menjadi cikal bakal untuk dikembangkannya pada suap yang kemungkinan melibatkan hakim lainnya atau panitera karena kalau suap untuk memenangkan suatu kasus yang sedang ditangani tidak mungkin dilakukan sendiri oleh seorang Akil Mochtar karena lahirnya putusan MK tersebut melibatkan semua hakim MK. Akil Mochtar dalam hal ini sebagai tersangka harus berbesar hati mengakui perbuatannya dan berbicara secara jujur tentang kemungkinan mafia suap yang meliibatkan hakim MK lainnya agar MK benar-benar steril dari praktek mafia suap yang mungkin selama ini terjadi dalam menangani perkara-perkara yang ditangani oleh MK. MK harus diselamatkan karena kewenangan MK sangat urgen dan putusan MK tidak dimungkinkan untuk dilakukan upaya hukum sehingga putusan MK tersebut harus benar-benar steril dari praktek suap dan konflik interst dari hakim MK tersebut.

Konvensi Hukum Nasional tentang Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Landasan Konstitusional Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional deselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional pada tanggal 15 s/d 16 Maret 2008 pada pokoknya menyimpulkan beberapa hal antara lain :

1.      Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan sumber hukum yang paling mendasar, hukum tertinggi yang mengandung nilai, rasa, dan norma yang harus dipatuhi, dijunjung tinggi dan dilaksanakan dalam setiap pengambilan keputusan dan/ atau kebijakan hukum, baik oleh pemerintah, legislatif, maupun badan-badan yudisial, serta rakyat pada umumnya. Oleh karena itu, dalam setiap hukum nasional yang hendak dibangun dan pelaksanaannya dalam bentuk politik hukum nasional, harus tetap dijaga dan dipertahankan semangat dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam dasar falsafah negara Pancasila yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 dan seluruh batang tubuhnya sebagai landasan falsafah dan konstitusional negara.

2.   Reformasi konstitusi telah menegaskan secara eksplisit bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Didalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta jaminan keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa.

3.      Hukum dimaknai sebagai kesatuan Asas, norma, lembaga dan proses. Dalam sistem hukum nasional hierarkis tatanan norma berpuncak pada konstitusi. Artinya, dalam sebuah negara hukum harus dipegang teguh prinsip supremasi konstitusi. Konstitusi harus diimplementasikan secara konsisten dalam peraturan perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan negara dan kehidupan masyarakat secara luas.


Kini masyarakat hanya ingin menuntut dan melihat bukti tentang praktik hakikat keadilan dan hukum yang ditegakan sebagaimana seharusnya. Dalam konteks ini berhentilah berwacana dan bicaralah seperlunya. Namun, melipatgandakan sanksi hukum bagi terdakwa koruptor itu ternyata belum cukup. Pertanyaan publik selanjutnya yang belum terjawab hingga kini adalah bagaimana mekanisme hukum akan memperlakukan kekayaan para koruptor yang dikumpulkan dari hasil korupsi?

Kalau seorang pencuri ketahuan dan terbukti mencuri, dia wajib mengembalikannya kepada pemilik barang. Begitulah cara masyarakat kebanyakan memahami persoalan. Artinya, kalau seorang terdakwa terbukti melakukan korupsi, semua yang dikorupsi harus dikembalikan kepada negara dan rakyat. Artinya, pengadilan tipikor harus merampas apa pun milik koruptor yang diperoleh melalui tindak pidana korupsi.

Peristiwa ini terapi kejut yang diharapkan bisa menimbulkan efek jera bagi penguasa yang berperilaku korup dan keranjingan memburu uang suap. Terlepas dari itu semua harapan kita, kendati kredibilitas MK saat ini memang sudah di bawah titik nol, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jangan ikut-ikutan mendelegitimasi lembaga tersebut.

Sebaliknya, pemerintah bersama semua lembaga tinggi negara harus segera bekerja keras memulihkan kredibilitas MK di mata rakyat. Fungsi MK untuk membuat keputusan-keputusan yang legitimate harus ditegakan. Menegakan kembali fungsi MK sangat jelas urgensinya. Selain mengantisipasi kemungkinan munculnya sengketa baru dari rangkaian pilkada maupun pilgub, MK pun harus mengantisipasi progres dari proses hukum megaskandal Bank Century.

Tetapi lebih dari pada itu hakim MK harus mampu membentengi diri dari aneka rayuan dan suap yang dapat merusak citra MK sebagai lembaga yang mulia dan terhormat dan hakim MK harus mampu menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dan penyelenggara negara di negeri ini. ****


By ; Maher Tafetin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar